Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

28th Petal

💜 Happy Reading

Wang Yibo melesat menapaki teras sekilas dia menunduk ke bawah dan melihat bangkai Miko dalam keremangan. Rumah Sean begitu gelap seperti tidak ada jejak kehidupan. Dia memulihkan rasa terkejut akibat melihat kematian Miko yang mengenaskan.

Pemuda itu menyerbu ke pintu, dan meski kegelapan tidak mudah ditembus oleh seorang pria panik yang tidak berpengalaman seperti dirinya, tetapi tidak jauh dari tempatnya berdiri sebuah lagu bertempo lambat melintasi ruang demi ruang, dan di balik satu pintu yang tertutup dia mendengar suara seseorang yang dia cari.

Aku membaca tanda-tanda dengan benar, katanya pada dirinya sendiri.

Sean pasti terkurung di dalam sana. Aku ingin tahu apa yang dilakukan hantu itu di sana? Apa dia kembali dengan cara yang sama, meneror Sean dengan lagu Lavender's Blue?

Wang Yibo ragu-ragu sejenak. Dia ingin menghambur ke pintu tertutup, berharap melihat sesuatu yang akan membimbingnya dalam kebingungannya. Tapi waktu sangat mendesak. Dia melompat ke depan, dan menggedor pintu, suaranya menggema menembus pintu dan dinding.

"Sean!!"

Dia membenturkan bahunya beberapa kali mencoba mendobrak pintu yang tertutup. Engselnya tidak terlalu kuat ia rasa, dan daun pintunya juga terbuat dari lapis kayu yang tidak terlalu tebal.

"Sean!!"

Setelah bergulat dengan pintu, dan merasakan linu merambati bahu dan sekujur tubuhnya, Yibo berhasil membuka pintu.

Ruangan tampak gelap, dan ada dua sosok gemetaran dalam bayang redup dan terpencil.

Yibo berdiri di ambang gelap, mematung diantara pendar lilin yang bergerak melesat ke satu sisi ruangan.

Itu Sean,

Sean melemparkan dua batang lilin ke arah piano, dan lilin beserta lelehannya itu tepat mendarat di atas partitur. Dengan cepat lembaran kertas itu terbakar, lalu sebagian sisi piano yang terbuat dari kayu.

Api menyala sedikit lebih besar, meski nampaknya tidak akan bertahan lama. Di kala ketakutan berubah menjadi kebencian, Sean bermaksud melempar api menyala ke wajah si hantu, membungkusnya dengan api dan asap hitam yang lebih tebal, mencegah mata kelam itu menatap dirinya, tatapan penuh hasrat mengerikan.

Yibo masih bisa mendengar lantunan piano bergaung di dalam keremangan ruangan, dia menoleh cepat tetapi sosok pemuda hantu itu sudah menghilang. Hanya tuts tuts itu bergerak sendiri, memainkan nada terkutuk yang sama.

Sean mengerang lagi. Dia terduduk lemas saat upayanya menghentikan permainan hantu itu gagal.

Bahkan saat dia kembali melindungi kepala dengan kedua tangan, telinganya  masih menangkap suara dentingan piano. Tubuhnya menegang. Ada tangisan tertahan di dalam dada yang membuatnya sesak dan ngeri, lagu itu menyelusup, menggema, menghantam jiwanya yang rapuh oleh trauma.

"Hentikan!" dia mengerang lagi.

"Lagu itu membuatku takut!"

Yibo melompat ke arah Sean, merangkul bahunya yang lemas. Tapi Sean tidak berniat bangun, entah dia sudah kehabisan energi atau memang sudah kehilangan semangat hidup.

Tangisannya semakin redup dan dengan putus asa menjatuhkan kepalanya di dada Yibo.

Yibo berlutut di sampingnya, sementara Sean membuka mata dan berusaha berbicara. Akhirnya kata-kata lambat datang,"Aku ingin menghentikan hantu itu, dan juga lagunya. Tapi-- tidak bisa."

Dia berhenti dan matanya terpejam lelah. Setelah beberapa saat dia berbicara lagi.

"Hantu itu akan membawa aku pergi dari sini."

"Tidak!" sergah Yibo. Ia meraih tangan dan mencium kening Sean.

"Kita segera pergi dari sini!"

Mengerahkan seluruh tenaga, Yibo mengangkat dan membopong tubuh Sean di depan dadanya.

Saat itu api yang membakar partitur dan separuh badan piano nyaris padam,  melahirkan kegelapan yang sempurna.

Yibo sudah tidak mempedulikan ketakutan mau pun kecemasan akan hantu, dia hanya memikirkan Sean. Tersaruk-saruk dia melangkah keluar dari ruangan itu.

Paul menyeret langkah di belakangnya, sekilas ia menangkap kepulan asap tidak wajar di atas piano itu, jenis asap yang tidak mengalir dan juga tidak memudar.

Astaga! Hantu itu kembali saat api padam..

"Dr. Wang, " Paul meratap panik.

Wang Yibo telah melewati ambang pintu dengan tubuh Sean semakin lemas di pelukannya.

"Dr. Wang, aku tahu cara mengusir hantu itu. Kurasa kita harus membakar pianonya, " Paul berkata kacau balau dalam nafas lelah yang memberangus suaranya.

"Jadi tunggu apa lagi? Bakar pianonya!"

Yibo bahkan tidak menoleh pada Paul,  dia meraba-raba dalam kegelapan, berjuang membawa Sean keluar dari rumah itu.

"Bagaimana caranya?" Paul mendorong tubuhnya sendiri melintasi ambang pintu, sementara tuts piano itu masih melantunkan lagu.

"Ambil bahan bakar di garasi!"

"Kau akan membantuku? Hantu itu sangat menakutkan!"

Tapi Wang Yibo tidak berbicara lagi.

Paul berlutut sebentar, membungkuk sambil meringis, masih memegangi dadanya yang berdegup keras.

Demi Tuhan, kenapa harus aku??!!

Paul mengerang.

Dengan tekad dan keberanian naik turun, dia berjuang menjangkau garasi untuk mengambil bahan bakar.

Asap hitam itu terpecah menjadi beberapa bagian, mereka datang dari kegelapan, dan kembali ke kegelapan, diam-diam, merayap di antara pepohonan seolah-olah mereka sedang berburu mangsa.

Ketika Yibo berhasil membawa Sean sampai di dalam mobil, gema lagu berhenti secara misterius, digantikan nyala api yang membesar dan makin membesar  dari satu sisi ruangan.

Wang Yibo membeku sejenak dengan kepala tertunduk dalam kesedihan, karena baginya tampak jelas apa yang telah terjadi.

Sean belum jatuh pingsan. Dia masih membuka matanya, tetapi mata itu sudah kehilangan binarnya. Gelap malam menelan cahaya itu, angin membawa senyumnya pergi. Sean menatap langit malam dengan tatapan kosong. Matanya tidak menunjukkan kehidupan. Nafas samar menderu dalam sunyi, terperangkap dalam tubuh lemas, sementara garis batas kewarasan dan kegilaan sudah sangat samar.

"Kuharap hanya piano itu yang terbakar, dan bukan seluruh rumah," Paul terengah, memasuki mobil tergesa dan menyalakan mesin. Dia menoleh ke kursi belakang, di mana Yibo memeluk tubuh Sean, menepuk halus wajah pemuda itu.

"Tidak -- Sean, tidak! Ini tidak boleh terjadi.." suara Yibo tersamarkan dalam isakan yang memilukan.

Paul tercekat.

Dr. Wang menangis..
Pasti ada hal buruk yang terjadi.

Ekspresi Yibo melukiskan rasa sakit yang luar biasa. Angin kembali menghempas, menerpa wajahnya keras. Binar mata sayu penuh derita.

Selama dia menjalani hari-harinya sebagai dokter jiwa, dia seringkali menangkap kekosongan dalam sorot mata pasiennya.

Kekosongan yang sama, malam ini--

Di mata indah Sean.

Mimpi buruk yang menjadi kenyataan membuat Yibo mencucurkan air mata seperti anak ingusan.

"Ti--dak..!!"

Wang Yibo meratap ketakutan.

"Tidak! Sean ...."

🌸🌸🌸

Satu pekan kemudian

Keheningan meliputi bangsal nomor dua tiga, kecuali suara gesekan angin di daun jendela. Sean tidak bisa mendengar apa-apa. Hanya duduk terpaku dalam keadaan linglung yang seperti kerasukan. Tubuhnya kebal dari rasa sakit, jiwanya kosong. Dinding-dinding ruangan seakan-akan tertawa, tapi kemudian seolah menangis, membuat ekspresi Sean berubah ketakutan.

Kedua tangannya dingin dan lembab, sementara degup jantungnya bergema di dalam tubuhnya yang kurus. Kegelisahan mulai mencekiknya, lagi dan lagi. Dia ingin menggerakan jemari, ingin bermain piano. Tetapi nyatanya ia tetap membeku di ranjang, menatap dinding yang diam tak bergeming.

Wang Yibo berdiri dengan sepasang kaki gemetar, mengintip ke dalam bangsal dari sebuah jendela kaca berteralis. Menyaksikan kekasihnya kehilangan segalanya, melupakan mimpi dan juga cintanya. Dokter muda itu merasa seolah bukan dokter, melainkan seorang pasien. Salah satu dari puluhan orang yang dinyatakan kehilangan akal, menyusuri lorong-lorong tak berujung di sebuah institusi yang nyaris dilupakan manusia dan para dewa.

Yibo merasa bagai mayat hidup yang hampa, dalam ruang sempit dan gelap kehampaan, dalam neraka kehampaan. Dengan imajinasinya, mencoba menciptakan ilusi kebahagiaan dari senyuman Sean yang telah memudar.

"Dr. Wang.. "

Satu tepukan lembut menyentakkannya. Dia melihat seorang perawat berseragam berdiri di belakangnya dan tersenyum.

"Seseorang menunggu anda di luar, dia berkata ingin menjenguk pasien yang berada di bawah pengawasan anda yang bernama Mr. Sean."

Yibo mengerutkan kening, ekspresinya mengeras seketika.

"Aku sudah memperingatkan seluruh institusi ini, tidak boleh ada yang mengetahui bahwa ada pasien bernama Sean dirawat di sini, apalagi sampai profesinya bocor keluar."

Si perawat menggeleng pasrah, dia merasa sudah melakukan kesalahan. Namun dia masih berkata, "Orang itu bernama Paul."

Mendengar siapa yang datang, Yibo menghembus nafas lega.

🌸🌸🌸

Matahari hampir tenggelam di balik gunung, menyinari permukaan halaman berumput yang dipangkas rapi di halaman Rosalin Mental Health Center. Yibo berdiri bersandar di badan mobilnya, berdampingan dengan Paul yang juga berdiri tegang dan membisu.

Satu paper cup berisi kopi hangat tergenggam di tangan masing-masing. Bersama mereka menikmati senja yang indah di Seefeld. Salah satu senja dari ribuan hari yang telah mereka lewati. Memikirkan betapa cepat waktu bergulir dan begitu cepat nasib seseorang berubah.

"Menurutmu, apa kondisi Mr. Sean akan segera pulih?" Paul memberanikan diri menyuarakan pertanyaan dalam benaknya. Meskipun dia khawatir topik ini terlalu sensitif.

Yibo tersenyum sebagai seorang profesional, walau dalam hati ia menangis.

"Aku pasti akan menyembuhkannya, mengembalikannya ke dunia darimana dia berasal. Penuh harapan, kebanggaan, dan nada-nada indah. Jangan khawatir," entah pada siapa dia memberikan keyakinan itu. Bahkan dirinya sendiri tidak tahu apa yang mungkin terjadi.

Paul mengangguk-angguk. Meneguk kopinya beberapa kali, satu pertanyaan kembali menyeruak.

"Aku masih belum mengerti, bagaimana Mr. Sean dan hantu itu terhubung, benarkah hanya karena lagu Lavender's Blue?"

Yibo mengangguk, dia menelan cairan kopinya dengan susah payah. Kopi itu terasa manis meski kurang gula, jauh lebih manis, dibanding kenyataan hidupnya dan Sean.

"Menurut file dan rekaman yang aku peroleh dari dr. Haikuan, ada satu fakta yang tak pernah terungkap ke media mau pun polisi. Malam ketika terjadi perampokan dan pembunuhan di mansion Sean di kota Wina, malam itu Sean tengah memainkan sebuah lagu lewat lantunan pianonya. Mental Sean diguncang trauma pasca pembunuhan yang terjadi di rumahnya juga di depan matanya, dia mulai mengunjungi psikiater karena khawatir kondisi mentalnya semakin memburuk."

Yibo kembali meneguk kopi dalam jeda sesaat.

"Tetapi setiap kali dia mendengar lantunan lagu tersebut, traumanya kambuh dan kambuh lagi. Dia terperosok ke dalam jurang depresi, dan rentan terhadap tekanan. Tetapi dr. Haikuan meresepkan obat-obatan untuknya dan mengira kondisi Mr. Sean telah pulih. Tetapi situasinya makin rumit saat dia menjalin hubungan dengan seorang pengusaha muda yang posesif dan sangat mencintainya. Akhirnya mereka sering berdebat, dan puncaknya pada satu pertengkaran panas, mereka saling melukai."

"Jadi, Mr. Sean bertindak kriminal?" Paul terkejut, paper cup di tangannya gemetar sesaat.

Ekspresi Yibo semakin muram saat dia mengangguk.

"Pada akhirnya, Sean membunuh Mark, dan kembali jatuh dalam depresi. Ingatannya pecah dan mengabur, dia tidak ingat bahwa dia telah membunuh Mark."

"Astaga. Meski sudah separah itu, dr. Haikuan mengizinkan Mr. Sean kembali ke masyarakat dan berkarya lagi, seakan-akan dia sudah pulih dengan sempurna," masih dengan ekspresi terkejut, Paul menanggapi dari cara pikir seseorang yang awam.

"Menurut dr. Haikuan, dia memang sudah pulih. Bahkan mulai merencanakan konser dan berniat menulis simfoni yang indah. Karena itulah Sean datang ke rumah musim panas yang dia beli tanpa pernah ditempati."

Angin sejuk dari arah depan menyapu wajah keduanya, tanda-tanda datangnya musim gugur mulai kentara. Paul menatap jauh, dengan ragu dia kembali bertanya.

"Lalu hantu di rumah musim panas itu mengganggunya dengan lagu yang paling ditakuti Mr. Sean. Begitu kan?"

Senyum pahit terpatri di wajah Yibo, dia menundukkan pandangan sejenak dan berkata, "Aku menyelidiki hingga ke rumah Ms. Cynthia, si pemilik rumah musim panas sebelumnya. Dalam kondisi demensia yang memprihatinkan, aku mengambil kesimpulan dari semua yang dia katakan."

"Tentang hantu itu?"

"Ya. Hantu itu, Arthur. Dia partner Ms. Cynthia semasa mereka bersama di rumah itu sepuluh tahun lalu. Arthur seorang pemain piano amatir, dia tewas karena Ms. Cynthia meracuninya. Kau tahu apa lagu terakhir yang dimainkan Arthur saat kematian menjemputnya?"

Paul memiliki satu jawaban, tapi ia tidak begitu yakin.
"Lavender's Blue?"

Yibo mengangguk samar, "Lagu yang sama, yang dimainkan Sean saat peristiwa pembunuhan itu terjadi. Keduanya memiliki trauma hebat dengan melodi itu. Hal yang diluar dugaanku adalah hantu itu bersikeras ingin membawa Sean bersamanya."

"Hantu itu gay," Paul merasa fakta itu lucu, namun ia menahan senyumnya.

"Ya, Sean begitu mempesona. Bahkan hantu pun jatuh cinta padanya," Yibo mengerutkan bibirnya dalam ekspresi sinis.

Keheningan menggantung di udara senja di saat Paul merenung dalam-dalam. Sekali lagi dan untuk yang terakhir, dia melontarkan pertanyaan dalam gumaman.

"Mengapa harus Mr. Sean yang mengalami semua peristiwa mengenaskan tersebut?"

Yibo menoleh ke satu sisi halaman luas di mana pohon-pohon bunga freesia tumbuh berkelompok. Kelopaknya sebagian gugur, berserakan di tanah. Membisu, sebagaimana dirinya membisu oleh pertanyaan itu.

"Yah, mengapa?" dia melirik Paul, tersenyum pahit.

"Mungkin kita memerlukan waktu seumur hidup untuk mendapatkan jawabannya. Mengapa harus Sean, mengapa harus aku, mengapa semua harus terjadi. Bisakah kita terus bertanya pada langit dan berharap langit akan menjawab?"

Dia menatap Paul lekat-lekat, mencari persetujuan.

"Tidak, bukan?"

Dan Paul pun membisu.

To be continued

Fuhh, chapter ini cukup sulit dibuat. Semoga Yizhan Lovers bisa mengapresiasinya.

Please vote and comment if you like it ❤💜❤💜

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro