CHAPTER 08
Suara tak berwujud dari audio mobil menemani kebisuan kedua pria dalam perjalanan menuju rumah Kim Ga On. Kang Yo Han mengemudi dengan santai dan tersenyum penuh percaya diri.
"Apakah rumahmu masih jauh?" tanyanya pada pemuda yang duduk tegang di kursi penumpang.
"Sudah dekat," jawab Kim Ga On. Mobil berbelok meninggalkan jalur utama yang penuh cahaya ke pinggiran. Satu komplek perumahan yang molek, tidak terlalu besar, tetapi cukup elegan. Pendar puluhan lampu dari jendela-jendela yang berbaris dalam ukuran sama terlihat menakjubkan.
"Di sini," Kim Ga On bersuara, menunjuk satu rumah dengan halaman berumput dan pagar besi. Sebatang pohon rindang tumbuh di halamannya menciptakan bayang-bayang gelap.
"Rumah yang asri," gumam Kang Yo Han, antusias. Memasuki halaman itu terasa seperti melangkah ke dalam dunia lain yang dingin dan sepi. Keduanya turun dari dalam mobil. Kim Ga On mengeluarkan kunci rumah dari dalam tasnya.
"Pada siang hari halaman ini akan terlihat indah dan sejuk. Sebaliknya pada malam hari, yah---agak sedikit menyeramkan," ujar Kim Ga On, senyumnya mendadak sungkan.
Kang Yo Han mengedarkan pandangan, mengangguk setuju.
"Kau tinggal sendiri di sini?" tanyanya pada Kim Ga On. Pemuda itu menuju pintu utama dan tampak gugup saat memutar kuncinya.
"Ya. Orang tuaku tinggal di Daejeon."
"Tidak keberatan jika aku mampir sebentar?"
Gerakan tangannya sempat terhenti, sebelum Kim Ga On menoleh dan menunjukkan senyuman nyaris mirip ringisan.
"Tentu. Silakan masuk."
Kang Yo Han merasa agak kejam saat melihat bagaimana sikap pemuda itu terlihat canggung dan tersiksa selama di dekatnya malam ini. Mungkin seharusnya ia tidak mengganggu pemuda itu malam hari. Namun, Kang Yo Han merasa penasaran. Dia akan meminta maaf pada Kim Ga On lain kali atas ketidaknyamanan ini.
Beberapa saat kemudian, mereka berada di ruangan tamu serba putih. Di tengahnya ada meja kaca bundar dengan vas berisi bunga lily putih di atasnya.
"Lily?" Kang Yo Han melirik ke meja sambil menyandarkan punggung di sofa. "Bunga ini melambangkan kematian."
"Oya? Tidak ada yang istimewa kurasa," sahut Kim Ga On, meletakkan tasnya. "Anda ingin teh atau kopi?"
"Teh saja."
"Oke."
Suasana rumah kecil itu hening dan terasa dingin. Tidak terlalu banyak barang dan semua warna bernuansa netral. Lampu gantung berpendar lembut, memberikan kesan tenang. Tempat yang cocok untuk merenung, bersantai, dan tidur.
"Maaf, hanya ada teh." Kim Ga On kembali dari dapur, meletakkan cangkir di depan tamunya, dan satu cangkir teh untuk dirinya sendiri. Dia duduk tidak jauh dari Kang Yo Han.
"Kau pasti sering mengajak So Hyun kemari," komentar Kang Yo Han.
Sejenak, Kim Ga On berpikir untuk berbohong, tetapi dia akhirnya mengangguk.
"Seberapa sering?"
Rasa penasaran Kang Yo Han membuat Kim Ga On heran. Ketika tatapan mereka beradu, ia pun perlahan-lahan merasa terusik. Tatapan mata pria dewasa itu tajam dan berkilau, dengan binar yang sulit dilupakan, membuatnya penasaran.
"Dua kali," jawab Ga On.
Kang Yo Han menyesal tehnya. "Cukup jarang untuk sepasang kekasih yang sudah bersama selama satu tahun."
"Itu karena aku yang lebih sering datang ke rumahnya. Kadang-kadang kami bertemu di luar."
"Aku mengerti." Dia meletakkan kembali cangkir di atas meja. "Jika aku diizinkan berkunjung sekali lagi ke rumahmu, aku memiliki skor yang sama dengan So Hyun."
Kim Ga On tertawa sambil menundukkan wajah, entah kenapa, merasa ada serangga di perutnya.
"Aku tidak berpikir Anda ingin berkunjung kembali ke rumahku."
"Mengapa tidak? Jika aku senggang."
"Aku tersanjung."
Kang Yo Han tersenyum. "Lain kali mungkin anggur, dan bukan teh. Bolehlah aku bergabung denganmu?"
"Tentu." Suaranya lembut namun tanpa ragu.
Kang Yo Han meneliti ekspresinya dan berkata, "Aku memikirkan hal ini sejak awal, tetapi kupikir tidak ada hubungannya dengan pekerjaanku. Namun, kali ini aku ingin mengatakannya."
"Apa itu?" Kim Ga On menatapnya.
"Hmmm, entah mengapa aku merasa bahwa kau tidak benar-benar mencintai kekasihmu."
"Bagaimana Anda bisa berpikir begitu?" Tatapan mata Kim Ga On berbinar geli.
"Sudah kubilang, aku juga tidak tahu. Kau bisa menyebutnya insting polisi."
"Apa yang ingin Anda katakan? Apa aku berpotensi menyerang So Hyun karena firasatmu yang keliru?"
Kang Yo Han menanggapi dengan tawa. "Tampaknya kau tersinggung. Oke, lupakan saja."
Keduanya bertatapan sejenak, dan Kim Ga On tiba-tiba merasa gugup. Dia tidak pernah merasakan sensasi semacam ini selama bersama So Hyun, bahkan perbandingan mengatakan 'aku mencintaimu' bisa dikatakan nol berbanding lima. Diam-diam Kim Ga On merasa khawatir.
"Aku ingin mengunjungimu lagi suatu hari nanti," kalimat itu diucapkan Kang Yo Han di ambang pintu ketika ia akan meninggalkan rumah Ga On.
Sungguh lelucon. Kim Ga On tertawa dalam hati. Namun, tatapan penuh perhatian dari pria berwibawa dan kharismatik ini membuatnya tanpa sadar menganggukan kepala.
*****
Malam itu, So Hyun duduk di kamarnya, menghabiskan waktu dengan mengetik makalah di laptop. Jam weker di meja menunjukkan waktu pukul sebelas malam. Sudah beberapa hari dia mengalami insomnia dan sering merasa gelisah.
Ponselnya saat itu berdering, menyentakkan keheningan malam.
Gadis itu terkesiap dan memeriksa ponselnya segera. Merasa takut bahwa panggilan itu dari seseorang yang tidak diharapkan. Namun ia menghela nafas lega melihat bahwa si pemanggil adalah Kim Ga On.
"Hallo, Ga On."
"Kau belum tidur?"
So Hyun menggeleng seakan Ga On bisa melihat gerakannya. "Aku tidak bisa tidur. Di mana kau?"
"Di rumahku," jawab Ga On, suaranya merenung. Sepeninggal Kang Yo Han, dia duduk meluruskan kaki di sofa dalam pencahayaan ruangan remang-remang.
"Ada yang ingin kupastikan," ujar Kim Ga On.
"Katakan saja."
"Kau yakin tidak pernah bertemu profesor Min setelah kau lulus kuliah?"
"Kenapa kau menanyakan ini? Ada masalah?"
"Jawab saja."
"Tidak. Aku tidak pernah bertemu dengannya."
Kim Ga On terlihat berpikir sebelum meneruskan bertanya, "Apa ada temanmu yang berhubungan dengannya? Seseorang yang mungkin tahu tentang hubungan kita. Maksudku, bagaimana dia bisa mengenalku?"
"A-aku tidak tahu," suara So Hyun terdengar goyah dan bingung.
"Ga On, ada apa denganmu?"
Kim Ga On tidak menjawab hingga satu menit berikutnya, menyortir banyak pemikiran yang tumpang tindih. Perlahan-lahan, raut wajahnya mengeras.
*****
Kantor Polisi Seoul, 11. 00 AM
Kang Yo Han bergeser dari posisi berdirinya di dekat jendela ruang kantor menuju kursi putar berlapis kulit dekat meja kerja. Hari itu siang yang lembab dan gerah. Cuaca tidak menentu antara panas dan mendung.
"Sesuai pernyataan Kim Ga On, kita menemukan mobil Profesor Min Jungho," ia berkata pada K, menempatkan dirinya di kursi, menatap sang asisten tepat di seberang meja.
"Sidik jari yang ditemukan di mobil Kim Ga On cocok dengan sidik jari Profesor. Karena itu kita bisa menuntutnya dengan dakwaan percobaan pembunuhan."
K mengangguk setuju.
"Jadi, dua hal sudah jelas sekarang," lanjut Kang Yo Han. "Kim Ga On dan Juk Chang tidak bisa menjadi tersangka. Alasannya, Juk Chang berada di bawah pengawasan polisi sampai sekarang. Jadi, tidak mungkin dia. Kedua, sesuai pernyataan Kim Ga On, Profesor Min adalah orang yang mengancamnya. Juga, mungkin dia adalah orang yang menyerang So Hyun."
"Pak," K memberikan tanggapan. "Kejadian penyerangan So Hyun hanya empat hari setelah Juk Chang dibebaskan. Bisa jadi dia menyelinap diam-diam dan menyerang gadis itu."
"Maksudmu, orang yang menyerang So Hyun adalah Juk Chang, dan orang yang mengancam Kim Ga On adalah Profesor?"
"Mungkin saja." K terbatuk kecil.
"Kemungkinan itu memang ada." Kang Yo Han menatapnya. "Tetapi secara taktis, peluangnya kecil."
Saat itu seseorang mengetuk pintu ruangan perlahan, mengalihkan perhatian Kang Yo Han.
"Masuk!" ia berkata.
Seorang petugas membuka pintu dan melangkah masuk. Setelah memberi hormat, dia menyerahkan sebuah map berisi laporan pada Kang Yo Han.
"Ini laporan dari forensik."
"Oke!" Kang Yo Han menerimanya dengan tidak sabar. Petugas itu kembali memberi hormat, kemudian bergegas keluar ruangan.
"Ini hasil tes darah dari noda darah yang ditemukan di rumah So Hyun," ia berkata sambil membuka-buka catatan forensik dengan kening mengernyit. "Laporan menunjukkan golongan darah penyerang adalah AB positif. Salah satu tersangka kita memiliki golongan darah yang sama. Aku telah mengidentifikasi semua golongan darah sesuai yang tertera di KTP mereka. Golongan darah Kim Ga On adalah B, golongan darah Juk Chang adalah O, golongan darah So Hyun adalah B. Satu-satunya yang tersisa adalah Profesor Min."
K mengangguk, menatap sinar mata sangat inspektur membuatnya bersemangat. "Aku sudah memeriksa di data basis. Golongan darah Profesor Min adalah AB positif."
"Ya, itu dia orangnya," Kang Yo Han mendesis. "Kita tidak salah. Ini cocok dengan hasil tes."
"Jadi, dialah orang yang berada di balik semua ini," K menyimpulkan sambil mengendurkan otot bahunya yang kaku.
"Seharusnya benar. Cukup jelas dari pesan yang dia kirim ke So Hyun, dan setelah insiden dengan Kim Ga On, secara resmi dipastikan. Itu juga dengan cukup bukti."
"Tapi, kenapa dia melakukan ini?" gumam K.
"Itu yang belum kita ketahui," timpal Kang Yo Han, ekspresinya serius.
"Apa motif dia melakukan itu. Tetapi, langkah penting berikutnya yang harus kita lakukan sekarang adalah menangkap Profesor Min sebelum dia melakukan kejahatan lain. Itu karena kita belum tahu apa rencananya. Jadi, apa pun bisa terjadi."
K menyimak dengan baik setiap perkataan atasannya.
"Berikan pemberitahuan untuk Profesor Min. Fotonya harus disebarkan melalui saluran media, surat kabar, Facebook dan lain-lain. Juga pasang gambarnya di setiap tempat yang memungkinkan. Dalam satu hari, dia harus sudah berada dalam tahanan kita. Buat segalanya lebih cepat."
"Oke, Pak!"
*****
Dalam dua hari, K dengan sigap menyebarkan foto Profesor di sosial media, serta mencetak banyak selebaran yang memuat fotonya, serta memasangnya di beberapa tempat ramai. Dengan kecanggihan teknologi, banyak hal akan sangat mudah untuk viral. Surat kabar bahkan sudah mencetaknya di bagian daftar pencarian orang hilang disertai nomor polisi yang bisa dihubungi.
Pagi itu sekitar pukul delapan, Tuan Yoon mengambil surat kabar dari kotak pos di depan rumah untuk menemani rutinitas minum kopinya. Dia sudah bertahun-tahun belangganan surat kabar, melupakan gagasan tentang membaca buletin online. Surat kabar itu terasa lebih berat dari biasanya karena dia mendapati foto Profesor Min.
"Kemari sebentar," dia berkata pada istrinya yang berjalan menuju ruang makan.
"Ya?" Nyonya Yoon menoleh, dilihatnya sang suami menunjukkan koran.
"Surat kabar mencetak foto Profesor itu," ujar Tuan Yoon. "Mungkin So Hyun harus melihatnya."
"Akan kubangunkan dia. Ya ampun, ini sudah pukul delapan lebih dan ia belum turun sarapan," Nyonya Yoon menggerutu, berjalan menaiki tangga ke lantai dua rumahnya untuk membangunkan So Hyun.
"Kuharap dia memiliki rasa malu pada diri sendiri."
Wanita itu menggeleng-gelengkan kepala, lalu mengetuk pintu kamar putrinya.
"So Hyun, kau sudah bangun?"
Dia tahu putrinya jarang sarapan di awal pagi, tetapi biasanya dia menunjukkan diri dan sibuk membuat kopi untuk dirinya sendiri. Kali ini tak ada tanda-tanda kehadirannya. Bahkan kamar itu hening.
"So Hyun ... " ibunya mendorong pintu. Biasanya So Hyun jarang mengunci pintu kamarnya karena dia seorang anak tunggal dan tidak memiliki kekhawatiran untuk diganggu seseorang. Maka dengan mudah, Nyonya Yoon membuka pintu, melangkah masuk ke dalam kamar dan mendapati ranjang yang masih cukup rapih. Hanya ada sedikit jejak bahwa seseorang pernah duduk di atasnya. Dia memeriksa kamar mandi, memanggil nama So Hyun berkali-kali. Tak ada jawaban.
"Ada apa?" Tuan Yoon tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu kamar putrinya. Raut wajah cemas sang istri membuatnya menduga-duga akan terjadi hal buruk lain setelah penyerangan itu.
"Aku tidak bisa menemukan So Hyun," jawab Nyonya Yoon, suaranya goyah. Firasat buruk mulai berkembang dalam dirinya.
"Apa dia mengatakan padamu akan pergi ke suatu tempat?" ia bertanya pada suaminya.
Tuan Yoon menggeleng dengan wajah tegang. "Sepertinya terjadi sesuatu yang salah," desahnya berat.
"Apa maksudmu?" Sepasang mata Nyonya Yoon mulai berkaca-kaca.
"Jangan panik. Aku akan meneleponnya," Tuan Yoon menukas, ia pun harus mengendalikan rasa cemasnya sendiri.
Dengan cepat ia mengambil ponsel dan menghubungi nomor putrinya. Apa yang dia dengar adalah suara operator yang membosankan.
Nomor yang Anda hubungi saat ini dimatikan. Silakan coba beberapa saat lagi.
Dia mencoba berkali-kali dan hasilnya tetap sama. Mendung di wajahnya semakin gelap.
"Anak itu ... dia mematikan ponselnya."
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" panik, nyonya Yoon mulai terisak seraya menekan dadanya.
"Jangan membuatku panik. Aku akan menelepon Kim Ga On, mungkin dia tahu sesuatu." Tuan Yoon mencoba tetap berpikir jernih.
Di dalam kamarnya, Kim Ga On tengah menerawang ke langit-langit kamar sewaktu ayah So Hyun menghubunginya.
"Hallo, Paman. Ada apa? Tidak biasanya Anda menghubungiku sepagi ini."
"Ga On," suara Tuan Yoon mendesis. Ketegangannya menular kepada Kim Ga On hingga pemuda itu mengubah posisi berbaring menjadi duduk tegak di tepi tempat tidur.
"Apa So Hyun menghubungimu pagi ini?
"Pagi ini? Tidak. Memangnya kenapa?"
"Atau mungkin sebelumnya dia pernah mengatakan padamu akan pergi ke suatu tempat?"
"Tidak, Paman. Kenapa? Ada apa?"
Tuan Yoon menjadi lemas. "Kami tidak dapat menemukannya. Dia menghilang."
"Apa?? Hallo, Paman? Hallo?" suara Kim Ga On terus bergema di seberang.
Sementara, lengan Tuan Yoon terkulai.
*****
To be continued
Please vote 💙
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro