Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11th Petal


Jalan raya itu sesepi saat pertama Sean melewatinya walaupun sudah mendekati jam makan siang. Sean masih memikirkan kunjungan aneh barusan, terasa sesuatu mengganjal dalam hati. Rasanya ada potongan potongan yang tidak cocok pada tempatnya. Awalnya dia mengira Ms. Cynthia tidak setua itu, lalu kondisinya..

Kondisinya agak -- memilukan.

Mengatupkan bibir rapat-rapat mengatasi gundah yang melekat dan semakin pekat, Sean menekan tombol audio dan memutar satu lagu instrumental piano.

Alunan nada instrumen piano 'Romantico' yang mendayu membawa jiwanya seakan melayang, sejalan dengan laju putaran roda yang semakin kencang. Pepohonan di sepanjang tepian berlarian kala Sean menginjak pedal gas semakin dalam.

Saat itu tiba-tiba lagu berganti. Dentingan piano semakin asing, sesaat terdengar familiar, alunan nada semakin lama semakin mengguncang, membawa alam bawah sadarnya pada bayangan-bayangan mencekam, mengerikan. Sean mengernyit, isi kepalanya serasa diaduk. Dia mengangkat kaki dari pedal gas, melepas kemudi dan mencengkeram kepala yang seakan mau pecah.

Apa ini? Lagu ini?

Irama ini membuatku--

takut..

Mobil berhenti secepat dia menginjak rem. Tubuhnya terdorong ke depan bersamaan rasa mual mendesak di lambungnya.

Terengah-engah dan pucat pasi, Sean menatap nyalang pada audio mobil yang masih memutar lagu terkutuk itu.

Ini--

Ini -- Lavender's Blue

Lagi-lagi..

Setengah memberontak, Sean membuka seatbelt dan mendorong pintu. Dia melompat keluar dari mobil, terhuyung-huyung mundur. Ekspresinya masih berselimut teror.

Beberapa detik dalam kesunyian mengerikan, jalanan itu masih lengang. Sean berdiri linglung di tepi jalan sementara pintu mobilnya masih terbuka.

Derum mesin samar terdengar kemudian mendekat dan semakin dekat hingga akhirnya berhenti. Sean menoleh terkejut. Sebuah Mercedes hitam berhenti tepat di belakang mobil miliknya.

"Sean!"

Crystal Zhang menyembulkan kepala dari kaca mobil.

"Kau rupanya," Sean mendesah penuh kelegaan.

"Apa aku mengagetkanmu?" Crystal Zhang keluar dari mobil, berjalan menghampiri Sean yang masih merinding.

Sean memaksakan tawa parau dan kering.

"Apa semua baik-baik saja?" Crystal melirik ke pintu mobil yang terbuka.

Instrumental dari audio mobil telah berhenti mengalun. Tertunduk bingung, Sean menggigit bibir dan menjawab.

"Ya. Tidak ada apa-apa."

Crystal mengawasi pemuda tampan yang terlihat berbeda sejak kali pertama ia berjumpa satu pekan lalu.

Sean yang ia lihat terlihat pucat dan kacau, kehilangan ketegasan dan ketenangan dalam auranya.

"Kau pergi berjalan-jalan?" Crystal bertanya penasaran. Naluri wanita penggosip yang suka ingin tahu urusan orang lain mendesak dari dalam dirinya.

"Aku baru dari Munder Street, mengunjungi rumah Ms. Cynthia."

"Untuk apa?"

"Aku ingin menanyakan beberapa pertanyaan tentang rumah itu dan sejarahnya."

Crystal tersenyum misterius.

"Kau tidak tahu, wanita itu gila."

Bagaikan dihantam gelombang tak terduga, Sean merasa oleng dan nyaris kesulitan menangkap pesan.

Dia berpegangan pada atap mobil, mengatur nafas sekian detik, sebelum berhasil menetralkan ekspresinya.

"Aku tidak akan bilang begitu. Tapi ya, kuakui dia sedikit aneh. Mungkin dia terkena penyakit demensia. Kukira usianya nyaris lima puluh, jadi wajar kalau --"

"Empat puluh," Crystal menegaskan.

"Apa?" Sean terkesiap.
"Tidak. Kupikir dia.."

"Yah, tekanan dan masalah hidup terkadang membuat seseorang menjadi cepat tua bukan?"

"Hmm, itu bisa saja. Tapi-- aku benar-benar ingin tahu tentang rumah itu. Kuharap dia --"

Sean melayangkan tatapan penuh makna pada Crystal.

"Kuharap kau bisa membantuku.." dia berujar dalam keraguan. Tidak berharap itu akan berhasil, tapi ia melihat reaksi Crystal nampak bersahabat.

"Ayo kita bicara, lagipula sudah waktunya makan siang," Crystal menyarankan.

Seulas senyum terkembang di wajah Sean. Kemudian ia mengangguk setuju.

🌸🌸🌸

Paul mengetuk pintu samping rumah Wang Yibo, pelan dan sungkan. Sebenarnya pintu itu tidak tertutup rapat. Pada siang hari, Wang Yibo senang berada di ruangan yang berbatasan dengan taman samping rumah, membiarkan pintu kadang terbuka untuk memungkinkan sirkulasi udara yang lebih baik.

Sementara, pintu utama rumah besar itu selalu terkunci, hanya beberapa orang yang terbiasa keluar masuk rumah itu saja yang mengetahui kebiasaan sang empunya.

"Mr. Wang," Paul melongok ke dalam ruangan. Di sana, seorang pemuda duduk di kursi meja makan, sibuk dengan laptopnya. Gaya casual bernuansa krem terlihat pas dan anggun di tubuhnya. Secangkir kopi tergeletak di atas meja dengan tambahan satu piring swharma.

Wang Yibo menoleh sekilas sebelum kembali menatap layar monitor.

"Masuk!"

Paul mendorong pintu, siang itu cukup berangin dan seketika hembusannya menyejukkan ruangan.

"Apa aku harus menutup pintunya?"

"Biarkan saja. Aku suka menikmati hembusan angin."

Paul tersenyum tipis, langkahnya mendekat ragu.

"Sebenarnya aku ingin mengambil beberapa peralatan tukang milikku," dia berkata sungkan.

"Untuk apa?"

Paul menggaruk pelipisnya, lalu menjawab, "Untuk aku gunakan. Aku seorang tukang, tentu saja aku membutuhkan peralatanku."

Wang Yibo terbatuk. Menaikkan salah satu sudut bibirnya, dia menyahut sedikit malu.

"Kau beli saja peralatan tukang yang baru. Aku akan mengganti biayanya."

"....???"

"Kau setuju kan?" Yibo menoleh pada kebisuan Paul. Pemuda berwajah ramah dan lugu itu tersenyum canggung.

"Ya. Kenapa tidak? Aku akan membeli peralatan baru. Sejujurnya, aku butuh secepatnya. Tetanggaku memberikan job yang cukup lumayan."

Wang Yibo menarik nafas panjang. Dia menggerakkan dagu pada kursi di depannya, memberi isyarat pada Paul untuk duduk menemani.

Paul mengerti dan segera datang menghampiri.

"Kopi?"

Paul menggeleng, "Tidak. Terima kasih."

"Maaf, aku sudah menyulitkanmu beberapa hari ini," ujar Wang Yibo seraya tersenyum tipis.

"Aku masih tidak mengerti motifmu menyamar sebagai tukang. Tidakkah kau pikir telah membuang-buang waktu?" Paul berkata tidak setuju, dia sudah cukup lama menjadi pelayan di rumah keluarga Wang. Memiliki keahlian sebagai tukang yang handal, terkadang dia menerima tawaran pekerjaan di tempat lain. Karena usianya nyaris sebaya dengan putra tunggal keluarga Wang, mereka lebih seperti teman dibanding pekerja dan majikan. Hal itu juga memberikan keleluasaan pada Wang Yibo untuk mengambil beberapa keuntungan.

Misalnya, penyamaran ini.

"Dia seorang pianis yang cukup populer, kau tahu itu," Yibo tidak mengalihkan pandangan dari laptop.

"Jadi kau penggemar beratnya?"

"Tentu ada motif lain. Kupikir aku tak perlu memberitahukannya padamu."

Mendengar jawaban terselubung itu Paul tertawa.

"Kuharap ini tidak ada kaitannya dengan profesimu. Rasanya agak miris jika kau mendekatinya hanya sebagai objek."

Yibo meliriknya tidak setuju.

"Lebih dari itu. Kurasa aku jatuh cinta padanya."

Paul membelalak, tawa tertahan bernada terkejut keluar dari mulutnya.

"Jadi kenapa kau tidak pergi bekerja sebagai tukang? Malah duduk disini dengan laptopmu."

"Dia mengatakan akan pergi ke rumah Ms. Cynthia. Mungkin akan memakan waktu sampai lewat tengah hari. Aku sengaja mengambil libur agar pekerjaan di rumahnya tidak lekas selesai."

"Kau mengambil keuntungan. Kurasa sebaiknya kau memberikan diskon."

Wang Yibo tertawa singkat.
"Aku bahkan berencana tidak mengambil uangnya.

"Ngomong-ngomong, apa pihak yayasan tidak menghubungimu?"

"Aku menghabiskan jatah cutiku selama setahun. Ditambah alasan bahwa aku melakukan terapi di luar. Oh ya, kau harus pergi ke kota bukan? Kupikir kita akan menemukan peralatan tukang yang terbaik di sana. Biar kutemani."

Wang Yibo bangkit dari kursi, mengambil sebuah kunci mobil di atas meja televisi di satu sisi ruangan luas itu.

"Kau yang mengemudi."

Dia melemparkan kunci ke arah Paul yang segera ditangkap oleh pemuda itu. Yibo membuka satu pintu yang menuju ke ruangan lain untuk mengambil blazer panjang.

"Tidak biasanya kau meluangkan waktu berjalan-jalan ke kota tanpa tujuan."

Paul berkomentar seraya berjalan menuju pintu keluar.

"Kata siapa aku tidak ada tujuan?" Wang Yibo muncul lagi dari balik pintu sudah mengenakan blazer bercorak kehijauan dan membawa tas kecil.

"Aku berencana mengunjungi toko binatang peliharaan. Aku ingin membeli seekor kucing."

Keduanya berjalan beriringan melintasi halaman samping menuju garasi di sisi lain halaman rumah.

"Kucing?" Paul mengangkat alis.

Wang Yibo mengangguk, ia menoleh mengamati taman rumahnya. Musim panas kali ini bunga-bunga Freesia nampak mekar sempurna. Entah mengapa di matanya semua terlihat lebih berwarna, tidak seperti biasanya jika dibanding hari-hari yang lampau kala ia masih sangat serius dalam segala hal dan fokus terhadap studinya.

Pemuda tampan itu berjalan makin lambat dan tersenyum.

"Sepertinya Sean sangat kesepian. Aku khawatir dia tidak bisa mengendalikan dirinya dan tenggelam dalam kejenuhan. Memelihara kucing kedengarannya ide brillian. Dia akan lebih ceria dan sehat."

Paul berdehem kemudian tertawa pelan. Mereka masuk ke dalam Volkswagen keluaran terbaru berwarna abu tua mengkilat.

"Kenapa bukan kau saja yang menemaninya?" Paul menggoda, mulai menyalakan mesin dan memasang seatbelt.

"Aku ingin tapi dia tidak bersedia," Wang Yibo menggigit ujung kukunya, nampak tengah memikirkan sesuatu. Sementara mobil mulai melaju keluar halaman dan berbelok menyusuri jalan komplek yang sepi.

"Tidak mudah bukan?" Paul terkekeh.

Audio mobil memainkan satu lagu bertempo lambat dan romantis.

Wang Yibo memandang taman dan kebun yang membatasi satu rumah dengan rumah lainnya. Letak antara rumah yang berjauhan memungkinkan para penghuni beristirahat dengan tenang.

Tetapi, terlalu tenang malah agak berbahaya bukan?

Terutama untuk seseorang seperti Sean.

Diam-diam kekhawatiran menyeruak dalam dirinya.

"Kau benar. Sean sangat introvert. Satu keajaiban jika dia tiba-tiba menceritakan kisah hidup atau pun emosi yang dia rasakan tanpa diminta. Tetapi tetap saja kurasa dia memendam banyak hal untuk dirinya sendiri."

Paul melirik pemuda di sampingnya dengan tatapan skeptis.

"Kau tidak pernah gagal menangani masalahmu, kali ini kau juga akan sukses. Aku menunggu kabar baik, hari di mana Mr. Sean akan terbuka padamu dan mengizinkan kau menyelesaikan masalahnya."

Mendengar pujian itu, Wang Yibo merasa semangat mengalir dalam dirinya. Membawa api harapan yang sudah memercik semakin menyala besar.

"Aku pasti berhasil. Tapi pada waktunya."

Mobil mulai menderu kencang di jalan raya menuju kota. Sekawanan burung gereja terbang rendah di atas ladang bunga matahari di kejauhan sana. Pemandangan indah untuk hati yang cerah.

Wang Yibo menatap tanpa berkedip. Sampai suara Paul memecah mengusik keheningan dalam jiwanya.

"Aku percaya padamu. Dr. Wang.."

To be continued

Masih mau pada baca pair cute yang satu ini ?

Kalau masih tertarik aku akan terusin.

Yizhan Lover please Vote 💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro