Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27th Petal

Sean tak pernah bermimpi bahwa mungkin ia akan berakhir dengan menjadi korban obsesi hantu. Dia tersadar dari pingsan karena arus dingin mengaliri kaki dan tangannya.

Hari sudah malam. Dia bisa melihat langit gelap dari jendela yang tidak tertutup tirai. Ruangan pun gelap. Tangan dan kakinya terasa kebas, dia tidak tahu berapa lama ia pingsan. Tak ada suara apapun, baik di luar mau pun di dalam ruangan. Rumah ini seakan mati.

Langkah pertama, ia harus berjuang bangkit dan menyalakan lampu. Mengerahkan seluruh tenaga, ia berhasil tersaruk-saruk menuju ke satu dinding di mana saklar berada. Bunyi klik berulangkali terdengar, tapi lampu kandelar di langit-langit tidak juga menyala.

Mati lampu!

Matanya mengerjap cepat, mendongak ke langit-langit, lampu itu tampak baik-baik saja. Atau mungkin rusak, ataukah tidak ada aliran listrik..

Mendesah pelan, Sean menggapai satu rak pajangan di sudut, di atasnya ada dua batang lilin besar dalam penyangga logam. Dalam keremangan, Sean membuka laci. Mengaduk-aduk isinya untuk mendapatkan korek api.

Batang-batang korek api nyala dan padam beberapa kali, tangannya yang gemetar membuat proses menyalakan lilin menjadi sulit dan lama. Dia menarik nafas lega saat dua batang lilin berhasil dinyalakan. Cahayanya tidak seterang lampu, tapi di tengah kegelapan, dua batang lilin ini begitu cemerlang.

Kepalanya terasa berat dan pikirannya agak linglung. Sekilas ia mengerutkan kening, merasakan kehadiran sosok lain di sekitarnya. Harusnya tidak ada siapapun di sini. Tidak mungkin ada orang lain. Sampai akhirnya ia tersadar...

Sean berbalik secepat mungkin, matanya menatap dalam pada sosok yang entah sejak kapan sudah duduk di kursi piano. Aura gelap yang akrab, wajah pucat yang beberapa kali pernah ia lihat.

Hantu...

Pemuda itu duduk dalam kegelapan, di kursi piano. Saat dia berdiri, asap hitam tipis naik dari seluruh permukaan tubuhnya, mengubahnya menjadi penampakan menyeramkan dari hantu yang sesungguhnya.

"Hallo Sean?"

Suaranya menggema bagai dalam terowongan panjang dan kosong.

"Bagaimana kabarmu?"

Sean mundur selangkah.

"Si--apa kau? Di mana Yibo?"

Mata sang hantu menggelap, semakin menakutkan ketika nama Yibo disebut. Dia melangkah perlahan memutari piano, namun tatapannya tetap melekat pada Sean yang berdiri gemetar.

"Duduklah Sean.." pemuda hantu memerintahkan dengan suara lebih rendah tapi tegas.

"Di mana Yibo?"

"Duduklah.."

"Tidak!"

"Berhenti bermain-main, ini sudah selesai!" Hantu itu membelalak padanya, asap tipis masih mengepul dan nyaris menjangkau saat si pemuda makin mendekat.

"Kemampuan bermain pianomu luar biasa, Sean," si hantu tertawa menggeram, asap itu pun bergerak seiring guncangan di bahunya.

"Dan juga pesonamu.." mata hitam kelam itu melekat lagi pada wajah Sean.

Air mata Sean meluncur jatuh, merasa tidak berdaya, ketakutan tak terperikan saat merasa di ujung hidupnya.

"Ada apa?" desis sang hantu. Puas melihat kesedihan Sean.

"Kau lupa minum obatmu? Semua sudah menganggapmu gila."

Dia masih berjalan perlahan, memutari Sean, mengamatinya dari ujung kepala hingga kaki.

"Kau harusnya berpikir mengapa aku mengusikmu. Aku mencintaimu, Sean, dan aku membenci semua teman-temanmu.."

Sean balas menatap dari balik air mata yang mengaburkan pandangannya. Ketakutan sudah membuatnya di batas antara kewarasan dan kegilaan. Sean hanya membisu, pucat, dan berlinang air mata.

"Tukangmu," si hantu berkata lagi, sarkastis.

"Pendeta."

"Dokter."

"Dan -- Miko..."

Tertawa lagi, bagaikan alunan musik dari neraka.

"Dan aku suka dengan imajinasi liarmu, dan semua visimu tentang simfoni yang sempurna, dunia penuh kedamaian.."

"Di -- amm.." Sean mengerang.

"Kau seorang pemimpi sejati, yang hanya ada dalam dunia fantasi. Sekarang waktunya kau bangun, dan ikut denganku.."

Hantu itu kini berdiri di depannya. Sangat dekat. Hingga Sean bisa melihat ke dalam jurang kegelapan matanya yang tak berdasar.

"Impianmu sudah hancur, pikiranmu juga hancur. Tidak ada lagi hantu, tidak ada lagi lagu. Kini kau akan menjadi sepertiku, kau akan menjadi hantu."

Sean berjuang menggerakkan kakinya. Tangannya menggapai-gapai ke belakang, meraba-raba ke arah pegangan pintu.

"Kemana kau akan pergi?" Pemuda hantu mengancam lagi.

"Kau tak bisa lari dariku."

"Siapa kau?" Sean melolong, tangisan kemarahan memantul dalam teriakan parau.

"Kau tahu siapa aku.." hantu itu menyeringai di balik selubung asap tipis.

"Aku Arthur.. aku seperti dirimu. Aku datang untuk menjemputmu. Jangan pergi, Sean. Kau dan aku harus bersatu.. bersama-sama kita akan memainkan lagu terkutuk itu..."

Tawa seram kembali menggema.

"Lavender's Blue.."

Sean terus mundur hingga punggungnya membentur dinding yang dingin. Dia meluncur jatuh, memeluk kedua lututnya yang gemetar.

Si pemuda hantu tidak mendekatinya. Kali ini dia kembali menuju piano, duduk tegak, wajahnya masih penuh ancaman dan seringai mengerikan.

"Bagaimana kalau aku mainkan lagu itu untuk menghiburmu..?"

Tubuh Sean mengejang, seperti ada ribuan serangga merayapi tubuhnya ketika ia memandang mata hantu itu.

"Ti--dak..." Sean terisak.

"Jangan..!"

Dia menutupi telinganya kuat-kuat dengan telapak tangan.

"Jangan...!"

🥀🥀🥀

Tiba-tiba Yibo teringat Sean sendirian di rumah berhantu itu sekarang. Mengendalikan rasa shocknya, dia mengambil ponsel dan menghubungi Sean. Tetapi panggilan itu tak bisa tersambung. Seakan-akan Sean berada di luar jangkauan, ada di sisi lain yang tak terhubung dengannya, atau kemungkinan-- ponselnya mati.

Jemari nya semakin bergetar sementara otak kacaunya memikirkan gagasan lain.

Siapa yang bisa dia hubungi untuk mengecek kondisi Sean. Menunggu dirinya tiba di rumah itu mungkin akan memakan waktu satu jam perjalanan. Bisa lebih cepat jika dia mengemudi seperti kesetanan.

Dia harus tahu kondisi Sean sekarang juga. Firasat buruk terus mengamuk dalam dirinya, membuat pikiran nya gelap untuk sesaat.

Siapa yang bisa kuhubungi?

Ah ya! Paul!

Mungkin sekarang Paul sedang berada di rumahnya.

Dia menekan nomor Paul, nafasnya memburu menunggu panggilannya dijawab. Jantungnya nyaris melompat saat didengarnya suara Paul di seberang.

"Ya, dr. Wang?"

"Paul! Di mana kau?"

"Aku di rumahmu."

"Bisakah kau pergi ke rumah Sean sekarang juga? Pastikan kondisinya baik-baik saja dan usahakan bawa dia keluar dari rumahnya!"

"Ta--pi ada apa?" Paul bisa mengetahui dari nada panik Wang Yibo bahwa perintahnya bukan main-main, mungkin bukan saat yang tepat untuk bertanya mengapa. Tetapi membuat Mr. Sean keluar rumahnya pada jam seperti ini, kira-kira alasan apa yang bisa dia gunakan.

"Aku tidak bisa menjelaskan sekarang. Pergi dan lihat dia, aku akan ke sana secepatnya."

"I--iyaa.." Paul terpengaruh oleh kegugupan majikannya dan menjadi semakin bingung.

"Sekarang!" Yibo meraung di telepon.

Secepat kilat, Paul mematikan ponsel, menyambar jaket serta topi dan melesat keluar rumah. Dia berlari-lari kecil melewati gerbang rumah, tiba di jalan komplek perumahan yang sepi. Jajaran pohon di tepi jalan membisu dalam keremangan seolah menatapnya terheran-heran.

Paul merasa ada sesuatu yang terjadi, peristiwa yang tidak menyenangkan. Entah apa itu.

Nafasnya terengah saat menapaki halaman rumah musim panas milik Sean sekitar sepuluh menit kemudian. Seperti biasanya bagian kawasan ini merupakan yang paling sepi, berbatasan dengan padang lavender ungu kehitaman, bergemerisik dan bergelombang.

"Mr. Sean!" Paul melangkah ke teras.

Rumah itu gelap. Hanya ada pendar lemah dari salah satu jendela. Mungkin ruangan luas di bagian sayap kanan di mana Mr. Sean sering menghabiskan waktu bermain piano.

"Mr. Sean!"

Anak rambut menjuntai di kening Paul tersingkap kala angin mendadak berhembus kencang.

Ada yang aneh. Rumah ini gelap dan lebih menyeramkan dari hari-hari sebelumnya. Sejalur sinar bulan jatuh di petak ubin teras. Ketika Paul melangkah mendekati pintu, ujung sepatunya menyentuh sesuatu di lantai. Dia menyalakan senter ponsel, cahayanya menimpa satu objek mengenaskan.

Bangkai Miko yang berlumuran darah.

"Astaga!"

Paul mundur selangkah, menatap ngeri. Langkahnya lebih hati-hati ketika melewati bangkai kucing malang itu.
Tangannya gemetar, memegang dan mendorong knop pintu.
Pintu depan terbuka dengan mudah.

Apa Mr. Sean lupa mengunci pintu?

Lantunan piano bertempo lambat menyambut kedatangannya. Paul terkesiap. Mungkin itu Mr. Sean. Dia tengah hanyut dalam permainan pianonya, Paul khawatir jika sang empunya rumah berbalik marah memergokinya tengah menyusup.

Tapi, mengapa lampu-lampu gelap dan bangkai Miko dibiarkan tergeletak di depan pintu.

Menyelinap lebih jauh ke dalam rumah orang lain membuat Paul gugup luar biasa. Dia mengikuti dari arah mana suara lantunan piano, didorongnya pintu menuju ruangan tengah tempat piano itu berada.

Melewati ambang pintu, matanya tertumbuk pada sosok Sean di satu sisi ruangan, meringkuk di lantai, menggelepar, mengerang. Di bawah cahaya suram dua batang lilin di atas rak pajangan, tempat ini satu-satunya ruangan yang diterangi cahaya, pemandangan itu begitu mengiris hati.

"Mr. Sean!" Paul menutup mulutnya, dengan mata mendelik shock, penuh kengerian ia melirik ke arah piano.

Jika Mr. Sean bergulung di lantai, lantas siapa yang bermain piano?

Seorang pemuda pucat mengepulkan asap tipis kehitaman menekuni tuts piano, menyadari kedatangan mahluk lain di dalam ruangan, dia mengangkat wajah, menatap pada Paul.

Paul tertegun saat mata mereka bertemu. Untuk pertama kalinya dia melihat sosok seperti itu. Sepasang mata kelam, nyaris seluruhnya berwarna hitam. Warna jiwa yang gelap, asap misterius, tidak mengalir, tidak juga memudar. Hanya menggantung di sekitar sosok si pemuda hantu.

Demi Tuhan..

Hantu!

Jadi -- hantu itu benar-benar ada.

Dia menunjukkan dirinya...

Paul terhenyak, langkahnya serasa mengambang, menyeret dirinya susah payah ke arah Mr. Sean berada, di bawah tatapan dingin arwah penasaran yang memendam hasrat.

"Mr. Sean, ini aku.. apa yang terjadi?" Paul berhasil meraih bahu Sean yang masih melingkarkan lengan di kepalanya, menghalangi telinga dan juga jiwanya dari pengaruh lantunan nada yang serupa kutukan, dimainkan hantu itu penuh kepuasan.

"Lagu itu -- lagu itu, hentikan! Hentikan dia!"

Tangannya menunjuk ke arah pemuda yang sedari tadi memainkan piano. Paul tidak berani menoleh lagi pada sosok menakutkan yang membuatnya gugup setengah mati. Tanpa sadar, tangannya menggenggam erat lengan Sean.

"Dia ingin membawaku ke tangan kematian, untuk menemaninya..."

"Ayo kita pergi sekarang," bisik Paul terbata-bata.

Tetapi Sean tidak mampu bergerak, dia semakin merapatkan dirinya ke dinding, mengkerut ketakutan. Bola matanya bergerak liar, seakan hantu itu berada tepat di depan hidungnya.

"Pergi..." Dia mendesis.

"Jangan mendekat, pergi..."

Saat itu Paul sadar jika ruangan yang mereka pijaki sekarang telah berubah menjadi  jelmaan sarang hantu dan roh penasaran. Warna asap hitam semakin pekat menjelma dari sosok kelam yang ada di balik piano.

Sekuat tenaga, Paul mengangkat bahu Sean, memaksanya berdiri dan memapahnya, tersaruk-saruk menuju pintu.

"Mr. Sean, lawan ketakutanmu. Kita harus keluar.." Paul nyaris menangis saking ngeri. Berharap malam ini bukan  akhir hidupnya.

Pemuda yang bermain piano tidak terusik, dia memejamkan mata hitamnya. Angin menderu lebih kencang dari semenit sebelumnya, menampar permukaan jendela, menghempaskan pintu yang seketika menutup dengan suara keras mengguncang jiwa-jiwa yang ketakutan.

Paul membelalak ketika pintu terhempas dengan sendirinya.

"Iblis itu ingin membunuh kita," desisan putus asa meluncur dari bibir Paul. Dia melirik Sean yang semakin lemas dan pucat, namun ada kilatan sesaat di matanya, mendengar nada menyedihkan yang diucapkan Paul.

Keduanya terperangkap di sana. Dalam ruangan remang-remang, dicekam teror dan ketakutan.

Gelombang ketakutan seketika teraduk-aduk menjadi kemarahan dan keputusasaan.

"Kau menginginkan aku bukan?"

Tiba-tiba Sean meraung, dengan wajah tercoreng air mata, menoleh ke arah si pemuda hantu, menatapnya penuh kebencian.

"Ambil aku! Biarkan yang lain pergi!"

Paul terperanjat, seluruh tubuhnya semakin lemas. Dia mengeratkan cengkeramannya pada lengan dan bahu Sean.

"Tidak, Mr. Sean..." Ia memohon.

"Kemarilah! Ambil aku! Ayo kita pergi ke neraka!"

"Tidak..." Paul berjuang menyeret tubuh Sean yang mulai kaku dan membangkang. Tidak berniat pergi dari situ. Si pemuda hantu menatap kosong, tersenyum mengerikan.

Sean terhipnotis.

Ya -- itu kata yang paling tepat. Dia berdiri kaku, menatap sepasang mata hitam si pemuda hantu. Wajah tanpa ekspresi dan pandangan kosong membuat sang pianis seakan berubah menjadi sosok hantu yang lain.

"Mr. Sean..." Paul mengerang.

Sean tidak bergeming.

Di saat paling menegangkan itu, satu suara lain memanggil. Bukan suara Paul yang nyaris pingsan ketakutan, bukan juga suara bergema menakutkan dari si hantu.

Satu suara yang menyeret Sean dari arus kelam yang membawanya ke kegelapan.

"Sean!"

Suara dentaman keras dari bantingan pintu memecah kesunyian dan teror.

"Sean!!!"

Itu suara Yibo.

Huft!!  To Be Continued

Maaf updatenya agak lama, nulis genre psycho horror emank ga gampang ternyata, ga segampang bacanya, hehee.. Gimana caranya agar rasa takut dan depresi si tokoh bisa sampe ke pembaca.

Shenshen usahain cerita ini ending secepatnya.

Please vote and comment tapi tidak menerima umpatan atau komen kasar.

Yizhan reader baik-baik semua bukan? 😁

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro