Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8

Dear diary...
Hari Ini seperti rollercoaster. Di hempas, lalu diajak naik tinggi.

Ah, aku juga harus menabung guna membeli hadiah untuk Suna. Dia bilang ingin lebih dari ucapan terimakasih soalnya.
Kira-kira apa yang cocok untuknya ya.

Aku akan tanyakan ke teman-temannya nanti.

Selesai sudah kegiatanku menulis diary. Sejak berinkarnasi, entah kenapa aku selalu menyempatkan diri menceritakan kisah yang
kualami tiap harinya diatas buku dengan cover unicorn ini. Diary ini warisan dari pemilik asli tubuh ini. Dihalaman-halaman awal pun aku bisa menemukan berbagai kisah memilukan yg dialaminya. Kadang, ada keinginan untuk merangkulnya, Dan berkata kalau aku ingin menjadi temannya.

Tapi sayang, kita berasal dari dimensi yg berbeda. Sekalipun aku bertandang ke dimensi ini, entah pergi kemana jiwa gadis itu.

Ting

Segara aku berlari kedapur. Sebagai perayaan awal untuk kebebasanku dari Nakamura sialan itu, aku membuat biskuit. Nantinya biskuit ini akan ku bagikan juga pada tetangga depan. Yup, siapa lagi kalau bukan Kita Shinsuke.

Ini pertama kalinya aku membuat biskuit. Dilihat dari tampilan Dan aroma, sepertinya tak terlalu buruk. Sekarang tinggal memastikan rasanya.

"Lumayan... "

Aku berpindah untuk membuka rak gantung. Beberapa barang berjatuhan dari sana. Untung saja tak Ada Salah satunya yang menghantam tubuhku. Aku mencari toples berukuran sedang Yang cantik Dan imut. Mataku memilih satu Demi satu perkakas berdebu yng disimpan disana. Maklum, [name] ini jarang memasak. Ia biasa makan diluar.

Toples berwarna [favorite colour] mencuri perhatianku. Ukurannya pas. Bentuknya juga lucu. Langsung kuambil toples tersebut. Dicuci, di lap hingga kering. Toples sudah siap dipakai. Biskuit yang masih panas itu mulai kumasukan satu persatu kedalam toples hingga tak ada lagi ruang tersisa.

Siap! Aku bisa ke rumah Kita sekarang juga.

Tunggu dulu.

Bergegas berlari ke kamar. Bergaya didepan cermin. Memastikan penampilanku tak terlalu buruk. Membawa setoples biskuit, aku langsung branjak ke rumah Kita. Bel di tekan. Sekarang tinggal menunggu penghuni rumah keluar.

Tak berselang lama, Kita keluar dengan balutan baju santainya. Kaos abu lengan pendek yang di padukan celana panjang berwarna mocca.

"Selamat malam," sapaku sambil tersenyum.

"Malam."

"Kita-senpai, aku bawakan biskuit untuk senpai dan nenek senpai." toples telah berpindah tangan. "Oh iya, ini home made lho. Enak,  lezat dan bergizi."

"Shin, siapa itu?"

Atensi kami bergulir pada nenek yang berdiri tak jauh dari tempat kami. Meski sudah berumur, nenek Kita masih terlihat kuat dan sehat. Sepertinya gaya hidup yang baik merupakan kuncinya.

"Selamat malam nek." Membungkuk hormat lalu tersenyum ramah pada beliau.

Nenek membalas senyumku. "Ara, ada apa ini [name] -chan?" beliau berjalan mendekat.

"Aku hanya mengantarkan biskuit," ucapku masih dengan mempertahankan senyum tentunya. "Ini buatanku nek."

"Nenek senang sekali menerimanya, terimakasih ya."

"Aku juga ikut senang."

"[Name]-chan sudah makan malam?"

Seketika aku sadar. Asik membuat biskuit dan menulis diary, aku sampai lupa kalau perutku belum diisi apapun. Kecuali biskuit yang tadi ku cicipi.

Aku menggeleng pelan.

"Kalau begitu, mari makan bersama. Kebetulan kami memasak cukup banyak." Tanpa menunggu persetujuan ku, nenek langsung berjalan menuju ruang makan.

Aku mematung di tempat. Apa tidak masalah. Bukannya tidak ingin. Tapi ada rasa sungkan.

"Ayo, nenek pasti akan senang," ucap Kita. "Kamu bisa memakai surippa itu."

Lantas, aku melepas sandalku. Dan menggantinya dengan surippa yang tadi di tunjuk Kita.

Meja makan bergaya tradisional Jepang yang berisikan berbagai makanan memanjakan mata. Nenek langsung mempersilahkan ku duduk.  Dengan malu-malu, aku menurut. Sementara itu, Kita mengambil mangkuk, gelas, dan sumpit tambahan untukku.

"Nenek senang kamu mau main kesini."

"Iya nek, hehehe... " aku bingung harus membalas apa.

"Kamu itu pemalu sekali."

"Hehehe..."

"Sering-sering ya main kesini."

Akhirnya Kita senpai datang. Ia meletakan alat makan didepanku. Tak lupa menuangkan teh kedalam gelasku.

"Shin juga senangkan, kalau [name] datang kesini?"

Kita diam beberapa detik. "Iya."

Sebisa mungkin aku mencoba tidak baper. Kemungkinan besar, jawaban Kita hanya untuk menyenangkan neneknya. Cowok satu ini memang pecinta nenek garis keras.

Nenek bilang sebagian besar Kita yang memasaknya. Begitu makanan tersebut mendarat di lidah. Aku jadi ingin menjadikan Kita sebagai koki pribadi. Rasanya enak sekali.

"Enak kan?"

Aku mengangguk penuh semangat.

"Masakan Shin memang enak," ujar nenek bangga. "Kalau tak keberatan,  [name]-chan bisa selalu ikut makan malam bersama kami."

"Benarkah?"

Nenek mengangguk mudah.

"Aku juga tak keberatan."

"Terimakasih nek, Kita-senpai juga."

"Nenek tahu, makan sendiri itu tidak menyenangkan bukan," ujarnya. "Jadi jangan sungkan lagi."

Terharu. Kupikir aku sendirian. Tapi tidak, disekitarku ada orang sebaik dan sepeduli ini. Bodohnya [name] mengabaikan tetangga sebaik ini.

Meletakkan mangkok, aku merangkak mendekat pada nenek. "Boleh aku peluk?"

Nenek tidak membalas dengan kata, ia langsung membawaku kedalam pelukannya. Aku balas memeluk. Kehangatan ini, aku sangat merindukannya. Awal hari ini memang buruk,  tapi akhirnya lumayan juga.

*

"Senpai, izinkan aku membantu."

Iris itu memandangku untuk sesaat sebelum akhirnya kembali menatap tumpukan piring kotor di wastafel. Kaki ku bergerak memperpendek jarak antara kami berdua.

"Kamu temani nenek saja."

"Soal itu... Nenek tertidur."

Gerak tangannya terhenti. Sedetik kemudian ia menghela napas cukup panjang. "Padahal sudah ku ingatkan untuk tidak tidur sehabis makan," gumamnya. Tak cukup pelan karena aku masih mendengarnya.

"Jadi, boleh aku bantu?"

Mulutnya tak bergerak. Tangannya Yang bergerak. Ia menjangkau sebuah lap kering, lalu memberikannya padaku. Tak tejadi serah terima. Pasalnya, Kita masih memegang lap tersebut. Kedua irisnya menatapku dalam. Dahinya mengernyit.

Apalagi ini. Aku jadi berdebar.

"Pelipismu kenapa?"

Sial, ternyata dia memperhatikan pelipisku.

"Ini, aku terjatuh. Iya aku terjatuh siang tadi." Tawa canggung sengaja kutambahkan. Aku tak ingin meraih simpati dari kejadian yg menurutku cukup memalukan dan sngat menyedihkan itu.

"Kamu harus lebih berhati-hati. Kamu ini kan perempuan."

Tangan Kita sepenuhnya terlepas dari lap kering itu. Ia kembali mencuci piring-piring itu.

"Soal Nakamura, bagaimana?"

Hampir seluruh anak Inarizaki mengenal Nakamura. Sebagian besar mengenalnya karena pengaruh orang tuanya dan juga hobinya merundung orang. Aku pernah dengar kalau aku bukan satu-satunya target Nakamura. Sialan memang iblis yang satu itu.

"Senpai tak perlu khawatir lagi. Nakamura sudah aku tangani," ucapku bangga. "Ah, meskipun dengan bantuan Suna."

"Maaf aku tidak sadar kalau kamu jadi target Nakamura." Ia menyerahkan piring bersih yang masih basah padaku.

Piring berpindah ke tanganku. Saatnya aku bekerja. "Tidak apa. Salah aku juga tidak mau bercerita." piring sudah kering. Ku letakkan diatas rak.

Kita sibuk mencuci piring. Sepertinya dia tak ada niatan untuk membuka suara lagi. Kalau begini, aku yang harus mengambil peran.

"Senpai, Shin itu nama panggilan nenek untuk senpai ya?" aduh, kenapa aku menanyakan hal yang jawabannya sudah pasti begini.

"Hm... "

"Lucu ya." Aku tertawa kecil.

"Kamu pikir itu lucu?"

"Iya, lucu!"

"Kalau kamu suka, kamu juga bisa memanggilku seperti itu."

*

Hari ini, aku kembali berada di depan aula dua bersama Nakamura cs. Ada yang berbeda. Tak ada Suna yang bersembunyi untuk mengawasi atau merekam. Kali ini, aku maju ke medan perang seorang diri.

Suna ada urusan dengan klub voli. Sebenarnya dia memaksa untuk ikut. Tapi aku tolak lantaran tak ingin dia terlibat lebih jauh. Melibatkan diri dengan Nakamura bukan hal yang baik.

"Kamu mau merengek dan memohon lagi?"

Aku menggeleng. Lalu menyodorkan ponselku padanya. "Itu vidio waktu kamu dan teman-temanmu merundungku."

Nakamura mendongak, menatapku remeh. "Lalu mau apa? Mau melaporkan ini pada pihak sekolah?"

"Bukan. Akan aku sebarkan di media sosial."

Nakamura menatap serius.

"Bagaimana ya reaksi orang-orang ketika melihat Putri seorang pejabat setempat merundung temen sekelasnya. Hmm... Menarik bukan. Mungkin hal ini akan cukup berpengaruh pada citra ayah dan ibumu."

Menggeram pelan. Nakamura langsung membanting ponselku. Bunyinya sangat keras. Berjongkok,  lalu memungut ponsel yang layarnya sudah retak parah. Aku ragu, ponsel itu bisa ku gunakan lagi.

"Kamu gila ya!" sungutku.

Nakamura menyeringai lebar. "Sekarang vidio sialan itu sudah tidak ada. Jadi, bagaimana [name]-chan yang manis akan mengancamku? "

Aku balas menyeringai. "Dengar ya. Aku sudah copy vidio tadi ke laptop ku dan laptop saudaraku. Juga, aku copy ke dalam 10 disk yang berbeda." tawa kemenangan tak bisa kutahan. "Dan kalau pun kamu membunuhku disini. Atau mau menyekapku. Aku sudah perintahkan orang suruanku untuk menyebarkan vidio itu kalau aku tak memberinya kabar dalam satu kali 24 jam."

Hiperbola. Melebih-lebihkan. Aku hanya men-copy vidio itu di satu disk dan laptop. Dan soal orang suruhan, mana ada. Ini hanya gertakan, dan semoga berhasil membuat Nakamura gentar.

Raut wajahnya memerah karena amarah. Dengan langkah lebar ia mendekat. Lalu menarik kuat kerah bajuku.

"Sialan!" desisnya.

"Ayo pukul. Dan akan ku sebarkan vidio itu."

Nakamura masih enggan melepaskan kerah bajuku. Giginya saling beradu hingga menghasilkan bunyi gemeletuk. Aku suka melihat Nakamura mati-matian menahan amarahnya. Sesekali, si iblis ini harus di ajarkan caranya menahan emosi.

"Hey!"

Aku tak ingat sudah berapa lama aku ada di dunia ini. Yang jelas, kala pertama kali menginjakan kaki di dunia ini. Aku diacuhkan oleh seseorang saat tengah di rundung. Namun kali ini berbeda. Dia tidak mengacuhkanku. Bahkan sebelum aku bersuaru pun, dia sudah lebih dulu mendekat.

Nakamura langsung melepas cengkeraman tangannya. Lalu berlagak sok manis. "O-oh hay, Osamu," sapanya.

Osamu hanya mengangguk singkat. "Ikut denganku," ucap Osamu.

"Aku?" raut girang menilik malu dari wajahnya.

"Bukan, tapi [surname]."

"Ada apa?" tanyaku.

"Ada perlu. Ayo." Dia berjalan memunggungiku. Secara tak lngsung dia meminta ku untuk mengikutinya.

Aku terdiam beberapa saat. Masalah disini belum selesai. Tapi kalau aku menolak ajakan Osamu, dan dia pergi begitu saja. Presentase ku untuk kabur secara aman akan berkurang.

"Tunggu dulu. Tunggu sebentar dulu ya."

Osamu berbalik. Ia menghela napas. Lalu mengiyakan. Syukurlah.

"Nakamura, kalau kamu ingin vidionya tak tersebar. Aku ingin dalam 2 jam kedepan, kamu membuat pengakuan di radio sekolah. Pengakuan bahwa kamu tidak akan mem-bully aku atau anak-anak yang lain lagi."

"Apa—"

"Kalau dalam dua jam kedepan aku tak mendengar pengakuan mu. Maka vidio itu akan lngsung tersebar."

Raut wajah Nakamura membuatku sedikit kasihan. Tapi aku tak boleh sungkan. Aku harus kejam agar penindasan ini berakhir. Toh dia memang layak menerima ini. Dibandingkan apa yng dia lakukan padaku dan anak-anak lain. Ini tak seberapa.

"Ayo." Aku menggeret tangan Osamu menjauh dari aula dua tadi. Osamu nampak pasrah saja tangannya aku tarik.

Saat jarak sudah terpaut sekitar tiga meter. Aku dapat mendengar jeritan frustasi Nakmura menggema. Senyum puas spontan menghias wajahku.

"Hey!"

Berhenti. Aku menatap Osamu yang wajahnya masih kalem. Seketika aku sadar. Langsung ku lepaskan tangan Osamu. "Maaf, " ucapku lalu tertawa canggung.

Osamu tak merespon.

"Jadi, ada perlu apa?"

"Tidk ada."

"Hah?!"

"Tidak ada," jawabnya. "Kalau begitu aku pergi dulu."

"Eh tunggu, terimakasih untuk yang tadi." Aku tersenyum kecil. "Mengingat pertemuan pertama kita. Aku tak menyangka kamu akan membantuku. Sekali lagi aku berterimakasih."

Osamu diam sejenak. Lalu pandangannya bergulir pada rerumputan yang bergerak kecil. Tangannya mengusap tengkuk pelan. "Hey, apa masih berlaku?"

"Apa itu? Voucher belanja?"

Ia menghela napas panjang. Pada akhirnya, tatapan kami kembali beradu. "Tawaranmu untuk menjadi lebih dekat."

Tebece







*surippa : sendal yng dipakai di di dalam rumah







Osamu mulai bertindak :")





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro