
๐ฒ๐๐๐๐๐๐ ๐ผ - ๐๐๐๐๐ ๐บ๐๐๐๐๐๐๐
Mau di kata apa kecintaannya pada tanah Hindia Belanda membuat Albert sudi tak sudi berbaur dengan orang-orang angkuh itu. Bangsa yang menginjak-injak harga dirinya, bangsa yang memandang rendah stratanya, bangsa yang melenyapkan nyawa Dharma. Hati Albert telah mati. Kebaikan yang ia tabur tak pernah menuai buah manis. Menyisakan kabut kehitaman yang memupuk dendam kepada bangsa Belanda. ฤฐa muak memasang wajah ramah tamah pada semua orang walau sikap mereka begitu baik terhadapnya.
"Bergabunglah dengan kami, Albert. Tentara Griet membawa kelinci untuk makan hari ini." Wanita usia kepala empat bernama Lauren, istri seorang aparatur karesidenan. Sifatnya begitu lembut berkebalikan dengan suaminya yang angkuh dan pemarah itu sepuluh tahun lebih tua dari Lauren.
Albert mengangguk kaku dengan senyum dipaksakan. Lidahnya mengunyah daging kelinci bakar walau tanpa garam, gurih lemaknya membuat perut Albert keroncongan. Juga air bersih dituang dalam daun pisang yang disulap menjadi gelas. Dia merasa benar-benar seperti kembali ke jaman batu.
Dalam persembunyian itu terdapat enam orang, ditambah Albert menjadi tujuh orang. Ada Gustaf Cloon, orang yang paling diutamakan di kelompok itu karena statusnya sebagai aparatur karesidenan, pria tambun dengan perut buncit dan kumis melintang. Dengan sang istri, Lauren Cloon yang membawa sepupunya bernama Louisa, wanita pendiam yang sulit ditebak. Anak lelaki Louisa usianya baru menginjak sembilan tahun mengingatkan Albert akan masa kecilnya yang penuh perundungan. Ada pula Johannes van Diemen dan Antonio Specx, keduanya merupakan perangkat pemerintahan yang jabatannya dibawah Gustaf Cloon. Bisa dikatakan, mereka adalah buronan yang paling dicari oleh Jepang.
Albert melirik nyonya Lauren dengan tenang merapal doa sebelum menyantap sarapan. Seolah tidak ada yang terjadi. "Makan yang banyak Albert, agar kau tak kurus saat perang berakhir dan pulang ke Belanda."
Albert tertegun dengan keyakinan dan semangat hidup Lauren Cloon. Diam-diam, ia merasa bersalah kala wanita seusia ibunya itu mulai mengambilkan lebih banyak nasi pada piring rotannya.
Tiba-tiba ingatan Albert melayang pada kenangan sebelas tahun silam. Saat itu usia Albert baru delapan tahun dan belum mengerti tentang perbedaan dirinya dengan kaum Belanda totok. Hari itu tidak ada Karsa yang menemaninya. Albert mengantre sendiri untuk mendapat jatah makan di kantin sekolah. Lama Albert menunggu. Dilihatnya anak-anak lain mendapatkan smoor daging dan roti. Saat gilirannya tiba, Albert menyebutkan namanya dan hanya krim sup yang diberikan oleh koki sekolah.
"Mengapa aku tidak mendapat smoor seperti Robert?" protes Albert kecil yang merasa keadilan tidak berpihak padanya.
"Itulah ketentuannya," kata sang koki tak acuh.
Albert menatapnya kecewa, "Tapi kenapa?"
Sang koki melihatnya dengan jengah. Antrean masih panjang dan anak campuran itu terus menerus menanyakan hal yang tidak perlu. "Aku tidak tahu, Albert. Ik doe gewoon mijn werk."
[ Aku hanya melakukan pekerjaanku ]
Waktu bergulir lamban. Albert merasa seperti perantara dari malaikat pencabut nyawa. Hari-hari selama pelarian itu terasa mencekam. Tidak seorangpun diijinkan keluar apabila pagi menjelang, sekalipun tentara Belanda. Mereka tetap berada dalam rumah kayu sederhana yang dibangun mendadak. Untuk menghindari bahaya, katanya. Dihabiskan Albert hari-harinya untuk memikirkan banyak hal. Albert diam-diam menyadari, menjadi pemuda penggerak kemerdekaan jauh lebih mudah daripada harus terjun ke lapangan. Ia merindukan Karsa dan kawan-kawan pribuminya.
Malam menjelang.
Lamunan pemuda itu buyar oleh lolongan serigala dari hutan. Tiba-tiba Albert teringat sesuatu yang sangat penting. Dalam keremangan lampu minyak, Albert mengendap seperti singa yang hendak menerkam musuh. Instingnya menajam ketika ia berhasil keluar dari bunker yang menyerupai goa. Kemeja putih tulang dengan lengan tergulung berkibar-kibar tertiup ganasnya angin lembah. Seluruh rambut kuduk di tubuhnya berdiri. Hujan rintik-rintik dan rerimbunan pohon menyaksikan Albert berpindah gesit dari satu batang pohon ke batang pohon lain. Menghindari jangkauan tentara Belanda yang bisa saja membunuhnya saat itu juga.
Dalam hati Albert berdoa agar sang pemilik alam memuluskan langkahnya. Pemuda itu yakin jalan yang diambilnya adalah kebenaran. Terbesit rasa bersalah, namun tersisih oleh dendam kesumat. Ketika keangkuhan kaum Londo membunuhnya secara perlahan.
Sampailah Albert di tempat itu. Dimana ketika Albert pertama kali mengendus persembunyian orang-orang Belanda. Tentu tidak mudah untuk sampai disana, harus dilalui Albert jalan memutar yang bisa saja membuatnya tersesat. Agar tak bertemu gerombolan patroli tentara. Di dalam ceruk tanah bekas akar pohon tumbang, digalinya kembali tempat benda terlarang itu dikubur. Albert berharap radio pemberian Daidancho tak rusak tertembus air hujan atau hal lain.
Bzzttt.... bzztt
Gelombang pemancarnya tegak lurus mencari sinyal di kegelapan hutan rimba. Menerobos paksa bermil-mil jarak yang menghubungkan Albert dengan markas Dai Nippon tak lama kemudian.
"Hallo? Hallo?" desis Albert tak sabar kala terdengar suara kehidupan di seberang sana. Albert tepis kuat-kuat sisa keraguan yang mengganjal di dada. Dipusatkan seluruh perhatian sang pemuda pada radio itu.
"Hai!"
[ Ya ]
Cucuran peluh mengucur bagai air bah saat Albert menjelaskan secara detail dimana tempat rahasia itu berdiri. Sebuah bunker tua yang ditutupi tanaman rambat hingga menjulur sampai ke tanah. Adrenalin pemuda itu terpacu bersamaan dengan ringikan babi hutan yang entah mengapa terdengar menyiksa telinganya. Informasi demi informasi mengalir dari bibir merah Albert. Otak cerdasnya diperas menampung dan memilah hal-hal penting untuk disampaikan. Cuitan burung hantu kembali menyandingi gelap malam, memecah konsentrasi Albert. Ketika tak ada orang yang cukup waras sudi berkeliaran di tengah hutan sekalipun tentara Belanda. Mata biru itu melirik awas. Isi pikirannya kacau menakuti hal entah apa.
"Hai! Laporan diterima."
[ Ya ]
Selanjutnya berjalan seperti biasa. Albert kembali mengurung diri di dalam bunker sesekali mendatangi tempat rahasia untuk memberi kabar perkembangan kepada markas Jepang. Anak lelaki nyonya Louisa rupanya bahagia memiliki teman bermain. Walau usia mereka jauh, namun anak itu merasa nyaman dengan Albert. Hidupnya dikelilingi orang dewasa yang serius dan membosankan. Albert yang awalnya selalu menghindar, lama kelamaan luluh dengan keteguhan hati anak bernama Jan itu. Mereka kerap mandi di mata air yang tidak jauh dari sana, atau memburu burung merpati dengan ketapel, tanpa disadari keduanya begitu dekat bagai sepasang kakak beradik. Louisa sendiri tak mempermasalahkan anaknya berbaur dengan sang pemuda campuran. Toh, kini statusnya tak penting. Dia dan Albert sama-sama buronan Jepang. Meski terkesan pendiam dan cuek, sebenarnya Louisa adalah satu-satunya orang yang paling menyayangi Jan setelah kematian ayahnya.
Tanggal rencana penangkapan sudah ditentukan dua minggu setelah Albert memberi laporan demi laporan. Albert mendapat kabar dari Daidancho bahwa pasukannya akan datang tak lebih empat hari dari sekarang. Nippon telah siap dengan strategi dan muslihat yang matang. Albert diminta tetap berada di lokasi sampai misi tentara Jepang tuntas dan kemudian mereka akan membawanya ke markas untuk dipulangkan. Albert terlihat tegang. Ia semakin kaku dan pendiam, menghindari interaksi dengan orang-orang diruangan, menghindari pertanyaan khawatir nyonya Lauren, bahkan Jan. Pemuda itu tahu akan ada gencatan senjata mahadahsyat, pertumpahan darah. Dan pastilah ada nyawa yang akan melayang. Albert bergidik membayangkan orang-orang disekelilingnya ini segera menjemput ajal. Tidak ada hal yang lebih mengerikan selain mengetahui kapan seseorang menghadap Tuhan.
ยท ยท โโโโโโโ ยท๐ฅธยท โโโโโโโ ยท ยท
anggap aja cerita ini adalah sebuah kendaraan, yang bisa melaju jika diberi bahan bakar (dukungan) dan akan stop saat bensinnya abis wkwkkwwk.
gitu deh yaa...
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro