30th Petal (End)
Enam bulan kemudian
Pelangi--
Kapan terakhir kali dalam hidupnya ia melihat pelangi?
Sean tidak bisa mengalihkan pandangannya dari lengkung warna warni di angkasa, berlatar belakang langit biru, dan padang rumput hijau serupa hamparan permadani lembut, menyatu menjadi satu lanskap menakjubkan bagaikan dalam ilusi.
Ini adalah perjalanan pertama mereka setelah Sean dinyatakan sembuh dan keluar dari pusat kesehatan mental pada awal musim gugur tahun ini. Wang Yibo mengatakan bahwa ayahnya, Tn. Wang memiliki tanah pertanian luas di dataran tinggi, memelihara sekawanan domba, dan membangun sebuah rumah pertanian yang luas untuk melewatkan masa tuanya yang damai dan menyendiri.
Mobil yang dikemudikan Wang Yibo menanjak perlahan-lahan, melintasi hamparan padang rumput kemudian berhenti di sebuah rumah pertanian. Sebagian besar bangunan rumah terbuat dari kayu yang dipoles licin mengkilap, panel jendelanya di cat dengan warna lebih cerah. Sebagian dinding berwarna merah tua dengan kusen putih, kontras dan menarik, membuat siapapun merasa tertarik untuk mengunjunginya.
"Ayah bilang sejam lalu baru turun hujan," Yibo mematikan mesin mobil dan membuka seatbelt.
"Karena itulah ada pelangi," ia melongokkan kepala dari jendela, melihat ke lengkung pelangi di atas sana. Sama seperti Sean, ia mengagumi keindahannya. Hanya tidak terlalu dramatis.
Sean tersenyum, membuka pintu dan bersiap turun.
"Hati-hati sepatumu. Rumputnya masih basah," Yibo memperingatkan.
Sean mengangguk, menginjakkan kaki di rumput basah, ia disambut desir angin sejuk dari arah pegununungan. Tatapannya kembali menyusuri barisan pepohonan yang membingkai tanah pertanian milik ayah Yibo, serta gugusan hutan cemara di kejauhan.
Bersamaan dengan Yibo turun dari mobil, seorang pria berusia lima puluh tahunan membuka pintu depan rumah pertanian dan melangkah ke teras kayu.
"Ah, ini dia!" Pria itu mengenakan celana panjang hitam, t-shirt putih dan jaket coklat tua yang trendi untuk pria seusianya.
"Hai ayah," Yibo membanting pintu mobil dan melambai.
Yibo dan Sean berjalan beriringan menghampiri pria yang disapa ayah. Dia Tn. Wang.
"Kau bocah nakal, apakah kehidupan kota membuatmu lupa rumah pertanian warisan kakekmu?" Tn. Wang menyambut putranya dengan pelukan singkat dan tepukan di bahu. Kemudian matanya tertuju pada Sean.
"Dan siapa ini?" Ia tersenyum lebar.
"Ah, ini Sean," Yibo mengulum senyum, terlihat canggung. Mungkin ini untuk pertama kalinya dia mengenalkan seseorang pada orang tuanya. Dia melirik Sean, yang segera mengulurkan tangan untuk berjabatan tangan.
"Sean ini ayahku."
"Senang bertemu denganmu, Tn. Wang."
Sean menampilkan senyum ramahnya.
"Rupanya Yibo sudah memiliki seseorang," komentar Tn. Wang, mencium aroma kisah cinta yang tajam. Dia tertawa singkat, dan mengangguk pada keduanya.
"Sebelum Yibo mengajakmu berkeliling, akan kuambilkan minuman."
Tn. Wang berjalan lebih dulu ke dalam rumah, Yibo memberikan isyarat pada Sean untuk mengikutinya.
🌸🌸🌸
Domba-domba itu berkeliaran bebas, warna bulunya putih dengan bercak hitam. Mengingatkan Sean pada beberapa gambar di majalah National Geography. Mereka mencium-cium rumput segar, menggigit dan menguyahnya perlahan-lahan.
"Ayahmu benar-benar berkarakter," komentar Sean.
"Yah. Dia memang istimewa," Wang Yibo menyahut dengan satu botol air mineral di tangan.
Keduanya berjalan berdampingan di tengah tanah pertanian, menikmati sisa sore yang kembali cerah setelah turun hujan. Sinar matahari yang mulai menurunkan keganasannya, jatuh di rerumputan basah. Butir-butir air berkilauan di ujung rerumputan, memantulkan warna keemasan. Terlihat seperti batu topaz di mana-mana.
Seekor anjing lari melintasi padang rumput, cepat dan bebas, seperti bayangan awan. Mata Sean berbinar, melihat keindahan alam dan kehidupan sederhana di sekitarnya, ia melupakan kesedihan dan kesepian yang dirasakannya selama beberapa bulan terakhir di pusat kesehatan mental.
"Itu Inky, anjing ayahku," Wang Yibo mengikuti pergerakan anjing itu sambil tersenyum miring. "Dia teman ayahku jika tengah menghabiskan waktu di rumah pertanian."
Sean menjawab dengan gumaman singkat. Ia kembali memandangi kawanan domba yang sedang merumput di padang, lalu melayangkan pandang ke hutan musim gugur di lereng gunung. Beberapa hewan lain, tupai dan burung nampak cerah di bawah sinar matahari bergerak diantara pepohonan. Dengan hati pedih, ia menyadari betapa besar rasa rindunya pada keindahan alam, kebebasan dan kedamaian hidupnya yang sempat hilang.
Hujan gerimis kembali turun menghentikan jalan-jalan mereka di sekitar rumah pertanian. Tuan Wang sudah menata sebuah meja persegi panjang dari kayu licin dengan dua vas bunga berisi tangkai-tangkai bunga aster putih. Ada tiga cangkir kopi yang masih mengepulkan uap panas, beberapa iris croissant, eclair caramel dan beef churros.
"Terima kasih sudah mengizinkan aku bergabung di sini," Sean menunjukkan keceriaan yang tulus.
"Ini menyenangkan bisa melihat wajah cantik di sekitar meja lagi," Tuan Wang tertawa kecil, lalu meralat, "Kau tahu maksudku, aku tidak menganggapmu sebagai wanita."
"Ah ya, tidak masalah."
"Melihat wajah putraku kadang sangat membosankan. Dia minim ekspresi, melihatmu bagaikan melihat warna pelangi setelah hujan."
Wang Yibo mengerling ganas, "Itu tidak lucu, ayah."
Tuan Wang tidak menanggapi, dia terus bicara pada Sean ketika mereka mulai duduk menghadapi makanan dan kopi sambil memandang hujan.
"Kau bisa datang kapan saja. Aku lega sekarang, akhirnya putraku memiliki seseorang untuk dimiliki."
"Seorang pria harus memilih jalannya sendiri, ayah," Wang Yibo menyahut datar, tapi ada binar gembira di matanya.
"Jadi ini pilihanmu kan?" Tuan Wang melirik Sean.
"Kuharap dia bukan salah satu dari mantan pasienmu," ia mendesah, menatap Yibo sedikit bingung.
"Waktu kau memutuskan mengambil spesialisasi, aku sempat terkejut dengan pilihanmu. Tapi kupikir, jika kau menjalaninya dengan bahagia, semua akan kembali padamu."
Wang Yibo dan Sean saling berpandangan dalam diam-diam. Tidak banyak yang mengetahui fakta bahwa sang pianis pernah jadi penghuni bangsal rumah sakit jiwa. Tidak ada gunanya membahas hal ini dengan sang ayah, untuk itu Yibo segera mengambil alih pembicaraan.
"Asal kau tahu, bagiku penyakit mental sama dengan influenza. Bisa menyerang siapa saja, dan bisa disembuhkan."
Dia melirik Sean dan mengedipkan sebelah matanya. Sean menurunkan tatapannya ke meja dan tersenyum.
"Betul sekali," Tuan Wang tidak punya pilihan. Bukan ide bagus untuk berdebat dengan putranya yang tegas dan memiliki standar jelas.
"Jadi kapan kalian akan menikah?"
"Secepatnya, mungkin Sean harus kembali ke Wina untuk beberapa waktu."
"Yah, ada sesuatu yang harus kulakukan," Sean menyahut, menggigit tepian eclairnya. Sudah lama sekali rasanya ia tidak menjejakkan kaki di kota kelahirannya, tempat ia menggapai mimpi dan cita-cita jadi pianis terkenal.
"Dari tempatku ini, kota terlihat indah dan menjanjikan. Tidak heran kalian anak muda begitu bersemangat," Tuan Wang tersenyum miring.
"Tidak seperti itu, kupikir sangat menyenangkan tinggal di pedesaan." Sean melirik ke arah Yibo, menunggu persetujuan. Di sisi lain pemuda itu mengernyit sekilas, "Kau yakin? Apakah Seefeld benar-benar mengesankan buatmu?"
Dalam pikirannya, kenangan buruk tentang rumah musim panas dan Arthur masih menghantui, dia tidak berpikir bahwa Sean bisa terus bertahan dengan sesuatu yang traumatis disekitarnya. Satu yang luput dari dugaannya bahwa Sean yang sekarang adalah Sean yang lebih kuat dan tidak mudah terintimidasi seperti sebelumnya. Mungkin kehadiran dirinya juga yang mendukung dan menemani di setiap situasi membuat semangat Sean untuk pulih meningkat cepat.
"Ada satu pemandangan indah yang sulit dilupakan," Sean mengerling, sudut bibirnya terangkat.
"Aku?" Yibo menebak penuh percaya diri.
Tuan Wang terkekeh di sela percakapan.
Sean tertawa kecil dan meralat, "Padang lavender."
"Oh astaga.." Wang Yibo mencibir tidak setuju, "Kau sama sekali tidak punya nyali mengakuiku di depan ayah."
"Bukan masalah besar, nak. Tapi ngomong-ngomong, jika kalian ingin menghabiskan waktu di padang lavender, di balik bukit ada satu. Tidak seindah dan seluas biasanya. Hanya berupa hamparan bunga liar, namun tetap indah," Tuan Wang menjelaskan.
"Ide bagus. Besok kita akan ke sana. Bagaimana Sean?"
"Oke, mari kita wujudkan ini."
🌸🌸🌸
Beberapa jam setelah hujan berhenti, Sean berdiri di jendela, menyaksikan angin menyapu dedaunan yang gugur di halaman. Bulan separuh bersinar indah dan hamparan padang rumput berubah warna menjadi hijau pucat keperakan.
Tiba-tiba Wang Yibo sudah berada di sampingnya. Merangkul bahu kurusnya dengan lengan panjang dan kukuh. Membelai rambutnya yang halus dan bersinar. Dengan mata sendu, ia menatap pemuda yang selama ini menjadi sumber kekuatannya, menyadari keadaan dirinya yang selama ini belum bisa memberikan kebahagiaan yang semestinya.
"Aku sangat berterima kasih padamu karena membawaku kemari," ia berkata.
Wang Yibo tersenyum dan memeluknya lembut. "Aku tahu kau menyukai keheningan dan tempat yang tenang, aku tidak keliru dengan mengajakmu kemari. Satu lagi, ayah sepertinya menyukaimu. Jadi kita bisa menikah secepatnya."
Untuk sesaat mereka tetap berdiri di dekat jendela, dengan pemandangan bulan sebagai latar belakang. Sesaat lupa akan segalanya, kecuali kebahagiaan karena bisa bersama-sama kembali.
Saat mereka berpandangan, keduanya tahu bahwa ini adalah keputusan yang benar. Wang Yibo menyentuhkan bibirnya pada bibir Sean, untuk beberapa lama tenggelam dalam ciuman yang indah. Saat ini Sean merasa darahnya, hidupnya, berdesir kembali untuk pertama kali setelah sekian lama.
Hidup ini sangat berharga, terutama kalau ada cinta.
"Kita akan jalan-jalan besok pagi. Kau harus istirahat sekarang."
"Benar," kata Sean saat pandangannya mendarat di meja di sebelah tempat tidur di mana sebuah lampu diletakkan di sana.
"Apakah kau lelah?" Sean bertanya matanya menyelusuri ke arah tubuh Yibo. Dia sudah menanggalkan pakaian luarnya dan hanya mengenakan kemeja longgar yang menunjukkan dadanya.
Sudah beberapa malam sejak mereka tidur bersama. Tetapi Sean sudah menghabiskan beberapa bulan di bangsal rumah sakit jadi ia merasa sedikit gugup menguasai indranya saat mengingat apa yang mungkin dilakukan malam ini.
"Apa yang kau pikirkan?" Yibo bertanya sambil berbaring di tempat tidur, menyandarkan kepalanya di tangannya, memperhatikan Sean dengan mata menawan.
"Tidak ada," ujar Sean, menggelengkan kepala berdiri kaku di tempat yang sama.
"Kemarilah" kata Yibo sambil menepuk-nepuk tempat tidur di sebelahnya. Dia ingin melakukan hal-hal yang romantis kepada kekasihnya. Sean mendesak dirinya sendiri untuk bergerak dan melepas pakaian dan berjalan ke tempat tidur. Berbaring telentang di sebelahnya dengan ragu-ragu melihat ke langit-langit untuk menghindari tatapannya yang intens. Dari sudut matanya, Sean masih bisa melihat bahwa Yibo menatapnya dalam keheningan yang menjadi tak tertahankan.
"Sean?" dia menarik napas dalam-dalam.
"Ketika kau menyebut namaku, aku menyukainya. Kamu membuatnya terdengar seperti doa yang indah." Sean berbalik untuk menatapnya. dia memiliki senyum tipis di wajahnya tetapi ada keharuan di mata beningnya.
"Namamu indah."
"Apakah kau mencoba merayuku?" Sean bertanya sambil tersenyum.
"Aku hanya mengatakan yang sebenarnya" kata Yibo.
Ruangan sunyi lagi meskipun keduanya memiliki seribu pertanyaan di pikiran.
"Kapan kau kembali ke Wina? Aku khawatir berada di sini membuatmu takut lagi."
"Terkadang aku masih takut," Sean mengakui.
"Tapi aku yakin selama kau ada di sisiku, tak ada yang bisa menyakitiku lagi."
Sean kembali menghela nafas, "Aku lelah, ayo tidur. Kita akan bicara lain waktu," katanya, kembali menatap Yibo. Mata itu terlalu menawan untuk membuat Yibo memperhatikan hal-hal lainnya. Pikirannya dipenuhi adegan romantis.
"Aku tidak bisa tidur dengan lampu menyala," gumam Yibo.
"Baiklah, aku akan matikan lampunya."
"Kau suka bercinta dalam gelap?" Wang Yibo meremas bahu Sean, tersenyum menggoda.
Keduanya kembali berciuman, cukup lama, sampai waktu berlalu panjang, mereka masih terus melakukannya.
Pengalaman romantis selalu membuat keduanya dipenuhi dengan kejutan. Masih tetap menggebu-gebu seperti saat pertama. Masih selalu menginginkannya dengan intensitas yang sama.
Bayangan tubuh keduanya bekerjap-kerjap pada tirai dan dinding yang dilapisi wallpaper. Di bawah pancaran lemah cahaya lampu tidur. Irama nafas yang memburu, desahan demi desahan penuh gairah.
Wang Yibo mendesah berat dan kelelahan.
Dia menghujani Sean dengan ciuman panas, dengan kelaparan gairahnya yang tak pernah terpuaskan. Dia selalu menginginkan Sean, begitu menginginkannya, selalu menginginkannya, hingga kadang ia merasa takut pada gairahnya sendiri.
Keduanya bergulung di balik selimut. Saling memeluk dengan mata terpejam, tapi mereka tidak tidur.
Sean membuka mata, memandangi wajah di depannya yang tertidur damai. Tangannya terangkat dan membelai pipi Wang Yibo lembut. Jari-jarinya bergerak di sepanjang tepi rahangnya yang tajam hingga ke lekukan bibirnya mengagumi ketampanannya. Mata elang itu terbuka, tersenyum tipis dan menekan telapak tangannya di atas jemari Sean.
"Sekarang, ayo kita tidur."
Mereka memejamkan mata, membiarkan kegelapan mengambil alih.
🌸🌸🌸
Mereka terus berjalan melalui labirin hijau dengan langkah-langkah lambat. Pohon-pohon pinus terus melingkar di sekitar mereka saat terus melanjutkan dengan semangat petualangan. Wang Yibo dan Sean sudah dekat dengan padang lavender sekarang dan matahari mulai menyinari rimbunan
hijau, mencerahkannya dengan jelas.
Sean bisa mendengar irama aliran yang lembut, dan melihat warna ungu, biru dan merah muda dari bunga liar di depan.
"Apakah kita sudah sampai?" Sean bergumam.
Yibo tersenyum mendengar bahwa suasana hatinya lebih gembira. "Hampir, apakah kamu melihat keindahan di depan?"
Dia menyipitkan mata, "Um, mana bunga lavendernya?"
"Tidak jauh di depanmu, kau tidak bisa melihatnya? Waktunya mengunjungi dokter mata," Yibo jauh lebih bahagia dan menyeringai dengan santainya.
"Aku sudah bersama dokter jiwa sekarang," Sean terkekeh.
Setelah beberapa saat, ia mulai mengambil langkah. Berjalan di depan, sangat bersemangat, ke dalam
nuansa biru cerah. Dia berjalan melewati padang rumput bundar yang sempurna sambil melihat-lihat keindahan.
Yibo berdiri di belakang di bawah naungan pohon mengawasinya dengan waspada. Dia menoleh, kemudian memutar seluruh tubuhnya sampai matanya tertuju pada mata Yibo.
Yibo mendesah hampir tanpa suara pada diri sendiri saat Sean memperhatikan, memberi isyarat dengan tangan agar Yibo mendekat.
Dia mengambil satu napas dalam-dalam dan berjalan keluar di bawah cahaya terang matahari tengah hari.
Mata keduanya tidak goyah saling berpandangan selama berjam-jam berbaring di rerumputan lembut, menatap ke atas pepohonan di sekitar padang bunga. Alam yang begitu tenang dan kegembiraan yang mereka rasakan hampir melebihi hari biasanya.
Di bawah sinar matahari, kulit putih bening berubah menjadi potongan berlian dengan kualitas terbaik
menunjukkan setiap segi yang memantulkan pantulan matahari dengan kejernihan sempurna yang melemparkan pelangi ke semua arah.
Angin sepoi-sepoi bermain melalui helaian rambut Sean dan membawa aromanya ke arah Yibo saat ia berbaring tak bergerak, matanya masih tertutup.
Sean perlahan mengulurkan tangan untuk membelai punggung tangan Yibo dengan satu jari. Seketika mata Yibo terbuka, merasakan godaan memanjat lengannya. Seolah-olah dengan satu sentuhan lembut dan hangat Sean telah membuatnya terbakar.
Mata mereka bertemu dan Yibo memaksakan sedikit senyum untuk menutupi tatapan liarnya.
"Apa kau menyukai tempat ini?" ia bertanya.
Sean mencibir sekilas, "Bunga lavendernya sedikit. Tidak seindah di dekat rumah musim panasku."
"Jangan katakan kau akan kembali ke sana."
"Tidak mungkin," Sean tertawa singkat.
"Tapi aku memikirkan, semua yang terjadi membawaku padamu. Kurasa aku tidak membenci lagi lagu itu."
Bibir Yibo mewujudkan satu lagi senyuman indah di bawah matahari.
"Itu bagus."
"Jadi kau akan memainkannya lagi dalam permainan pianomu?"
Tiba-tiba Sean teringat Wina dan konser impiannya. Wajahnya langsung berbinar dan bibirnya menyunggingkan senyum yang hanya bisa dilihat saat seseorang meraih cita-citanya. Tapi sedetik kemudian, di sela-sela potongan kenangan dan bayangan wajah, ia melihat senyuman Yibo. Seketika ia tidak lagi merasakan kekosongan mau pun kesedihan, tapi keterikatan pada kebahagiaan.
Alangkah beruntung dirinya.
Sean menyimpulkan, daripada menikmati kegairahan mengikuti perjalanan konser musik, dia lebih suka mendapatkan senyuman Yibo setiap hari.
Dan daripada kehidupan bebas di Wina, akhirnya Sean lebih memilih menunjukkan tanggung jawab untuk mendampingi seseorang yang telah mencintainya dalam masa-masa terburuk hidupnya.
Sean merasakan kelegaan membanjiri dada, ia menggenggam tangan Yibo dan berkata.
"Ya. Tapi aku hanya akan memainkannya untukmu."
Yibo tersenyum, "Aku mencintaimu, Sean."
Keduanya terus berbaring berdampingan di rerumputan. Jiwa mereka menempuh perjalanan di keindahan alam, berbaur dengan kawanan burung di angkasa.
Hati mereka sangat tenang, seperti samudera setelah badai. Di samping mereka, bunga lavender menari di udara. Melayang ringan seperti bulu.
Biru.
In the end, we'll all become stories. Not all stories have another chapter.
🌸Lavender's Blue🌸
END
Yizhan Lover's makasih atas supportnya hingga Shenshen bisa menuntaskan cerita ini. Maaf jika masih banyak kekurangan, plot hole atau ending yang kurang memuaskan. 😣😘
Terima kasih juga buat reader setia yang sudah vote dan komen. It's mean a lot to me. Semoga kalian semua sehat dan bahagia selalu.
Sampai jumpa di Fanfict Yizhan selanjutnya.
Love 💜
Shenshen_88
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro