๐ฒ๐๐๐๐๐๐ ๐น - ๐ผ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐ฐ๐๐
Juni, 1944
Tiga buah pesawat tempur mengangkasa di langit dataran tinggi Dieng. Meninggalkan jejak kelabu yang menghiasi awan biru. Selebaran-selebaran kertas sengaja di jatuhkan pesawat itu ke daratan. Menghambur bagai hujan. Berisi secarik propaganda mengenai keunggulan satu bangsa yang mengaku saudara tua Asia.
Seperti yang lain, Albert sama penasaran. Pemuda dengan wajah campuran itu memungut kertas hitam putih yang dicetak dengan tinta pudar. Tertempel sebuah bendera asing serupa matahari terbit bagai hologram yang menegaskan bahwa mereka telah menantang Nederland.
Nippon tjahaja Asia
Nippon pelindoeng Asia
Nippon pemimpin Asia
Albert menerawang. Prediksinya memang tidak pernah meleset. Bangsa itu akhirnya tiba bagai kutukan. Sebenarnya kabar itu telah lama bergaung, bahkan sejak awal 1941 namun karena keterbatasan informasi, tak ada yang tahu kapan mereka akan benar benar datang ke kota Wonosobo setelah dikabarkan mendarat di Tarakan. Sejak berderarnya berita kekejaman Jepang yang ingin mengambil alih Hindia-Belanda, satu persatu petinggi pemerintahan di kota itu melarikan diri. Namun terdapat beberapa golongan yang tetap tinggal seperti pedagang, atau tuan tanah, bahkan juragan pabrik. Asal mereka tak terindikasi pro-pemerintah Belanda, mereka dijanjikan aman. Sudah sangat banyak warga Belanda yang menetap, akan sangat sulit untuk kembali ke Nederland. Bahkan banyak juga dari mereka yang tak punya keluarga disana sebab leluhur merekapun lahir di tanah jajahan. Dari satu generasi ke generasi berikutnya, etnis Eropa sudah tersebar di penjuru Hindia. Tak akan mudah meninggalkan tempat itu. Kecemasan akan nasib tak pasti lebih besar daripada ketakutan akan kedatangan Nippon.
Kabar peperangan mencekam yang semakin dekat di depan mata membuat Albert resah mengkhawatirkan nasib ibunya. Di ayunkan kedua kaki panjang Albert menuju sebuah pendopo di ujung desa yang biasa digunakan teman-temannya berkumpul. Benar saja, teman-teman yang seluruhnya pribumi itu tengah mendiskusikan entah apa. Plang kayu serhana bertuliskan "Gerindo" terpatri di atap pendopo menyambut Albert.
[ Gerakan Rakjat Indonesia ]
Kedatangannya membawa selembar kertas mengalihkan perhatian. Pemuda yang diketahui bernama Pon itu menyambar kertas lusuh dari tangan Albert, mengepalkan tangannya tinggi-tinggi. "Jepang menepati janjinya!!" Sebagian dari mereka bersorak, seolah pahlawan yang selama ini dinanti telah tiba. Tinggal menunggu pihak Nederland mengibarkan bendera putih.
Tiga minggu berselang, bukan lagi selebaran yang dijatuhkan dari pesawat-pesawat tempur Jepang, melainkan bom dan rentetan peluru. Mereka hilir-mudik, semakin banyak berdatangan seolah memonitor markas-markas serdadu Belanda dari angkasa. Tidak terhitung jumlah nyawa manusia yang melayang. Tak hanya militer, tetapi juga warga sipil terkena bom salah sasaran atau tertembak peluru nyasar. Markas prajurit Ratu Wilhelmina telah rata dengan tanah. Berganti menjadi abu dan serpihan bom peledak.
Lima bulan, Jepang berhasil mendudukki kantor-kantor pusat pemerintah Wonosobo. Belanda lumpuh dalam sekejap. Hal ini tentulah menarik simpati rakyat asli Dieng bahkan Hindia-Belanda, tidak, Indonesia.
Albert dan kawan-kawannya dalam organisasi Gerindo menjalin hubungan baik dengan Jepang. Mereka membantu orang-orang bermata sipit itu dalam membocorkan informasi penting terkait taktik dan rencana balasan Belanda, dan menyusun strategi agar penjajah kulit putih itu secepatnya terusir dari Indonesia.
Satu tahun, tepat awal penghujan 1945, petinggi Belanda nyaris tak terlihat di sudut manapun seolah kaum itu hilang di telan bumi. Karsa mendukung gagasan Jepang yang ingin membentuk organisasi pembantu polisi militer. Dimana barisan lelaki pribumi dikumpulkan untuk dilatih berperang agar dapat membela tanah airnya tanpa bantuan bangsa lain.
Helen de Vries tidak berdaya mencegah putra semata wayangnya ikut dalam pergerakan Seinendan. Meski ia dan Albert seorang Eropa, mereka dilindungi karena pro-Jepang. Albert bebas hilir mudik kesana-kemari, seringkali mendapat tatapan membunuh dari warga sekitar karena fisiknya. Orang mungkin bertanya-tanya mengapa Albert masih boleh berkeliaran.
Albert, ia tidak puas dengan hanya menggulingkan kekuasaan bangsanya lewat politik dan propaganda. Pemuda rupawan itu menyembunyikan sesuatu yang lebih keji, turunย lapangan untuk menyaksikan sendiri hancurnya keangkuhan Belanda yang telah menginjak-injak harga diri Albert selama sembilan belas tahun terakhir.
Untuk itu, Albert memerlukan keahlian prajurit paling tidak sekelas Shodanco. Karsa menolak ajakan Albert, pemuda itu tidak mengerti jalan pikir sahabatnya yang ingin membahayakan nyawa dengan berjuang mengangkat senjata. Menurutnya, Albert cukup pintar, hanya dengan duduk di meja berunding dan memberikan gagasan-gagasannya lebih dari cukup atas nama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Namun sedikit banyak Karsa-lah yang paling paham betapa Albert membenci Belanda.
Hari pertama Albert bergabung dalam organisasi Seinendan, tatapan sinis pemuda pribumi menghujam bagai ingin menerkamnya hidup-hidup. Jika ditelisik, memang hanya Albert lah satu-satunya keturunan Belanda yang menjadi anggota kelompok itu. Kewaspadaan orang-orang disekitarnya timbul, mengira Albert adalah mata-mata.
Tentu bukan mudah bagi Albert dengan fisik Belandanya lolos uji seleksi persyaratan anggota Seinendan. Pemuda bermata biru itu melewati serangkaian prosedur dan pemeriksaan ketat untuk membuktikan bahwa ia bukan pro-Belanda.ย Prosedur permohonan Albert berjalan lurus karena figur sang ayah yang merupakan mantan letnan satu pejuang gerilya tercatat dalam arsip pemerintah Belanda, juga keaktifan Albert dalam organisasi Gerindo semakin meyakinkan Jepang bahwa Albert bukan hanya membantu, lebih dari itu, sangat membantu. Latihan fisik dijalani Albert selama berbulan-bulan, kulit putihnya berubah kecoklatan, tetapi tekad pemuda itu semakin bulat.
Suatu sore ketika Albert usai diuji menembak jarak jauh, komandan batalyon itu memanggil Albert ke ruangannya. Albert bergegas mengikuti arahan Chodanco. Lorong itu terasa panjang. Albert berbebar menerka apa yang ingin sang pimpinan Jepang bicarakan dengannya.
Seorang pria paruh baya berseragam hijau cokelat-cokelat membaca laporan nama tahananย dalam genggamannya. Sebuah topi bundar bertuliskan Banzai bergerak kekanan dan kekiri kala ia memarahi salah satu anak buah. Kedatangan Albert membagi perhatiannya. Segera pria Jepang itu meminta tentara dan Chodanco meninggalkan ruangan. Albert menatap lekat pria yang memiliki tinggi sebatas bahunya itu. Albert menelan ludahnya membasai kerongkongan yang terasa kering.
"Duduk," perintah Daidanco dengan logat Melayu yang terdengar aneh.
Albert mendaratkan bokongnya pada kursi kayu bersebrangan dengan meja sang pimpinan batalyon. Mata sipit segaris itu menggunduli keberanian Albert.
"Albertus Gumilar?"
Albert mengangguk.
"Jadi," jedanya mengetuk-ngetukkan jemari di permukaan meja kayu yang lapuk dimakan rayap.
"Saya punya satu misi rahasia untukmu."
ยท ยท โโโโโโโ ยท๐ฅธยท โโโโโโโ ยท ยท
Kalo rame lanjut, kalo sepi unpublish ๐ต
*btw ada bonus ilustrasi Albert versi aku, tapi boleh sesuai bayangan masing2
Bแบกn ฤang ฤแปc truyแปn trรชn: Truyen247.Pro