
๐ฒ๐๐๐๐๐๐ ๐ฝ - ๐ท๐๐๐๐ ๐ฑ๐๐๐๐๐๐๐
Hari yang di janjikan telah tiba. Daidancho selaku komandan bataylon memimpin sendiri misi gelap yang direncanakan dengan hati-hati. Ia yakin penyergapan malam ini akan sangat berhasil. Darah dinginnya bergolak tak sabar ingin membunuh buruan empuk semenjak Albert mengabarkan telah menemukan sarang musuh di kegelapan hutan Pakuwojo.
Dua puluh tentara Jepang dengan bayonet terselip dipinggang lengkap senjata laras panjang canggih buatan Vietnam dan topi bertuliskan Banzai berbaris di lapangan barak militer. Wajah-wajah itu terlihat begitu dingin bagai robot tanpa nyawa yang telah dikuasai pimpinan kaum dengan belenggu dendam kesumat.
Sementara Albert bermandikan keringat dingin sejak mentari tenggelam di barat peraduan. Ia pun merasa penghuni tempat itu lebih diam dari biasanya seolah tahu malaikat maut tengah menanti di penghujung senja. Celoteh-celotehan Jan tidak mampu menepis kegelisahan Albert.
Pemuda itu menyadari, sesungguhnya ia tak sanggup menghadapi hari ini.
Tepat tengah malam, bergaung deruman truk tentara bagai genderang kematian yang ditabuh. Disusul rentetan bunyi senapan laras panjang milik tentara Belanda membelah kesunyian hutan Pakuwjo. Semua orang terjaga dari tidur. Menghadap kenyataan yang lebih buruk dari mimpi. Dentuman demi dentuman granat dengan radius ledak pendek melahap pepohonan. Lauren Cloon yang tenang itu bergetar seluruh tubuhnya. Sedangkan Jan menutup telinga dipangkuan ibunya. Tak lama segalanya menjadi senyap. Terdengar oleh Albert derapan boots tentara yang semakin mendekat ke bunker rahasia itu. Berbeda dengan yang lain, Gustaf Cloon menghunuskan tatapan membunuh kepada Albert. Telah lama pria itu menyimpan kecurigaan pada sang pemuda misterius yang muncul sebagai tamu tak diundang.
Drap... Drap.... Drap....
"Oh tuhan!" Albert memejamkan matanya rapat-rapat ketika pintu bunker itu berhasil Nippon hancurkan. Seringai jahat Daidancho terbit sepersekian detik. Dengan kode mata darinya, Albert telah berpindah tempat ke dalam kerumunan tentara yang memasang kuda-kuda.
"Sudah kuduga, sialan!" Jerit Gustaf Cloon murka. Disusul pandangan tak percaya dari kelima orang yang ada dalam bunker itu.
"Albert! K-kau?" lirih Lauren berlinang air mata.
"Ahiru-daun!!" titah seorang Shodancho.
[ tiarap! ]
Johannes Specx dibantu rekannya Antonio, dua amatir mengacungkan senapan dengan lutut yang gemetar mencoba melawan pasukan Dai Nippon yang telah terlatih dalam pertempuran selama puluhan tahun.
"Pergi dari sini." Mata hijau Antonio seperti hendak meloncat keluar. Senapan yang serupa milik tentara Belanda itu teracung tak tentu arah kepada gerombolan tentara Jepang.
Dor!
Dor!
Dorr!
Tiga bola timah panas mencabut nyawa Gustaf Cloon, Antonio, serta Jan. Lauren menjerit ngeri, menyaksikan keluarganya bersimbah darah di ambang hidup dan mati.
"Gustaaaf! Jan!!!!!"
Slang!
Rupanya Nippon tak memberinya kesempatan untuk berduka. Satu kali tebasan samurai membuat tubuh wanita itu ambruk dalam sekejap. Suasana menjadi mencekam. Darah mengucur dari pangkal leher Lauren seperti seekor hewan sekarat.
Dor!
Dor!
Johannes, sang harapan terakhir tak menyerah. Dua perwira Jepang berhasil dibidiknya tepat di dahi dan jantung. Merupakan tindakan luar biasa dari seorang amatiran. Johannes bertahan dengan menembak membabi buta kepada gerombolan tentara. Menggulingkan paksa beberapa Chodanco yang terkena peluru nyasar. Perlawanan tak seimbang itu berubah menjadi pembantaian. Di tengah purnama yang menggagahi kelamnya malam, sinarnya terasa begitu dekat dengan tanah pembantaian. Semburat kemerahan bulan purnama yang baru dilihat Albert sekali sepanjang hidup. Teriakan-teriakan nyonya Lauren dan sepupunya bersahutan memecah sunyi. Dai Nippon melumpuhkan orang-orang bangsanya dalam keremangan yang mengerikan. Albert bagai menyaksikan sekumpulan iblis yang tengah mempersembahkan tumbal di puncak purnama merah.
Hingga yang tersisa adalah Louisa Dedrick. Ketika amunisi senapan habis, saat itulah napas kehidupan Johannes berakhir. Nippon tak menembaknya, memilih jalan kematian yang lebih kejam untuk buronan kurang ajar yang telah membunuh banyak tentara. Kepala pria itu menggelinding. Dengan darah yang masih memuncrat, merah kental menggenang di ujung sepatu Albert. Bau amis menusuk penciuman.
Perlahan mereka meninggalkan bunker gelap itu tanpa suara. Menghindari ranjau demi ranjau yang telah terpasang dari jauh jauh hari.
Nippon melewati begitu saja mayat-mayat tentara Belanda tanpa berniat mengebumikan jasadnya. Berpikir bahwa seonggok tubuh tanpa nyawa itu akan disantap hewan liar atau dipatuk gagak. Albert bergidik ngeri. Darah tak henti mengucur dari dahi dan jantung tentara yang meregang nyawa.
Wajah Albert berubah dingin ketika bersirobok dengan mata nyonya Louisa. Wanita itu menyiratkan kebencian tak terkira pada sang pemuda pemilik mata sewarna laut. Wanita pendiam itu berteriak histeris dalam bahasa Belanda kasar, menyumpahi Albert dengan kutukan demi kutukan paling hina yang pernah ia dengar.
"Biadab!!"
"Tuhan akan membalasmu!"
"Dosamu tidak akan pernah diampuni!"
"Kalian membunuh anak yang tak berdosa! Dia tak tahu apa-apa, keparat! Bunuh saja aku. Peras darah Eropa yang ingin kau musnahkan!" Hardiknya pilu menggemakan penjuru hutan kepada tentara Jepang. Disusul sambaran petir keperakkan seolah turut mengamini sumpah seorang ibu yang terluka. Namun orang-orang berkulit kuning itu tetap diam tanpa ekspresi. Menyeret paksa perempuan Belanda kedalam truk yang akan membawa mereka ke barak. Menjemput nasib mengerikan yang lebih buruk dari kematian.
Bau anyir darah menusuk penciuman Albert. Dilihatnya mayat tuan Johannes yang mulai dikerubungi lalat. Matanya tak kuasa lagi menatap luka menganga di selasar leher pria itu akibat gorokan samurai.
Albert melangkah meninggalkan tempat penuh kengerian itu. Mengekori Daidancho yang menyeringai bengis. Lima rakyat sipil dan lima tentara Belanda terbunuh malam itu karena melakukan perlawanan. Albert menata nalarnya yang pecah berhamburan. Pengalaman pertama yang sungguh merenggut akal sehat. Sepulang dari sana, ia bagaikan linglung. Albert seolah melayang-layang dan penyergapan berdarah malam itu terus terputar di otaknya.
Jeritan wanita-wanita Belanda penghuni bunker mengusiknya tiap malam. Teriakan minta tolong, mengemis belas kasihan, hingga lolongan sekarat pada saat-saat terakhir. Masih segar dalam ingatan bagaimana nyonya Lauren memelototi dirinya ketika malaikat maut tengah mencabut nyawa dari ubun-ubun. Tatapan itu melempar jiwa Albert pada kubangan kelam memori kematian.
ยท ยท โโโโโโโ ยท๐ฅธยท โโโโโโโ ยท ยท
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro