14th Petal
Sometimes walking away is not because of hate, but only a defense against pain.
🌸 Happy Reading 🌸
"Sepertinya makan malam akan baik untuk kita berdua. Aku sangat merindukan untuk menghabiskan waktu denganmu, Sean."
Mark berdiri kaku dengan setelan hitam, kemeja hitam yang dikancing berantakan. Rambutnya agak kusut dan wajahnya menuntut, kesal, frustasi, dan jenis emosi lain.
Sean masih duduk santai di sofa depan perapian, sibuk membolak balik lembaran kertas berisi catatan simfoni.
Fokusnya pada kertas itu, seolah Mark yang tengah mengeluh di depannya tak pernah ada.
"Aku hampir tidak bisa melihatmu lagi," Mark nyaris berteriak.
Sean menurunkan lembaran kertas di tangannya dan menoleh. Keningnya berkerut.
"Kita bersama sepanjang waktu," dia membantah kalimat Mark yang serupa tuduhan.
"Ya. Tapi kau tak pernah bersamaku. Tubuhmu di dekatku tapi pikiranmu hanya musik, musik, dan musik!"
Mark berjalan menuju grand piano di satu sisi ruangan dan memukul badan piano yang terbuat dari kayu hitam mengkilat.
"Benda sialan ini!" Ia mengumpat.
"Apakah itu lebih penting dariku?!"
Ketakutan melintas di permukaan mata Sean.
"Lebih penting dari hubungan kita?"
Mark mengambil sebuah jambangan keramik besar, mengangkat dan bersiap-siap menjatuhkan benda itu di atas piano.
"Jangan!" Sean menghambur bangkit dari sofa, berusaha mencegah aksi Mark.
"Kau pikir kau Beethoven?!"
Aaahhh!!!
Pekikan Sean menggema diantara hingar bingar bunyi jambangan pecah.
Tidak!
Sean mendekati Mark dengan ekspresi linglung, menatap liar penuh amarah teredam.
Apa yang kau lakukan?
Matanya bergerak liar mengawasi pecahan tajam berserakan di lantai.
Tidak!
🥀🥀🥀
"Tidak!"
Sean mundur beberapa langkah, melepaskan diri dari jalinan bibir Wang Yibo. Sorot matanya jelas panik dan ketakutan.
"Ada apa?" Yibo menggumam bingung.
"Sean?"
"Tidak!" Sean memotong lagi.
"Kau benar-benar bukan orang yang baik," suaranya bergumam tidak rata.
"Beraninya kau bermain denganku seperti ini?"
Melihatnya terlihat sangat kacau, Yibo merasa diperlakukan sebagai predator yang menganggap pemuda manis itu seolah-olah hanyalah mainan.
Bahkan jika seseorang yang memahami ilmu jiwa pun, jika bertemu pemuda yang bersikap seperti Sean, itu lebih menyakitkan dari yang diperkirakan.
Terlebih jika sudah melibatkan cinta di dalamnya.
Wang Yibo mematung untuk beberapa lama.
"Kupikir telah terjadi kesalahpahaman," Sean menjelaskan lagi, suaranya gemetar.
"Kau telah melakukan pekerjaan luar biasa di sini, tapi aku pikir sudah tidak ada lagi yang perlu kau kerjakan."
Yibo menatap tercengang, benaknya menolak keras.
"Tidak! Sean! Dengar.., aku minta maaf oke! Ini salahku..."
Pemuda berkacamata itu menggelengkan kepala dalam ritme kacau, selintas ia melirik ke arah pintu dan tiba-tiba melesat keluar ruangan.
"Sean! Mau kemana kau?"
Yibo mengejar Sean yang melarikan diri, tetapi pada akhirnya langkahnya terhenti di halaman. Menatap punggung sempit dan tubuh ramping pemuda itu yang menjauh dan berbelok menuju kebun buah.
Tak ada gunanya membujuk dia saat ini, pikir Yibo dengan nafas terengah.
Dirinya hanya harus menunggu, sampai pemuda itu tenang dan bisa mengendalikan apa yang terjadi dalam pikirannya.
Yang harus dilakukannya saat ini adalah mempelajari, sejauh mana dia bisa menyelami sang pianis yang makin jauh dari hari ke hari.
Kadangkala ekspresi wajah sangat misterius. Kau bisa tahu suasana hati seseorang, isi pikirannya, dan emosinya dengan mudah.
Yibo memenuhi benaknya dengan perenungan mendalam, sementara mondar-mandir di tengah halaman.
Melalui ekspresi wajahnya seolah-olah kau melihat ke cermin.
Namun kau bisa menyembunyikan suasana hatimu, pikiran, dan perasaanmu. Seperti sedang memakai topeng.
Namun dalam sekejap, ada momen
Saat batas antara topeng dan cermin itu tak ada.
Yibo menengadahkan wajah ke langit senja yang mulai melingkupi Seefeld dengan jubah kemerahan.
Kebenaran yang tak dilihat siapapun..
Perasaan bahwa kau tak ingin seseorang melihat sisi terlemahmu.
Tetapi momen itu tetap saja akan muncul sekali waktu.
Dia memandang ke arah kebun buah yang dipenuhi jajaran pohon lebat berwarna hijau pekat, semakin berubah kelabu kala senja mulai mendekati malam.
Hatinya semakin khawatir kala angin semakin dingin.
Sean,
Jika kau menghadapi momen itu, jangan menutup mata.
Jangan abaikan mereka jika mereka mendatangimu,
Jangan menghindari kenangan buruk
Tapi mari hadapi masa lalu
Dengan harapan masa kini
Aku di sini bersamamu,
Tapi mengapa kau tidak mengizinkan aku menjejak ke dalam ruang-ruang hampa hatimu..?
🥀🥀🥀
Tiba di jalan yang melintasi kebun buah, jalan kecil seolah tak berujung adalah satu-satunya hal yang terlihat.
Sean berhenti dalam langkah cemas.
Senja mulai gelap, jalan di depannya panjang dan kebun buah ini menyeramkan.
Dia benar-benar bisa tersesat.
Meremas jemari menjadi kepalan tangan, Sean menolak untuk membiarkan ketakutan membanjirinya.
dia bukan apa-apa bagiku
dia tidak akan pernah menjadi teman..
Dia bahkan berbohong di awal perkenalan..
Apa yang bisa diharapkan?
Dengan langkah cepat, dia terus berjalan menyusuri setapak di bawah naungan dedaunan lebat. Gerakan kakinya perlahan-lahan semakin cepat dan semakin cepat dalam setiap langkah. Berjuang melepaskan ketegangan dan emosi rumit yang membelit pikirannya sejak tadi, sejak pemuda itu melakukan aksi tak terduga.
Sekilas hawa dingin melintas mengepungnya dalam getaran yang aneh. Naluri Sean mengatakan bahwa ada seseorang di sekitarnya, di antara pepohonan, entah di mana.
Menyadari keberadaan entitas tak terlihat, Sean menghentikan langkah. Mengernyit kan dahi dalam gelisah dan mengamati sekelilingnya. Barisan pepohonan bagaikan mahluk-mahluk menyeramkan di temaram senja.
Lavender's Blue
Lavender's green
When I am king
You should be queen
Senandung mistis kembali mengalir menyentuh telinganya. Sean terpaku dan memucat. Di dalam kepalanya dia melihat potongan fragmen terserak, memutar adegan mengerikan silih berganti.
Sean, tetap lah bersamaku...
Sepasang mata Mark yang membelalak, menatapnya penuh tanda tanya.
Genangan darah di lantai kamar, mansion mewah di Wina berubah menjadi tempat terburuk yang pernah ia saksikan seumur hidupnya.
Sean mencengkeram kepalanya, meringkuk, melindungi wajah dan kepala dengan kedua tangan.
"Siapa kau??!!" Sean mengerang frustasi.
"Apa yang kau inginkan dariku??!!"
Tubuhnya berputar, menantang, bersiap menghadapi kemunculan mahluk apapun di depannya.
Sosok itu perlahan mendekat, langkahnya seringan ujung rerumputan, bahkan nyaris tak menapaki tanah di bawahnya.
Pemuda yang sama. Mata dan rambut gelap, berselimut misteri sekaligus ancaman.
Sean mundur,
Selangkah
Dua langkah
"Aku ingin kau.."
Gema tawa menyeramkan melayari gelapnya senja.
Pemuda itu semakin mendekat.
Nyaris menyentuhnya.
Ratapan dalam dirinya bagaikan kutukan beracun mengalir melalui urat nadi.. tak peduli dia melawan sekuat tenaga, rasa takut itu tak juga pergi.
Tapi Sean tak bisa diam kali ini.
Dia menghimpun energi, lantas berteriak, menyayat sepi.
Kemudian semuanya gelap.
Malam datang semakin cepat akhir-akhir ini..
Sean membatin perih.
🥀🥀🥀
"Di mana aku?" Sean menatap ke atas dengan heran.
Cahaya kandelar menyilaukan di langit-langit kamar seketika membuatnya mengernyit dalam.
Dia berbaring di tempat tidurnya sendiri, menoleh ke samping, ia melihat kacamata tergeletak di atas meja nakas.
"Di rumahmu. Di mana lagi kau akan berada?" Sebuah suara akrab menjawab tepat dari sampingnya.
Yibo menatapnya lembut.
"Apa yang kau lakukan di kebun buah?"
"Kau tahu, aku melarikan diri darimu. Tetapi dia datang menggantikanmu untuk menggangguku."
"Dia?"
"Dia ada di sini, dia benar-benar di sini. Dia mulai bersenandung lagi.."
Wang Yibo mengernyitkan kening, melahirkan ekspresi tidak jelas.
"Kau melihatnya lagi?" tanyanya bimbang.
Terdengar gemeletuk rahang Sean seakan tengah merasa kedinginan yang sebenarnya itu adalah suatu reaksi atas kerumitan emosinya sendiri. Dia tidak menjawab pertanyaan Yibo karena merasa tidak perlu menjawabnya, sebaliknya ia malah menatap curiga pada pemuda itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tatapannya menusuk.
"Aku menunggu di halaman, lalu mendengar teriakan, dan menemukanmu pingsan."
Yibo mengembangkan senyum tulus di wajahnya. Tangannya terulur mengelus pipi Sean.
"Beruntung aku ada di sini," ia meneruskan setengah berbisik.
Sean menepis halus tangan yang memegang wajahnya. Mengernyit seraya menunduk dalam, seolah dengan menatap permukaan sprei dan menghindari tatapan Yibo, ia akan memperoleh kekuatan untuk bertahan.
"Maaf Sean, aku benar-benar berharap bisa membantumu," Yibo menurunkan tangannya, sorot mata elangnya berubah sendu.
Sean menggeleng, ekspresinya dingin.
"Pergilah..."
Yibo melirik sekilas, menyiratkan kesedihan.
"Aku sudah bilang, aku tak ingin kau di sini. Kurasa aku sudah tak membutuhkanmu, tidak lama lagi mungkin aku akan pergi dari rumah ini. Jadi, pergilah..."
"Kenapa denganmu Sean?" Yibo masih berjuang meyakini apa yang ada di hatinya.
"Tidak ada yang salah denganku," Sean menyahut datar.
"Benarkah? Kenapa aku merasa sepertinya ada banyak hal terjadi di pikiranmu," Yibo menanggapi dengan nada lebih tegas.
"Kata kuncinya ada di pikiranmu."
Sean tercengang sesaat, sebelum tawa kering pecah dari tenggorokannya.
"Kau persis sama seperti mereka," ia berkata pahit.
"Selalu mengharapkan lebih dari yang ingin kuberikan. Mungkin kau tak mengerti bagaimana rasanya hidup untuk satu mimpi besar. Aku tak bisa menyerahkan diriku padamu, atau orang lain. Pengabdianku hanya untuk musik, dan bukan yang lain."
Yibo tersenyum hambar, beralih menatap jendela. Mengintip ke langit gelap lewat ujung tirai yang menggeletar dan tersingkap.
"Kau mendengarku?" usik Sean.
"Tidak ada yang lain. Kuharap kau pergi sekarang."
"Kau yang harus pergi Sean," Yibo membantah di luar dugaan.
"Dengarkan saja pikiranmu sendiri. Kau harus pergi. Rumah ini membuatmu gila."
"Aku tidak gila!" Sean menaikkan suaranya.
"Pikiranku tidak pernah sejelas ini. Rumah ini tempat yang tepat untukku. Aku bisa menyendiri, dan pekerjaanku, itu yang terbaik yang pernah ada. Aku bahkan sudah menulis simfoniku sendiri sekarang."
"Setidaknya kau mengingat apa yang pernah kulakukan untukmu," Yibo menyela.
"Apa? Ini rumahku, Yibo. Kau hanya membantu, sebenarnya, kau pernah membantu. Oke, aku ucapkan terima kasih untuk itu. Sekarang pergilah!"
Wang Yibo masih membeku dalam duduknya.
Mengapa sangat sulit?
Ia mendesah dalam kebisuan.
"Rasa bersalah, Sean.." Yibo mengeluarkan gumaman.
"Kau tidak bisa membiarkan rasa bersalah menahanmu. Aku memang masih muda tetapi memiliki pengalaman tertentu berkaitan dengan ini."
Sean mengernyit, hatinya semakin marah karena Yibo berusaha mengalihkan pembicaraan hanya untuk mengabaikan kata-kata pengusiran darinya.
"Pianis muda berbakat sepertimu, datang ke tempat sepi, untuk apa?"
"Jangan mengalihkan topik!"
"Dengarkan aku sebentar saja, setelah itu aku akan pergi," Yibo bersikeras.
Tatapannya menusuk, mencari celah tersembunyi yang mungkin bisa ia temukan di balik sikap defensif Sean.
"Satu atau dengan lain alasan, kau pasti berusaha melarikan diri dari sesuatu. Kau dipenuhi rasa bersalah yang bisa membuatmu gila jika kau tak menghadapinya."
Sean menelan liur dengan susah payah, kemarahan dalam dirinya agak surut melihat keseriusan yang ditampilkan Yibo.
"Tetapi, dalam beberapa hal mungkin kau tak sepenuhnya bersalah, Sean. Itulah yang perlu kau pahami. Mungkin sesuatu dalam dirimu telah hancur, tetapi orang-orang sepertiku lahir ke dunia ini untuk membantu sebagian lain yang membutuhkannya."
Sikap melunak Sean menumbuhkan keberanian dalam diri Yibo untuk kembali mendekat, mengelus wajah, mencoba menenangkan emosi pemuda itu dalam pelukan hangat.
Sejauh ini nampaknya berhasil. Sean menurut seperti anak kucing. Tetapi sesaat berikutnya, dia mengangkat wajah, menatap Yibo dalam-dalam, menarik Yibo terperangkap semakin jauh dalam pesona pandangan mata itu.
Satu ciuman lembut lagi mendarat di bibir Sean.
Yibo siap menerima tamparan atau umpatan, tapi hanya tatapan kosong yang ia dapatkan, seiring senyum aneh dan menyeramkan di wajah Sean.
"Jadi begini caramu melakukan terapi, dr. Wang?"
Yibo, "....?!?..."
"Kau terkejut? Kenapa kau terlihat sangat khawatir?" bisik Sean lagi.
Yibo tergagap seketika. Dia berusaha tersenyum kaku.
"Kau sudah tahu??"
To be continued
Yizhan Lovers
Please vote and comment💗
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro