Part 05 : Accident
Angin memekik menggiring hujan di depannya saat mobil yang dikendarai Pangzi dan Wu Xie melintasi pedesaan yang basah kuyup menembus malam tak berbintang.
Guntur dan kilat tampak menyatu dengan dentuman seperti tembakan, langit terbelah, membanjiri kegelapan dengan kilatan putih yang menggantung sesaat, membutakan, menghilang lagi dalam kegelapan pekat. Mereka tiba di daerah Longjing saat mobil melaju, jalan-jalan yang tergenang air dan trotoar berkilau basah di bawah cahaya lampu yang kabur, di sepanjang tepi jalan yang berkelok-kelok, pagar tanaman membengkok ke satu arah, menyerah terhadap cambuk angin kencang. Di atas mereka, pohon-pohon berderit berbahaya, melepaskan ranting-rantingnya dari daun-daun yang masih menempel di bentangan panjang dan lurus yang terbentang di antara bukit Longjing dan jalan utama menuju Hangzhou.
Mobil itu berhenti mendadak, kap mesinnya yang hitam setengah tertutup dahan pohon yang patah. Rem kaki diturunkan hampir ke papan lantai, tangan tertahan di kemudi, wajah memucat karena shock, Pangzi duduk tak bergerak dan membiarkan keheningan yang diberkati mengalir di atasnya.
"Wu Xie, aku melihat ambulan," ia mendesis di tengah keheningan dalam mobil, nyaris tak terdengar oleh Wu Xie. Pikiran pemuda itu kosong dan gelap, entah dia mendengarkan atau tidak.
Di jalur yang mereka tempuh sesuai dengan petunjuk dari petugas yang menghubungi mereka, dia melihat satu unit ambulan melaju menembus guyuran hujan.
"Bagaimana kalau kita mengikuti ambulan itu? Hanya ada satu rumah sakit di Longjing, jika mereka akan membawa jasad Hanni. Pasti mereka akan membawanya ke sana."
Wu Xie tidak bersuara, membiarkan kawannya mengambil keputusan sendiri. Si gendut melihat melalui tirai hujan, cahaya terang mendeka, terfokus pada jalan di depan.
Hujan masih belum mereda sewaktu Pangzi memarkir mobil di pelataran rumah sakit. Ambulan itu telah tiba lebih dulu dan terlihat beberapa petugas sibuk menurunkan tandu.
Seakan baru terbangun dari mimpi buruk, napas Wu Xie terengah dan ia mencondongkan bahunya ke depan, melebarkan mata seperti menyaksikan sebuah teror.
"Apakah ... apakah mereka membawa Hanni?" ia mulai meratap.
"Mari kita turun dan melihatnya."
Pangzi membantu sahabatnya membuka sabuk pengaman. Mereka turun dari mobil, setengah berlari menuju ambulan. Wajah berantakan Wu Xie kian diselimuti teror sewaktu melihat dua tandu diturunkan dari dalam ambulan kemudian dipindahkan ke atas brankar. Dua jasad itu tertutup kain putih hingga ke wajah, dan angin yang kejam menyingkap salah satunya. Pemandangan di depan matanya sangat menyakitkan. Dengan jelas Wu Xie melihat wajah pucat tunangannya. Matanya telah tertutup dengan damai. Kening dan pelipisnya ternoda darah yang menetes-netes ke alas tandu.
"Pangzi ... benarkah?" Dia menutup mulutnya dengan telapak tangan, menahan suara-suara lain yang mungkin lolos dari tenggorokannya.
"Tenanglah, Wu Xie. Kau harus tetap kuat." Pangzi tahu nasihat semacam itu tak ada gunanya. Siapa pun akan terguncang melihat sosok yang dekat dengannya terbujur kaku penuh darah. Bahu Wu Xie bergetar, dan Pangzi menarik pemuda yang tengah shock itu ke dalam pelukannya.
"Mengapa ... apakah ini nyata?" Wu Xie masih menceracau. Keduanya terseok-seok mengikuti petugas paramedis yang mendorong dua brankar menyusuri lorong rumah sakit yang diterangi lampu temaram.
"Pak, tunggu sebentar!" Pangzi berkata pada satu petugas. Mereka menoleh dan berhenti, memberikan izin saat Pangzi memohon untuk memeriksa dua jasad itu sekali lagi. Dengan tangan gemetar, dia membuka kain penutup jasad Hanni, dan tangisan tertahan Wu Xie mulai mengisi kesunyian. Kemudian Pangzi memeriksa jasad yang satu lagi. Dia adalah seorang pria berusia sekitar tiga puluhan atau mungkin lebih. Cukup tampan dan nampak intelek meski dia terpejam dengan garis mulut kaku. Tampaknya dia tidak siap kala malaikat maut menjemput. Pangzi dan Wu Xie mengernyitkan kening bersamaan. Mereka tidak mengenali jasad pria ini.
"Pak, siapa dia? Apakah polisi telah menemukan identitasnya?" tanya Pangzi.
Petugas paramedis menggeleng dengan ekspresi meminta maaf.
"Saat kami dihubungi polisi untuk datang ke lokasi kejadian, mereka telah mengevakuasi dua jasad korban dari dasar jurang. Mereka belum memastikan identitas lengkap korban."
"Dua orang? Maksudmu?"
Petugas paramedis nyaris membuka mulut tapi membatalkan ucapannya saat melihat seseorang menuju ke arah mereka.
"Tuan Wu Xie."
Suara tegas dan berwibawa datang dari arah belakang diiringi derap langkah kaki yang berat. Sontak Wu Xie dan Pangzi memutar tubuh. Tampaknya kejutan lain siap mengguncang hati yang masih rapuh. Seorang pria tinggi, tampan, berpakaian rapi, kemeja putih dan mantel panjang hitam menyapanya dengan nada resmi.
"Ya?" Wu Xie mengendalikan suaranya yang bergetar.
"Saya petugas kepolisian setempat. Letnan Huo. Bisa kita bicara sebentar?"
Wu Xie dan Pangzi saling berpandangan, lantas mengangguk.
"Tentu."
"Korban kecelakaan yang baru saja tiba, Anda pasti mengenalnya. Kami menemukan bahwa orang terakhir yang dihubungi gadis itu adalah Anda. Apa hubungan dia denganmu?"
"Dia ... dia tunanganku."
Letnan Huo menatapnya dengan ekspresi tidak berubah tapi suaranya sedikit melunak saat berkata, "Aku turut berduka."
Wu Xie hanya mengangguk-angguk.
"Korban yang satu lagi, dia seorang pria. Apakah Anda mengenalnya juga? Kami menemukan kartu identitasnya. Dia bernama Kris. Kami kesulitan menghubungi pihak keluarga karena ponselnya mengalami kerusakan parah."
Sekali lagi, Wu Xie dan Pangzi berpandangan diselimuti ribuan pertanyaan. Keduanya kompak menggeleng dengan wajah memucat.
"Kami tidak tahu siapa dia dan bagaimana dia bisa berada satu mobil dengan Hanni," jawab Wu Xie.
"Hmm, sayang sekali. Tapi tak apa. Kami akan memasang berita."
"Tapi Pak, bagaimana kecelakaan itu bisa terjadi?"
Letnan Huo menggeser satu kakinya, terlihat lebih santai dengan satu tangan di saku mantelnya.
"Kami menerima laporan dari warga yang mendengar suara benturan keras. Cuaca buruk malam ini. Hujan dan berkabut. Jalur perbukitan Longjing licin dan berliku-liku. Sepertinya mobil kawan Anda menempuh jalur yang cukup rawan. Jalan licin, kabut tebal, sangat berpeluang besar mendorong peristiwa kecelakaan."
"Tetapi mengapa mereka harus menempuh jalur berbahaya itu? Maksudku, apakah itu tindakan yang lazim dilakukan warga di sini?"
Letnan Huo berdeham. "Sebenarnya, di puncak Longjing ada sebuah resort kecil yang baru saja dibangun. Dengan konsep liburan menikmati pemandangan danau dan hamparan kebun teh, tempat itu menyediakan beberapa penginapan kecil dan klasik. Beberapa pasangan sering datang mengunjungi tempat itu karena dikenal dengan suasananya yang romantis. Tebakanku, ke sanalah tujuan mereka."
"Resort romantis?" Tampang Wu Xie saat itu terlihat seperti orang idiot. Dia benar-benar tidak berpikir ke arah sana, terlebih itu menyangkut Hanni.
Letnan Huo mengangguk.
"Kami segera melakukan penyelidikan. Saat hujan reda, kami berhasil mengevakuasi dua korban. Mereka sama-sama duduk di kursi depan. Pria bernama Kris memegang kemudi. Dengan ponsel korban yang masih bisa difungsikan, kami segera bisa menghubungi Anda."
"Ta-tapi Pak, beberapa jam sebelumnya Hanni mengatakan padaku bahwa dia berada di Lu Zhi." Wu Xie berkata terbata-bata. Letnan Huo menatapnya sekilas, lalu berdeham lagi.
"Mungkin itu urusan pribadi."
Tangan Pangzi menepuk lembut bahu sahabatnya, menenangkan sebisa mungkin.
"Wu Xie, ada kejanggalan di sini. Kita harus memikirkannya lebih cermat lagi," ia berbisik.
Letnan Huo menatap bergantian dua orang di hadapannya, kemudian ia berkata, "Ada beberapa hal yang harus dibicarakan. Tapi aku paham Anda sedang berduka. Besok pagi, temui aku di kantor polisi sektor Longjing."
Setelah itu, Letnan Huo membungkuk ringan dan berbalik pergi.
Hujan telah berhenti, menyisakan angin dingin yang menggigit. Suasana rumah sakit cukup sepi meski aktivitas selalu terdengar di beberapa bagian terutama di unit gawat darurat. Duduk di sebuah bangku tidak jauh dari kamar mayat, Wu Xie termangu seperti orang linglung. Dia tidak bisa menangis lagi. Setelah melihat jasad Hanni di kamar mayat, kini wajahnya pun berubah sepucat mayat dan ia seakan kehilangan kendali diri. Yang paling menyakitkan adalah sewaktu petugas medis menyerahkan barang-barang milik Hanni padanya. Jam tangan, dompet, ponsel, gelang dan cincin. Namun cincin itu bukan cincin pertunangan mereka, melainkan cincin lain. Seolah-olah itu kurang dramatis, Wu Xie mendapati fakta bahwa cincin dalam bentuk dan model yang sama terpasang di jari pria bernama Kris. Kenyataan itu seperti badai yang memporak-porandakan hatinya. Dia mulai yakin bahwa Hanni dan pria itu bukan teman biasa.
Pangzi tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk menghibur sahabatnya. Akhirnya dia bangkit berdiri, menepuk bahu Wu Xie sekali lagi. "Aku akan membeli kopi panas. Tenangkan dirimu. Kau harus tetap fokus."
Wu Xie hanya mengangguk patuh. Diletakkannya kantong plastik transparan tempat benda-benda terakhir di tubuh Hanni dikumpulkan. Kilau cahaya dari cincin itu menganggunya, dan ia sungguh tak bisa memahami apa yang selama ini terjadi dalam hubungannya.
Pangzi beranjak pergi untuk membeli kopi, sementara Wu Xie nyaris tak menyadari situasi sekitarnya. Tiba-tiba pikirannya menjadi jernih dalam sekejap. Kesibukan Hanni yang tak masuk akal, ketidakpeduliannya akan makan malam dan perayaan hubungan mereka, parfum yang berubah. Dirinya begitu naif untuk tidak menyadari perubahan itu, untuk memahami bahwa seseorang bisa saja lupa pada siapa dia jatuh cinta. Tertipu oleh sikap manis gadis itu dan senyumannya, dirinya sungguh percaya bahwa semua baik-baik saja. Sampai kiriman bunga lily yang misterius itu.
Dalam sekejap, kejernihan pikirannya kembali gelap dan keruh kala mengingat teror bunga itu. Apakah semua itu ada hubungannya dengan kecelakaan yang menimpa Hanni? Mengapa ini terjadi saat dia telah menerima kiriman lily oranye dengan jumlah satu tangkai. Apa semua peristiwa berkaitan? Mungkin benar dugaan Pangzi bahwa itu pertanda hitungan mundur.
Kepalanya mendadak sakit dan berdenyut hebat, pengaruh dari goncangan traumatis malam ini, ditambah kelelahan akibat perjalanan dan juga minum anggur sebelumnya. Semua rasa berbaur menjadi satu, membuatnya mual. Wu Xie bangkit dan berjalan terhuyung-huyung, mencari tanda penunjuk arah toilet, kemudian dia masuk ke dalam, muntah-muntah tak terkendali mengosongkan isi perutnya yang bergejolak. Memejamkan mata beberapa lama sambil membungkuk di atas wastafel, Wu Xie perlahan-lahan mencuci muka. Dia merasa lebih baik setelahnya, lantas kembali berjalan tersaruk-saruk menuju bangku tempat dia tadi duduk. Tidak banyak orang berlalu-lalang di lorong sekitar kamar mayat, hingga bagian itu sepi mencekam dan diselimuti kengerian. Wu Xie berjalan lambat-lambat, tangannya merayapi dinding. Kepalanya masih tetap sakit bahkan kini semua terlihat berputar dan bergoyang-goyang.
"Pangzi ... " Ia mengerang memanggil sahabatnya. Namun Pangzi belum kembali.
"Astaga, kepalaku ... " Mencapai ujung lorong toilet, akhirnya tubuh Wu Xie terhuyung ke depan, nyaris ambruk ke lantai yang dingin. Di ujung kesadarannya, Wu Xie melihat sesosok bayangan hitam datang dari kegelapan, mengira bahwa itu Pangzi, dia menggapai ke arah sosok itu, kemudian sepasang tangan yang kuat menahan tubuhnya.
Wu Xie berkedip-kedip lambat, pandangannya mengabur. Namun alam bawah sadarnya mengatakan bahwa orang ini bukanlah Pangzi. Tetapi pria lain, dengan aura dan aroma yang tidak dia kenali.
"Si-siapa kau??"
Kemudian ia jatuh pingsan dengan imut.
Please vote and comment if you like this story ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro