Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Part 03 : Rose

Kiriman bunga lily oranye datang lagi keesokan siangnya, kali ini berjumlah lima tangkai.  Wu Xie terdiam selama beberapa detik. Sekali lagi, mendapat kesan bahwa dia tengah diincar, diawasi, dan diberi peringatan. Tetapi apa yang harus dia lakukan?
Wu Xie merasa terjebak setiap kali menerimanya dan ia tidak segera membuang kotak-kotak itu untuk mengingatkan diri sendiri bahwa mungkin seseorang memiliki maksud atau pesan terselubung dengan kiriman ini. Namun di sisi lain, rasa penasaran membuatnya benar-benar kewalahan. 

Dia memanggil Pangzi ke ruangannya untuk menunjukkan lily sialan itu.

"Lihat, gendut! Ini sudah tidak lucu lagi," gerutunya, mencibir kesal.
"Setiap kali kiriman lily ini datang, jumlahnya berkurang satu.  Seperti hitungan mundur."

Pangzi menatapnya ngeri. "Jangan sok tahu, naif! Kau terlalu sering menonton film gangster yang buruk dan tidak happy ending."

"Aku serius. Di film-film, tokoh jahat melakukan ini untuk meneror tokoh baik."

"Sudah cukup berguraunya. Sebaiknya kau periksa ulang ke toko bunga, kali ini lebih teliti dan detail."

Wu Xie nyengir, tapi sekilas mirip ringisan. Gagasan itu sudah muncul di kepalanya sejak dia membuka kotak itu untuk ketiga kali dalam pekan ini.

"Boss, coba kau ingat-ingat, apakah ada salah satu dari kawan-kawanmu yang menyukai bunga lily oranye?" tanya Pangzi dengan gaya detektif. Tubuhnya membungkuk dengan tangan menekan permukaan meja, menatap tegang pada Wu Xie.

Yang ditatap ikut-ikutan merasa tegang. Mata Wu Xie melebar sejenak, lantas menggeleng.
"Aku tidak ingat. Para laki-laki tidak menyukai bunga, mereka lebih menyukai anggur dan makanan. Aku mengetahui makanan favorit mereka, tapi bunga ... menggelikan sekali," cibirnya dengan nada tidak percaya.

"Kau benar juga." Pangzi menyipitkan mata, bahunya perlahan mengendur.
"Haruskah kita telepon polisi?"

"Untuk apa?" Wu Xie tersentak.

"Dugaan teror. Biarkan mereka menyelidikinya."

"Jangan ngawur, sialan! Kau pikir polisi tidak ada pekerjaan lain selain mengurusi pengirim bunga iseng? Jika ini teror, sungguh! Trik ini murahan sekali." Bibir Wu Xie komat-kamit sementara kedua lengannya terlipat di dada dengan tegang.

Menanggapi omelan pemuda itu, Pangzi hanya terkekeh.
"Dengar," katanya lagi, kali ini lebih santai dan tentunya lebih menggurui.
"Aku khawatir jika ini perbuatan pihak yang tidak menyukaimu. Kau masih muda, tampan, sukses, dan banyak yang iri. Tunanganmu cantik jelita dan banyak yang suka. Nah, sangat wajar jika seseorang ingin mengacaukan ketenanganmu."

"Dramatis sekali," desah Wu Xie tidak paham. Duduk lesu di kursi putarnya, dia menatap hampa pada kotak bunga itu.

"Daripada mendengar prasangkamu yang berlebihan, sebaiknya aku memeriksa lagi ke toko bunga." Kata-katanya penuh keyakinan diikuti kepalan jemari. 

✬✬✬

Kali ini Wu Xie mengunjungi Clementine Florist sebelum matahari terbenam karena ia terus menerus merasa cemas akan pengiriman bunga lily oranye itu. Gadis pelayan yang berbeda dengan sebelumnya memberikan sapaan begitu ia masuk.

"Selamat sore, selamat datang di toko kami."

Wu Xie mengangguk, mengedarkan pandangan ke seluruh ruang toko yang luas dipenuhi rak-rak yang memuat keranjang dan vas serta aneka jenis bunga. Toko ini sedang sepi. Hanya ada sepasang pria wanita dan dua pemuda dalam posisi yang berbeda, sibuk dengan pilihan mereka.

Tatapan Wu Xie menangkap cctv di dekat kasir dan saat itu juga matanya berbinar.

"Nona, apakah kamera pengawas itu berfungsi?" tanyanya sopan pada si pelayan. Gadis berseragam itu mendongak sekilas pada kamera yang terpasang di langit-langit, lantas menatap Wu Xie dengan pandangan meminta maaf.

"Kamera di toko kami mengalami kerusakan sejak sepekan lalu. Boss berencana akan menggantinya dalam waktu dekat."

Rasa kecewa menyergap Wu Xie. Harapannya untuk mengetahui siapa pembeli bunga lily oranye tampaknya masih mengalami kesulitan.

"Sayang sekali," gumamnya setengah cemberut.

"Ada masalah apa, Tuan?"

"Sebenarnya, aku masih ingin memeriksa siapa saja pembeli bunga lily di toko ini. Mungkin kau bisa mengingatnya. Dia membeli lily oranye tiga hari berturut-turut."

Gadis itu menggeleng bingung.
"Ada beberapa pengunjung yang membeli bunga lily."

"Kau tidak bisa mengingat salah satunya? Dia pasti datang setiap hari."

"Sepanjang hari ini ada dua perempuan setengah baya, seorang gadis dan seorang anak perempua, yah ... mereka yang membeli bunga lily. Ada yang merah muda, oranye dan putih."

Wu Xie termangu, rasanya tidak mungkin salah satu dari mereka mengirim bunga lily padanya dengan tujuan meresahkan.

"Selamat datang di toko kami," gadis itu menyapa seorang pengunjung yang baru saja masuk sebelum kembali pada Wu Xie.

"Ada lagi yang bisa aku bantu?"

Pertanyaan gadis pelayan menyentakkan Wu Xie dari lamunan singkatnya.

"Uh, tidak. Tidak ada."

"Anda mau membeli bunga?"

Awalnya Wu Xie tidak berniat membeli apa pun, tapi karena merasa tidak enak hati, ia memutuskan membeli seikat bunga. Dia bisa menempatkan itu di rumahnya nanti.

"Tolong satu ikat mawar alba." Seperti sudah terlatih, lidahnya menyebutkan mawar kesukaannya.

"Anda membelinya lagi. Untuk pacarmu?" gadis pelayan menggodanya sambil merangkai pesanan.

Wu Xie tersenyum dan mengangguk.

"Dia gadis yang beruntung, memiliki pacar yang tampan dan romantis. Dia sangat menyukai mawar ini, ya?"

Sekali lagi Wu Xie mengangguk.
"Aku juga menyukainya."

"Manis sekali. Silakan bunga Anda."

Wu Xie menerima rangkaian bunga mawar dari tangan si pelayan, dan segera melakukan pembayaran. Penyelidikannya gagal lagi. Rasanya ia mulai muak dengan bunga lily oranye itu. Jika kiriman iseng itu datang lagi, dia bersumpah akan mengabaikannya.

✬✬✬

Seperti dugaannya, kiriman bunga datang lagi dengan jumlah kian berkurang. Hari ini dia menerima empat tangkai. Namun seperti niat sebelumnya, ia tidak peduli lagi akan jumlah bunga lily ataupun pengirimnya. Wu Xie juga meminta Pangzi untuk tidak memikirkan hal itu lagi.

"Kita terlalu sibuk untuk memikirkan masalah sepele semacam ini," ujar Wu Xie siang itu di kantornya dan di depan Pangzi, dia melemparkan kotak berisi bunga ke tempat sampah.

"Siapa pun orang yang melakukannya, dia pasti akan merasa bosan suatu hari nanti, dan akan berhenti bermain-main."

Tetap saja, dalam diamnya, Pangzi bisa merasakan rasa frustrasi kawannya semakin meningkat. Dia membutuhkan penjelasan, tetapi bagaimana dia bisa mendapatkan jawaban dari seseorang yang jelas-jelas tidak mau menunjukkan diri? Apakah si pengirim sungguh membuat ancaman? Apakah dia seorang psikopat? Pikirannya berkelana tanpa bisa dikendalikan.

"Kau sudah bicara dengan Hanni tentang insiden bunga ini?"

"Aku sempat mengungkitnya kemarin saat bicara padanya di telepon. Aku tanya apakah dia memiliki seorang teman atau musuh yang menyukai lily oranye? Tapi dia bilang tidak tahu apa pun."

"Huh, sepertinya kita hanya membuang waktu dengan menyelidiki ini. Siapa pun pengirimnya, pasti dia tengah mentertawakan kebodohan kita." Pangzi berkacak pinggang dengan ekspresi gusar.

"Kau benar. Kita lihat saja nanti apa yang akan dilakukan orang iseng ini."

Wu Xie menyudahi masalah ini, menekan sekali lagi kotak berisi bunga itu hingga benar-benar terbenam di tempat sampah.

✬✬✬

Melepaskan suatu masalah dan melupakannya terbukti membuat hari-hari seseorang lebih damai. Dengan mengabaikan kiriman bunga lily itu, Wu Xie kini lebih santai dalam melakukan pekerjaannya dan tidak terpikir lagi untuk pergi ke Clementine Florist.

Malam berikutnya, setelah berpesan pada Pangzi untuk menutup kafe pada pukul sembilan malam, dia berjalan menuju mobilnya yang diparkir di ujung halaman berbatasan dengan dinding dari bangunan lain yang berdampingan dengan kafe-nya. Seraya bersiul, dia membuka pintu satu unit sedan Chevrolet silver tahun lama yang sudah menemaninya sejak lima tahun terakhir. Mobil kebanggaannya yang dia dapatkan setelah perjuangan panjang merayu sang paman, Wu Er Bai yang kaya raya. Dia telah menghubungi Hanni sejam yang lalu dan berencana menjemputnya dari sebuah acara kantor yang diadakan di sebuah hotel di jalan Baoshan.

Wu Xie baru saja menyelinap ke balik kemudi saat ia menangkap sesuatu dengan sudut matanya. Sesuatu yang diletakkan di dashboard mobil. Dalam keremangan, dia menatap nanar pada benda yang tidak familiar itu.

Setangkai mawar alba.

Dengan tangan gemetar, dia meraih tangkai bunga yang masih segar, mencium aromanya yang lembut dan menenangkan. Warna putih tanpa noda nampak pucat di bawah pendar lemah lampu jalan di luar. Lebih dari kecemasan sewaktu dia menerima kiriman lily yang misterius, dia merasakan sensasi tegang yang sama ketika melihat bunga mawar ini.

Siapa pun yang menaruh mawar ini di atas dashboard, dia pasti seorang kriminal. Bagaimana mungkin mobilnya yang selalu terkunci bisa dimasuki seseorang. Ini tidak beres.

Seketika dia menjatuhkan tangkai mawar itu di kursi penumpang, memandanginya dengan ngeri. Ulah siapa lagi ini? Mengapa orang-orang melakukan trik-trik murahan untuk menakutinya.

Wu Xie meraih ponselnya, berniat membicarakan ini pada seseorang. Secara reflek dia menekan nomor Pangzi alih-alih Hanni.

"Hallo, gendut," desahnya. Sudut matanya melirik bunga mawar itu lagi.

"Ada apa, naif? Mobilmu mogok di jalan?"

"Aku belum pergi."

"Heh? Ada sesuatu yang kau lupakan?"

Hening sejenak, membuat Pangzi cemas.

"Ada apa?"

Wu Xie menatap sekeliling dengan tajam, tapi tidak melihat siapa pun atau apa pun yang mencurigakan.

"Weii, Naif?" ulang Pangzi.

"Kemarilah. Aku berada di mobilku di sudut pelataran parkir."

"Kenapa suaramu tegang sekali? Berhenti membuat ulah."

"Ini serius."

Helaan napas Pangzi menjadi kasar. Si gendut terdengar cemas sekarang.
"Baiklah!"

Tidak sampai lima menit, Wu Xie melihat kawan baiknya bergegas menuju ke arah mobilnya.

"Nah, katakan sekarang ada apa?!"

Wu Xie menurunkan kaca mobilnya, menunjukkan wajah naifnya yang tercengang.
"Akhir-akhir ini aku sedikit paranoid dengan bunga," ia berkata, lantas menunjuk setangkai bunga mawar di kursi penumpang.

Membungkukan tubuh gemuknya, Pangzi mengintip ke dalam mobil seraya menyipitkan mata.
"Apa yang aneh dengan itu?" tanyanya. "Mawar itu milikmu, bukan?"

Wu Xie menggeleng. "Seseorang meletakkan setangkai mawar di atas dashboard. Mawar alba yang masih segar."

Pangzi menatap Wu Xie, mencari kesungguhan di sorot matanya yang bening dan lugu. Pemuda itu terlihat serius, dan mengingat insiden bunga lily, tidak semestinya dia membuat lelucon tentang ini.

"Tapi, bukankah kau mengunci mobilmu? Bagaimana seseorang bisa meletakkan bunga di dalam?"

Pangzi menarik mundur wajahnya, lantas berdiri berkacak pinggang.

"Dia pasti memiliki trik untuk membuka kunci mobilku." Wu Xie bersandar lemas di kursi kemudi.
"Astaga, aku dikelilingi teroris," keluhnya dramatis.

Pangzi mencibir sekilas, tampak berpikir keras. Tatapannya berkelana, mencari sesuatu yang mencurigakan. Namun dia tidak menemukan apa pun. Di sudut ini juga tidak ada kamera pengawas.

"Setelah lily, kali ini bunga mawar. Kau benar-benar pemuda berbunga." Pangzi menyunggingkan senyum ejekan mengundang rona muram di wajah Wu Xie.

"Aku benar-benar tidak paham. Apa yang dia inginkan dariku?"

"Wu Xie, kusarankan kau menyewa seorang detektif swasta. Aku khawatir ini ancaman," ujar Pangzi, masih berdiri di samping mobil.

"Kupikir itu berlebihan," gumamnya lesu, tanpa minat.

"Terserah, sih." Pangzi menghembuskan napas panjang, menepuk atap mobil dengan tangan besarnya.
"Sebaiknya kau pulang dan istirahat. Anggaplah bunga-bunga itu dikirim penggemarmu. Oke!"

Wu Xie hanya mengangkat bahu lagi, bersama dengan ekspresi tertutup yang sedatar kaca. Pangzi bisa merasakan rasa cemasnya semakin memuncak. Tapi dia tidak mendapatkan apa-apa di sini kecuali lebih banyak prasangka dan pertanyaan.

"Baiklah. Aku pulang. Tolong kau periksa kembali peralatan sebelum menutup kafe."

"Oke! Hati-hati di jalan!" Pangzi menepuk kaca mobilnya sebelum mundur dua langkah.

Ketenangannya hanya pura-pura. Sebenarnya masih ada kecemasan mencengkram hatinya. Niatnya menjemput Hanni malam ini juga tiba-tiba terlupakan. Dia telah mengirim pesan pada tunangannya dan ajaib, gadis itu sama sekali tidak masalah atas pembatalan dari pihaknya.

Wu Xie tidak menceritakan tentang bunga mawar pada Hanni dan memilih menunggu apa yang akan terjadi esok hari. Siapa tahu kiriman itu akan berhenti dengan sendirinya. Dengan pemikiran itu, Wu Xie mengemudi cukup tenang, menuju apartemen Green Court unit 95 di Huanyang Road tidak jauh dari Century Park yang menjadi tempat tinggalnya. Lagu yang tengah hits berkumandang dalam mobil menemani kesendiriannya. Dia melewati Century Park yang masih ramai oleh pejalan kaki kemudian berbelok menuju halaman gedung apartemen. Sekali lagi dia melirik setangkai mawar di dekatnya, dan hatinya berdesir lagi. Dia tidak tahu apakah pengirim bunga lily dan pengirim mawar ini orang yang sama. Namun yang pasti, seseorang tengah mengincarnya. Untuk alasan yang tidak dia ketahui.

✬✬✬

Please vote and comment if you like this story

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro