Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

9

"Tawaranmu untuk menjadi lebih dekat."

"Heh, aku emang pernah ngomong gitu ya?"

Mata Osamu membulat. Ia mendengus kesal. Lalu kembali berwajah datar. "Lupakan." ia langsung berjalan memunggungiku.

Ku tahan kepergiannya dengan menarik sedikit kemeja yg dikenakannya. Osamu berhenti. Wajah kalemnya kembali menyapa.

"Aku cuma bercanda kok," ucapku. "Biar lucu gitu hehehe..."

"Tapi nggak lucu."

Sakit.

Berdehm pelan. Aku menatap Osamu dengan wajah berbinar. "Tentu saja masih berlaku. Ayo kita menjadi lebih dekat."

"Yasudah kalau begitu."

Tak pernah terbayang Osamu akan berkata begitu. Pasalnya, ketika aku memberikan tawaran itu, Osamu langsung pergi meninggalkanku. Dan setelah itu, dia seolah malas terlibat pembicaraan denganku. Aku sempat khawatir, dan takut Osamu jadi tidak suka padaku. Sudah kubuat rencana untuk meminta maaf pada dia. Tentunya akan kulakukan setelah urusan dengan Nakamura selesai. Tapi sepertinya rencana itu sudah tidak diperlukan.

Sial, padahal aku sudah bersusah payah memikirkannya. Eh tunggu, ini bukan kesialan tapi nikmat. Maaf tuhan.

"Os- Miya, tidak ikut kumpulan dengan anak voli?" Aku tak boleh gegabah lagi. Usahakan untuk memanggilnya Miya.

"Osamu juga tak masalah," ucapnya. "Aku baru mau kesana."

Kehati-hatian ku percuma saja.

"Oh, kalau begitu hati-hati ya."

"Kalau di pikir-pikir. Alangkah baiknya kamu ikut juga."

"Kenapa?" menyadari sesuatu. Mataku lngsung berbinar. "Apa kalian ingin merekrut manajer baru."

"Bukan."

Binarnya langsung pergi ke Eropa. "Terus?"

"Ikut saja. Nanti juga tahu."

*

"Samu, kok kamu bisa sama dia?"

"Kamu ngpain sama Osamu?"

Hanya Suna dan Atsumu yang terkejut dengan kedatangan Osamu yang membawaku. Yang lain nampak biasa saja. Bahkan Matsumoto dan Ginjima menyapaku. Tak lupa Ren omimi juga melakukan hal sama.

"Halo semua, maaf mengganggu," ucap ku sambil tertawa canggung.

"Samu, ngapain kamu ajak dia?" tanya Atsumu. "Bukan berarti aku keberatan sih."

"Ku pikir mengajak dia bisa mempermudah sesuatu."

Ini aku yang bodoh atau memang seagala sesuatunya masih rancu.

"Kalau begitu, kita sambung diskusinya," ucap kit -eh maksudku Shin. Tak kuasa menahan senyum saat mengingat senpai memperbolehkanku memanggil nama kecilnya.

"Jadi, selama kamp pelatihan musim panas nanti, aku tak bisa hadir." Matsumoto menempelkan kedua telapak tangannya. Lalu setengah membungkuk. "Mohon maaf!"

"Yah mau bagaimana lagi," ucap kapten. "Tapi setidaknya kamu harus memiliki pengganti."

"Maaf, aku belum memilikinya. Tapi, aku akan ku usahakan untuk mendapatkannya sebelum kamp pelatihan dimulai."

"Maka dari itu, aku membawa dia," ucap Osamu. Semua atensi bergulir kepadaku. "Aku pikir dia bisa menjadi pengganti Matsumoto-san. Toh, dia juga pernah membantu di klub."

"Heh? Aku?" telunjuk mengarah ke diri sendiri. Menatap Osamu dengan terkejut.

"Nggak mau?"

"Mau!"

Mana mungkin aku melewatkan kesempatan emas ini.

"Kamu bisa memasak?" tanya kapten.

"Kupikir bisa," ucapku. "Kemarin aku juga membuat kue. Gimana Shin-senpai, kue buatanku enak tidak?"

"Shin?"

"Membuatku kue untuk Kita-san?"

Sepasang mata milik Atsumu dan Suna menatapku curiga. Kemudian, deheman pelan dari Shin mampu melenyapkan tatapan yang jujur membuatku risih itu.

"Ku rasa dia cukup handal dalam memasak," ucap Shin dengan tenang. "Aku juga bisa membntu."

"Kalau begitu, ada yang keberatan dengan [full name] yang akan menggantikan Matsumoto?"

Tak ada penolakan. Senang rasnya segala sesuatu berjalan sangat lncar begini.

"[Surname], pastikan kamu izin ke orng tuamu."

"Aye aye kapten!"

Setelah membahas itu. Mereka mulai membahas berbagai masalah lain. Seperti keuangan. Anggota yang kurang disiplin. Belanja bulanan. Dan lainnya. Apa tidak apa-apa aku mendengarkan semua ini. Atau mungkin, mereka sudah menganggapku sebagai manajer klub ini. Kalau begitu aminkan saja.

Pembahasan ini tak sepenuhnya aku pahami. Karenanya, aku jadi sedikit mengantuk. Sebenarnya ingin sekali izin undur diri. Tapi keberanian untuk mengacungkan tangan dan menginterupsi kapten belum terkumpul.

Aku menguap lebar. Kudanil mungkin saja akan minder bila melihatnya. Melirik kearah Suna. Dia juga menguap, hanya saja tak terlalu lebar.

Tak kuasa menahan kantuk. Aku ingin tidur saja. Tapi tidak sopan. Untuk menghilangkan kantuk, aku mencubit punggung tangan. Tidak terasa. Memang harus orang lain yang melakukannya.

"Osamu," bisikku. Lantas, si Miya kelam yang berada di di kiriku menoleh. Sebelah alisnya terangkat heran. "Cubit aku." Aku menjulurkan tangan kanan.

"Tidak."

"Kumohon, aku mengantuk."

Osamu menghela napas. Lalu melakukan apa yang kusuruh. Apaan ini, gigitan semut bahkan lebih menyakitkan.

"Yang keras. Tadi itu tidak terasa."

Osamu menatapku tanpa ekspresi. Lalu...

"Aw!"

Bagus, kantuk hilang. Dan atensi langsung berkumpul untukku.

*

Beruntung aku bisa menahan kantuk sampai rapatnya selesai. Tapi sebagai gantinya justru kena marah Kita. Setelah rapat selesai, Aku dan Suna langsung berjalan kembali ke kelas.

"Bagaimana soal Nakamura?"

"Beres. Tinggal tunggu saja." aku melebarkan langkah. Agar bisa berjalan beriringan dengan Suna.

"Oh."

"Suna, aku sedang menabung untuk membelikan mu hadiah."

"Hadiah?" kaki jenjangnya berhenti melangkah. Mata sipitnya menatap heran.

Mengangguk penuh antusias. "Hadiah sebagai rasa terimakasihku. Kan kamu bilang ingin lebih dari terimakasih."

Suna sedikit terkejut. Namun sedetik kemudian kembali berwajah malas. "Bukan berarti aku ingin dibelikan hadiah," gumamnya.

Ia lalu kembali melangkah. Kali ini lebih pelan. Aku pun tak kelimpungan menyamain langkahnya.

"Kamu jadi sangat akrab dengan anak-anak klub voli ya."

"Benarkah?" senang. Tentu saja. Tujuanku bereinkarnasi adalah untuk bisa akrab dengan mereka.

"Bahkan aku tak menyangka kamu memanggil kita-san dengan Shin-senpai." Dia memeragakan caraku memanggil nama Shin. Tapi dengan sedikit dilebih-lebihkan. Menyebalkan.

"Memang kenapa? Kami kan tetangga."

"Aneh. Dulu itu kamu selalu menghindar setiap melihat Kita-san. Kenapa malah dekat."

"Bagus dong. Sesama tetangga harus rukun."

"Tetangga, tetangga," desisinya. Lalu mendecih pelan. Tiba-tiba saja ia mempercepat langkah kakinya. Aku sempat tertinggal lalu dengan susah payah mencoba kembali menyamai. Sial, aku malah lelah sendiri.

Menyerah. Akhirnya aku membiarkan punggung suna jadi pemandangan ke sepanjang perjalanan kembali ke kelas.

Apa cuaca panas hari ini membuat kepala Suna cepat mendidih.

*

Nakamura kalah. Beberapa menit lalu, suara Nakamura menggema dari pengeras suara Yang ada disetiap disudut sekolah. Nakamura berjanji untuk mengakhiri hobi merundungnya. Aku Yang sedang berada di dekat vending machine langsung bersorak kegirangan. Akhirnya aku terbebas. Sepulang sekolah nanti haruskah aku mentraktir Suna. Tapi dia ada kegiatan klub tidak ya.

Sambil bersenandung. Aku melangkah kan kaki dengan riang. Sesekali memutar tubuh dan menari ringan. Ah, senangnya.

"Kamu seperti orang kerasukan."

Gerakan ku berhenti. Lalu menatap kesal pada si pemilik suara. "Biar saja. Yang jelas aku senang." terlalu senang. Hingga omongan nyinyirnya tak sanggup bertahan lama di hatiku. "Tadi kamu dengar kan suara si Nakamura?"

"Aku dengar. Aku punya dua telinga."

Menghela napas. "Aku bahagia."

Dia terdiam menatapku.

"Suna, sepulang sekolah kamu ada kegiatan klub?"

"Ada."

"Padahal aku ingin mentraktirmu makan."

"Jangan makan. Nonton film saja. Kebetulan ada film yang ingin ku tonton."

"Oke, hari minggu ini?"

"Boleh." tangannya bergerak mengusap-usap tengkuk. Mata sipitnya menatap kearah pot bunga tak berpenghuni ditaman tak terurus. "Nomor teleponmu."

"Ya?"

"Beritahu nomor telepon mu. Agar hari minggu nanti aku bisa mengabarimu."

Seketika aku ingat nasib ponselku yang sudah tak karuan itu. "Maaf ponselku rusak. Gara-gara di lempar Nakamura."

Decak kesal Suna terdengar gamblang. Kenapa ia bisa sekesel itu. "Seharusnya kamu membiarkan ku ikut."

"Sudah, jangan dibahas lagi. Yang penting semua sudah selesai." Tersenyum dikhir kalimat.

"Terserah."

"Suna, suna, hari ini kamu pms?"

Dahi Suna mengernyit.

"Soalnya tiba-tiba saja kamu marah-marah tanpa alasan."

Si sipit mendengus. Dengan santai, ia menyentil dahiku. "Aku laki-laki tulen. Dan aku marah bukan tanpa alasan."

"Jadi, alasannya apa?" aku menggosok-gosok dahi.

"Rahasia."



Tebece






Suna :*

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro