Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

22th Petal

Let's play this beautiful song 👆

💖 Happy Reading 💖

Pagi menjelang pukul sembilan, Sean tiba kembali di depan pintu rumahnya, menenteng travelling bag yang ia ambil dari bagasi mobil Yibo, pemuda manis berkacamata itu melambai dengan senyum bahagia terwujud di wajahnya.

"Terima kasih, sampai ketemu."

Yibo balas mengangguk dan melambai.

"Semoga harimu menyenangkan," Yibo menyembulkan kepala dari kaca mobil.

"Aku akan berkunjung nanti malam. Sepertinya sepanjang hari ini aku cukup sibuk."

Sean menaikkan sudut bibirnya, membentuk seringai.

"Aku akan menunggu."

Yibo mengedipkan sebelah mata sebelum menaikkan kaca mobil dan menderu pergi meninggalkan halaman.

Sean berdiri beberapa lama di halaman, mengawasi semak bunga, rerumputan, dan barisan cemara pensil di ujung halaman.

Kurasa taman ini butuh sedikit sentuhan, Sean menimbang-nimbang.

Dia harus meminta rekomendasi Paul siapa kira-kira orangnya yang handal dalam mengurusi kebun dan halaman.

Sean membuka pintu rumah, dan baru saja melangkah masuk ketika derum sepeda motor memasuki halaman. Dia menoleh, alisnya bertaut.

Seorang kurir berseragam turun dan menghampirinya. Seketika Sean teringat, barang yang dikirim kurir itu pasti kiriman dari dr. Haikuan di Wina.
Barang itu dikemas secara khusus dan juga diperlakukan hati-hati.

Setelah mengucapkan terima kasih, Sean masuk ke dalam rumah dan kali ini tak ada siapapun yang datang mengganggunya beristirahat. Sean hampir yakin, ritual pengusiran roh jahat oleh pendeta Kriss mungkin berhasil, dan itu langkah yang paling tepat yang bisa ia ambil.

Hawa mencekam dan kesunyian mendalam di rumah itu terasa lebih bersahabat. Suara Miko menambah kedamaian yang ia rasakan.

Sean duduk di kursi meja makan, memutar-mutar botol kaca berisi obat yang dikirim dr. Haikuan khusus untuknya.

Dia merasa tidak memerlukan obat ini.

Setidaknya untuk hari ini dan mungkin beberapa hari ke depan sebelum ia memutuskan kapan akan kembali ke Wina. Kembali ke kehidupan dan tempatnya semula sebagai seorang pianis idola. Meninggalkan kesunyian rumah musim panas beserta segala misteri di dalamnya, meninggalkan keindahan padang lavender.

Untuk Yibo, dia tidak perlu khawatir. Mereka bisa bertemu kapan saja, jarak dan waktu rasanya bukan masalah besar, demi hubungan yang baru saja terjalin, dan mulai mengenalkannya kembali pada satu emosi asing yang telah lama ia lupakan.

Kebahagiaan.


🥀🥀🥀


Karena bidang studi dan profesinya, waktu yang dihabiskan Wang Yibo di depan orang-orang bermasalah jauh lebih lama daripada waktu yang ia habiskan di sekitar manusia normal.

Dia tidak mahir dalam acara-acara sosial, tapi sebenarnya itu tidak masalah buatnya. Terkadang di depan pasiennya, ia merasa jauh lebih nyaman.

Namun siang ini, saat ia mengunjungi yayasan di kota Innsbruck yang tidak terlalu jauh jaraknya dengan Seefeld, dia bertemu seseorang yang terlihat cukup aktif dalam satu kegiatan sosial yang diadakan di depan gedung yayasan.

Pendeta Kriss, batin Yibo.

Pemuda itu mengawasi dari kejauhan dan menunggu pendeta Kriss mengakhiri sebuah pidato singkat yang menjelaskan tentang kemuliaan sebuah program bantuan sosial.

Tak lama beberapa mahasiswa nampak mengobrol dengan pendeta Kriss, dan ketika mereka meninggalkan si pendeta sendirian, Yibo bergegas menghampirinya.

"Pendeta Kriss," dia menyapa serta membungkuk ringan.

Pendeta Kriss mengamati pemuda berpakaian jas lengkap di depannya.

"Anda??"

"Wang Yibo. Aku warga Seefeld juga, sebenarnya aku sempat beberapa kali mengunjungi gerejamu, tetapi--"

"Kau berhenti mempercayai entitas yang tidak nyata semacam kekuatan Tuhan," pendeta Kriss menukas seraya tersenyum.

"Ah, itu -- tidak seperti itu," Yibo terkekeh ringan.

"Katakan ada apa? Matamu nampak menyimpan sesuatu," Pendeta Kriss kembali ke topik utama, dia yakin pemuda ini memiliki maksud tertentu.

Sesaat Yibo merasa ditelanjangi dengan mudahnya pria itu membaca apa yang ia pikirkan. Jadi Yibo memutuskan untuk langsung ke inti.

"Kudengar beberapa hari lalu anda melakukan ritual pengusiran roh jahat di rumah musim panas milik Sean, pianis yang datang dari Wina."

"Wah, angin menyebarkan kabar lebih cepat dari yang kita duga," pendeta Kriss tertawa. Sejurus kemudian dia mengangguk.

"Kau benar. Mr. Sean datang padaku dalam keadaan linglung, memintaku mengusir roh jahat yang mengganggu. Tugasku adalah membantu siapapun yang meminta pertolongan. Jadi aku melakukan pengusiran roh jahat di rumahnya."

"Tidakkah kau memiliki kecurigaan bahwa Mr. Sean hanya berhalusinasi?" Yibo memiringkan kepala, menatap lekat pada wajah sang pendeta.

"Seseorang yang belum pernah melihat hantu akan mengatakan seperti yang kau katakan. Tapi aku memiliki keyakinan yang berbeda."

"Menurutku, jika Mr. Sean memang bermasalah, tindakanmu justru akan lebih memprovokasinya."

Pendeta Kriss tersenyum tipis, "Mungkin kau sejenis orang yang tidak percaya pada fenomena gaib. Aku bisa mengerti itu, tak ada yang bisa memaksamu untuk percaya. Tapi bagaimana jika kau ubah pertanyaanmu, tidakkah kau memiliki kecurigaan bahwa rumah itu benar-benar berhantu? Kau harus memikirkan juga betapa putus asanya Mr. Sean menjelaskan sesuatu yang ia lihat namun tak ada seorang pun mempercayainya."

Wang Yibo terdiam pada detik ini.

"Bagaimana jika kau melihat sesuatu yang tak bisa dilihat orang lain? Tidakkah itu cukup merepotkan dan mengganggumu? Kau bersikeras memaksakan logika pada situasi yang tidak seharusnya," pendeta Kriss berkata lagi.

"Atas alasan apa aku harus percaya, itu tidak rasional," sahut Yibo.
"Kupikir apa yang dialami Sean ada penjelasannya."

"Tentu saja, nak. Semua bisa dijelaskan. Demikian pula fenomena mistis yang dialami Mr. Sean. Aku tidak seratus persen yakin, tetapi sejarah yang kurang bagus dari rumah itu mungkin jadi awal mula serangkaian peristiwa yang mengganggu Mr. Sean."

Penuturan terakhir pendeta Kriss berhasil memancing rasa ingin tahu Yibo, dan ketulusannya ingin berempati pada Sean, membuat pikiran logisnya membuka celah untuk hal mistis itu masuk ke dalam rasionalitasnya.

"Sejarah apa?" Dia bertanya dengan wajah serius.
"Kau mengetahui sesuatu tentang rumah itu?"

"Hanya informasi umum nak, rumah itu sudah bertahun-tahun tidak dihuni. Pemiliknya dulu bernama Arthur, dia pernah beberapa kali bertemu dan bicara denganku, bahkan aku pernah berkunjung ke rumahnya untuk mendengar dia bermain piano."

"Piano??? Arthur seorang pemain piano?"

"Bukan pemain professional, hanya selingan. Tetapi dia memang mencintai musik. Grand piano yang berada di sana, aku bisa memastikan itu milik Arthur. Sayangnya, sepuluh tahun lalu dia menghilang. Tak ada yang tahu kemana dia pergi, tak lama kemudian, partner wanitanya, Miss Cynthia terkena demensia akut dan pindah dari rumah itu."

Yibo tertegun beberapa lama, dia berusaha mengingat dengan keras, dimana dia sepuluh tahun lalu. Kenapa ia tidak tahu tentang peristiwa itu, meskipun ia berada di lingkungan yang sama. Ya, kalau tidak keliru, waktu itu dia berada di kota Innsbruck untuk bersekolah di sekolah menengah atas terbaik.

Tidak heran ia tidak tahu apapun. Dia hanya tahu bahwa rumah musim panas itu milik seorang wanita bernama Miss Cynthia, tidak lebih.

"Apa kau baru saja mengatakan padaku bahwa Arthur telah mati dan rohnya menghantui rumah itu?" Selidik Yibo.

Pendeta Kriss menghela nafas panjang, mendongak ke langit. Mungkin dia juga tidak tahu jawabnya.

"Mungkin itu Arthur atau bisa siapapun.  Mr. Sean hanya kebetulan cukup malang, tiba-tiba dia datang ke rumah musim panas itu dengan alasan kedamaian.."

Helaan nafas lagi.

"Seandainya kedamaian itu memang ada.."

Wang Yibo tidak mengalihkan tatapannya pada sang pendeta, menurut instingnya, dia yakin pendeta Kriss tidak berbohong. Masalah kini ada pada dirinya sendiri, apakah ia memilih percaya atau tidak.

Tetapi dia mempertimbangkan untuk menemui Miss Cynthia, jika benar-benar diperlukan. Dia ingin tahu apakah ada orang lain yang melihat hantu itu selain Sean.

Dengan berat hati, Yibo mengajukan pertanyaan yang terakhir.

"Jadi menurutmu, rumah itu memang berhantu?"

Pendeta Kriss mengangguk dengan enggan, wajahnya muram saat ia menjawab.
"Saat aku melakukan ritual di sana, aku bisa merasakan aura gelap yang menekan mengepung rumah itu. Aku yakin, ada sesuatu yang tidak wajar di sana. Sesuatu yang tertolak oleh logika. Tetapi nak, jika kau masih memiliki keyakinan pada Yang Di Atas, kau tidak akan mengabaikan ucapan seseorang sepertiku."

Di balik saku jasnya, jemari Yibo mulai berkeringat. Dia mengepalkan tangan, menahan lonjakan emosi yang bergejolak. Seluruh tubuhnya merinding tanpa bisa dikendalikan.

Tiba-tiba, dia sangat ingin menemui Sean, melindunginya, membawanya jauh dari segala gangguan dan ancaman.

"Aku ucapkan terima kasih atas penjelasanmu," Yibo tersenyum lemah yang disambut anggukan.

"Sama-sama, Nak. Jangan khawatir, sekarang dia akan baik-baik saja."


🥀🥀🥀


Sean.. Sean..

Kepala Yibo dipenuhi nama itu, penuh kecemasan dan rasa sakit yang aneh.

Apakah dia benar-benar dihantui? Apakah dia benar-benar putus asa karena tak ada yang mempercayainya?

Dirinya tidak bisa membiarkan ini, tidak juga sanggup terus mendengar Sean bermasalah dengan fenomena mistis.

Yibo mengemudi dengan kecepatan tinggi saat ia kembali ke Seefeld sore ini.  Dia tidak sempat menikmati keindahan pemandangan sepanjang jalan, justru berulang kali menghela nafas panjang.

Rasanya tidak sabar ingin segera menemui Sean. Walaupun tak ada agenda khusus, dia hanya ingin berada di dekatnya. Menemani, mengajaknya bicara, mendengar permainan pianonya. Memandang wajah dan senyuman manis, yang terkadang rumit, terkadang sangat lugu.

Kombinasi misterius yang membuatnya menggigil.

Diinjaknya pedal gas lebih dalam. Seiring melonjaknya kerinduan dalam dadanya.


🥀🥀🥀

Sean duduk di kursi piano setelah satu acara makan malam lagi bersama Yibo di rumahnya. Diam-diam ia menyukai perhatian Yibo padanya, dan tentu saja ia membutuhkannya juga sebagai teman bicara. Walaupun kadangkala tak ada topik untuk dibicarakan.

Mereka bahkan merasa nyaman hanya dengan duduk bersama dalam satu ruangan, sibuk dengan kegiatan dan pikiran masing-masing. Terkadang hanya dengan memeluk dan membelai Miko bersamaan, mereka merasa sangat damai.

Begitulah seharusnya belahan jiwa yang ideal, hubungan dewasa yang tidak melulu berisikan rayuan omong kosong dan janji-janji yang entah kapan bisa ditepati.

"Kau sudah memutuskan?" Yibo bertanya, dia berdiri dekat piano, mengambil buku partitur dan membolak-baliknya tanpa minat.

"Tentang apa?" Sean membuka piano, memainkan 'Belle' dalam satu alunan musik indah.

"Pindah ke rumahku."

Sean berpikir beberapa saat, mengira bahwa alasan terbesar Yibo mungkin hanya ingin terus bersamanya. Tetapi Sean mengenali dirinya sendiri dengan baik. Dulu dia bisa disebut pribadi yang introvert, hanya dengan Yibo dia bisa cepat membuka diri. Namun itu tidak bisa menjadi alasan cukup untuk mengizinkan diri sendiri menginap dalam waktu beberapa hari di rumah orang lain. Dia tidak terbiasa, dan ia tidak akan merasa nyaman. Bahkan mungkin tanpa pianonya.

Dan Yibo pikir dia akan baik-baik saja dengan perubahan itu?

"Kupikir aku tidak bisa," sahut Sean enggan.

"Mengapa?" Suara Yibo mendesak. Dia mengambil tangan Sean dari atas tuts dan menutup tutup piano.

"Aku tidak terbiasa. Lebih baik aku tidur di hotel. Itu lebih mudah bagiku untuk beradaptasi. Tetapi di rumah orang lain?"

Sangkalan itu nyaris tidak berguna bagi Yibo.

"Kau pikir aku orang lain?"

"Yibo," Sean mengangkat wajah, menatap mata pemuda itu.

"Jika kau sangat khawatir padaku. Bagaimana jika kau saja yang menginap di sini?"

Penutup piano dibuka lagi dan Sean kembali memainkan serangkaian melodi indah.

Yibo menghela nafas berat dan panjang. Berpikir di tengah gema lagu yang memenuhi ruangan. Melodi indah ini teman sejati Sean. Mungkin sang pianis menyukai beberapa situasi dan kondisi tertentu yang tidak mudah dipahami orang lain.

Mungkin memang harus dirinya yang mengalah.

"Baiklah. Aku akan menginap di sini untuk menemanimu," akhirnya dia berkata, bersandar lemas pada badan piano.

Sean melirik Yibo sekilas dan tersenyum samar. Dia pun ingin tahu sejauh mana ritual pengusiran setan itu menunjukkan hasilnya. Ada sisa kengerian yang samar-samar tetapi dengan kehadiran Yibo mungkin hal itu bisa lenyap sama sekali.

"Lagipula hanya untuk beberapa hari lagi," Sean bergumam.

Kalimat itu menjurus pada topik kepulangannya ke Wina, dan itu membuat Yibo merasa tidak nyaman meski sudah puluhan kali ia mengingatkan diri sendiri bahwa Sean tidak akan selamanya berada di sini.

Seketika ia ingin mengalihkan pembicaraan.

"Oya, aku ingin minum kopi, kukira aku membawa satu botol kopi vanilla untukmu. Kau ingin satu?"

Sean tahu apa penyebab Yibo tiba-tiba ingin minum kopi. Dia tersenyum kecil dan mengangguk.

Yibo berlalu ke dapur, menyalakan teko pemanas air dan membuat dua cangkir kopi vanilla. Dia tengah sibuk mengaduk kopi saat tatapannya tertumbuk pada satu benda di atas lemari es, di samping vas bunga kecil.

Sesuatu yang menarik perhatiannya.

Saat makan malam tadi, dia tidak sempat mengamati dan hanya terfokus pada acara makan.

Rasa heran disertai penasaran menciptakan kerutan di keningnya, dia mendekat ke lemari es dan mengambil benda kecil itu.

Sebuah botol kaca bening berisi pil-pil putih. Ada label menempel di luarnya.
Yibo membaca nama yang tertera di label itu dan seketika disergap rasa khawatir. Sebelumnya ia tidak pernah melihat obat ini, atau mungkin Sean menyimpannya di lemari obat.

Mungkin.

Dia kembali menyimpan botol itu dan bergegas ke ruang tengah dengan cangkir kopi yang masih mengepul.

"Sean, aku -- bagaimana jika aku menginap di sini mulai besok malam?" Dia bertanya santai, tangannya menaruh hati-hati kedua cangkir itu di atas meja.

"Tidak masalah," Sean tidak mengalihkan mata dari pianonya.

"Yeah, aku perlu mempersiapkan beberapa barang dan juga malam ini aku harus memeriksa sesuatu di ruang kerjaku." Yibo memberikan alasan.

"Jangan dijadikan beban, kau bisa datang kemari kapan saja. Rumah ini selalu terbuka untukmu."

Yibo tersenyum, duduk santai di sofa menyesap kopinya.

"Terima kasih.."

Wajahnya menampilkan senyum tetapi hanya dia yang tahu ribuan pikiran berkecamuk dalam benaknya. Mata gelap yang kontras dengan putih kulit wajahnya menatap Sean dalam-dalam.

Mereka berhenti bicara sementara 'Belle' masih mengalun merdu mengisi keheningan malam.

To Be Continued

Btw banyak silent reader
Terusin apa jangan yaa 😶

I'll be glad if you vote and comment 💖💖💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro