7
"Permisi, Nakamura..." Aku memejamkan mata, kedua tangan juga terkepal erat. "—sama!" Rasanya tidak ikhlas menambahkan sufiks sama saat memanggil nama si titisan iblis itu.
Nakamura yang tengah memakan roti pun menoleh padaku. Raut wajahnya nampak terkejut. Selang beberapa detik, senyum pongah langsung terpangpang di wajahnya. "Apa ini, sudah lama kamu tidak memanggil ku dengan penuh penghormatan seperti ini."
Tahan, jangan emosi.
"Itu, ada yang ingin aku bicarakan denganmu."
Ia menyilangkan tangan di depan dada. Dagunya sedikit terangkat. Dia sedang menunjukkan siapa yang sedang berkuasa disini. "Cepat katakan," ucapnya.
Aku menggeleng cepat. "Tidak bisa dibicarakan disini. Kita harus membicarakannya di tempat yang sepi."
"Kenapa?" Dahi Nakamura mengernyit.
"Karena... Ini hal yang sangat penting yang hanya boleh di dengar oleh Nakamura—" tanganku terkepal semakin erat. Aku yakin kalau buku-buku jarinya terlihat semakin jelas. "—sama."
Matanya menatapku curiga selama beberapa detik. Dan selama itu pula aku terus berusaha mempertahankan senyuman bodohku.
"Oke!"
"Kalau begitu, ikut aku."
Nakamura dan dua pengikutnya mengekor di belakang. Aku meneguk ludah dengan susah payah. Tenang saja, kau pasti bisa. [Name] fight! Wooo...
Kami bertiga sampai di depan aula 2. Aula ini selalu sepi. Bahkan jarang ada yang melintas di sekitar sini. Konon, disini ada arwah seorang wanita yang mati karena tersedak sushi. Banyak yang bersaksi pernah melihat hantu tersebut. Tapi maaf saja, hal yang masih samar begitu mana bisa membuatku takut.
Nakamura melihat sekitar dengan tatapan risih. Kedua tangannya masih setia di silangkan di depan dada. "Cepat katakan!" Ujarnya. Sepertinya dia tidak suka berada di tempat yang konon katanya angker ini.
Aku berdehem pelan, supaya terkesan sedikit berwibawa.
"Nakamura, aku ingin bertannya." Aku menatap bola matanya yang bergerak-gerak gelisah. "Kenapa kamu merundungku?"
Kedua iris yang harus kua akui cukup indah itu berhenti bergerak. Pandangan merendah ia jatuhkan padaku. Seringai mengejek tersungging megah di wajah eloknya. "Kenapa ya..." Tangannya memainkan ujung rambutnya. "...karena ingin?"
Sialan!
Aku menghela napas. Sabar adalah kunci utama.
"Aku tidak punya salah denganmu kan?"
"Hmm... Nggak ada tuh."
"Oke." Mencoba tetap tenang. "Kalau begitu, bisa berhenti merundungku?"
Nakamura terkejut. Begitu pula Antek-anteknya.
"Ku mohon," ucapku dengan nada memelas.
Tawa Nakamura dan para pengikutnya meledak. Membahana. Juga menyakitkan di telinga. Ingin ku sumpal mulut mereka bertiga dengan kaos kaki. Tapi aku harus bersabar. Ingat, orang sabar di sayang anak-anak klub voli Inarizaki.
"Heh, kamu pikir aku bakal dengerin permohonanmu?" Telunjuk tengahnya mendorong pelan kepalaku. Di perlakukan begitu aku hanya bisa diam saja. Lagi, dia mengulang aksinya. "Dengar ya, mana mau aku mendengarkan omonganmu."
"Aku mohon." Nada bicaraku kian memelas. "Aku lelah di rundung terus-terusan oleh mu. Ku mohon."
Nakamura mendorongku dengan kuat. Aku terjatuh. Punggungku menghantam tembok. Gila, ini sakit.
Gadis iblis itu berjongkok di depanku. Senyum menyebalkan terpampang. Dengan satu tangan, dia memegang daguku. Memaksaku untuk mendongak menatapnya.
"Dengar. Ini sudah takdirmu jadi bahan bully-ku selama tiga tahun kedepan." Ia menggerakkan kepalaku ke kiri juga ke kanan. "Jadi, bersabar saja. Aku yakin [name]-chan itu kuat. Dan pasti bisa bertahan."
Usai mengucapkan itu. Dia mengacak rambutku dengan kasar hingga berantakan. Ia lalu bangkit berdiri. Bersiap pergi meninggalkanku.
Masa dia mau pergi begitu saja. Masa cuma segini saja. Tidak akan ku biarkan.
Langsung ku peluk kaki kanan Nakamura yang hendak melangkah. "Kumohon, pertimbangkan lagi!"
Saruki hendak bertindak.
"Tenang, ini bisa aku atasi sendiri."
Satu kaki Nakamura yang terbebas menginjak kepalaku. Beruntung ia memakai sepatu indor, jadi tak telalu kotor. Tapi tetap saja menyebalkan.
Tahan, tahan.
Kakinya bergerak-gerak diatas kepalaku. "Lepas, atau aku pukul!"
"Kumohon!"
Dengan kasar, kakinya menendang pelipisiku. Pening. Saking peningnya, aku refleks mengendurkan pelukanku pada kaki Nakamura.
Sialan, sakit sekali.
Belum sempat menenangkan diri karena habis ditendang. Aku dipaksa berdiri oleh Saruki dan Yamashita.
"Dengar, jangan pernah memohon-mohon seperti ini lagi." Sekuat tenaga, Nakamura menjambak rambutku. "Karena percuma saja. Hanya membuang waktu ku."
Cengkramannya lepas dari rambutku. Dengan congkak, ia berjalan memunggungiku. Lalu para antek-antek itu menghempaskan ku dengan sekuat tenaga.
Sial, kali ini lututku yang harus mendera sakit.
Aku terduduk tak berdaya. Menatapi punggung ketiga iblis bertopeng manusia yang makin lama makin mengecil. Mereka bertiga sudah menghilang di belokan. Aku menghela napas. Lalu menyandarkan punggung di tembok.
Rasa sakit dan malu menghujamku tanpa ampun. Harga diriku habis diinjak-injak hingga tak berbentuk. Tapi, tak masalah. Segala sesuatu memang memerlukan pengorbanan.
Sakit, tapi...
"Hahaha..."
"Hey, apa tadi tendangannya sakit sekali sampai kamu jadi gila?"
Aku menatap Suna yang tengah berjongkok di hadapanku yang masih tertawa. Aku sampai menitikan air mata, juga menepuk-nepuk bahu Suna.
"Woy!"
Tawa ku langsung berhenti saat kedua tangan Suna mencengkeram kedua bahuku erat. Ia lalu mengguncang tubuhku dengan pelan. "Kamu nggak gila kan? Kamu masih waras kan?"
Tatapan kami beradu. Aku tak yakin, tapi di kedua bola mata Suna, aku melihat kekhawatiran yang mendalam. Kalau begini aku jadi merasa bersalah. Aku tidak gila. Aku waras sepenuhnya. Aku hanya terlalu bahagia karena tahap awal dari rancanaku —Suna berhasil di laksanakan.
Beberapa hari lalu Suna sempat berkata ingin membantu agar Nakamura berhenti merundungku. Jadi rencananya begini. Pertama, Nakamura dan para pengikutnya harus menghajarku dan aku harus terlihat tak berdaya. Lalu, secara diam-diam, Suna akan merekam kami. Selanjutnya, kami akan mengancam Nakamura untuk menyebarkan video itu di media sosial kalau dia masih merundungku.
Nakamura memang tak bisa tersentuh karena orang tuanya merupakan orang terpandang di wilayah Hyougo. Katanya juga, ayah Nakamura akan mencalonkan diri sebagai kepala distrik. Tapi, kami juga bisa memanfaatkan kedudukan orang tuanya. Bayangkan bagaimana reaksi masyarakat melihat putri seorang yang terhormat tengah mem-bully gadis kecil yang lemah dan tak berdaya seperti ku. Hancur sudah apa yang telah di bangun orang tuanya selama bertahun-tahun. Dan tentunya, Nakamura tak ingin itu terjadi.
"Sudah kamu rekam?" Tanyaku.
"Kamu baik? Nggak gila?"
Ada kesal dan rasa bahagia saat Suna berkata seperti itu. Yang sedang mengkhawatirkanku itu Suna lho. Manusia yang mukannya kelihatan tidak peduli apapun meskipun dunia akan berkahir esok hari. Aku tersenyum kecil, lalu berkata, "sakit, pelipis dan lututku."
"Kita ke UKS!"
"Sudah di rekam?"
"Iya, iya, aku udah rekam semuanya!" Jawabnya setengah sewot. "Kita ke UKS sekarang!"
Suna berusaha membantuku berdiri. Tapi karena kepalaku masih pening dan lutut ku agak sakit, aku hampir kembali terjatuh. Tapi beruntung, Suna dengan sigap menahanku.
"Kamu bisa jalan?" Tanyanya. Samar, tapi masih ada kekhawatiran dalam nada bicaranya.
"Iya. Tapi bisa kita duduk dulu. Kepala ku sedikit pening."
Kedua mata sipitnya menatapku. Lalu berdecak pelan. Suna melepaskan tanganku lalu berjongkok memunggungiku. "Ayok!" Ucapnya.
"E-eh apa, kenapa?" Aku pura-pura bodoh. Sebagai seseorang yang sering membaca serial komik cantik, dan novel romansa, aku paham bagaimana akhir dari scene ini. Yup, Suna ingin menawarkan diri menggendongku.
"Ayo naik, biar aku gendong."
Tuh kan, aku betul. Diam beberapa detik. Bukan tidak ingin. Tapi aku ingin terlihat sok jual mahal, dan sedikit malu-malu. Kan memang karakter asli [full name] ini pemalu.
"Woy buruan!"
Malah di bentak. Yasudah, aku langsung naik ke punggung Suna. Kapan lagi bisa di gendong Suna.
"Kamu berat padahal badanmu kecil. Apa ini karena dosamu terlalu banyak."
"Suna, turunin!"
"Iya nanti aku turunin. Tapi kalau udah sampai UKS."
"Jangan singgung berat badanku."
"Nggak janji."
"Suna!"
Romantis, sepertinya menjadi satu hal yang haram kita harapkan dari Suna Rintarou.
*
Suna menepati janjinya. Dia menurunkanku di ranjang UKS. Menurunkan dengan cara yang sedikit kejam tentunya.
"Gila, kamu berat banget," gerutunya sembari berjalan mendekati kotak p3k.
Guru yang bertugas menjaga UKS sedang tidak ada. Jadi, mau tidak mau aku harus mengobati sendiri lukaku. Yah, lagian tidak terlalu parah juga.
Suna meletakan kotak p3k disampingku. Ia lalu berjongkok didepanku. Matanya sejajar dengan lutut ku saat ini. Kemudian, tangannya bergerak membersihkan luka dengan kapas yang sudah dibasahi alkohol.
Aku meringis pelan saat sensasi dingin bercampur pirih menghujam lutut kanan. Tangan Suna berhenti bergerak, ia menatapku sampai aku berhenti meringis. Kembali ia membersihkan luka. Dan aku pun kembali meringis.
Helaan napas terdengar jelas di telingaku. Sumbernya dari Suna. Lelaki itu bangkit lalu menyerahkan kapas tadi padaku. "Lakukan sendiri," ucapnya.
Aku terdiam.
Suna bergerak mengusap tengkuknya. Matanya menatap jarum jam yang tidak berdetak. Wah sepertinya jam itu rusak.
"Aku takut terlalu kasar, dan..."
Aku menunggu kalimat yang akan keluar selanjutnya.
Masih menunggu.
Tenang saja. Aku masih setia menunggu lanjutannya.
Oke, aku kesal.
Tiba-tiba saja, Suna langsung duduk disampingku. Ia menopang dagu lalu menatapku. "Aku malas," ucapnya.
Aku berdecak. Memang apa yang ku harapkan dari mulut penggibah jantan SMA Inarizaki ini. Dengan perlahan, aku mulai membersihkan luka. Sama saja, mau yang menbersihkan Suna atau diri sendiri. Rasanya tetap perih. Kodratnya memang begini.
"Lagian, kenapa sih sampai segitunya," gerutu Suna. "Padahal saat Nakamura mendorong kepalamu saja sudah cukup."
"Segitu mana cukup. Harus lebih parah, agar orang-orang lebih bersimpati."
"Tapi kamu jadi gini."
Sambil terus membersihkan luka, aku tersenyum kecil. "Nggak apa-apa, aku udah siap kok."
"Aku yang nggak siap."
"Eh maaf, tadi kamu bilang apa?"
Cowok di sebelahku berdecak. "Cepetan bersihin!"
"Iya... Iya... "
Suasana saat ini benar-benar hening. Kalau saja jam dinding itu berfungsi dengan baik. Mungkin sunyi tak akan terlalu berkuasa. Aku ingin memecah hening, tapi tak tahu harus dengan apa. Karena habis di tendang Nakamura, otak yang lancar memikirkan berbagai macam topik absurd mendadak mampet. Sialan memang.
"Sudah selesai?" Tanya Suna. Sekilas, kusempat melihat dia melirikku.
"Hm... Sedikit lagi. "
Suna beredecak dan menggerutu pelan. Aku tidak dapat mendengar dengan jelas, tapi tebakanku dia menggerutu tentang betapa lamanya aku membersihkan luka.
"Kalau kamu bosan, kembali ke kelas saja."
Tak ada balasan. Hasrat untuk berdebat entah pergi kemana. Akupun memilih mengatupkan mulut rapat. Luka sudah dibersihkan. Sekarang giliran menempelkan plester diatasnya. Didalam kotak p3k tak terdapat plester. Tanganku bahkan sampai menyelam kedalamnya. Membongkarnya. Apa lukanya harus dibiarkan terbuka. Tapi, kalau infeksi bagaiamana. Mendadak bayang-bayang negatif menghantui pikiranku.
"Kenapa?" Tatapan mata Suna jatuh pada kotak p3k.
"Plesternya tidak ada."
Suna bergerak malas mencari plester di lemari UKS. Sementara itu, aku menyibukkan diri dengan merapihkan kotak yang sempat ku obrak-abrik tadi.
"Ketemu?"
Tangan kanannya terangkat, menunjukkan benda yang ia temukan.
"Sini!" menjulurkan tangan kanan, meminta Suna untuk meletakkan plester disana. Sialnya, Suna mengabaikan tanganku. Ia kembali mensejajarkan tinggi dengan lututku. Kembali ku tarik tanganku.
Gerak tangan Suna sangat berhati-hati. Mata sipitnya menatap fokus kedua lututku.
"Kamu dengan Atsumu akrab ya," ucapnya ditengah kegiatan membuka bungkus plester yang lain.
"Lumayan." Aku tak ingin langsung mengklaim kalau kami akrab. "Atsumu supel, pandai bergaul. Juga, dia mudah diajak berbicara. Tapi kadang suka menyebalkan."
"Oh."
Dari sini, yang bisa kulihat hanya ubun-ubun Suna. Wajahnya tak bisa ku lihat.
"Suna, kenapa waktu hari minggu kau seperti tak mengenalku?"
Tangan Suna yang tengah memasang plester di lutut kiriku berhenti.
"Perasaan mu saja." tangannya kembali bergerak. Tak puas dengan jawaban yng diberikan Suna, aku pun mendesaknya untuk memberikan jawaban yang lebih memuaskan. Suna berdecak. Ia lalu mendongak menatapku. "Kamu terlalu sibuk meladeni Atsumu."
"Terus?"
Suna menggeram pelan, amat pelan hingga nyaris tak ku dengar. "Sudahlah." Tubuh jangkung Suna kembali menjulng tinggi didepanku. "Sudah selesai. Sekarang kita bisa kembali ke kelas. Kau sudah bisa berjalankan?"
Aku mengngguk. Tangan Suna terulur untuk membantuku. Saat pergelangan tanganku berada diatas telapak tangan Suna, aku baru sadar kalau tangan suna lebih besar dari tanganku. Tak heran kenapa dia bisa memblok bola dengan mudah menggunakan tangannya.
"Suna, terimkasih."
"Jangan berterimakasih dulu. Ini semua belum selesai."
"Aku ingin berterimakasih. Dan bila semuanya selesai aku akan berterimakasih lagi."
"Hanya terimakasih? "
"Eh?"
Tatapan kami saling bertemu. Kedua iris Kuning ke abu-abuan itu menatap dalam. Ada canggung yang meraba sanubari. Dengan melirik ke berbagai arah, aku berharap kontak mata kami segera terputus. Naas harapan ku tak terjamah. Suna masih tetap berdiri dengan tatapan yang sama.
"Aku ingin lebih dari kata terimakasih."
Tebece
Suna bikin senyum2 sendiri :")
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro