5
Wajahnya selalu datar, tapi dia sangat perhataian. Dan aku percaya. Buktinya, ia tidak mengabaikanku. Sekarang, ia justru berjongkok di depanku sambil menyodorkan sapu tangan.
"Kenapa malah duduk disini? Disini kotor. Lebih baik duduk dibangku sana," ucapnya pelan.
Aku menyeka air mata dengan punggung tangan. Sialnya, air mataku masih saja terus mengalir walau diseka.
"Hey!" Kedua tangannya menahan tangaku yang berusaha menyeka air mata. "Jangan, nanti bisa iritasi. Kalau masih ingin menangis, biarkan saja."
"Ta-tapi, ini memalukan."
"Nggak kok. Nggak ada yang memalukan dari menangis. Itu manusiawi."
"Senpai, nggak akan meledekku?"
Ia menggeleng. "Buat apa. Nggak ada yang lucu."
Ia kemudian melepaskan tanganku. Kini, ku gunakan tanganku untuk menutupi wajah. Walau dia bilang begitu. Tetap saja aku merasa malu.
"Arghhh... Menyebalkan!"
"Mau aku tinggal, atau temani?"
Aku mendongak menatap wajahnya yang masih terlihat tak berekspresi. Diperhatikan begini membuat air mataku kembali mengalir.
Ia menghela napas, lalu berdiri. "Kalau begitu, aku tinggal. Sampai—"
Aku menarik pelan celana yang ia pakai. Kenapa pelan? Kalau terlalu kencang takut merosot. "Jangan pergi. Aku capek sendirian terus," cicitku dengan suara amat kecil.
Ia tidak merespon. Namun selang beberapa detik kemudian, ia ikut duduk disampingku.
"Kotor loh," ucapku.
"Tak masalah," jawabnya. "Jadi, bisa sebutkan alasan kenapa kau menangis?"
Alih-alih menjawab, aku malah sibuk menyerot ingus yang mencoba keluar.
"Kalau tidak mau bilang juga tak masalah."
"Bukan begitu srot... Ingusku terus..."
Siapa duga, dia akan menyisikan ingus di hidunguku dengan sapu tangan yang sempat ia berikan padaku. Setelahnya, ia langsung memberikan sapu tangan itu kepadaku. Aku bingung, tadi itu adegan romantis atau jorok.
"Senpai, jorok!"
"Kamu yang jorok," ucapnya. "Aku heran, kenapa kamu bisa jadi cewek macam ini."
"Manusia itukan mudah berubah."
"Jadi, mau cerita tidak?"
"Aku... Merasa kesepian. Aku tidak suka merasa seperti itu." Karena malu, aku memilih menenggelamkan wajah pada kedua lututku. Merengek seperti ini, rasanya jadi mirip anak kecil. Padahal aku sudah remaja.
"Bukannya kamu sudah terbiasa sendiri."
Itu [name], bukan aku. Karena disinggung, aku jadi penasaran apa yang ia lakukan dalam kesepian. Dan kenapa dia bisa bertahan begitu lama dalam kesendirian. "Aku bosan! Bosan selalu sendiri."
"Aku tak tahu harus menolongmu dengan cara apa. Tapi, kalau kamu merasa sendiri saat di rumah. Kamu bebas main kerumah ku. Ku rasa nenek juga akan menyukainya."
Mataku mengerjap berkali-kali. Apa artinya aku dan dia sudah selangakah lebih dekat. Wah, mudah juga menjalin hubungan dengan dia. Eh tunggu, dia pasti menolongku karena kasian kan. Dia sedang mengiba padaku kan.
Persetan! Yang penting kami jadi lebih dekat. Dan juga, aku bisa menghindari kesepian saat berada dirumah. Tapi, bagaimana dengan sekolah.
"Kenapa murung lagi."
"Kalo disekolah, bagaimana?"
Ia menghela napas. "Kalo disekolah aku tak bisa menolong. Kita beda tingkatan. Jadi jarang bertemu. Dan lagi, bukannya kamu merasa tak nyaman denganku."
Itu [name], kalau akusih nyaman-nyaman saja. Bahagia malah. "Dulunya, sekarang tidak."
"Tetap saja. Untuk disekolah aku tak bisa membantumu," ucapnya. "Bukannya ada Suna."
"Kami tak terlalu akrab. Dan mungkin Suna tidak akan menggubrisku, karena ada Nakamura juga."
"Nakamura?" Aku mengangguk kecil. Wajahnya lalu sedikit berbinar kecil, rupanya dia mengerti apa yang ku maksud. Ternyata dia juga mengonsumsi gosip. "Kukira, Suna bukan tipikal orang yang seperti itu. Dekati saja dia. Kulihat dia juga tidak keberatan dengan keberadaanmu."
"Benarkah?"
"Coba saja."
"Kalau gagal?"
Ia mengedikkan bahu singkat, lalu berkata, "jangan hanya melihat kemungkinan negatif. Lihat juga kemungkinan positifnya."
"Iya... Iya... Mah..."
"Mah?"
Duh kecoplosan. Yasudah, ku jelaskan saja sekalian. "Jadi, menurutku itu Kita-senpai sikapnya sangat keibuan. Jadi, aku panggil mamah saja hehehe..."
Dahinya mengenyit. Walau begitu, tak ada gurat-gurat kekesalan di wajahnya. "Baru kali ini ada yang bilang begitu."
Ya jelas baru kali ini. Mana ada yang berani bilang begitu. Aku bilang karena terlanjut keceplosan.
"Aku kembali kekelas dulu, kamu juga," ucapnya seraya membersihkan debu-debu di sekitar celananya.
"Kita-senpai, terimakasih banyak ya," aku tersenyum. Senyum lebar yang kalau dia manga-manga mampu membuat kaum adam terpukai sampai lupa cara menutup mulut. Niatnya sih begitu, tapi...
"Bersihkan mukamu. Kamu tampak mengerikan sehabis menangis."
"Senpai, merusak suasana. Nggak seru."
Ia hanya membalas dengan senyum tipis. Sangat tipis. Saking tipisnya, kalau tak di perhatikan dengan baik aku tak bisa melihatanya. Keterkejutanku tak berhenti sampai situ. Tiba-tiba saja tangannya bergerak mengelus kepalaku. Ia lalu berkata, "aku senang, kamu mulai sedikit terbuka."
*
Semangat diriku! Jangan hanya menangis dan mengeluh. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk bisa akrab dengan klub voli Inarizaki. Dan sebelum itu, aku harus terlebih dulu mengatasi Nakamur.
Ayo, fighting!
Tapi... Bagaimana caranya. Seketika, kepalaku yang sudah diangkat tegak harus kembali ditaruh diatas meja. Padahal sudah semangat, tapi aku bingung harus apa.
Bel pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu. Dan Nakamura serta para anteknya pergi tanpa menyentuhku sama sekali. Hari ini memang dia tidak terlalu mengganggu. Entah karena apa, yang jelas aku bersyukur.
"Woy!"
Ah, rupanya Suna juga masih disini. Dia sedang berdiri, sudah menjingjing tas pula.
"Kenapa?"
"Hah?"
Suna berdecak pelan. "Ada masalah apa? Marah, karena tidak diajak ke tempat karaoke?"
Aku memasang raut kesal. "Memangnya aku anak kecil apa," cicitku.
"Terus?" Suna kembali duduk dibangkunya.
"Aku hanya merasa kesal karena sesuatu..."
"Apa?"
Mataku menatap penuh pada Suna. Yang ditatap malah mengernyitkan dahi. "Sudahlah, kamu nggak bakal ngerti," ucapku, kemudian membuang tatapan kearah lain.
"Kalo kamu belum ngasih tahu, ya aku belum ngerti."
"Sudahlah, pergi saja. Kamu kan mau ke karaoke." Aku malah sibuk menatapu siswa-siswi yang berlalu lalang dari pintu kelas.
Aku denger Suna menghela napas. "Dari awal aku memang tidak berniat ikut ke karaoke."
"Terus..." Aku kembali menatap Suna.
Kali ini, dia berdecak. "Kamu ini kenapasih?"
Iya, ya. Aku ini kenapa. Aku tidak ingin sendiri lagi. Tapi malah tanpa sadar bersikap seperti ingin Suna pergi. Terkadang, aku capek jadi manusia. Entah kenapa makhluk yang satu ini sulit jujur dengan perasaannya sendiri.
"Kamu mau dengerin ceritaku?" Aku menegakkan tubuh.
"Ya... Kalau kamu bercerita, otomatis telingaku akan mendengar. Toh, jarak kita dekat."
Bilang saja, Iya. Kenapa harus berbelit-belit seperti itu. Dasar manusia. "Jadi... Aku sedang memikirkan rencana agar terbebas dari perundungannya Nakamura cs. Tapi, aku belum menemukan satupun solusi. Padahal, aku sudah berpikir keras, banget malah."
Sesaat, mata sipitnya menampilkan binar keterkejutan. Ya hanya sesaat. Sampai aku meragukan apa yang baru ku lihat itu.
"Jadi, kamu bukan kesal karena nggak diajak karaoke?"
"Hey, memangnya aku anak kecil!"
Suna diam beberapa saat. Aku mengerucutkan bibir sebagai perwujudan bahwa aku kesal terhadap perkataannya. Selang beberapa detik, tangan Suna terjulur.
Mau apa ini? Apa dia mau menjitakku. Refleks, akupun bergerak memundurkan kepala.
"Kenapa kamu ngehindar?" Gurat kesal, terlihat samar di wajahnya.
"Jelas ngehindar dong. Kamu kan mau jitak kepalaku."
Suna kembali menarik tangannya. Ia lalu menghela napas sekuat tenaga. Namapaknya dia kesal karena gagal menjitakku. Mampus kau.
"Aku tahu bagaimana caranya."
"Hah?"
"Cara agar Nakamura berhenti merundungmu."
"Serius?"
Suna mengangguk singkat.
Aku tak bisa menahan senyum di bibirku. Ini masih sekedar cara yang bahkan belum terbukti. Walau begitu, senangnya bukan main. Apalagi kalau misalnya rencana ini memang bisa terwujud.
"Jadi, rencananya apa?"
"Bantu aku belanja, baru ku beritahu."
*
"Ambilkan itu, oh itu juga. Ck... Bukan yang itu, tapi yang yang coklat."
"Kamu kan bisa ambil sendiri, kenapa harus nyuruh-nyuruh aku sih!"
"Tanganku sibuk megang troli." Suna memaju mundurkan troli yang berisikian beberapa jenis makanan ringan.
"Sialan!" Lantas, aku mengambil makanan yang dimaksud Suna. Namun naas, tinggi [name] tidak mumpuni. Kalau tinggi badanku yang dulu pasti bisa. "Suna!" Panggilku.
Suna yang tengah melihat-lihat makanan pun menoleh. Sebelah alisnya terangkat. Aku hanya menunjuk makanan yang tak bisa ku ambil itu. Maaf saja, aku tak sudi mengakui kalau sekarang ini tubuhku jadi pendek.
"Oh, kamu terlalu pendek untuk mengambilnya." Lantas, Suna pun bergerak malas mengambil cemilan tersebut.
"Sialan!"
"Kamu jadi banyak mengumpat ya." Suna mulai mendorong troli tersebut. Kami pun bergerak menuju tempat makanan beku.
"Oh maaf kalau begitu."
"Bagus juga."
"Hah?!"
"Iya bagus. Lebih bagus, dari pada melihat mu menunduk sambil menggigit bibir dengan muka sedih."
Aku menghentikan langkah. "Memangnya aku seperti itu?"
"Sebelumnya, kektika kesal kamu pasti akan melakukan itu." Suna terus melangkah.
Aku tersenyum miris. Sungguh [name] ini benar-benar menyedihkan. Mungkin, bukannya dia menerima saja diperlakukan jahat. Nyatanya dia bukan pemeran utama sinetron yang hatinya selalu lapang diperlakukan seburuk apapun. [Name] hanya cewek sma biasa yang memiliki sifat layaknya manusia pada umumnya. Ada kalinya ia merasa kesal. Hanya saja ia tak cukup berani untuk mengespresikan dan menceritakannya. Tapi, bagaimana bisa dia menahan semua perasaan kesal itu. [Name] itu hebat, sekaligus menyedihkan.
"Tidak apa mengumpat sekali-kali. Asal jangan keseringan."
Rupanya Suna sudah berada beberapa langkah didepanku. Lantas, aku berlari kecil mengejarnya. Akhirnya, kami kembali berjalan beriringan. Sesekali, aku melirik kearah Suna. Rasanya, perhatian Suna padaku ini sudah lebih dari sekedar teman. Maksudku, ini akan wajar kalau kami sudah berteman akrab sedari dulu. Tapi kami tidak begitu. Kami bahkan baru bertukar kata beberapa hari lalu.
Apa aku berlebihan bila menganggap Suna memiliki perasaan yang lain? Apa aku terlalu baper. Aku menggeleng-geleng. Percuma saja menyimpan tanya di dalam kepala. Jawabannya tak akan ketemu.
Tanganku bergerak memegang troli, mencoba menghentikannya untuk bergerak. Berhasil, Troli dan Suna berhenti bergerak. Kedua mata sipit itu pun menatapku, heran.
"Apa? Mau beli sesuatu? Beli sendiri sana."
"Suna... Kamu, suka sama aku ya?"
Tebece
Hey....
Jangan lupa vote, comentnya ya....
Supaya aku semangat ngelanjutin nulis.
Tbh aku suka kehilangan semangat ngelanjutin cerita, tapi karena baca komen kalian semangat ku balik lagi ^^
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro