3rd Petal
🌺 Happy Reading 🌺
Matahari mengintip dari balik puncak Weterstein, menggenangi langit pagi dengan cahaya kemilau emas.
Langit biru begitu tenang.
Sean duduk di sofa, menatap jauh ke hamparan lavender biru keunguan. Sekilas di bawah siraman matahari pagi, puncak gunung dan padang bunga itu seolah satu kesatuan warna yang persis sama.
Sean menyesap secangkir teh panas yang dibuatnya beberapa menit lalu. Semua peralatan dapur lengkap, satu set cangkir keramik juga masih terlihat baru dan bercorak artistik.
Nampaknya benda-benda di rumah ini meski terlihat tua tapi dari jenis kualitas terbaik. Tetapi dia tidak membawa banyak keperluan grocery.
Sean merencanakan akan pergi ke supermarket untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari pada sore nanti.
Sean melirik jam dinding. Pukul sembilan kurang sepuluh menit. Harusnya Paul sudah tiba.
Kemarin sore dia baru sempat memperbaiki jendela di kamar-kamar tidur di lantai atas dan perpustakaan.
Paul bahkan sempat membantunya memasang beberapa lukisan di ruang tidur utama yang ia gunakan, di ruangan tengah dekat piano, dan satu lagi di perpustakaan. Semuanya lukisan beraliran impressionis, tiruan dari pelukis Prancis favoritnya Pierre Auguste Renoir.
Suasana begitu hening. Sean menimbang-nimbang apakah ia perlu menyalakan televisi.
Ketika itu bel pintu kembali berbunyi nyaring.
Paul benar-benar tepat waktu.
Sean menaruh cangkir, bergegas menuju pintu.
"Selamat pagi.."
".....???"
Sean tertegun sejenak. Mulutnya sedikit terbuka, selintas kebingungan muncul di sorot mata beningnya.
Pemuda yang berdiri di depan pintu bukan Paul. Melainkan seorang pemuda yang berbeda. Sama seperti Paul, pemuda itu mengenakan setelan kasual, topi, dan menenteng kotak kayu berisi perlengkapan tukang.
Wajahnya pun merekahkan senyuman ramah seperti Paul.
Bedanya, pemuda ini lebih tampan. Sepintas lalu, dia seperti keturunan timur dan barat yang terbaik di kelasnya. Dia terlalu anggun untuk menjadi seorang tukang.
Tatapan Sean melingsir turun.
Dua kaleng cat dalam kemasan ember sedang ditaruh di lantai dekat kaki si pemuda.
"Se--lamat pagi," Sean tersenyum, menautkan alis. Dia mengerjap-ngerjap di balik kacamata.
"Mr. Sean? Bukan?"
"Ya. Kupikir Paul seharusnya datang kemari."
"Sayangnya, dia tidak bisa datang. Neneknya sakit dan mereka membawanya ke pusat kota."
"Oh?" Sean mengangguk-angguk.
"Aku Yibo, Wang Yibo. Rumahku di ujung jalan, tidak jauh dari kebun buah."
Pemuda itu mengangkat tangan, menunjuk ke satu arah. Untuk membuatnya lebih mudah, Sean mengangguk cepat dan kembali tersenyum.
Dia mundur dari pintu, membiarkan Yibo berjalan masuk melewatinya.
"Apa aku mengganggumu?" Yibo bertanya saat mengikuti langkah Sean menuju tangga. Tatapannya memindai seluruh ruangan di kala ia terus melangkah di belakang tuan rumah.
"Tidak. Aku baru saja akan bermain piano, aku harus memulai menulis simfoniku yang baru."
Keduanya menaiki tangga yang menikung tajam.
"Kau pemain piano yang handal," komentar Yibo, nadanya menyiratkan seolah dia sudah tahu.
"Kita baru saja bertemu, siapa yang memberitahumu tentang itu?" Sean menoleh heran.
"Sejujurnya, Paul menceritakan tentangmu padaku. Dia senang jika memiliki kenalan baru."
"Setelah itu kau langsung mengambil alih pekerjaan Paul tanpa memberitahuku," ujar Sean.
Mereka masuk ke ruang perpustakaan.
"Aku suka mengambil inisiatif," sahut Yibo datar. Dia menaruh kotak kayu dan kaleng cat.
"Bagus sekali. Aku merasa hasil pekerjaanmu akan memuaskan."
Yibo tertawa singkat, dia memainkan kuas cat di tangannya.
"Aku jamin," jawabnya, diiringi lirikan misterius.
Sean menatap pemuda tampan itu beberapa lama, kemudian tertawa perlahan.
"Baiklah. Silakan dimulai."
Sean mundur, melangkah keluar dari perpustakaan. Dia belum sempat melewati ambang pintu saat Yibo kembali bertanya.
"Kudengar kau baru menginjakkan kaki kemari. Di mana selama ini kau tinggal?"
"Wina," Sean menjawab singkat, sikapnya ramah tetapi sedikit menjauh.
"Wina kota yang indah. Apa yang membuatmu datang kemari?"
Sean memutar tubuh. Menatap tepat ke dalam manik mata gelap si pemuda tampan.
Untuk sesaat dia bingung, menjawab singkat dengan senyum canggung.
"Aku-- membutuhkan kesendirian. Yah semacam itu."
Sean menunduk sekilas.
"Aku butuh keajaiban untuk pekerjaanku. Semoga aku melakukannya dengan baik dan lebih cepat."
Yibo mengatupkan bibir, mengangguk-angguk.
"Maksudku, kenapa ke rumah ini? Tempat ini sangat terisolasi. Apa tidak ada orang yang merindukanmu?" Pertanyaan itu terdengar agak mengusik. Tetapi Yibo menanyakannya dengan santai.
Senyuman dan raut cerah di wajah Sean memudar. Pemuda itu menyilangkan kedua lengan di depan dada, membuang pandang ke arah lain. Jelas sekali dia tak berminat menjawab.
"Baiklah, aku akan mulai bekerja." Yibo menyeringai. Dia memindahkan tatapan matanya yang melekat tajam pada Sean, mengamati jendela dan dinding perpustakaan.
"Menurutmu dari mana aku harus memulai?" Dia kembali bertanya.
"Hmm.. kau bisa mulai mengecat ulang jendela. Untuk dinding, kupikir tak perlu dicat. Aku tidak yakin akan sering mengunjungi perpustakaan. Kau hanya perlu memperbaiki jendela karatan dan menutupi noda-noda hitam di permukaannya."
Yibo terkekeh pelan.
"Terlalu sederhana. Aku bersedia mengecat seluruh ruangan dalam rumah ini."
Sean menggeleng, berusaha menghadirkan senyumannya lagi
"Tidak perlu."
Tubuh ramping Sean kali ini benar-benar menghilang di balik pintu.
Yibo mengangkat bahu, kemudian mulai mengotak-atik jendela.
Sean menuruni tangga, kembali ke ruangan tengah di mana pianonya berada.
Dia berniat memulai menulis simfoni yang baru. Sebuah simfoni indah yang menjadi obsesinya. Simfoni yang bisa mewakilkan seluruh perasaan, juga kisah hidup dan mimpi-mimpi di dalamnya.
Sean menghentikan langkah ketika hanya terpaut satu meter lagi dari piano.
Di dekat kaki piano, dia melihat sesuatu.
Beberapa helai kertas tergeletak di sana. Ada tiga lembar. Berbaris rapi seolah-olah baru saja ditaruh seseorang di sana dengan hati-hati.
Dia tidak melihat kertas apa pun beberapa menit sebelum Yibo datang. Dia memang memiliki setumpuk kertas di dekat partitur, tetapi semua masih kosong. Dia belum menuliskan satu not pun.
Sean berjongkok, lututnya ditekan ke lantai. Dia memungut kertas-kertas itu.
Apa ini semacam lelucon, dia membatin
Tetapi siapa yang memainkan lelucon seperti ini. Tak ada siapa pun di rumah selain dirinya dan Yibo.
Mungkinkah kertas-kertas miliknya berjatuhan ditiup angin.
Angin yang berhembus dari padang cenderung lebih kencang. Tetapi meletakkan kertas serapih ini, pasti bukan dilakukan oleh angin. Lagipula sepintas saja, lembaran itu seperti bukan miliknya.
Tentu saja bukan, dia tahu dengan jelas.
Di kertas itu tertulis barisan not balok yang dihasilkan dari tulisan tangan.
Seperti sebuah lagu yang sudah lengkap.
Di bagian paling atas lembar paling kiri, tertulis sebuah judul dari melodi tersebut.
Sean mengeja sebaris kata itu ketika berbagai pikiran acak merasuki benaknya.
Lavender's Blue
To be continued
Yizhan Lover
Please give me your vote & comment so I can write a better story 😍💖
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro