21st Petal
Can't Help Falling In Love
Malam menjelang, menghadirkan bayangan rembulan di permukaan danau. Di kamar mereka yang berada di lantai dua penginapan, Yibo menyalakan beberapa batang lilin, di samping cahaya kandelar terang benderang.
"Lilin?" Sean keluar dari kamar mandi, menggosok wajah dan rambut dengan handuk. Mereka baru saja menyelesaikan makan malam di restoran dan sudah waktunya beristirahat, menghabiskan lebih banyak waktu untuk bicara berdua. Yibo sudah merencanakan piknik singkat ini, jadi dia nampak antusias menciptakan suasana agar jadi lebih romantis.
Yibo menoleh, mengamati wajah dan tubuh Sean penuh gairah cemerlang.
"Kupikir suasana akan jadi lebih romantis dengan lilin."
"Bukannya lampu sudah terang?" Sean tersenyum kecil.
"Akan kumatikan."
"Kau berniat tidur sekarang?" Sean mengambil remote tv di meja. Di satu meja lain yang berada pada satu sisi ruangan kamar luas itu, ada satu jambangan besar berisi tangkai-tangkai mawar hidup yang masih segar, dan satu piring berisi apel dan jeruk lengkap dengan pisau buah untuk memotong.
Gerakannya terhenti sesaat ketika dia tanpa sengaja menatap ke arah meja.
Pisau itu..
"Kau ingin menonton televisi?" Suara Yibo mengagetkannya.
"Ah ya -- " Sean tersentak, mengalihkan fokus pada remote tetapi tangannya bergerak cemas di luar kendali dan remote itu pun terjatuh.
"Ada apa Sean?"
Yibo mendekat, berjongkok untuk mengambil remote di lantai.
"Lagi-lagi kau cemas," Yibo menyerahkan remote tetapi kali ini Sean menolak.
"Tidak usah nonton televisi, aku mau langsung istirahat."
Dia berjalan menuju satu sofa panjang dilengkapi meja kaca. Dia duduk dengan satu kaki diluruskan, lutut dan betisnya masih berdenyut ngilu.
"Kau benar. Sebaiknya kita tidur, tapi tunggu sebentar, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu."
Yibo mengambil piring buah beserta pisau, menaruhnya di meja depan Sean.
"Tidak apa-apa kan kalau kita mengobrol sambil aku makan apel?" Yibo duduk di sofa tunggal seberang meja. Dia mengambil satu butir apel dan pisau, lalu mulai mengupas dan mengirisnya.
Mata Sean tertuju pada pisau di tangan Yibo, mengamati setiap gerakan mengupas dan memotong, nyaris tanpa berkedip. Dia menahan nafas saat rasa ngeri merambati tubuhnya dari kepala hingga kaki.
Mengiris, memotong, laksana pisau.
Beberapa peristiwa mengiris hatinya, beberapa keping kenangan buruk memotong hidupnya.
Sean memejamkan mata, mengelakkan pemandangan di depannya.
Pisau itu --
Aku melihat pisau semacam itu melukaiku, melukai Mark.
Darah mengalir
Wajah kematian yang pucat, mata terbelalak lebar, penuh tanda tanya.
"Kau baik-baik saja?" tanya Yibo pelan.
Sean tidak menjawab. Hanya mengatur nafas, semenit kemudian dia balas bertanya.
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
Yibo menggigit satu potongan apel. Mengamati perubahan demi perubahan dalam ekspresi Sean.
"Aku ingin kau pindah ke rumahku," ujar Yibo.
"Untuk apa?"
"Rumah itu membuatmu gila."
"Karena aku memanggil pendeta Kriss?" Sean mengerling.
"Paul pasti menceritakan padamu."
"Bukan itu saja. Aku ingin kau lebih dekat denganku, kita akan lebih mudah berkonsultasi dan kau bisa mengajukan keluhan kapan saja. Itu akan menjadi terapi bagimu."
"Apa yang kau pikirkan?" Kalimat terakhir Yibo ibarat gasoline yang memercik ke atas bara api, membuat Sean bertanya dengan nada mendesak.
"Bahwa aku gila?"
"Tidak seekstrim itu, aku hanya mengira kau menderita trauma pasca mengalami tragedi."
"Aku baik-baik saja," Sean mengatakan dengan penuh ketegasan tetapi bibirnya mengembangkan senyuman. Tatapannya melingsir turun ke tangan Yibo yang memegang pisau.
"Dan aku akan semakin baik-baik saja jika kau menaruh pisaunya."
Yibo mengangkat wajah, memandang tepat ke mata Sean yang berkilat aneh.
Perlahan-lahan dia menurunkan tangan, menaruh apel dan juga pisau di meja. Dia menyadari bahwa kesalahan besar mengungkit hal ini sekarang, bukankah ia merencanakan piknik untuk hiburan.
Baiklah, jadi aku yang salah...
"Maafkan aku," Yibo berkata lembut.
Sean menjawab dengan hmm-- lantas dia berdiri dari sofa.
"Sekarang aku ingin tidur."
Yibo menyusul langkah Sean yang menuju tempat tidur, menahan pemuda itu, memeluk dan melingkarkan lengan dari belakang, mendekap erat pinggang rampingnya.
"Ayo kita ke tempat tidur, tapi jangan dulu terlelap," ia berbisik di telinga Sean.
Pemuda berkacamata itu tersenyum. Dia melirik ke arah lilin lilin besar beraroma wangi yang dinyalakan Yibo.
"Lilin itu akan mencair," ia bergumam.
"Jangan sampai kita berada dalam gelap."
Setelah mematikan kandelar, Mereka berdua menjatuhkan diri ke tempat tidur besar dan empuk.
🥀🥀🥀
Suaranya, aromanya, panas tubuhnya. Segala tentang Yibo memenuhi indra Sean, membuatnya tidak bisa berpikir dengan jelas.
Yibo membaringkan tubuh di sisinya, mengulurkan lengan dan memeluknya.
"Bagaimana jika kita tidur dalam posisi ini?" tangannya bergerak ke bawah, meraba pinggang ramping Sean.
"Bisakah?"
"Aku suka memelukmu dan aroma tubuhmu sangat khas. Kupikir, sejak kau tinggal dekat padang lavender, aroma tubuhmu mirip seperti itu."
Sean tertawa.
"Apa ini pujian atau rayuan?"
"Menurutmu?"
"Katakan saja jika menginginkan lebih dari ini," Sean berkata sedikit canggung.
Yibo tersenyum miring, "Kau sepertinya tidak menyukainya."
Pemuda tampan itu sesaat merasa takut untuk melanjutkan ke level yang lebih dari sekedar memeluk dan membelai. Dia bertanya tanya akan seperti apa reaksi Sean kali ini, setelah mengalami sekali lagi goncangan akibat fenomena aneh di rumah musim panasnya.
Tetapi dirinya tidak ingin berbohong, bahwa ia merancang piknik ini untuk tujuan egoisnya sendiri. Dia ingin memiliki Sean sampai selamanya, menemani dan melindungi sang pianis idola dari ketakutannya sendiri.
"Tidak apa. Itu menyenangkan," Sean menyahut pelan, senyum malu-malu melintas di wajahnya.
Yibo mengelus pipi halus Sean, turun hingga ke dagu dan mulai memutar wajah Sean hingga berhadapan dengannya. Cukup dekat untuk mereka berciuman.
Satu tangannya mulai menarik baju Sean dan miliknya sendiri.
"Kau baik-baik saja kan?" bisik Yibo, meyakinkan sekali lagi.
Sean tidak menjawab.
"Kau menatap aneh pada pisau itu. Apakah kau teringat sesuatu atau seseorang?"
Sean menggeleng pelan dan memejamkan mata. Mencoba mengendalikan perasaan terbakar dalam dirinya. Dia tidak ingin satu kenangan buruk kembali mengacaukan momen yang mungkin akan menjadi kenangan indah di masa depan.
"Apa kau benar-benar sudah melupakan Mark?"
Sean membuka mata sesaat. Nyalang. Selaput tipis kecemasan membayang. Tapi ia tidak mengatakan apa-apa. Hanya berbisik pelan.
"Ya."
Jauh dalam relung pikirannya yang gelap, Sean berpikir bahwa sangat sulit baginya melewati hari demi hari dengan berpegangan pada kenangan atau mimpi buruk. Terkurung di dalamnya seperti kelinci malang, bahkan secercah aroma yang bisa mengungkit masa-masa itu akan membuat harapannya tergelincir.
Kini, melihat pada sebersit cahaya di mata Yibo, membuatnya perlahan berubah memandang masa depan.
"Sean, apa kau benar-benar mencintaiku?" tanya Yibo cemas. Jantungnya berdetak dalam irama tidak tenang.
Kali ini Sean tidak langsung menjawab. Dia berenang dalam monolog hatinya di tengah gelombang pertanyaan.
Akankah sepasang lengan ini terus memeluk dan tidak akan melepaskannya, akankah cahaya mata ini setenang hari ini bahkan pada masa sulit yang mungkin menanti. Apakah Yibo tidak hanya berpura-pura dan mengasihani dirinya karena berpikir ia butuh pertolongan.
Cukup sulit baginya, bahkan saat pintu hati mulai terbuka pada seseorang yang tidak benar-benar ia kenal. Ada kalanya ia meragukan perasaan sendiri. Tetapi dia pun menginginkan kisah cinta ini. Membutuhkan pemuda ini untuk melengkapi dirinya.
Bahkan jika hubungan ini, kata-kata manis ini, hanyalah pura-pura.
Sean memandang mata Yibo, ada binar sejuta bintang di sana. Lalu dengan tersenyum tipis ia berbisik.
"Ya."
Aku jatuh cinta lagi..
Yibo mendaratkan satu ciuman lembut yang panjang dan lama, menikmati gairahnya sendiri, ingin menaklukan pujaan hatinya seutuhnya.
Detik demi detik berlalu dalam keheningan dan mereka mulai tenggelam dalam percintaan panas. Dalam hati masing-masing mengharapkan akan malam indah tanpa akhir dan memiliki ciuman ini selamanya.
Jam jam berikutnya, sebelum tenggelam dalam ketidaksadaran, keduanya menikmati titik cahaya api lilin yang nyaris padam. Mengingat dengan baik kesan manis malam ini, melupakan kesan buruk malam-malam sebelumnya.
Keduanya lalu mengucapkan perpisahan pada kesendirian, menikmati keagungan cinta mereka, dan menyiapkan diri untuk menyambut masalah apa yang akan menanti.
Uppss...
To be continued dulu
Yizhan Lovers, masih konek ga sama ceritanya?
Hehe.. Please vote yeeaa❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro