Part 01 : Lily
Pingxie Fanfiction
By Shenshen_88
Disclaimer :
Dao Mu Bi Ji belong to Kennedy Xu
Penulis tidak mengambil keuntungan apa pun dari karya ini.
Nama tempat dan peristiwa dalam cerita ini adalah fiksi.
✬✬✬
French Consession, Shanghai
Cuaca cerah dan indah di Sabtu siang ini ketika Wu Xie turun dari mobilnya, melompat ke anak tangga pertama kafe Hanni's Breakfast. Siulan yang menyenandungkan sebuah lagu yang tengah hits melantun dari bibirnya. Wajah tampan yang ceria, hati yang bahagia di akhir pekan nan cerah. Perpaduan yang sempurna.
"Selamat siang!" dia mendorong pintu kaca tebal dan berseru pada Pangzi, sahabat sekaligus pengawas di kafe itu.
"Ah, Wu Xie! Waktu yang tepat untuk datang. Ada kiriman untukmu di meja kerja," si gendut berkata tanpa meninggalkan kesibukannya memeriksa register kasir.
"Kiriman?" Wu Xie menghampiri konter kasir, menumpukan sikunya dan mengamati pekerjaan Pangzi.
"Yah, beberapa tangkai lily oranye dalam kotak."
"Lily?" ulang Wu Xie.
"Jangan pura-pura heran. Kafe ini baru beroperasi tiga pekan dan masih ada beberapa kawan dan kenalan pamanmu yang mengirimkan ucapan selamat dan juga bunga."
Wu Xie menggaruk sisi kepalanya, mengangguk-angguk mirip merpati mematuk makanan.
"Aku tahu. Semua ucapan basa-basi dengan cokelat, kue dan bunga mawar. Tapi lily oranye?"
"Apa yang aneh? Sepertinya si pengirim kehabisan bunga mawar," Pangzi menyahut tidak peduli.
Wu Xie menatapnya sambil mencibir.
"Ah, kedengarannya tidak baik," katanya, lantas meneruskan dengan penasaran. "Siapa pengirimnya?"
"Astaga, mengapa kau cerewet sekali? Periksa sendiri di meja kerjamu."
Setelah mendecakkan lidah pada si gendut, Wu Xie mundur dari depan konter dan menuju sebuah pintu di sudut kafe yang berdekatan dengan akses menuju patio. Dia mendorongnya dan melangkah masuk ke dalam ruangan berukuran empat kali empat meter dengan perabotan sederhana berupa satu meja kerja dan kursi putar, dua sofa berlengan dan meja bundar berlapis kaca, rak berisi banyak map dan buku, satu akuarium kecil ditempatkan di atas penyangga kayu berkaki dan diletakkan di sudut ruangan. Pengharum ruangannya beraroma vanilla dan melati, dihembuskan secara menyeluruh oleh pendingin udara.
Wu Xie menuju meja kerjanya dan melihat kiriman itu diletakkan di samping laptop. Paket itu adalah sebuah kotak panjang dengan bagian atas berupa plastik tebal transparan. Bentuknya panjang dan sempit. Wu Xie mengenali bahwa kotak itu adalah kemasan dari toko bunga. Alisnya mengernyit karena bingung dan ia membuka pita pengikat dan melepas tutupnya. Di dalamnya adalah tujuh tangkai bunga lily oranye yang masih segar dan indah. Tidak ada kartu. Tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan siapa pengirimnya.
Wu Xie menatap bunga-bunga itu.
"Apa ini cuma lelucon?" gumamnya pada diri sendiri. Menggelengkan kepalanya, ia mengutak-atik bunga-bunga itu, mengagumi warnanya yang bercahaya dan aromanya yang khas. Dia menempatkan diri di kursi putar berlapis busa, tidak mengalihkan perhatiannya dari kotak bunga itu.
Sejujurnya ini bukanlah kiriman bunga pertama. Sejak dia meresmikan Hanni's Breakfast, sebuah kafe kecil di kawasan French Concession tiga pekan lalu, kiriman bunga, kartu dan banyak cokelat tak henti berdatangan. Kiriman dan ucapan selamat mulai mereda beberapa hari lalu, dan siapa pun pengirimnya, kotak bunga lily ini bisa dikatakan agak terlambat. Selain itu, dia juga tidak tahu apakah maksud si pengirim adalah untuk mengucapkan selamat atau memiliki tujuan lain.
Wu Xie kembali ke aula utama untuk menemui Pangzi yang baru saja selesai bicara dengan seorang wakil dari supplier.
"Kebetulan yang kedua. Aku membutuhkan tanda tanganmu di sini." Si gendut menyerahkan beberapa dokumen yang dijepit di atas papan berjalan.
"Kau sudah cek ulang?"
"Semuanya beres, Bos."
Wu Xie membubuhkan tanda tangan disusul beberapa patah kata hingga tamu itu berlalu dari hadapan mereka.
"Ada apa?" tanya Pangzi demi melihat raut bingung di wajah sahabatnya.
"Paket bunga itu tidak ada nama pengirimnya," ujar Wu Xie, merendahkan suara.
"Begitu ya, mungkin dia lupa."
"Reaksimu sangat membosankan." Wu Xie merengut dan Pangzi memandanginya, sangat kentara bahwa ini adalah pengalaman baru bagi si tampan dan si naif Wu Xie.
"Sudahlah. Tidak usah terlalu dramatis." Dia menepuk lengan Wu Xie, mencoba membuatnya santai.
"Itu hanya bunga," lanjutnya.
"Lily oranye kurang familiar dalam mengucapkan selamat," sahut Wu Xie ngotot dengan perasaan herannya.
"Bunga lily oranye memiliki arti yang jauh berbeda jika dibandingkan dengan bunga lily dengan warna-warna lainnya karena artinya cenderung negatif. Meski warna oranye memiliki makna yang optimis, bersemangat, dan ceria, arti bunga lily oranye justru sebaliknya."
"Aku sudah bilang, mungkin dia hanya kehabisan bunga mawar."
"Apa menurutmu si pengirim memiliki tujuan lain?"
Pangzi menggeleng ragu. "Rasanya tidak. Kukira dia memiliki sisi misterius. Dengar, aku suka sesuatu yang berbau misteri," ia mendesis, ekspresinya serius.
Astaga, ucapan yang sama yang selalu diucapkan pamannya, dan sejauh ini misteri selalu membuatnya repot.
"Ini sama sekali tidak lucu," desah Wu Xie, memasukkan kedua tangan ke dalam saku jasnya.
"Sudahlah, jika kau sangat penasaran, mengapa tidak kau periksa ulang ke toko bunganya. Di kotak itu ada nama toko, bukan?"
"Ah, kau benar." Mata beningnya berkedip-kedip, membuat Pangzi mendesah bosan.
"Dengar, kau sudah jadi seorang manager sekarang. Berhentilah bersikap naif."
Wu Xie tertawa singkat dan berkata sebelum ia berbalik, "Dan tidak lama lagi akan menikah. Ingat itu!"
"Ha! Baiklah!" kekehan Pangzi mengiringi langkah Wu Xie kembali ke ruangannya.
Wu Xie menghabiskan waktu selama sepuluh menit mencoba menemukan siapa si pengirim bunga dengan mencari informasi ke toko bunga. Meskipun pemilik toko sangat membantu, tetapi ia tidak bisa memberi nama karena penjualannya bersifat tunai. Petugas yang melayani pembeli itu mengatakan bahwa ia tidak mengingat jelas detailnya karena pada akhir pekan, toko bunga sangat ramai pengunjung.
Wu Xie menutup telepon dan mengangkat bahu.
Lupakan saja, pikirnya. Dia mulai membuka laptop dan memeriksa laporan selama satu pekan terakhir.
Waktu berlalu kala ia tenggelam dalam barisan angka-angka yang membuatnya mengantuk dalam waktu sesingkat-singkatnya. Dia menghubungi seorang pelayan lewat telepon meja agar membawakannya secangkir espresso. Kopinya tiba tidak sampai sepuluh menit kemudian. Dia menyesap sedikit demi sedikit seraya menatap layar laptop yang berkedip-kedip. Sesaat ia mengalihkan pandangan dan matanya tertumbuk lagi pada sekotak bunga lily di tepi meja. Rasa penasaran itu datang lagi.
Siapa pengirimnya? Semua kawan dan kolega selalu memberi nama pada kiriman mereka. Sementara lily oranye ini, selain tidak lazim, juga tidak diketahui pengirimnya. Tidak ada telepon dari seseorang yang menanyakan apakah kiriman bunganya sudah sampai. Jadi jelas sekali orang iseng ini ingin bersembunyi. Tunggu, apakah ini pesan yang cukup keras. Imajinasi Wu Xie berkembang ke mana-mana. Dia meletakkan cangkir kopinya dan memutuskan bahwa sepulang kerja nanti dia akan mengunjungi toko bunga yang tercantum dalam kotak.
Menjelang pukul tiga sore, Wu Xie menyempatkan untuk memeriksa beberapa peralatan dan juga mengawasi suasana kafe yang cukup ramai. Matahari pukul tiga cukup terik hingga banyak pengunjung memesan ice coffee. Frappuccino menjadi idola pada jam seperti ini, sangat sesuai dengan selera pengunjung yang didominasi anak muda.
"Ice Americano."
Seorang pemuda tinggi berpakaian hitam berdiri di depan konter dan berkata pada barista. Saat itu, Wu Xie tengah berdiri di samping konter, memeriksa gulungan struk. Dia melemparkan lirikan sekilas pada tamu itu. Namun pada akhirnya bukan hanya lirikan, tatapannya mendarat di sana selama beberapa detik.
Pemuda itu setengah menunduk. Menyembunyikan parasnya yang tampan. Rambutnya lurus dan jatuh secara misterius di sisi-sisi wajah dan pelipisnya. Anak rambutnya menutupi sebagian kening, hidungnya lancip dilihat dari samping. Tatapan mata lurus dan nampak tidak peduli, serta garis bibir yang tegas dan sinis. Auranya yang dingin mengingatkan Wu Xie pada tokoh-tokoh di film gangster Hongkong.
"Terima kasih," pemuda berpakaian hitam berkata pelan pada si barista. Dia melinting ujung lengan kemejanya sebelum mengambil pesanan di meja kasir. Tak sedikit pun ia melihat pada Wu Xie atau pihak lain. Seolah-olah dia sendirian di dunia ini dan tanpa menoleh lagi, pemuda itu berjalan ke luar kafe dengan gelas ice americano di tangan.
Tatapan Wu Xie tidak beralih dari sosoknya hingga pemuda misterius itu turun ke jalanan ramai dan panas kemudian menghilang di tengah para pejalan kaki lainnya.
"Kau tahu siapa dia?" Wu Xie bergerak mendekati barista dan bertanya hati-hati agar tidak terkesan sangat penasaran.
Barista menggeleng.
"Jadi dia baru kali ini datang berkunjung?"
"Tidak juga, Boss. Aku pernah melayani pesanannya lebih dari tiga kali."
"Tiga kali? Dan kau tak tahu siapa dia?"
"Aku terlalu sibuk untuk menanyakan identitasnya."
Wu Xie mencibir pada si barista.
"Lagipula," barista kembali berkata, "pemuda itu tidak pernah tersenyum, membuat orang sungkan menyapanya."
Wu Xie mengakui bahwa itu benar. Sekilas pandang saja dia bisa merasakan bahwa pemuda itu sulit didekati.
"Apa dia selalu membawa pulang pesanannya?"
"Tidak selalu. Awal-awal berkunjung, dia duduk menyendiri di sudut dalam waktu lama. Kemudian keluar diam-diam."
"Hehh??" Wu Xie tercengang.
"Ada masalah apa, Boss?" tanya barista terheran-heran.
"Tidak. Tidak ada masalah." Wu Xie menggaruk dagunya seraya tersenyum lebar.
✬✬✬
Clementine Florist
Menjelang pukul tujuh malam, Wu Xie tiba di depan toko bunga yang dia tuju. Jaraknya sekitar empat kilometer saja dari Hanni's Breakfast. Dalam beberapa menit, dia sudah melangkah masuk ke dalam toko. Suasananya cukup tenang, hanya ada tiga orang pengunjung di sana.
Toko bunga itu cukup besar. Ada banyak koleksi bunga segar dan terbaik dari jenisnya, dan satu pemandangan yang menarik, banyak persediaan bunga mawar yang indah dan beraneka warna. Jadi alasan Pangzi bahwa si pengirim kehabisan bunga mawar sama sekali tidak sesuai.
"Ada yang bisa aku bantu, Tuan?" seorang gadis berseragam dengan rambut dikuncir menghampirinya.
Wu Xie menoleh pada gadis itu, mengembangkan senyum tampan yang mempesona hingga si pelayan tercengang untuk sesaat.
"Ehm, aku ... " dia menggaruk tengkuknya. Bunyi ponsel seolah menjadi jalan keluar bagi kecanggungannya. Dengan cepat Wu Xie memeriksa ponsel yang dia simpan dalam saku celananya, kemudian mengangguk pada si gadis pelayan seraya mundur beberapa langkah.
"Sebentar," katanya.
Pelayan itu hanya mengangguk.
"Oh, hai Hanni!" Wu Xie menyapa seseorang di telepon. Dia berjalan lambat-lambat dan berhenti di depan satu rak pajangan yang memuat beberapa jenis bunga anggrek dan anyelir.
"Wu Xie, aku minta maaf. Sepertinya janji makan malam kita harus batal lagi," suara lembut seorang gadis melantun di seberang sambungan. Dia adalah Hanni, tunangannya.
"Uh, kenapa?" tanya Wu Xie kecewa.
"Aku terjebak di pesta barbeque di villa temanku. Dia mendapatkan promosi di kantor. Tidak nyaman rasanya jika aku pergi meninggalkan teman-temanku sekarang."
"Pesta? Kau tidak mengatakan ada pesta barbeque sejak tadi siang."
"Ini mendadak," Hanni menegaskan.
Wu Xie masih tidak percaya bahwa Hanni membatalkan acara makan malam di akhir pekan untuk kesekian kalinya. Ini di luar kebiasaan. Apa mungkin Hanni akhir-akhir ini sengaja meluangkan lebih banyak waktu bersama teman-temannya karena mereka akan segera menikah. Yah, mungkin saja.
Akhirnya Wu Xie tersenyum hambar dan berkata, "Baiklah, selamat bersenang-senang. Sampai jumpa di apartemenmu."
"Eh, kau tidak pulang ke tempatmu?" tanya Hanni.
Wu Xie membayangkan suasana unit apartemennya yang sepi, tidak berminat untuk pulang ke sana dan menyendiri di malam akhir pekan.
"Sepertinya tidak. Aku akan menginap di tempatmu."
Jeda sejenak, nampaknya Hanni memikirkan sesuatu, kemudian suaranya terdengar lagi.
"Oke, sampai nanti, Wu Xie."
Setelah pembicaraan berakhir, Wu Xie baru menyadari bahwa suara-suara di latar belakang Hanni sangat sedikit, bahkan nyaris sepi. Tidak seperti suara-suara di pesta pada umumnya.
Fuhh, sudahlah. Dia memasukkan ponsel ke dalam saku, mengangkat bahu acuh tak acuh dan kembali ke jajaran mawar. Karena sudah terlanjur berada di sini, Wu Xie memutuskan untuk membeli seikat mawar yang akan dibawanya ke rumah Hanni.
"Tolong, bungkus yang ini dalam cellaphone." Dia menunjuk mawar alba berwarna putih berkilau yang segar dan mengeluarkan aroma wangi yang lembut. Dia sangat menyukai bunga mawar jenis ini, dan Hanni pun menyukainya. Dia lebih sering membeli bunga ini dibandingkan bunga jenis lain.
"Baik, Tuan."
Lima menit kemudian Wu Xie berjalan keluar toko bunga, menuju mobilnya yang dia parkir di tepi jalan. Meski malam itu langit berbintang dan suasana semarak oleh lampu jalan dan kerlip lampu kendaraan yang berlalu lalang, raut wajah Wu Xie terlihat muram. Gerakannya lemas saat membuka pintu kemudi. Sebelum melangkah masuk, ia berhenti sejenak, merasa ada seseorang mengawasinya dari suatu tempat. Dengan hati-hati ia meletakkan bunga mawar di kursi penumpang, kemudian mundur kembali, berdiri di samping pintu dan memutar pandang. Banyak sekali pejalan kaki di jalan ini, di luar fakta bahwa ini sabtu malam di mana banyak muda mudi menghabiskan waktu bersama. Wu Xie menatap kosong pada beberapa pasangan, merasakan kesepian yang aneh.
Dia berpaling pada satu titik di mana lampu jalan berbaris dan berkerlip terang. Ada seseorang berdiri di dekat salah satu lampu. Tampaknya dia menatap padanya sebelum akhirnya berpaling ke arah lain. Wu Xie mengernyitkan kening. Ada rasa terkejut dan heran tercermin di matanya. Sosok itu adalah seorang pemuda, berdiri tegak di bawah cahaya lampu jalan, mengenakan kemeja dan mantel hitam. Dia membisu sendirian, menatap ke satu arah dengan tatapan yang dingin dan jauh. Angin semilir menggerakkan anak rambut di kening dan pelipisnya.
Wu Xie merasa bahwa ia belum lama melihat wajah tampan itu.
Ya, dia salah satu tamu di Hanni's Breakfast siang tadi.
Selama satu menit, Wu Xie mengamati sosok itu, menunggu dia menoleh padanya. Namun pemuda itu tidak bergerak seperti patung arca hingga Wu Xie akhirnya hanya mengangkat bahu dan masuk ke dalam mobilnya.
✬✬✬
Please vote and comment if you like this story ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro