19th Petal
Klinik Kesehatan Jiwa Miracle
Wang Yibo duduk sendiri di dalam ruangan kantor dokter Haikuan, dan menunggu. Apa yang membawanya hingga kemari tampak lebih dari sekedar ingin tahu, yang lebih mendorongnya adalah perjalanan hidup seseorang yang cukup penting di hatinya.
Hanya beberapa hari sejak dia bersama dengan Sean, kini terasa seperti rangkaian hari gelap yang setiap hari dipenuhi tanda tanya sebelum akhirnya dia memutuskan datang kemari. Serangkaian tanya tak berkesudahan yang tak juga bisa ia pahami.
Pemuda itu mengetuk-ngetukkan kuku dengan gelisah ke permukaan meja kaca sementara ia menunggu menit demi menit berlalu. Jika Sean tahu ia melangkah sejauh ini menyelidik apa yang terjadi padanya, detail tentang sebagian kisah hidupnya, pianis itu pasti akan merasa sedih dan marah.
Gelombang rasa bersalah melanda Yibo memikirkan tentang kesedihan dan rasa tidak nyaman yang mungkin ia timbulkan pada jiwa Sean.
Bagaimana kalau Sean marah dan tidak mau bertemu dengannya lagi?
Bagaimana kalau perasaan terluka mendorongnya melakukan keputusan egois?
Meninggalkan dirinya?
Memusuhinya?
Atau --
Pintu ruangan kantor terbuka dan Yibo terperanjat, dia menoleh cepat, menemukan seseorang muncul di pintu dengan senyum ramah terkembang di wajahnya.
Dr. Haikuan seorang psikiater handal berusia empat puluh tahun. Figurnya sangat cocok dengan profesi yang berkaitan dengan kestabilan jiwa seseorang. Aura hangat dan ramah mengirimkan rasa nyaman pada siapapun.
"Selamat siang dr. Wang."
Wang Yibo mengangguk.
"Apakah aku mengganggu waktumu?"
"Aku punya tiga puluh menit waktu luang. Apa yang ingin kau bicarakan?" Dr. Haikuan duduk berseberangan dengan Yibo, melontarkan senyum tipis sehingga kekhawatiran Yibo hilang untuk sesaat.
"Kau tahu, Mr. Sean, dia telah menunjuk aku sebagai dokter pribadinya," Yibo berdehem, bertanya dalam hati sejauh mana kebohongannya terlihat meyakinkan.
"Aku ingin anda memberikan riwayat medis dan catatan selama dia berkonsultasi denganmu. Aku juga ingin melihat daftar obat yang pernah kau resepkan untuknya."
"Detail tentang pasien akan selalu menjadi catatan rahasia dalam klinik kami. Sebagai seorang dokter, harusnya kau sudah tahu itu."
"Aku tidak memiliki data base apapun. Kurasa -- Sean juga mengalami kesulitan untuk mengungkapkan keluhannya. Di samping itu ada yang ingin aku ketahui lebih lanjut tentang kondisi mental Sean pasca tragedi yang menimpa keluarganya. Mungkinkah dia menemui psikiater akibat trauma yang mendalam?"
Dr. Haikuan menganggukkan kepalanya dengan pelan dan berirama.
"Jika Sean sendiri sudah memutuskan menjalani konseling denganmu, aku akan menyerahkan beberapa berkas berisi informasi dan catatan mendetail."
Dr. Haikuan membuka laci meja, memilah-milah tumpukan map tebal. Setelah menemukan yang ia cari, dr. Haikuan menaruhnya di atas meja.
"Mr. Sean pernah menjadi pasienku selama enam bulan pasca tragedi perampokan dan pembunuhan keluarganya. Setelah cukup stabil aku percaya dia bisa kembali hidup normal. Rumor mengatakan dia tinggal bersama pacarnya, seorang pengusaha bernama Mark. Tetapi dia masih sesekali menghubungiku dan aku masih memantaunya dari jauh."
Wang Yibo mengambil map di meja dengan tangan gemetar. Membuka-buka berkas di dalamnya, gesekan kertas demi kertas terasa mengganggu di telinganya yang tengah sensitif.
"Aku melihat obituari di koran lama. Pengusaha bernama Mark itu, dia sudah meninggal bukan? Berita di koran mengatakan dia bunuh diri."
Dr. Haikuan terbatuk, dia nampak berpikir lama sambil memejamkan mata.
"Kuharap kematian Mark tidak ada hubungannya dengan Mr. Sean. Jangan katakan kalau mentalnya kembali terguncang," Yibo mengangkat pandangan dari lembar berkas, mengintip reaksi dr. Haikuan.
"Aku juga bertanya-tanya seperti dirimu. Tetapi itu sudah cukup lama, aku memiliki banyak pasien dengan kasus yang berbeda-beda. Semua yang ingin kau ketahui ada dalam file itu."
Yibo mengangkat map, menggoyangkannya di samping kepala.
"Anda yakin tak ada yang terlewatkan? Mungkin kau memiliki rekaman sesi konseling pada awal-awal pertemuan."
Wajah dr. Haikuan nampak khawatir, "Dulu, untuk menghindari sorotan publik dan beberapa pihak yang sangat ingin tahu, kami terbiasa mengadakan pertemuan di rumahku. Akan kuperiksa jika ada beberapa catatan yang mungkin tertinggal di sana."
Yibo mengangguk, menatap map di tangan, merasa tidak sabar untuk mempelajarinya.
"Untuk sementara ini cukup," dia berkata dengan tersenyum.
"Sebaiknya kau meninggalkan kartu nama di sini. Jika ada yang perlu dibicarakan, aku bisa menghubungi nomor pribadimu," dr. Haikuan berkata sesekali melirik jam tangan mengisyaratkan dia sudah kehabisan waktu.
"Tentu." Wang Yibo mengambil selembar kartu nama dan menaruhnya di atas meja.
"Kalau begitu aku permisi. Terima kasih atas kerjasamanya."
Yibo bangkit berdiri, membungkuk ringan.
🥀🥀🥀
"Kurasa sudah cukup," Sean mengamati hasil pekerjaan Paul di ruangan serbaguna lantai dasar.
"Kerja bagus," sambung Sean, tersenyum manis.
Paul mengangguk, "Terima kasih. Jadi semuanya sudah selesai sekarang?"
"Ya," Sean mengangguk.
"Haruskah aku bilang pada dr. Wang untuk tidak datang lagi kemari?" Paul menggoda, sementara memasukkan peralatan ke dalam kotak. T shirt nya bernoda cat di beberapa bagian.
"Dia akan datang sebagai dokter," Sean tersenyum.
"Apa dia menceritakan semuanya padamu?"
"Ya. Dia sangat antusias," Paul terkekeh.
"Aku akan kembali, mungkin malam ini aku akan menginap di rumah dr. Wang. Ada pesan untuknya?"
"Aku akan menelepon dia nanti."
"Oke. Aku pamit. Selamat sore."
Sean mengantar Paul sampai ke teras depan.
🥀🥀🥀
Wang Yibo duduk di kursi taman memandang langit malam dan berpikir tentang banyak hal. Dia baru saja tiba di rumah dua jam lalu, mandi, istirahat bersama secangkir kopi, dan sekarang -- termenung sendiri diantara bunga-bunga membisu, menghimpun kekuatan untuk mempelajari berkas Sean dalam map yang diberikan dr. Haikuan.
"Merindukan seseorang?"
Paul menggodanya dari teras samping, pemuda itu sudah lebih segar, tangan kanannya memegang secangkir kopi yang mengepulkan uap dan aroma sedap.
Yibo menoleh, tersenyum miring.
"Kau tidak berkunjung ke rumah Mr. Sean?" Paul mendekat, menaruh cangkirnya di meja bulat di samping Yibo. Pemuda itu duduk di satu kursi yang masih tersisa.
"Aku agak lelah," jawab Yibo jujur.
"Mungkin besok pagi aku akan ke rumahnya."
Paul ikut ikutan menatap langit malam. Bintang bertaburan di atas sana, cahayanya berkedip, seperti kerlip mata seseorang yang menatap dari kejauhan.
"Bagaiman pekerjaan tukangmu?"
"Sudah selesai dengan sempurna," Paul menyesap kopinya.
"Tidak ada sesuatu yang terjadi bukan?" Yibo menginterogasi. Dia merasa khawatir yang berlebihan setelah hari ini.
"Pendeta Kriss mengunjungi rumah Sean tadi pagi, sekitar jam sepuluh. Aku baru saja tiba di sana," Paul bercerita.
"Pendeta Kriss??!" Yibo menyerang dengan kalimat dan gumaman yang sama tajamnya, membuat Paul terkesiap.
"Ya. Kenapa kau kelihatan sangat cemas?"
"Apa yang dia lakukan di sana?" tanya Yibo curiga.
Paul mengangkat bahu, kemudian menjawab datar, "Mr. Sean bilang, dia baru saja melakukam ritual pengusiran roh jahat."
Pemuda itu menggeleng, berkomentar lagi dengan Suara tercekat.
"Sungguh menakutkan.. apa ada hal seperti itu??"
"Pendeta Kriss pasti mendengar rumor," sahut Yibo cemas, dia tidak tahu Sean akan mengambil langkah itu.
"Mungkin Mr. Sean sendiri memintanya datang. Kupikir, mulai sekarang dia sebaiknya menginap di rumahmu. Atau kau menginap di rumahnya," Paul menyarankan.
Yibo menaikkan alis, tatapannya menerawang menerka-nerka apa yang mungkin dialami Sean tanpa sepengetahuannya.
"Apa kau mulai mempercayai hal itu?" Paul bersuara lagi, mengusik keheningan.
"Apa?"
"Hantu. Benarkah rumah musim panas itu berhantu?"
Yibo menunjukkan wajah bimbang, untuk pertama kalinya dia berhadapan dengan hal di luar logika yang selalu jadi kebanggaannya.
"Bagaimana menurutmu?" Dia balik bertanya pada Paul.
Pemuda itu menggeleng, mulutnya mencibir, sama seperti Yibo, dia juga nampak ragu.
"Aku tidak tahu. Mungkin kau harus bertanya langsung pada pendeta Kriss."
"Bagaimana jika tidak ada hal mistis itu.." Yibo menggumam. Mengamati pucuk belukar yang bergoyang.
"Jangan katakan bahwa Mr. Sean hanya berhalusinasi, kau tidak menyamakan dia dengan pasienmu yang lain bukan??"
Pertanyaan Paul menyeretnya ke dalam gelombang rasa bersalah yang sama.
Itu membuatnya sedih karena tidak bisa mendengar atau cukup memeriksa, memastikan bahwa Sean baik-baik saja.
Ti--dak
Tidak mungkin itu terjadi.
Tiba-tiba Yibo merasa tidak sabar menunggu terbitnya sinar matahari dan ia ingin menjadi yang pertama melihat senyum sang pianis.
To be continued
Yizhan Lovers
Please vote and comment 💖
Biar Shenshen semangat nerusin😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro