Part 02 : Secret
Hubungannya dengan Hanni sudah berjalan selama tiga tahun, dan baru setahun terakhir mereka bertunangan. Gadis cantik berambut panjang itu bekerja di sebuah kantor majalah fashion dengan karier yang cukup cemerlang. Wu Xie mengenalnya pada satu pameran lukisan di Museum Art of China beberapa tahun lalu dan sejak saat itu mereka dekat. Pada saat itu, karier Wu Xie sebagai seorang fotografer di perusahaan surat kabar berjalan di tempat. Pamannya yang kaya menyadari bakat keponakan tampan, cerdas dan sedikit naif itu mungkin berada di bidang bisnis, dan setelah perjuangan panjang, Wu Xie berhasil memiliki bisnis sendiri berupa kafe yang diberi nama dengan nama kekasihnya sendiri.
Selama hubungan mereka, Wu Xie jarang menginap di apartemen Hanni. Mereka lebih sering pergi ke luar, makan malam, dan karena Wu Xie kurang menyukai pesta, dia memberikan kebebasan pada Hanni untuk pergi dan berkumpul bersama kawan-kawannya.
Malam ini setelah makan malam bersama Pangzi dan berceloteh ke sana kemari selama satu jam, kini Wu Xie berdiri di depan pintu apartemen Hanni, membawa seikat mawar di tangan. Sudah dua kali ia memasukkan nomor sandi, anehnya, pintu tidak juga terbuka. Wu Xie mengingat-ingat dengan lebih baik lagi, dan yakin bahwa ia tidak keliru menekan angka.
"Hanni," akhirnya dia menghubungi tunangannya lagi.
"Kau mengganti nomor sandi?"
"Astaga, maaf Wu Xie. Aku lupa memberitahumu. Ya, sudah dua pekan aku menggantinya."
"Mengapa kau harus menggantinya?" Wu Xie cemberut.
"Tidak apa-apa, itu hanya demi keamanan."
Omong kosong, pikir Wu Xie. Namun ia tidak ingin berdebat.
"Katakan padaku nomor sandi yang baru."
Hanni menyebutkan sejumlah angka kemudian mengakhiri panggilan dengan tergesa-gesa.
"Apa yang membuatnya sangat sibuk? Dasar perempuan ... " Wu Xie menatap ponselnya dengan gusar, lantas ia menekan sandi yang baru hingga akhirnya berhasil masuk ke dalam apartemen Hanni.
Tunggu, angka-angka apa yang baru saja dia gunakan? Itu bukan tanggal kelahiran Hanni maupun dirinya. Itu kombinasi angka yang tidak dia kenal. Arus pikirannya masih mengalir deras menumpahkan banyak pertanyaan. Sudah lama sekali sejak Hanni mengganti nomor sandi, itu pun selalu bicara lebih dulu padanya. Sikapnya akhir-akhir ini sungguh tidak terduga, dan tiga kali berturut-turut dia membatalkan rencana makan malam di akhir pekan dengan berbagai alasan.
Dia meletakkan mawar di atas meja kaca, melonggarkan dasinya sambil berjalan ke dapur dan membuka lemari es. Dia butuh minuman dingin dan segar, menyambar sebotol lemon juice, lantas membawanya ke ruang tamu.
Wu Xie duduk dalam keremangan. Menikmati minumannya. Sengaja tidak menghidupkan lampu, hanya mengandalkan cahaya dari lampu meja kecil yang redup. Suasana menjadi kian misterius. Dia bergerak menuju jendela, mengamati kehidupan malam akhir pekan yang meriah di bawah sana. Lalu lintas padat merayap, dan banyak anak muda membanjiiri trotoar untuk melarikan diri dari kehidupan lajang yang sepi dengan sedikit sentuhan musik di keramaian.
Usianya dua puluh enam tahun ini, dan ia tidak yakin apakah ia bebas dari rasa sepi karena ia sudah memiliki tunangan. Sebenarnya, kadangkala ia merasa sepi. Hanni seorang kawan yang menyenangkan, kekasih yang baik, meskipun kadang menyebalkan, pemarah dan tidak sabaran. Namun sifat mereka justru saling melengkapi. Anehnya, bahkan Wu Xie sendiri pun lebih merasa nyaman bersama Pangzi yang periang, karena bersama Hanni, akan selalu ada drama di setiap pertemuan.
Meletakkan botol juice di atas meja, Wu Xie merasa sudah waktunya dia istirahat. Dia menanggalkan jas, meletakkannya begitu saja di tepi sofa, melinting kemeja panjangnya, kemudian berbaring di sofa panjang dengan kepala beralaskan bantal sofa. Dia melirik jam tangannya, tujuh menit lagi menuju pukul sebelas malam. Belum ada tanda-tanda kedatangan Hanni. Dia tidak berniat menghubunginya lagi, memberikan ruang pada diri sendiri untuk bersantai. Suasana begitu hening membuat Wu Xie lambat laun terlelap.
Ketika dia membuka matanya, selarik cahaya menyilaukan menembus kaca jendela. Secara reflek, ia mengangkat tangan di alisnya untuk melindungi mata dari rasa silau. Posisinya masih tidak berubah, terbaring di sofa panjang ruangan utama apartemen Hanni. Mengusap wajahnya sekilas, Wu Xie bangun dengan hati-hati, mengedarkan pandangan yang masih nanar ke seluruh ruangan.
Jam sudah menunjukkan pukul tujuh tiga puluh pagi. Sepertinya ia tidur cukup nyenyak walaupun berbaring di sofa. Keheningan masih sama seperti sebelumnya, tapi ia melihat sepasang sepatu wanita warna merah di dekat pintu. Itu artinya Hanni sudah pulang.
Wu Xie menguap, menyapu rambutnya yang acak-acakan ke belakang kepala, dan memijat-mijat bahunya yang pegal.
"Wu Xie."
Suara pintu terbuka disusul panggilan Hanni membuatnya terperanjat. Sontak dia menoleh ke pintu kamar Hanni.
"Eh, kau?!" desahnya lega, kemudian bibirnya berkerut. Penampilan Hanni sudah rapi, siap untuk pergi. Wu Xie menduga dia pasti bukan pergi bekerja karena ini hari minggu.
"Pukul berapa kau pulang?" tanya Wu Xie, mengawasi Hanni yang berjalan ke sofa, dan duduk di depannya.
"Uh, entahlah. Mungkin sekitar pukul dua. Kau tidur lelap sekali hingga tidak terbangun saat aku datang."
Hanni mengamati kukunya yang dilapisi cat merah muda. Tatapannya beralih pada seikat mawar putih di meja, mengetahui bahwa itu kemungkinan dibawa Wu Xie untuknya, matanya melebar seketika.
"Ini untukku?" Dia meraup seikat mawar itu dan menciumnya. Aromanya masih segar dan kuat.
"Hmmm." Wu Xie menatap tanpa minat.
"Terima kasih, ini indah sekali. Semalam aku tidak melihatnya karena ruangan remang-remang, dan kepalaku cukup pusing."
Wu Xie hanya mengangguk, lantas menyandarkan kembali punggungnya yang lemas ke bantal. Diamatinya penampilan Hanni dan bertanya,
"Ke mana kau akan pergi? Ini hari minggu, dan semalam kau baru sampai. Apa kau tidak lelah?"
"Ada sebuah pameran mode di Hangzhou yang harus kuliput, Boss sudah menyiapkan satu mobil van untuk tim kami. Ini akan menjadi perjalanan kerja yang menyenangkan. Kau tahu, bukan? Aku sering memimpikan pergi berkeliling negara ini dengan van, dan kita akan berkemah di tempat-tempat yang indah."
Wu Xie membutuhkan waktu dua menit untuk mengingat detail kecil tentang impian Hanni, dan ia tidak mengingat apa pun. Tapi kemudian dia tersentak oleh satu kenangan di mana ia berkemah di tepi Danau Barat bersama Hanni, Pangzi, Xiao Hua dan satu teman lainnya bernama Wang Meng.
"Ah ya! Aku paling mengingat kemping di Danau Barat. Itu sangat mengesankan." Matanya berbinar-binar oleh semangat akan kenangan yang telah lama berlalu.
"Astaga, Wu Xie. Itu hampir dua tahun lalu." Hanni memutar bola mata dalam ekspresi bosan. Dengan anggun, gadis itu bangkit dari duduknya, mencari vas bunga yang cukup besar untuk menyimpan mawar, dia berkata pada Wu Xie tanpa menoleh, "Kau mengingatnya karena kita pergi bersama teman-temanmu. Sebenarnya, kita tidak pernah pergi kemping berdua saja."
Beberapa detik lamanya Wu Xie termangu, "Kemping berdua sama sekali tidak seru," ujarnya dengan gaya sederhana.
Hanni memutuskan untuk menyelesaikan omong kosong ini dan bergegas mengambil tas, setumpuk map, dan kunci mobilnya, kemudian mengenakan sepatunya.
"Sudahlah, aku harus pergi, Wu Xie."
"Haruskah aku mengantarmu?" Bangun tidur dan tidak bisa memikirkan apa pun, Wu Xie bertanya seperti orang linglung, sementara Hanni memandangnya dengan tatapan mengejek.
"Dengan penampilanmu yang kacau ini? Yang benar saja." Gadis itu menahan gerutuan dan hanya tertawa kecil.
"Aku akan cuci muka." Wu Xie nyaris melompat dari sofa, tapi gerakan tangan Hanni menahannya.
"Tidak perlu. Aku bisa terlambat."
"Tapi-"
"Bye, Wu Xie."
Saat tangan Hanni menarik pintu, tumpukan map di pelukannya tiba-tiba terlepas dan jatuh berserakan. Kali ini gerakan Wu Xie lebih sigap. Dia membantu Hanni memunguti dan merapikan map-map tersebut.
"Hei, apa ini?" komentarnya saat menemukan benda unik di antara berkas pekerjaan. Buku itu kecil, tidak terlalu tebal juga tidak tipis. Sampulnya yang cerah dan genit mengingatkan Wu Xie pada buku harian anak-anak perempuan pada masa sekolah menengah.
"Notes yang lucu." Tangannya mengangkat buku itu di depan wajah. Mata bundar Hanni yang sibuk mencari-cari kini berkilat panik.
"Kembalikan!" Disusul gerakan cepat tangannya merebut kembali buku itu dari Wu Xie.
"Ya, ambil saja. Untuk apa aku mengambil barangmu." Dia mencibir tipis. Ketika selesai merapikan, mereka sama-sama berdiri.
"Ngomong-ngomong, apa itu tadi? Mengapa kau begitu panik?" Akhirnya Wu Xie penasaran.
"Rahasia." Tersenyum, Hanni mencolek ujung hidung Wu Xie dengan telunjuknya.
"Rahasia? Untuk apa? Aku tunanganmu, bukan?"
"Semua orang memiliki rahasia. Hanya orang bodoh yang membagi semua rahasianya pada orang lain," Hanni berkata dengan senyum manis di wajahnya.
Wu Xie mengangkat bahu. "Itu tidak sepenuhnya benar. Aku tidak menutupi sesuatu darimu."
"Bohong," Hanni mencibir tipis, lantas berbalik dan siap untuk pergi.
"Hanni, tunggu!" Wu Xie mengulurkan tangan untuk menyentuh bahu Hanni tapi ia cukup terkejut saat tubuh gadis itu tiba-tiba menegang. Dengan cepat, Wu Xie menarik tangannya lagi.
"Apa lagi?" tanya Hanni, mulai tidak sabar.
"Minggu depan aku harap kita bisa makan malam. Itu tanggal bersejarah bagi kita. Kau ingat, bukan?"
Hanni nampak bingung untuk sesaat, lalu dengan cepat ia menemukan alasan.
"Tentu saja aku ingat. Namun sayangnya, agenda kerja sudah ditetapkan. Pimpinan memintaku datang ke Lu Zhi untuk meliput festival musim semi. Jangan khawatir, aku akan membicarakannya lagi pada Boss. Dia akan mengerti."
Gurat kecewa terukir di wajah Wu Xie, yang menghilang dengan cepat berganti dengan senyuman hambar.
"Tidak perlu dibicarakan lagi," gumamnya lemas.
"Maafkan aku, Wu Xie. Aku akan mengusahakan agar kita bisa makan malam romantis."
Setelah itu Hanni melambaikan tangan dan melangkah keluar apartemen. Wu Xie membalas lambaian tangannya, disusul garukan pada pelipis. Sekilas dia menangkap aroma parfum Hanni yang masih tertinggal. Selama dekat dengannya, gadis itu selalu memakai aroma vanilla yang lembut bercampur buah-buahan. Saat ini aromanya berbeda, ini mirip aroma kesegaran mint dan musk yang kuat. Tidak buruk, tapi dia merasa aroma itu kurang cocok untuk gadis selembut Hanni.
Hmmm, nomor sandi, parfum, lalu apa lagi nanti yang akan dia ganti?
Wu Xie memenuhi pikirannya dengan banyak pertanyaan. Tiba-tiba merasa tidak nyaman dan tersesat di rumah orang asing.
Untuk apa aku masih di sini? pikirnya sebal.
Sebaiknya aku pulang dan pergi ke kafe
✬✬✬
Ketika Wu Xie memasuki kafe pada pukul sembilan pagi, dilihatnya suasana masih sepi karena jam operasional baru saja dimulai. Ini hari minggu, dan ia yakin bisnis akan berjalan cukup bagus.
"Woah, akhirnya boss tampan kita tiba," Pangzi menyambutnya dengan senyuman lebar. Para pegawai mengangguk hormat padanya. Mereka nampak sudah siap menghadapi hari yang panjang.
"Yah, ini tanggung jawabku. Kau sudah sarapan?" tanyanya pada Pangzi sambil melangkah menuju ruangan kantor kecilnya.
"Aktivitas nomor satu setelah bangun tidur dan minum kopi." Pangzi terkekeh.
"Sayangnya aku belum sempat." Mendorong pintu kantor, Wu Xie bergerak masuk dengan langkah gontai.
"Hei, itu masalah besar, kawan." Pangzi ikut menyerbu masuk, kemudian duduk di sofa.
"Aku akan memesan roti lapis dan secangkir kopi untukmu," katanya.
Wu Xie meletakkan tas pada meja dan mengangguk.
"Sepertinya malam akhir pekanmu melelahkan, kau terlihat lelah. Apakah Hanni mengganggu tidurmu?" goda Pangzi diiringi tawa.
"Tutup mulutmu. Aku kesal sekali. Mengapa beberapa orang tetap harus bekerja di hari minggu," desah Wu Xie, menyandarkan punggungnya.
"Keluhan semacam itu tidak pantas untukmu. Kau sudah tahu resiko membuka bisnis kafe. Akhir pekan justru menjadi puncaknya."
"Bukan aku. Ini tentang Hanni." Wu Xie menghembuskan napas keras-keras.
Sesaat Pangzi terbengong-bengong, lantas mencium masalah pribadi.
"Jadi dia menghindarimu dengan alasan sibuk bekerja?"
Wu Xie mengarahkan telunjuk pada wajah kawannya.
"Tepat sekali. Dia bahkan tidak bisa merayakan hari jadi kami minggu depan. Tapi katanya dia akan mendiskusikannya lagi dengan pimpinan."
"Jika pimpinan Hanni mempersulitnya, sepertinya aku harus mendatanginya dan memberinya sedikit sentuhan Wang Pangzi." Tangannya terkepal dan teracung ke atas.
"Lupakan saja." Wu Xie mengibaskan tangan. Tidak berminat terus membicarakan Hanni dengan segala kesibukannya.
"Mana kopiku?" ia balik bertanya dengan nada penuh peringatan.
"Oh, ya ampun. Aku akan segera kembali. Tetap semangat, Boss-ku!" Pangzi mengangkat tubuh gempalnya dari sofa, berjalan keluar kantor dan menuju konter. Dia menyuruh seorang pegawai menyajikan secangkir kopi untuk Wu Xie, dan makanan pelengkap lainnya.
"Buatkan sesuatu yang lebih manis. Mood boss kita sedang buruk pagi ini," katanya pada si pelayan.
"Cappuccino?"
"Oke."
Lima belas menit kemudian, Wu Xie menikmati kopi dan rotinya perlahan-lahan sambil mempelajari laporan harian. Didengarnya suara kesibukan di ruangan utama kafe ditingkahi alunan Vivaldi yang lembut dan romantis. Hari minggu yang menyenangkan. Dia melempar semua pikiran buruk jauh-jauh dan mulai memikirkan tentang bisnis. Tapi ketenangannya tidak berlangsung lama. Setengah jam kemudian, seseorang mengetuk pintunya, lalu pintu terbuka dan kepala Pangzi menyembul sebagian.
"Ada apa?" tanya Wu Xie.
"Ada kiriman untukmu."
"Masuklah, bawa kemari paketnya."
Pangzi membuka pintu lebar-lebar, berjalan masuk dengan membawa sebuah kotak panjang di tangan.
"Seorang kurir mengirimkan ini untukmu." Dia meletakkan kotak yang sama seperti yang Wu Xie terima kemarin. Bahkan dengan nama toko yang sama. Clementine Florist.
"Ucapan selamat lagi?" dia menatap Pangzi dan kotak bunga itu secara bergantian.
"Sepertinya begitu. Mungkin saja kali ini ada nama pengirimnya," timpal Pangzi, berdiri di depan meja kerja Wu Xie, tampak tidak sabar ingin membuka kotak bunga.
"Mari kita lihat."
Wu Xie menarik pita pengikatnya lantas membukanya. Di dalam kotak ada tangkai-tangkai bunga lily oranye yang segar dengan aroma khas. Wu Xie menahan napas, menghitung dalam hati. Kali ini hanya ada enam tangkai.
"Lagi?" gumamnya terheran-heran.
Tidak ada kartu, tidak ada apa pun yang mengacu pada pengirimnya.
"Sepertinya ini perbuatan orang iseng," komentar Pangzi seraya mengernyit.
"Semalam aku memeriksa ke toko bunganya. Ada banyak mawar di sana. Pelayan tidak bisa memberi informasi jelas tentang pembeli yang aku cari. Tapi jelas sekali bahwa pengirim ini sengaja ingin memberiku bunga lily oranye."
"Tetapi untuk apa?"
"Mana aku tahu."
"Hmm, apa ini ancaman? Peringatan?" Pangzi mulai mengoceh dengan prasangka yang kritis.
"Bagus, jadi aku sedang diincar, ya?" Wu Xie menyeringai. Pangzi pun balas menyeringai. Keduanya tidak henti bertanya-tanya siapa yang mengirimnya. Yang pasti, dia seorang tokoh misterius yang mencurigakan.
✬✬✬
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro