✧. halaman ketiga
━━━━━━━━━━━━━━━━━
𝟐𝟎𝟎𝟓
Langkah kaki mendekatkan keduanya. Sekaligus membawanya menjauh. Pada tempat tak menentu.
Haitani Ran, untuk pertama kalinya merasakan gugup ketika berdampingan dengan wanita.
"Nee-san."
Sang wanita menoleh. Sedikit menenggadah sebab lawan bicaranya terlalu tinggi.
"Hm?"
Ran menghentikan langkahnya, yang mana membuat sang surai hitam ikut berhenti. Menoleh, menatap bingung lelaki di hadapannya.
"Mengapa tiba-tiba berhenti?"
Sungguh. Entah ini adalah keberuntungan atau kesialan sebab jalan yang mereka lewati sepi. Memberikan celah bagi Ran untuk melakukan hal yang ia ingin secara leluasa.
Ia mendekat.
Langkah demi langkah. Mengikis jarak dengan pujaan.
Yang satu maju, yang satu mundur.
"Ran? Apa yang kau—"
"Kau mengetahuinya."
Ran berbicara tatkala punggung (Name) membentur dinding. Membuatnya bagaikan mangsa yang kehilangan arah. Pasrah, tak memiliki satu pun jalan untuk keluar.
Tangan yang hendak memukul Ran dicengkram dengan erat. Lalu dengan kasar ditubrukkan pada dinding.
Dikunci.
"Ran!"
"... kau mengetahuinya, Nee-san."
Tubuhnya sedikit menunduk, membuat keningnya saling menyatu.
Deru napas terdengar. Hangat menerpa wajah, memberikan sensasi asing yang membuat candu.
Satu insan berusaha mati-matian menahan dadanya yang meletup. Mati-matian menyembunyikan perasaan yang terkubur.
"Kau sudah tahu kalau aku menyukaimu."
Wanita itu tersentak.
"Apa-"
"Murakami (Name)," seringaian terukir. "Mari akhiri sandiwara ini."
Sepasang manik abu-abu membulat. Netranya bergetar, menatap tak percaya ungu lembayung di hadapannya.
"Bagaimana ... "
"Aku mencari tahu. Jadi, tidak perlu berpura-pura."
(Name) menunduk sejenak. Seulas senyum miris terukir.
"Kalau begitu, tolong berhenti mengejarku, Ran."
"Apa alasan yang membuatku berhenti?"
"Aku sudah bersuami. Aku tidak ingin menyakitimu. Jadi, tolong jangan membuatku goyah."
Kening Ran berkerut. Obsesinya pada wanita ini begitu besar. Ran ingin memilikinya, dia tidak ingin menyerah.
Perkataan wanita ini terlalu ambigu.
Dicengkramnya kuat-kuat, Ran dengan paksa mendekat.
Guna menempelkan bibirnya pada lawan bicara.
(Name) enggan untuk bergeming. Ia menggunakan seluruh tenaganya. Melepas paksa cengraman, dan membekap mulut sang lelaki. Melarang sentuhan kurang ajar pada bibirnya.
Senyum terukir pada parasnya.
"Ini tidak benar, Ran."
Sorot matanya sayu.
Meski gelap, Ran yakin wajah wanita ini tengah bersemu. Ada keraguan dalam nada bicaranya. Serta keinginan yang membuncah. Yang pastinya ditekan dalam-dalam.
"Nee-san, bisa tolong berhenti berbohong?" seringai kian melebar. "Wajahmu sekarang. Seolah memintaku untuk melakukannya."
"RAN!"
Bentakkan cukup kencang. Sang surai hitam menaikkan intonasi, kemudian menunjukkan tangan kanannya.
Wajahnya kalut. Tenggelam dalam rasa takut.
Di jari manisnya tersemat cincin. Menempel erat seolah tak ingin berpisah.
Apakah Ran tidak melihatnya? Apakah Ran tidak menyadarinya?
Tidak.
Haitani Ran hanya tidak ingin mengakuinya.
•••
𝐀𝐮𝐠𝐮𝐬𝐭 𝟐𝟎𝟎𝟓
"Nyonya."
Seorang pria mendekatinya. Berdiri seraya menunduk sopan pada sosok yang tengah duduk di atas sofa.
"Iya?"
Suara feminim menyambutnya.
"Ada seseorang bernama Baji Keisuke meminta bertemu dengan anda."
Wanita yang tengah membaca buku, kini menoleh dengan seulas senyum.
"Tolong suruh dia langsung ke kamarku saja," jeda sejenak. Wanita itu mencegah kepergian pelayannya dengan satu kalimat. "Lain kali, tolong jangan buat dia menunggu. Dia adalah adikku."
•••
Kamarnya luas. Keisuke akui. Dalam hati berdecak kagum meski wajah memancarkan amarah.
Dia berjalan mendekat. Berdiri di depan wnaita yang tengah duduk di bibir ranjang. Insan muda ini menunduk, memperhatikan garis wajah dari atas.
"Nee-san. Apa maksudnya ini?"
(Name) mendongak. Ia kemudian menarik Keisuke, mengajaknya untuk duduk bersebelahan. Ia tersenyum tipis.
"Apa yang kau bicarakan, Kei?"
"Semenjak kau menikah, kau tidak pernah mengunjungi kami," kali ini Keisuke mengerutkan keningnya. "Ibu khawatir."
Entah apa yang dipikirkan wanita dihadapannya.
Permainannya begitu rapi. Seulas senyum selalu berhasil menutupi segalanya.
Namun kali ini, tampaknya ia ceroboh.
Ujung matanya merah. Sebab mengenakan lengan baju sesiku, lebam terlihat dimana-mana.
(Name) memejamkan mata, memikirkan kalimat yang belakangan ini mengganggunya.
"Kau sayang adik dan ibumu kan? Karena itu, jangan membantahku."
Senyum tak kunjung pudar.
Namun hampa mulai mengganti sinar.
"Aku minta maaf, aku sibuk akhir-akhir ini."
Sebuah kebohongan yang terlalu klise.
"Nee-san, sebenarnya kau menikah atas dasar apa?" tanya sang adik. Kali ini ia menatap kakaknya dalam-dalam, mencoba memcari tahu apa yang dipikirkannya. "Kau tidak terlihat bahagia."
Keisuke menyadarinya.
Bukan hanya ekspresi, tetapi juga luka dalam diri. Baik fisik maupun hati.
"... apa aku perlu membunuhnya saja?!"
(Name) tersentak. Dengan refleks memegangi pergelangan tangan adiknya.
"Jangan!"
Wajah Keisuke berubah muram.
"Kau hancur, Nee-san. Berada di sini, sama saja dengan membunuh diri secara perlahan."
Belum sempat sang wanita berujar, sosok lain memasuki kamar.
Mengulas senyum sinis. Memberikan tekanan, membuat atmosfer seakan menipis.
"Ah ... Sei."
Keisuke dengan cepat berdiri, berbisik pelan sebelum akhirnya pergi.
"Aku tahu kau menikah karena kami. Tapi kau harus tahu, Nee-san. Kebahagianmu juga tidak kalah pentingnya. Kamu tidak sendiri. Ada kami di sini."
Sang wanita terdiam. Hanya menatap nanar punggung yang melangkah pergi. Memperhatikan eksistensi serupa diri, yang mana kerap menghibur dikala sepi.
Sang adik, yang dia cintai.
(Name) harus meminta maaf, sebab dia menjadi egois.
"Ho, itu adikmu ya?" seorang pria berjalan ke arahnya. "Kau tidak bilang apa-apa kan ke mereka?"
Seulas senyum diberi, tepat sebelum tamparan mendarat dipipi.
"... aku tidak mengatakan apapun, Sei."
"Bagus. Aku melakukan ini karena aku mencintaimu. Jadi, maklumi ya?"
•••
20 Juli 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro