Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

6th Petal

Play the music instrument for better reading experience 👆

Bayangan itu tiba-tiba saja muncul dari balik dinding, samar dalam cahaya lampu tidur yang remang-remang, membentuk satu gambaran pria dewasa bertubuh tinggi dengan setelan hitam yang elegan.

Tetapi raut wajahnya tidak seanggun penampilannya.
Wajah pemuda itu mengabur seolah diselimuti asap tipis.

"Mark?" gumamku, mengenali bayangan itu.

"Halo sayang ..." dia membalas gumamanku dengan suara lembut tetapi penuh ancaman terselubung.

Pemuda itu menatapku tajam, penuh kilatan emosi yang berusaha dia tutupi. Iris mata hitamnya semakin menggelap dan aku pun merinding.

"Apa yang kau lakukan di sini?" aku menelan liur, berusaha tidak terdengar cemas atau khawatir.

"Ini 37 Maple Street bukan. Aku pulang ke rumahku sendiri."

Mark berjalan menghampiriku, aku tidak tahu kenapa tetapi rasanya ingin berlari. Tetapi kakiku seolah terpaku ke lantai.

Aku mengatur nafas yang tiba-tiba sesak dan terengah. Mark semakin dekat, dan matanya semakin menakutkan.

"Kau tahu kenapa kau takut pada komitmen saat dihadapkan pada suatu hubungan?'

Aku hanya menatapnya penuh rasa memelas.

"Aku tahu alasannya ..." Mark mendesis.

"Apa yang kau inginkan, Mark?" akhirnya aku mampu bersuara meskipun pelan.

"Kesetiaan," Mark menyela cepat.

"Pengabdian ..."

"Hanya itu yang kuharapkan darimu."

Mark menggeleng-gelengkan kepala seperti mengusir serangga yang masuk ke telinga.

"Tetapi kau tidak bisa melakukan itu. Loyalitasmu selalu berada di tempat lain. Di suatu tempat yang aku tak cukup beruntung untuk jadi bagian darinya."

Aku masih tidak mampu membela diri karena mungkin apa yang dikatakan Mark mewakili separuh dari kebenaran.

"Kau harus mengakui ..." Mark mengangkat telunjuk tepat di depan wajahku, tetapi aku hanya bisa menautkan alis. Alih-alih merasa marah, aku justru merasa bersalah.

"Kita melewati banyak hal yang luar biasa," Mark meneruskan.
"Kau bekerja, aku pun bekerja. Tetapi aku selalu berusaha mengurusmu berdampingan, selalu bersama. Setiap hari aku ingin bersamamu, kemudian tiba-tiba ..."

Mark berhenti sesaat, suaranya tercekat di tenggorokan.
"Kau semakin tenggelam dalam duniamu. Keajaiban musik! Sean Xiao! Pianis berbakat dan paling menawan di Wina."

Aku menahan diri untuk tidak menitikkan air mata. Ucapan Mark bagiku bukan pujian, melainkan satu ironi yang menyakitkan.

"Kau tidak memerlukan aku! Kau tidak bicara denganku lagi! aku bukan siap-siapa bagimu!" Suara Mark tiba-tiba semakin meninggi, ekpresinya rumit dan menahan tangis.

"Kumohon Mark ..." aku berbisik, dalam upaya lemah menghibur hati pemuda yang tengah kacau itu, aku mengatakan satu kalimat yang aku ragukan kebenarannya. Tetapi seringkali aku ucapkan, berharap suatu hari nanti keraguan itu perlahan menghilang.

"Aku mencintaimu Mark ... kau tampan, cerdas, dan baik hati. Kau—terlalu baik untukku."

Mark menggeleng lagi, kali ini matanya terpejam rapat, ingin memungkiri apa yang ia dengar.

"Bohong! Kau selalu melakukan ini, kau menyakitiku," dia membantah dengan nada kejam.

"Aku tidak bermaksud begitu. maafkan aku Mark ... aku akan berusaha. Aku akan selalu ada untukmu, aku bisa—"

"Sudah cukup Sean!"

Sosok Mark tiba-tiba menghilang.

Aku hanya melihat satu kilatan cahaya dari benda tipis panjang. Tergeletak menyedihkan dalam genangan cairan merah pekat.

Darah ....

Darah mengalir deras dari luka sayatan yang dalam di leher Mark.

Aku terbelalak.

Seluruh tubuhku gemetar dan lidahku kelu.

Aku ingin berteriak keras melepaskan rasa traumatis atas penampakan mengerikan yang kusaksikan saat ini.

Tapi yang terlepas dari kerongkonganku hanya erangan lirih.

"Tidak! Mark!!"

TIDAK!

Sean terlonjak bangun dan seketika duduk di tempat tidur. Jemarinya gemetar hebat mencengkeram tepian selimut tebal yang menutupi tubuh dan sebagian dari permukaan tempat tidur.

Sean mencengkeram pelipisnya, lantas jemarinya yang masih gemetar meluncur turun meraba kedua pipinya yang dingin. Peluh berbintik-bintik mulai terbentuk di dahinya.

Mimpi buruk!

Apakah ini benar-benar mimpi?
Atau potongan memori yang terkunci?

Sean menghela nafas panjang. Keheningan total dalam kamar dan hampir seluruh bagian rumah membuat deru nafasnya sendiri terdengar bagaikan monster.

Sean menurunkan kaki, menjejakkan telapaknya di lantai yang dingin, dan melangkah gontai menuju kamar mandi.

Sekilas dia melirik jam di meja nakas.

Pukul tujuh pagi.

Cahaya keperakan menerobos masuk dari sela-sela tirai yang belum sempat dibuka.

Terpejam di bawah siraman air hangat, Sean mengulang kembali mimpi buruk yang menghantuinya.

Mark ...

Darah menggenang.

Pisau panjang yang berkilauan.

Apa yang terjadi?

Bukankah Mark baik-baik saja saat dia meninggalkannya di Wina untuk menyepi di kota kecil ini.

Mark tengah tertidur damai saat ia pergi.

Dia tertidur dalam setelan tuksedo terbaiknya. Wajahnya yang tampan terlihat mengukir senyum. Meski tidak mengucapkan selamat tinggal dengan benar, tetapi Mark tampak baik-baik saja.

Sean menyapu seluruh tubuh mulusnya dengan sabun. Lantas ia meraba bagian atas perut, dekat ulu hati. Ada semacam keloid. Bekas luka memanjang yang telah mengering.

Sean mengerutkan kening.

Bekas luka apa ini? Mengapa ia tidak mengingat bagaimana dia bisa mendapatkan bekas luka ini?

Perkelahian masa kecilkah? Atau kecelakaan?

Sean memijat pelipisnya.

Ada bagian yang hilang dari dalam memoriku.
Aku ingat sebagian, dan melupakan sebagian.

🌺🌺🌺

Satu jam kemudian Sean telah mengenakan setelan kasualnya. Kaos putih bercorak dan celana panjang hitam. Dia memasuki ruangan tengah, menuju pianonya.

Padang lavender biru keunguan berbaur nuansa keemasan menyegarkan pikirannya, menepiskan mimpi buruk dan berbagai gambaran mengerikan untuk sementara.

Pemuda tampan itu mengenakan kacamatanya, lantas menyiapkan beberapa lembar kertas kosong dan pensil. Memposisikan dengan rapi di sandaran partitur.

Dia sudah cukup siap untuk menciptakan simfoni indah yang menjadi obsesinya.

Sean mulai menekan tuts demi tuts, menulis nada di atas kertas saat dia menemukan nada yang sesuai. Dia tenggelam dalam kreativitasnya, dan  mengerjakannya dengan sepenuh hati.

Denting demi denting berkumandang.

Tetapi konsentrasi Sean hanya bertahan sekitar lima menit. Sebuah suara gesekan kayu tiba-tiba berderit mengusik.

Sangat dekat dan jelas, seakan berasal tepat dari sampingnya.

Sean seketika menoleh.

Tak ada siapa pun di ruangan ini, apa pun sumber suara itu, pasti bukan hasil pergerakan manusia.

Sean melirik ke arah pintu yang berbatasan dengan foyer, dia melihat pintu itu sedikit terbuka dari keadaan tertutup rapat sebelumnya.

Masih dengan kening mengernyit, Sean perlahan bangkit dari kursi, beranjak meninggalkan piano dan menuju pintu.

Angin?

Tidak mungkin. Pintu ini cukup berat saat dia mendorongnya kembali menutup rapat.

Sean mengangkat bahu, tidak berani memikirkan apa pun. Dia khawatir, dugaan akan adanya penyusup semakin memperburuk suasana di awal hari.

Langkahnya terasa mengambang ketika dia kembali menuju piano, tetapi sebelum itu, tatapannya menembus kaca jendela yang menghadap satu sisi lain dari halaman depan.

Belukar berwarna hijau tua bergoyang dihembus angin, dan di samping sebuah pohon cemara, sesosok bayangan berdiri, menatap padanya dari kejauhan.

Seorang pemuda, mungkin sekitar enam belas atau tujuh belas tahun, dilihat dari tinggi badannya.

Ekspresi wajahnya tidak jelas mengungkapkan apa, hanya kosong, dan pucat.

Sean terjajar dua langkah ke belakang. Menutup mulut untuk menahan diri dari berteriak.
Tak ada gunanya berteriak, tak ada siapa pun di sini.

Secepat kilat, dia membuka pintu yang tadi dia tutup rapat, melintasi foyer dan membuka pintu utama menuju keluar.

Tergesa-gesa, Sean memutar kunci dan menarik pintu depan. Dia sangat ingin mendatangi pemuda misterius di halaman, mungkin dia penyusup yang selama ini ia rasakan kehadirannya.

Pintu terbuka lebar dan Sean kembali terlonjak.

Di depan pintu, berdiri tegak seseorang dengan wajah sama tercengangnya.

"Yibo!" seru Sean.

Wang Yibo berdiri kebingungan. Dia membawa seperangkat alat tukang di tangan kanannya, dan satu kantong plastik berisi dua cangkir kopi dalam kemasan paper cup. Nampaknya baru saja dibeli di sebuah kafé yang buka 24 jam.

Pagi ini pemuda itu tidak mengenakan topi dan rambutnya yang hitam kecoklatan masih setengah basah. Mata gelapnya berpendar saat menatap wajah Sean yang agak memucat.

"Apa yang kau lihat?" Yibo bertanya cemas. "Kau nampak ketakutan."

Sean memegangi dada, mengatur nafas beberapa saat.
"Kau rupanya, kenapa datang sepagi ini?" Sean menghembuskan nafas perlahan-lahan.

"Aku ingin minum kopi dulu bersamamu sebelum mulai bekerja." Dia mengangkat tangan kirinya yang membawa dua cangkir kopi kemasan.

"Kau tergesa-gesa membuka pintu. Apa kau berencana pergi keluar?"
Sean menggeleng, dia melirik sudut halaman yang menghampar luas.

Belukar lebat dan barisan cemara berada di sudut kanan dan ia melemparkan lirikan sekilas.

"Di sana!" Sean menunjuk sudut kanan halaman.

Yibo memutar bahu, mengikuti arah telunjuk Sean.
"Apa yang kau lihat? Tidak ada apa pun di sana, hanya pohon cemara," sahut Yibo, menautkan alis.

Sean pun ikut menautkan alis, mulutnya terkunci seketika.

Dia tidak melihat siapa pun. Pemuda yang dia lihat beberapa saat yang lalu telah menghilang. Meski memiliki gerakan secepat superhero, tidak mungkin pemuda itu berlari keluar halaman tanpa ketahuan Yibo.

Ataukah pemuda itu sembunyi di balik belukar yang rimbun?

"Aku melihat seseorang berdiri di samping cemara. Aku bersumpah!" ujar Sean tergagap.

Yibo melirik sekali lagi ke halaman, kemudian menatap Sean curiga.
"Kemarin kau mendengar senandung, sekarang kau melihat orang. Kau yakin baik-baik saja?" tanyanya hati-hati.

Sean menundukkan wajah sesaat, memejamkan mata, lalu memaksakan sebuah senyum.
"Yah, mungkin halusinasiku saja. Aku terlalu gelisah ..." dia mendesah, mundur beberapa langkah dari pintu, membiarkan Yibo untuk masuk.

"Ayolah Sean, kopinya nanti dingin," ujar Yibo, berusaha terdengar riang.

Keduanya berjalan melintasi ruang tengah, terus masuk ke ruangan makan. Yibo menaruh dua paper cup di atas meja.

"Kau tidak keberatan kan jika aku sarapan di sini?' tanya Yibo.

Sean yang masih gelisah, mengangguk samar dan duduk lemas di salah satu kursi.

"Apa yang harus kusiapkan untuk sarapan?" Yibo melayangkan pandang ke arah dapur, dan mengingat-ingat barang apa saja yang kemarin dibeli Sean di supermarket.

"Terserah," sahut Sean.

Pemuda itu menanggalkan kacamata, menggosok matanya perlahan.

"Aku akan menyiapkan sandwich dengan keju dan daging panggang. Kau akan menyukainya."

Yibo membungkuk di depan Sean, menumpukkan telapak tangan pada permukaan meja makan.

Sean menatap wajah pemuda di depannya. Matanya berkilau, memancarkan hasrat dan juga kepedulian.

Ketika dihadapkan pada rekah senyumnya, Sean merasakan luapan rasa yang sulit dijelaskan.

"Baiklah, sandwich yang lezat. Kedengarannya ide yang bagus."

Sean membalas senyuman itu.

To be continued

Yizhan Lover 🌺
Please vote and comment 💖😉

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro