Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

4

Brukkk...

Itu bukan suara pukulanku yang berhasil mendarat di kepala Osamu. Ya kali, tangan mungil [name] bisa menciptakan suara se dasyat itu.

Baru saja, Atsumu menendang Osamu.

Seluruh penghuni gedung olaharaga terkejut. Biasanya kan Osamu yang menendang Atsumu. Nah ini kenapa malah sebaliknya.

"Sialan!" Desis Osamu yang berusaha bangkit sambil memegangi pinggangnya.

"Kamu yang sialan!" Teriak Atsumu. "Kamu jelek-jelekin aku ke Miyu-chan kan, hah?!"

Osamu mendengus kesal. "Si Hoshimiya, tanya ke aku. kamu itu orang macam apa. Aku jawab saja nyebelin, sok ie, bego, suka main cewek."

Tak bisa membantah. Faktanya memang begitu. Oh ya, Miyu itu siapa lagi.

"Itilu namanya jelek-jelekin, bangsat!" Kedua tangan Atsumu menarik kerah kaos Osamu dengan kencang.

Osamu tampak tenang. "Nggak perlu dijelek-jelekin, kamu emang udah jelek dari sananya."

"Sialan!"

Tangan Osamu bergerak menepis tangan kembarannya dengan kasar. "Dari pada ribut begini. Mending kamu urus tuh fans mu," ia menunjukku dengan dagunya. "Bilang ke dia, jangan suka carmuk disini lagi."

"Hey! Aku bukan fansnya Atsumu!" Teriak ku. Semangat memukul Osamu yang sudah padam kembali berkobar.

"Heh, kamu fans ku?"

"Iya dia fans mu. Nyebelin, berisik, sok ie. Persis saperti kamu," ucap Osamu.

Plakkk....

Nah kali ini baru aku yang memukul bagian belakang kepala Osamu. "Jangan seenaknya ngatain aku fans Atsumu!"

"Wow... Keren juga kamu!"

"Kamu juga berisik! Bilang sana ke Adikmu kalau aku itu bukan fans fanatikmu!" Teriakku pada Atsumu.

Tentunya dia kaget. Sedetik kemudian guratan kesal muncul didahinya. "Heh, kenapa main teriak-teriak begitu sih, kan bisa bilang baik-baik!"

"Kamu juga teriak!"

"Kamu yang mulai!"

"Woy, kenapa malah kalian yang ribut."

Sontak, kami berdua menoleh kepada Osamu. Entah kenapa posisi kami jadi begini. Aku dan Atsumu saling berhadap-hadapan. Sedang, Osamu ada ditengah-tengah kami sembari memasang wajah kalemnya. Gila ya, habis di tendang, juga di pukul, masih saja memasang wajah begitu.

"Ini semua gara-gara kamu!" Aku dan Atsumu bisa kompak juga rupanya.

"Jadi, kenapa kalian bisa ribut begini."

Glekk...

Kita Shinsuke telah turun tangan. Dan kami bertiga hanya bisa mengatupkan mulut rapat-rapat sambil menatap takut pada sosoknya. Kita memiliki aura seperti ibuku saat marah di dunia sana.

"Untuk si kembar, aku sudah terbiasa. Tapi kenapa kamu bisa terlibat juga?" Tatapan matanya tertuju padaku.

"Itu... Soalnya, Osamu menyebalkan."

"Kan Samu yang nyebelin, tapi kenapa kamu juga teriak ke aku, hah?!"

"Atsumu, diam."

"Maaf, kita-san."

Aku diam sambil menatapi ujung kaki yang tertutup sepatu. Kok serem ya.

"Jadi, [surname], kenapa kau berteriak pada Atsumu?" Tanya Kita.

Masih menunduk, akupun menjawab, "i-itu karena..." Oh ya karena apa ya. Tiba-tiba saja aku ingin meneriaki Atsumu. "...aku nggak tahu. Maaf."

Kita menghela napas. "Kalau begitu, luruskan permasalahan ini. [Surname] minta maaf ke si kembar. Dan Osamu, minta maaf ke mereka berdua. Atsumu juga minta maaf ke Osamu."

"Tapi—" kami bertiga berniat protes, tapi langsung terdiam karena Kita kembali menatap kami.

"Mi-miya, aku minta maaf," ucapku.

"Miya yang mana?" Tanya Atsumu.

"Dua-duanya lah!"

"Tsumu, aku nggak mau mint maaf. Aku nggak salah," ucap Osamu sebelum melenggang pergi. Mungkin antisipasi supaya tidak dimarahi Kita lagi.

"Yaudah, aku juga nggak mau minta maaf!" Teriak Atsumu.

Aku menghembuskan napas lega. Rasanya seperti baru saja diseret masuk kedalam angin topan. Seketika, aku merasa ada yang sedang menatapiku. Aku pun menoleh kesamping, oh rupanya si Miya kuning. "Apa?" Tanyaku, sedikit ketus.

"Jadi, kamu fansku?"

"BUKAN!!!"

*

Berjongkok di samping vending machine, tentunya seorang diri. Menyedihkan? Ya memang beginilah hidup ku yang sekarang. Aku tak punya teman untuk diajak ngobrol saat istirahat. Dan alasanku berada ditempat ini karena tempat ini sepi, tak banyak orang lewat sini.

Aku lebih memilih menjadi sendiri ditempat sepi, ketimbang sendiri di keramaian. Rasanya seperti di olok oleh keramaian itu.

"Aku tidak tahu kalau vending machine ini punya penghuni."

Aku mendongak. Dan menatapi mata sipitnya yang menatapku malas. Ah tatapannya memang seperti itu.

"Diam, mood ku sedang jelek."

Harusnya sih, ku manfaatkan kesempatan ini untuk menjadi dekat dengan Suna. Tapi, karena kejadian tadi pagi, mood ku hancur, dan aku jadi malas melakukan apapun itu. Entah itu berbicara, berjalan, belajar —oh kalo belajar setiap hari aku memang malas.

Dari ekor mata, kulihat Suna memasukan koin kedalam vending machine lalu menekan salah satu tombol. Entah apa yang dia pilih.

Suna masih berdiri, menatap tempat keluarnya minuman. Namun tak kunjung juga ada satu yang keluar. Menurut ingatan [name], vending machine ini memang sering macet. Aku tahu tempat ini memang dari ingatan [name].

"Kenapa?" Tanyaku, masih dalam posisi jongkok sambil meminum susu strawberi. Ini minuman favoritku.

"Ah, sepertinya macet," jawabnya dengan tenang. Sepertinya dia tak takut kehilang uang. Apa dia orang kaya.

Aku bangkit. Lalu menendang mesin tersebut. Tak ada reaksi. Ku tendang lagi, kali ini lebih kencang. Masih tak ada reaksi. Kenapa sih mesin ini, menyebalkan saja. Sama menyebalkannya dengan duo Miya. Argghh! Mengingat duo Miya kembali membuat amarahku meluap.

"Menyebalkan!"

Kik...

Klang...

Minuman Suna berhasil keluar. Tanpa basa-basi, Suna langsung mengambilnya. Dan aku kembali berjongkok disamping mesin laknat itu.

"Hey!"

Aku mendongak, "apa lagi?"

"Kenapa tidak duduk disana," ucapnya sembari menunjuk bangku panjang yang berada sekitar tiga meter dari sini. "Kalo jongkok terus, takut kebablasan."

"Hah?" butuh beberapa detik sampai aku menyadari maksudnya. Aku pun bangkit, kemudian pindah ke tempat yang dimaksud bocah sipit itu. Suna pun menyusul sambil meminum minumannya.

"Aku terkejut," ucapnya secara tiba-tiba.

"Kenapa? Melihatku sendirian berjongkok disamping vending machine?"

"Tidak. Kau memang mengenaskan." sialan memang Suna ini. "Aku terkejut karena kau bisa terlibat pertengkarang dengan si kembar."

"Mereka memang sering bertengkar kan?"

"Ya, memang. Tapi aku tak pernah lihat ada orang ke tiga yang bisa ikut campur dalam pertengkaran itu." Ia kemudian menyisip minumannya. "Terimakasih, tadi tontonan yang menarik. Tenang saja, sudah ku rekam kok."

"Sialan!"

"Aku penasaran, kenapa kau bisa ikut terlibat."

Tanpa pikir panjang aku mulai menceritakannya. Mood ku sedikit membaik.

"Oh, Osamu memang agak sensitif dengan fansnya Atsumu."

"Kenapa? Dia iri?"

Suna menggeleng. "Dia cuma sensi pada fans Atsumu yang suka caper dengan mendatangi klub."

"Eh kenapa?"

"Dulu pernah ada fans Atsumu yang kami terima sebagai manajer. Dia ceroboh, dan cuma berfokus pada Atsumu. Klub menjadi kacau. Dan ada suatu tragedi yang menyebabkan hampir semua anggota klub masuk ke rumah sakit."

"Heh kok bisa?"

"Bisa saja. Ini semua karena masakan buatannya."

Uwah... Aku tak tahu apa yang dia masak itu. Tapi syukurlah, ada yang kemampuan masaknya lebih buruk dariku. Jadi agak lega.

"Ohh jadi begitu," ucapku. Walau begitu tetap saja, Osamu tak bisa ku maafkan semudah itu. "Tapikan aku bukan fansnya Atsumu."

"Aku tahu. Dari gerak-gerikmu, kamu tak pernah menunjukkan ketertarikan pada dia."

"Fufufu..." akibat tawa anehku, Suna menatap heran padaku. "Jangan-jangan... selama ini, Suna-kun selalu memperhatikanku ya..." godaku.

Suna langsung membuang muka kearah lain. Dari gelagatnya kentara sekali kalo ia sedang salting. Bahkan aku dapat melihat telinganya sedikit memerah.

Eh, apa ini. Apa mungkin Suna benar-benar—

"Ah Suna!"

"Oh Hoshimiya," balasnya, terkesan malas.

Eh tunggu, Hoshimiya itu kan yang tadi pagi disebut-sebut kembar Miya. Karena penasaran aku meliriknya lewat ekor mata. Gila, dia cantik. Matsumoto memang cantik, tapi yang ini lebih cantik. Apalagi bentuk tubuhnya. Ukh... Bikin iri.

"Suna, sedang apa disini?"

Suna diam sesaat sambil melirikku, kemudian kembali menatap lawan bicaranya. "Duduk," jawabnya, masih dengan nada yang sama.

Hoshimiya tersenyum kecil menanggapi sikap Suna. Sudah cantik, sabar pula. Ideal sekali.

"Oh ya, sepulang sekolah aku akan pergi ke karaoke. Suna mau ikut?"

"Ti—" Suna terkejut saat tangannya di genggam oleh tanganku. Saat Suna menoleh, aku sudah siap dengan tatapan memohon. Keinginanku hanya satu, Suna mengiyakan ajakan Hoshimiya, lalu meminta izin untuk membawaku. Ayolah, aku ingin bermain, bosan sendirian terus.

Namun tak semudah itu. Wajah Suna seolah berkata, 'aku nggak mau.' Tapi aku tak patah arang. Aku terus mempertahankan mimik memelas itu. Hingga akhirnya Suna menghela napas. Yes, akhirnya aku menang.

"Aku ikut," ucap Suna. Terlihat sekali kalau dia sangat tidak ikhlas.

"Oke!"

"Kau tidak keberatan kan, kalau aku mengajak dia?" Suna menujuk kepalaku dengan telunjuknya. Cara menunjuknya tidak biasa. Karena risih, aku langsung menepis telunjuknya itu

"Eh, kamu itu [full name] kan?"

Wah... Rupanya aku cukup terkenal juga. Aduh jadi malu. Aku pun mengangguk kecil, lalu tersenyum.

Raut wajah Hoshimiya terlihat seperti orang kebingungan. "Anu... Maaf tapi..."

Seketika aku sadar. Aku memang terkenal. Terkenal karena menjadi target bulinya Nakamura.

"Oh... Nggak masakah kok. Lagian sepulang sekolah aku ada les." Walau sulit, tapi aku paksakan untuk tersenyum. "Aaku mau ke toilet dulu. Sampai jumpa ya..."

Dapat ku dengar Suna memanggilku. Tapi aku acuh, lebih memilih melangkah lebih jauh. Saat ini, dadaku sesak. Sangat sesak. Mataku juga panas. Kalau aku masih berada disana, pasti Suna akan melihatku menangis. Itu memalukan. Aku tak mau nantinya jadi bahan ejekannya.

Dan benar saja. Ketika aku sudah melangkah cukup jauh, air mataku mulai berjatuhan. Dengan cepat, aku langsung menyekanya. Namun ada lagi yang jatuh. Hal itu terus berulang, sampai akhirnya aku menyerah. Dadaku sakit, rasanya seperti ada yang meremasnya erat. Satu hal yang patut di syukuri, tempat ini sepi.

Tangisku pecah bukan karena tidak diajak pergi ke karaoke, memangnya aku anak kecil. Tangisku pecah karena aku sadar betapa sendiriannya aku di dunia. Aku yang dulunya terbiasa dikelilingi banyak orang tentu saja merasa sangat tidak nyaman dengan semua ini. Aku benci kesendirian. Dan semua kesendirian itu, diakibatkan oleh Nakamura sialan.

Dalam memori [name], Nakamura merundungnya karena alasan tak jelas. Suatu hari, tiba-tiba saja dia menjulurkan kaki agar [namel tersandung, dan langsung menertawakan. Kejahatannya pada [name] pun terus berlanjut hari demi hari.

"Sialan! Sialan!" Teriakku frustasi. Tangisku belum reda. Rasanya menyebalkan.

Perlahan, tubuhku merosot. Hingga akhirnya terjatuh diatas lantai. Persetan lantai kotor atau apapun itu. Aku sudah tidak kuat lagi.

Tadinya, aku pikir datang ke dunia ini adalah anugerah. Tapi, sekarang aku mulai berfikir kalau ini adalah kutukan.

Sebuah kutukan yang bernama, kesepian.

Tebece


Haloo yang kemarin pada penasaran ehe 😂

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro