Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26th Petal

Let's play this beautiful piano instrumental 👆
'Wild Flower' for Sean

🌸 Happy Reading 🌸

Selagi pucuk-pucuk lavender berganti ke warna keemasan sepuhan dari matahari senja, keheningan yang aneh mengepung rumah Sean.

Tak ada bunyi dengung serangga di taman, atau pekik burung di kejauhan. Bahkan gemerisik dedaunan pun seakan sungkan memecah kesunyian.

Sean sudah terbiasa dengan kekosongan dan keheningan yang dia sebut sebagai kedamaian. Di tengah-tengah kekosongan itu, ia berjalan perlahan-lahan menuju pianonya. Mengisi sepanjang sore dengan lantunan irama lambat yang memancarkan kesedihan akibat pantulan dari kesunyian hati.

Mengenakan kemeja putih sederhana dan celana santai hitam, Sean menunduk dalam menekuni tuts piano. Mengamati kelenturan jemarinya sendiri, kacamata berbingkai logam tergantung anggun di pucuk hidungnya.

Dia merindukan Wina, aroma udaranya, teater Musikverein,dia mengenang bagaimana dulu hidupnya begitu damai dan bahagia.

Sampai malam pembunuhan itu.

Darah!

Hmmftt....

Nafas Sean sesak seketika. Dia mengangkat jemari dari piano, menyentuh leher dan dadanya.

Sepasang mata ayahnya yang terbuka dalam kematian.

Sosok-sosok berbaju hitam.

Mengapa?!

Sean terengah-engah. Serasa ada sepasang tangan mencekik lehernya, ada hawa dingin yang menggigilkan membungkus tubuhnya.

Dia mendongak cepat, membelalak ke langit-langit ruangan. Secara perlahan menghirup udara, meredakan guncangan trauma yang mengerikan.

Sean perlahan bangun dari duduknya, berjalan menuju meja di sisi lain ruangan, mengambil gelas dan mengisinya dengan air dari teko porselin.

Semakin lama ia terkurung dalam kesunyian rumah ini, ia merasa semakin terperangkap. Baik itu dalam dinding-dinding rumah yang membisu, seakan bergerak maju nyaris memghimpitnya, mau pun terperangkap kegelapan pikirannya sendiri yang menciptakan satu lubang hitam tak berdasar di mana ia terus terhisap dan terhisap.

Detak jam tiba-tiba mengusiknya, Sean melihat waktu sudah pukul lima sore. Wang Yibo belum pulang dari tempat kerjanya, mungkin dia juga memiliki agenda keluar kota, sampai saat ini dia belum mengontaknya.

Ini sudah tidak benar, Sean tiba-tiba merasakan kecemasan, jantungnya berdegup kencang hingga membuatnya nyaris sulit bernafas. Tangannya gemetar dan berkeringat dingin.

Dia merasa begitu sendirian dan ditinggalkan.

Ada yang hilang dari bagian rumah ini, yang membuat keheningan semakin dalam dan mengerikan. Sean mencoba memikirkan apa itu.

Miko!

Pemuda berkacamata itu menaruh gelas di meja, lantas berjalan memeriksa bagian-bagian rumah dan koridor.

Kucing itu tidak ada di manapun. Demikian juga suaranya. Suara menyenangkan yang menemaninya selain lantunan piano.

"Miko!"

Sean memanggil nama peliharaannya. Mungkin saja kucing itu akan menyahut.

Setelah sia-sia mencari di dalam rumah, Sean berniat mencari ke halaman.

Pintu utama terlihat lebih angker dan memancarkan hawa dingin dibanding sebelumnya. Ragu-ragu, Sean menjangkau pegangan pintu. Nalurinya membisikan akan ada sesuatu yang buruk di depan matanya.

Haruskah ia membuka pintu?

Tampaknya semua sudah begitu membingungkan. Bagaimana Miko tiba-tiba bisa menghilang.

Akhirnya Sean menggerakkan pegangan dan membuka pintu. Matanya lurus melintasi pekarangan dan melihat pepohonan serta semak bunga terpapar matahari senja.

Di sana juga hening. Namun ada sesuatu di bawah dekat kakinya, yang nyaris luput dari perhatian. Sepasang matanya menyipit tegang kala ia menangkap pemandangan mengerikan di lantai.

"Aaahhhh..!!!!"

Pekikan kaget keluar dari bibirnya.

"Miko!!"

Miko tergeletak di depan pintu, darah menggenang di sekeliling tubuh kucing malang itu. Entah di bagian mana ia terluka dan entah siapa pecundang yang tega membantai seekor kucing.

Yang pasti, Miko sudah mati.

Laksana diguyur air es, tubuh Sean menggigil. Dia mundur beberapa langkah, tanpa terkendali, tangannya membanting pintu. Air mata bercucuran saat pikirannya menjadi kacau dan dihantam gelombang depresi yang membuatnya nyaris ingin kehilangan kesadaran.

Apa yang terjadi di sini?

Miko bahkan pergi darinya.

Apa dia harus sendirian, terperangkap di dalam rumah yang sunyi, dengan ancaman hantu misterius yang kapan saja bisa mendekapnya dalam lengan kematian.

Pemuda malang itu meringkuk di sofa, tubuhnya gemetar, tatapan kosongnya melayang melalui jendela, memandang padang lavender yang berombak.

Sesekali dia mengusap matanya yang basah. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya, semacam perasaan sepi dan putus asa, serta ketakutan yang mencengkeramnya bagai bayangan.

Tiba-tiba ponselnya yang dia taruh di atas meja berdering. Di tengah suasana rumah yang sesepi kuburan, bunyi dering itu tak ubahnya pekikan burung hantu.

Sean mengulurkan tangannya yang gemetar, mengambil ponsel. Dia berharap itu Yibo, tetapi tak ada nama siapapun tertera di layar. Bahkan tidak ada nomor.

Sean tercekat, tapi dengan bodohnya dia menekan tombol jawab dan mendekatkan ponsel ke telinganya.

"Hallo?"

"Sean..." suara bisikan serak yang tak dikenalnya, menelusup halus ke dalam telinga, mengirim sinyal ketakutan pada bagian inci tubuhnya.

"Siapa kau??!!" Sean mengerang.

"Aku adalah dirimu."

Sean menggeleng-geleng, dia begitu terguncang sampai ingin menangis sekeras-kerasnya.

"Di mana kau? Tunjukkan dirimu!"

"Aku di rumahku, Sean."

"Ini rumahku!" Sean berkata linglung, cukup linglung untuk meladeni seorang penelepon iseng yang melancarkan teror murahan.
"Rumahku!!"

"Ini rumah kita. Ini selalu menjadi rumah kita. Kau tinggal di dalamnya, dan aku menjaganya."

"Tidak!"

Sean terlonjak dari sofa, dia menyerbu ke tengah ruangan, mengecek piano, jendela, menyingkapkan tirai. Tak ada siapapun di luar sana. Hanya ada keremangan senja.

"Kau gila!" Sean menyembur parau pada orang yang meneleponnya.

"Kaulah yang gila, Sean. Lihat apa yang kau lakukan pada orang lain. Kau melukai orang yang kau cintai. Memperalat, menyakitinya."

"Hentikan!"

Sean merasa seluruh dinding berputar dan perlahan bergerak maju.

Dinding itu akan menghimpitnya sampai mati.

Kedua bola matanya bergulir liar kesana kemari. Keringat dingin bermunculan di wajah dan lehernya.

"Oh, Sean yang malang..."

"Hentikan! Itu tidak benar!"

"Tinggallah bersamaku, aku berjanji tak akan ada satu pun diantara kita yang menderita..." Suara itu terdengar kembali, berdesis menakutkan.

"Tidakk!!"

Sean menangis terisak-isak seperti anak ingusan. Dia tidak tahan lagi, sekuat tenaga ia membanting ponselnya ke lantai hingga bagian-bagiannya terlepas berceceran.

"Hentikan..."

Dia masih mengerang parau diantara tangisan, seiring dengan itu rasa sakit menyerang kepalanya, terlebih bagian belakang. Dia mencengkeram kepala, menjambak rambutnya sendiri, berjuang meredakan semua rasa sakit dan shock yang melanda.

Sesaat berikutnya, Sean limbung dan jatuh pingsan.

🥀🥀🥀

Di saat yang sama, ketika Sean terperangkap dalam energi gelap, Yibo terperangkap dalam satu rapat penting di mental center tempatnya bertugas.

Tak sabar menunggu rapat berakhir, ia menggerak-gerakkan kaki gelisah. Ada sesuatu yang mengusik hatinya, samar tapi cukup mengganggu.

Dia melesat keluar ruangan saat pimpinan mengakhiri rapat tersebut. Yibo melonggarkan dasi, bergegas menuju mobil volkswagen abunya.

"Tidak bergabung bersama kami, dr. Wang?" Salah seorang rekan kerjanya di mental center bertanya dari samping sebuah mobil mercedes hitam.

Yibo menyempatkan diri menoleh, menatap heran.

"Kami, maksudku aku dan beberapa dokter lain akan minum kopi di Marzano," dokter itu, seorang kulit putih tampan muda dan bermata biru, kembali menyuarakan ajakannya.

"Tidak. Terima kasih," Yibo menolak sopan. Dia tersenyum menunjukkan rasa sungkannya.

"Padahal kami akan membahas kasus perpecahan pribadi di sana, yah-- kau tahu kasus semakin unik akhir-akhir ini, bahkan untuk institusi kita."

"Sayang sekali. Mungkin lain waktu."

Dokter kulit putih itu memiringkan kepala, bibirnya terkatup.

"Oke. Sepertinya kau terburu-buru."

"Tepat sekali!"

Yibo mengangguk, kemudian berbalik dan membuka pintu mobil dan duduk di belakang kemudi.

Mesin baru saja dinyalakan bersamaan dering ponsel yang menyentakkannya dari satu arus ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Disambarnya ponsel dengan tergesa, darahnya berdesir lebih cepat saat melihat siapa yang menelepon.

Dr. Haikuan.

"Ya hallo?" Yibo memilih mematikan lagi mesin, dan bicara terlebih dulu dengan dr. Haikuan.

"Kau di mana dr. Wang?" Suara dr. Haikuan agak goyah di seberang sana, walaupun tidak terlalu kentara.

"Aku di Rosalin Mental Center. Ada kabar penting untukku?"

"Kupikir begitu. Aku berada di rumahku sekarang di Wina. Saat merapikan ruangan kerjaku, aku teringat file Mr. Sean yang tersimpan di salah satu laci pribadi. Mungkin kau tertarik untuk mengambilnya sekarang."

Menggigit bibirnya gelisah, Yibo tidak langsung menjawab. Sekejap dia merasa bingung. Dimiringkannya kepala mengintip lebih jelas ke langit di luar sana. Matahari mulai terbenam dan hari mulai gelap. Jika dia mengambil perjalanan pulang pergi dari Seefeld ke Wina, akan memakan waktu cukup lama karena jarak yang lumayan jauh.

Tangannya mencengkeram kemudi sementara otaknya memikirkan sesuatu.

"Apa aku harus ke Wina untuk mengambilnya sekarang juga?" Ia mendesah.
"Waktuku mungkin tidak akan cukup."

"Jika kau terburu-buru, aku bisa menyerahkan file malam ini juga. Aku berencana pergi ke Innsbruck malam ini untuk menghadiri seminar besok pagi-pagi sekali. Kita bisa bertemu di sana jika kau merasa terlalu jauh untuk datang ke Wina."

Ide brillian, dan juga keberuntungan.
Yibo bersyukur dalam hati.

Jarak dari tempatnya ke kota Innsbruck lebih pendek dibanding dia harus mengemudi ke kota Wina. Dr. Haikuan memang efektif dan efisien.

"Aku akan ke sana sekarang juga. Di mana kita akan bertemu?"

"Cafe de La Rosa. Dekat taman kota. Kita bertemu sebentar di sana, aku akan menyerahkan filenya padamu dan langsung menuju hotel."

"Baiklah. Sampai ketemu di sana. Terima kasih sebelumnya dokter. Tapi ngomong-ngomong, apakah file itu berupa riwayat medis lengkap dengan rekaman sesi konsultasi?"

"Ya. Di sini ada rekaman suara Mr. Sean dalam dua kali sesi konsultasi. Kau bisa mendengarkan dan mempelajarinya. Mungkin akan berguna untuk perkembangan Mr. Sean ke depannya."

Jantung Yibo berdegup kencang tanpa bisa dikendalikan, dia merasa ada point penting yang akan ia temukan dalam file yang tersimpan lama di laci pribadi ruang kerja dr. Haikuan.

Begitu pembicaraan berakhir, telapak tangan Yibo yang memegang kemudi sudah berkeringat dingin. Dia menyalakan mesin dan melajukan mobilnya keluar dari pelataran Mental Center.

🥀🥀🥀

Setelah perjalanan yang terasa lebih panjang dan melelahkan, Yibo tiba di taman kota Innsbruck. Di sudut sebelah barat, plang menyala bertuliskan Kafe De La Rosa menyala meriah dengan warna merah. Jalan-jalan utama terang oleh kerlipan cahaya lampu-lampu di tepi jalan dan juga dari arah taman.

Yibo memarkir mobilnya di pelataran parkir kafe dan keluar ke malam musim panas yang hangat dan beraroma asap kendaraan. Pemuda itu berjalan cepat memasuki kafe, tidak berniat duduk lama di sana. Beruntung, dr. Haikuan sudah tiba lebih dulu. Mereka bicara sebentar berbasa-basi tentang isu terbaru dalam institusi masing-masing.

File yang diberikan dr. Haikuan berupa map tebal berwarna hitam berisi lembar-lembar catatan penting serta satu buah usb hitam berisi rekaman percakapan di sesi awal konsultasi Mr. Sean.

"Aku merekamnya di ponsel waktu itu karena darurat. Kemudian aku memindahkannya ke laptopku. Agar lebih mudah, aku memindahkannya ke sini."

Dr. Haikuan menunjuk USB hitam di atas map.

"Aku yakin kau ingin mendengarkan bagian ini."

Ada nada misterius dalam ucapan dr. Haikuan. Perlahan-lahan mata Yibo teralihkan pada benda kecil hitam itu, menatapnya penuh teror. Firasat buruk memberontak dalam dirinya.

"Terima kasih sudah repot-repot. Aku tidak bisa lama. Sean menungguku di rumah," dia berkata ramah tetapi gelisah.

Dr. Haikuan mengangguk dan tersenyum.

"Tidak masalah. Aku akan langsung menuju hotel tempat seminar diadakan besok."

"Selamat malam," Yibo membungkuk ringan, lantas berbalik pergi.

Yibo kembali ke mobilnya dan mengemudi sejauh beberapa ratus meter. Matanya membiasakan diri dengan minimnya pencahayaan di dalam mobil. Yibo memilih memilih satu jalan yang agak sepi di tepi sebuah taman bermain anak-anak.

Di sana cukup tenang dan tidak banyak kafe atau fasilitas umum lainnya.

Ada barisan pepohonan maple dan segerumbul semak. Jangkrik dan serangga lain berderik di keheningan.

Yibo menyalakan lampu dalam mobil, membuka map hitam dan membaca dengan cermat dan teliti. Dia menarik nafas dan mencoba menekan rasa terkejut. Dipelajarinya berkas itu, walaupun dia sudah berulangkali membaca informasi tentang Sean dari laporan-laporan sebelumnya, dia masih tidak bisa menahan rasa gemetar.

Lima menit berikutnya, dia melirik dan mengambil usb hitam, memutar-mutar diantara jemarinya bersamaan segulung rasa takut dan melankolis memenuhi dada.

Dia tidak langsung mendengarkan rekaman itu. Alih-alih bersikap berani, dia malah termenung menatap sejalur sinar bulan yang memotong jalan. Putih di atas hitam.

Membuang waktu hanya untuk hanyut dalam perasaan sama sekali bukan sikap seorang profesional. Dengan alasan itu, Yibo mulai memutar rekaman. Setelah beberapa detik kekosongan, derum suara halus mengayun dalam percakapan samar. Yibo sampai harus menaikkan volume untuk menangkap jelas apa yang diucapkan Sean.

Bahkan mendengar suaranya saja sudah mampu membuat Yibo kembali tidak fokus. Dia menautkan alis, melahirkan ekspresi ganas untuk mengatasi emosi yang melonjak, tidak mengizinkan perasaan mempengaruhi penilaiannya kali ini.

Di bawah tatapan dingin beberapa pasang mata menakutkan yang muncul dari kegelapan, aku merasa menjadi mayat hidup yang merangkak menuju genangan darah. Aku tidak sanggup melihatnya. Tatapan mata kedua orang tuaku yang mati terbunuh malam itu, menghalusinasi dari serpihan serpihan kenangan kelam.

Aku tidak bisa melupakan wajah-wajah bengis, sorot mata penuh keserakahan. Itu menghantuiku siang dan malam.

Suara Sean berhenti, beberapa detik berlalu hening. Kemudian satu rekaman lain berderum.

Mata Mark, mata itu terkadang menakutkan. Tetapi aku membiarkankannya. Lalu aku mulai merasa dia berubah, dia merendahkan, menertawakanku. Aku benci mata itu. Aku ingin membuat sinar mata itu padam untuk selamanya.

Rekaman berhenti lagi, kemudian berlanjut ke rekaman lain.

Keringat dari dahi masuk ke mataku, tetapi kupaksa mataku tetap terbuka. Aku membalas tatapan Mark, dia membuatku takut. Tetapi dia membeku, mengawasiku tanpa bergerak. Aku tahu ada sesuatu yang buruk telah terjadi. Lukaku mengucurkan darah seperti air sungai, aku tidak tahu darah siapa yang menggenangi lantai.

Dokter, pemuda menakutkan itu bergerak. Semakin maju, mendekat, dia merasukiku, ingin meremukanku. Aku marah, aku ingin melenyapkannya. Aku harus melenyapkannya. Mata itu mengingatkanku pada mata para pembunuh.

Satu berkas berisi catatan resmi dari klinik psikologi adalah yang terakhir kali dibaca Yibo. Di sana tertulis bahwa Mr. Sean dinyatakan tidak sehat kejiwaannya dan tidak bisa dilibatkan dalam acara pidana apapun.

Bukti-bukti di tkp mengarahkan pada satu kesimpulan bahwa malam itu pengusaha Mark Chao bunuh diri. Melalui rekaman ini, Yibo akhirnya tahu apa yang terjadi sebenarnya.

Sepasang kekasih itu bertengkar, Mark yang frustasi melukai Sean dengan pisau. Kondisi mental Sean yang belum stabil akibat guncangan trauma memungkinkannya melakukan tindakan mengerikan. Sang pianis membunuh Mark, mengatur agar kejadian itu tampak seperti bunuh diri, kemudian setelah itu dia tidak ingat apapun. Ingatannya terpecah-pecah dan mengabur.

Kertas itu meluncur jatuh dari tangan Yibo. Ia memejamkan mata rapat-rapat.

Kepiluan menenggelamkannya dalam kesunyian. Hatinya terasa bagai mengambang di lautan luas menghitam, seperti umumnya warna laut pada malam hari. Menaruh harap pada ombak, agar jiwanya tidak membeku di tempat dan masih bisa bergerak.

Rekaman itu masih belum selesai. Setelah satu jeda pendek, suara Sean terdengar lagi.

Kau tahu fakta yang paling ironis dan mengenaskan? Ibu memintaku bermain piano setelah makan malam. Aku terus bermain hingga terhanyut tanpa menyadari bahwa para perampok itu telah menyusup dan mulai melakukan aksinya.

Tawa samar Sean menyela diantara penuturannya. Tawa yang aneh, penuh kesakitan.

Lavender's Blue.

Lagu itu mengiringi kematian orang tuaku malam itu,

Bagaimana bisa sebuah lagu hangat dan ceria, bisa menjadi melodi kutukan buatku?

Tolong aku dokter,

Suara itu selalu ada di dalam kepalaku.

Aku bisa gila...

To be continued

Hikss... Poor Sean

Yizhan Lovers, please vote 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro