33
Halayak bilang, kedai Onigiri Miya selalu ramai. Mereka hanya tidak pernah tahu, ada saatnya kedai ini sepi pengunjung. Kala menjelang tutup.
Biasanya, pada waktu tersebut, Atsumu akan memanfaatkannya untuk mendapatkan seporsi onigiri spesial favoritnya.
Hanya ada dirinya, Osamu, dan beberapa pegawai. Tak ada mata asing yang mencoba mencuri pandang sembari berbisik.
Atsumu suka jadi pusat perhatian. Tapi ada kalanya ia ingin berada dalam ketenangan. Mengobrol santai dengan orang terdekat sambil menikmati hangatnya makanan buatan Osamu.
Baik si pirang dan si abu keduanya sama-sama sibuk. Menghabiskan waktu berdua jadi hal langkah. Setiap kali bersua, mereka akan memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Saling mencaci misalnya, atau menyudutkan satu sama lain.
Seperti yang tengah di lakukan Atsumu saat ini. Ia berbangga karena telah membungkam mulut Osamu. Membuat saudaranya tak berkutik untuk menjawab pertanyaan.
"Kenapa diam saja?" pancing Atsumu dengan seringai menyebalkan.
Setelah saling beradu tatap, Osamu menghela napas. Ia tak bisa mengelak lagi.
"Aku anggap itu sebagai jawaban iya!" seru Atsumu. "Jadi, kenapa kau tidak ikut mengejarnya?"
"Tsumu, bisa tidak kau fokus ke makananmu saja?"
"Tidak! Aku ingin mendengar ceritamu."
Lagi, Osamu menghela napas. Menumpukan tangan pada meja counter. Gurat-gurat wajah berkata ia lelah. Bukan hanya tentang mengurus toko. Tapi ada hal lain yang jadi penyebabnya.
"Aku tidak bisa," lirihnya. Terdengar seperti serdadu yang sudah menyerah pada peperangan.
"Kenapa?"
"Karena aku tahu, seberapa keras pun aku berusaha, tidak akan pernah ada tempat untuk ku di hati [Name]."
Atsumu meringis. "Kau puitis sekali. Tapi mengenaskan. Bagaimana kau tahu sebelum mencoba."
"Di dunia ini ada hal yang sudah kita ketahui hasilnya tanpa harus mencoba."
Si pirang berhenti mengunyah. Ia tenggelam dalam sorot sendu manik keabuan yang terbias.
"Jadi, kau menyerah?" tanya Atsumu, ragu.
"Aku sudah menyerah sejak awal, Tsumu."
"Pesimis," cibir Atsumu. "Samu, kau pengecut."
"Terserah kau mau bilang apa, aku hanya tidak mau berjuang untuk hal yang sia-sia. Bisa menjadi teman dan menemaninya pun aku sudah bahagia."
"Yang benar?"
"Yah... Walau kadang sakit melihatnya tertawa dengan pria lain."
Atsumu menghela napas. "Padahal kalau kau maju, aku akan jadi pendukungmu."
"Kau sendiri bagaimana, kau tidak menaruh rasa pada [Name]?"
"Aku memang menyukai [Name]-chan, tapi hanya sebatas teman. Aku tidak berniat melangkah lebih jauh dengannya. Teman, hanya sampai situ."
Osamu tersenyum kecut. "Andai aku juga bisa menghentikan perasaanku sampai pada tingkat itu."
"Mau bagaimana lagi. Nikmati saja rasa sakitnya."
"Sialan."
"Jadi, menurutmu siapa yang akan di pilih [Name]-chan?"
"Siapa lagi, pasti orang itu."
*
"[..me]?"
"[Name]-chan?"
Jelita tersentak. Ia lupa kalau masih berada di kafe.
"Dari tadi melamun terus, kau baik-baik saja?"
"Un, aku baik-baik saja kok senpai."
Ran Matsumoto menghela napas. Ada gurat khawatir menghias wajah ayunya. "Jangan berbohong, kalau ada masalah ceritakan saja."
Soal menggali isi hati, Ran memang jagonya. [Name] yang sudah tertangkap basah tak bisa mengelak lagi. Toh, memang tidak ada ruginya berbagi cerita dengan senior cantiknya. Sebagian besar selalu membuahkan hasil.
"Ini soal Rin..."
Amarah Matsumoto meluap mendengar nama tersebut. Meja digebrak menarik seluruh atensi pengunjung kafe.
"Ada apa lagi dengan dia, hah?! Dasar bocah itu. Ugh... Rasanya aku ingin mencukur habis rambutnya sampai botak."
"Se-senpai, tenang dulu..."
Siapa sangka, wanita anggun seperti Matsumoto bisa meledak-ledak. Tapi jangan salah, walau marah, ia tetap terlihat mempesona.
"Bagaimana aku bisa tenang. Dia itu, apa tidak puas menyakitimu!"
"Bukan begitu!" tanpa sengaja, [Name] ikut meninggikan suaranya. "Maaf, senpai. Aku tidak bermaksud begitu. Habisnya senpai tidak mau mendengar penjelasanku dulu."
Giliran Matsumoto yang tercengang. Ia tidak tahu, [Name] memiliki suara nyaring yang menggelegar saat berteriak.
"Aku dan Rin, baik-baik saja. Justru hubungan kami jadi makin akrab, kurasa."
"Lalu, apa masalahnya?"
"Mm... Anu... Itu..."
"[Name]-chan, ingin ku pukul?"
"Senpai, kenapa hari ini galak sekali sih?!"
"Ah, maaf, hari pertama menstruasi," balasnya sembari menyisip kopi yang masih hangat. "Jadi, apa masalahnya."
"Rin... Melamarku."
"..."
"Senpai?"
"..."
"Matsumoto-senpai?"
"..."
"Senpai masih hidup?"
Sedetik kemudian, Matsumoto langsung tersadar dari keterkejutannya. "Kau tidak bohong?"
"Untuk apa aku bohong."
"Hm... Berani juga ya dia. Padahal baru berbaikan denganmu. Jadi, kau jawab apa?"
"Itu dia masalahnya. Aku bingung harus memberikan jawaban apa."
"Apa yang kau bingungkan. Kalau kau menyukainya terima saja, tapi kalau kau tidak, kau tahu harus berbuat apa."
Ada gelisah dalam helaan napas jelita. Tenggorokannya serat akan kata-kata yang tak bisa ia ungkapkan. [Name] orisinil menyukai Rintarou. Rasanya ia sangat bersalah jika menerima pinangan pria tersebut. Juga, ada alasan lain.
"Shin-senpai, juga sempat mengatakan perasaannya padaku."
Lagi, Matsumoto dibuat terkejut. "Kenapa kau tidak cerita padaku?!"
"Itu... aku pikir senpai sibuk, jadi aku tidak ingin mengganggumu hehehe..."
"Jadi, kau juga belum memberikan Kita jawaban?"
"Bukan begitu. Shin-senpai hanya menyatakan perasaannya. Dia tidak memintaku untuk membalasnya."
Senyum kecil Matsumoto memiliki beragam makna yang tidak bisa [Name] jabarkan.
"Dasar si tuan sempurna itu, huh... aku tidak habis pikir dengannya." kembali, ia menyisip kopi. Menenangkan hati dari topik pembicaraan ini. "Jadi, kau gelisah karena tidak enak hati pada Kita?"
Anggukan pelan membuat Matsumoto menghela napas.
"Kau pikir Kita Shinsuke itu siapa. Saat masih SMA saja pikirannya sudah sedewasa itu. Apalagi saat ini. Aku yakin, dia akan mengerti tanpa perlu kau jelaskan."
"Aku tahu, tapi tetap saja aku merasa tidak enak."
Untuk sesaat, Matsumoto terdiam sembari memainkan gelas yang hanya menyisakan satu perempat kopi. Sementara lawan bicaranya menatap penuh harap. Menunggu balasan darinya.
"[Name]-chan, menurutku, dari pada memikirkan tentang Kita atau yang lainnya. Bukankah ada hal yang lebih penting untuk dipastikan."
"Apa?"
"Perasaan mu kepada Suna."
"Tapi--"
"Kalau kau bisa memastikan perasaanmu kepadanya. Aku yakin kau bisa memberikan jawaban dengan cepat tanpa perlu mempertimbangkan hal lain."
[Name] tertegun. Tidak ada kata yang bisa ia gunakan untuk membalas ucapan Matsumoto. Perkataan tersebut memang benar adanya. Tapi, [Name] sungkan mengakuinya.
"[Name]-chan, sebelum memikirkan perasaan orang lain. Kau harus memikirkan perasaanmu lebih dulu."
*
Dulu, ia sangat egois. Mengesampingkan berbagai hal demi memenangkan keinginannya. Namun seiring beranjak dewasa ia sadar, terlalu memanjakan ego bukan hal baik.
Melawan ego, Dan akhirnya jelita bisa sampai di titik ini. Memiliki pemikiran terbuka juga selalu memperhitungkan perasaan orang sekitarnya.
Itu hal baik. Tapi terkadang juga buruk. Ada kalanya, ia terperangkap dalam pikiran rumit dan berakhir mengesampingkan diri sendiri.
Seperti saat ini. Nasehat dari Matsumoto nampanya tak mampu mengetuk hati juga pikirannya.
Sedari tadi, pikirannya masih berkutat seputar perasaan Shinsuke Dan [Name] orisinil.
Untuk Shinsuke sendiri, perlahan ia bisa meyakinkan diri kalau lelaki itu akan menerima apapun pilihannya. Sedangkan untuk [Name] orisinil, dia tidak bisa menghilangkan rasa bersalah.
Ia merasa jadi perebut kalau terus begini. Pertama hidup [Name] orisinil, lalu sekarang pujaan hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa bersikap seperti ini.
Hidup di dunia ini saja sudah lebih dari cukup. Merampas pujaan hati akan menjadi hal yang sangat kurang ajar.
Apa dia tolak saja pinangan tersebut.
Ini bukan hanya tentang perasaannya. Lebih dalam dan rumit. Bukan bentuk kebodohan. Tapi penghormatan kepada pemilik asli yang rela berkorban.
Drt... drt...
Hampir saja ponsel tergelincir dari tangannya. [Name] mengumpat kepada penelepon dadakan itu. Merusak suasana saja.
"Halo?" jawabnya tanpa melihat siapa nama si penelopon.
"[Name]..."
Shinsuke rupanya. Kalau begini, ia tidak bisa marah. Melawan Shinsuke sama sulitnya seperti melawan Madara.
"Iya senpai, ada apa?"
"Suna... dia mengalami kecelakaan saat ingin kembali ke Tokyo--"
"Bagaimana kondisinya?!"
"... kritis."
Seperti ada tangan berduri meremat jantungnya. Menyesakkan juga menyakitkan. Air mata tak dapat tertahan.
Kenapa pelangi hadir begitu singkat. Bukankah selama ini, ia sudah cukup menderita. Setidaknya, biarkan pelangi bertahan lebih lama sedikit lagi.
"[Name], kau baik-baik saja?"
Ia kembali ke dunianya. Bergegas mengusap derai air mata. Menguatkan diri, berlari mengambil coat dan tas selempang miliknya. Kakinya lemas, tapi ia harus pergi sekarang juga.
"Senpai, kirimkan lokasi Rin tempat di rawat. Aku akan kesana sekarang juga. Sampai ketemu disana."
"[Name]--"
Bersama tangis, ia bergegas keluar apartemen. Persetan dengan gulita yang sudah meraja. Kini pemuda bersurai legam jadi prioritas utama.
Sebenarnya apa yang terjadi pada lelaki itu. Apa ia frustasi karena terlalu lama menunggu jawaban dari sang pujaan hati.
Tidak mungkin bukan, Rin tidak sebodoh itu.
Kesampingkan semua itu, untuk sekarang ia harus segera kesana.
"Mau kemana buru-buru begitu?"
Gerak tangan yang hendak mengunci pintu terhenti. Ragu, ia menoleh ke belakang. Kedua bola mata membelalak. Tangis yang hampir mereda kembali pecah. Bahkan lebih kencang dari tadi.
Keheningan malam terbelah oleh suara isak yang begitu memilukan.
"He-hey, kau kenapa?!"
"Rin... Kenapa kau pergi secepat ini!"
"Aku ada disini, lihat aku."
"Kau pasti hantunya Rin kan. Shin-senpai bilang, kalau kau sedang kritis..." tak kuasa menahan kesedihan, [Name] jatuh terduduk. "Rin..."
"Hey, berhenti menangis. Aku bukan hantu."
Mengabaikannya, jelita masih Setia terisak.
[Name] tersentak tat kala mendapati sebuah kehangatan menggengam tangannya. Menuntun membawa jemari mungilnya untuk menjelajah wajah yang tak asing.
"Aku bukan hantu. Buktinya kau bisa menyentuhku," ucapnya lembut disertai senyum yang tulus.
"Ja-jadi, kau benar-benar Rin, bukan hantu?"
"Tentu bukan."
"Ta-tapi, tadi Shin senpai bilang..."
"Itu semua bohong." Genggaman Rin kian mengerat. Seperti enggan melepaskan tangan si jelita. "Aku menyuruh Kita-san untuk berbohong."
Seperti ada sesuatu yang kosong di kepala [Name]. "Apa ini yang disebut prank?"
Rin tertawa geli. "Mungkin."
Sendu berubah jadi amarah. Dengan kasar, ia menarik tangannya. Kemudian sekuat tenaga memukuli dada bidang si pujangga sembari mengumpat kesal.
"Hey, hentikan!" walau begitu, Rintarou tidak mengambil tindakan lebih jauh untuk menghentikan serangan jelita.
"Kau menyebalkan! Dasar bodoh! Aku pikir jantungku akan berhenti!"
[Name] masih terus melanjutkan tindak kekerasan. Sementara Rintarou hanya berdiam diri. Menjadi pendengar yang baik untuk segala umpatan dan cacian yang terlontar dari bibir pucat itu.
Perlahan, pukulan [Name] mulai mereda. Hingga akhirnya benar-benar berhenti.
"Sudah selesai?"
Sesenggukan jadi balasan untuk punggawa timnas.
"Maaf. Sungguh aku minta maaf."
"Kenapa kau melakukan ini. Kau pikir enak kena prank, hah?!" sungut jelita. Emosi terpancar kuat dari kedua bola matanya.
"Aku hanya sedang membuktikan sesuatu."
Dengan lembut, ibu jari Rintarou mengusap air mata pujaan hati. Tidak tega melihat [Name] bersimbah air mata seperti ini. Tapi ia merasa semua ini penting.
"Sepertinya, memang benar. Kita memiliki perasaan yang sama." Kedua sudut bibir tersangka. Sebuah kurva kebahagiaan terukir.
Masih kalut akan kemarahan dan perkataan Rintarou yang berbelit membuat [Name] tersesat dalam menerjemahkan situasi saat ini. Walau sudah berpikir keras, ia masih belum menemukan titik terang.
"Tapi kalau memang kau juga menyukaiku, kenapa kau membuatku menunggu selama ini."
Sedikit, [Name] bisa melihat titik terang dari semua ini.
"Tadinya aku masih bisa bersabar. Tapi setelah mengetahui ini, ku rasa tidak bisa lagi."
Dan akhirnya, ia paham.
"Apa ini karma karena aku pernah menyakitimu."
"Rin... Jadi kau melakukan semua ini hanya untuk mengetahui apa aku menyukaimu atau tidak?"
Tanpa ragu, Rintarou mengangguk.
[Name] sendiri tak pernah menyadari tentang perasaannya pada pujangga. Tapi ada satu hal yang pasti. Kehangatan melebur bersama kebahagian di hari itu.
Jadi ini alasan kenapa ia tidak bisa melepas Rintarou walau sudah disakiti. Dan ini juga alasan kenapa ia bisa sepanik ini saat mendengar kabar tentang Rintarou.
Bodohnya jelita tak menyadari hal sejelas ini.
"Jadi bagaimana. Mau bulan depan, minggu depan, atau besok juga aku tidak keberatan," ucap Rintarou dengan nada santai.
[Name] tampak kebingungan. "Maksudnya?"
Helaan napas berat Rintarou terdengar sangat kesal. "Pernikahan."
"Hah?! Aku kan belum menerima lamaranmu!"
"Aku menyukaimu, kau juga menyukaiku. Aku sudah mapan dan punya hunian yang layak. Memang ada alasan lain untuk menolak ku?"
Jelita memutuskan kontak mata. Meratapi lantai bangunan apartemen yang tak ternoda. "A-ada."
"Kita-san?"
"Un..."
"Aku sudah minta restu padanya. Dan dia merestui kita berdua. Bahkan dia yang memberitahuku kalau kau juga menyukaiku."
"Masih ada lagi..."
"Apa?"
"[Name]."
"[Name]... maksudmu [Name] yang dulu?"
"Iya, [Name] orisinil," balasnya, pelan. "Dia menyukaimu Rin. Aku yang sudah merenggut kehidupan ini darinya tidak pantas mengambil dirimu."
Keduanya kembali beradu tatap. Kegelisahan tercermin kuat dari sepasang manik [eye color]. Sesaat keduanya tak lagi bertukar kata. Rintarou mengatupkan mulut. Ia yakin masih ada kata yang mengganjal di mulut jelita yang belum tersampaikan.
[Name] berusaha merangkai kata dalam pikirannya. Namun tak kunjung juga menemukan padanan yang tepat untuk menyampaikan pendapat juga perasaannya.
Keheningan terus berlanjut hingga akhirnya jemari Rin bergerak untuk meraih tangan jelita yang di rengkuh dinginnya udara malam. Lantas ia membawanya kedalam genggaman jari jemari, menyalurkan kehangatan juga ketulusan.
"Aku tahu kalau wanita itu juga menyukaiku."
[Name] terkejut mendengarnya.
"Dia sudah pernah menyatakan perasaannya padaku. Dan aku menolaknya."
Rintarou menuntun tangan jelita untuk menyentuh dada kirinya. Membiarkan pujaan hati merasakan debaran Asmara yang tidak bisa ia temukan pada wanita lain.
"Di hatiku hanya ada kau, [Name]," bisiknya, pelan namun penuh penekanan.
"Tubuh, hidup, dan aku sekarang adalah milikmu. Semua yang terjadi bukan salahmu. Ini semua keputusannya."
"Tapi tetap saja aku merasa bersalah. Harusnya dia yang kau genggam tangannya. Bukan aku."
"Kalau yang menghuni tubuh ini wanita itu, aku tak akan pernah menggema tangan ini. Kau tidak merebutku darinya. Sedari awal, aku memang tidak memiliki hubungan apa-apa dengannya."
Jelita tertegun. Ia tak dapat menyangkal perkataan Rin.
Namun pada akhirnya Rintarou yang mengalah. Hembusan nafas lelah menjadi akhir perdebatan ini. "Aku akan menunggu jawabanmu, pikirkan baik-baik."
Gerakan Rintarou tertahan, lantaran ujung coat-nya ditarik jelita yang masih tertunduk.
"Kalau aku mempertimbangkan lamaranmu, aku merasa telah menjadi orang jahat."
Rintarou kembali meraih jemari pemilik hati. Menuntuunya untuk mendekat. Hingga akhirnya ia bisa mendaratkan kecupan manis di punggung tangan [Name].
"Walaupun kau jadi orang jahat, aku akan tetap mencintaimu. Apapun yang terjadi, aku tidak ingin melepasmu. Selagi aku masih hidup, aku ingin terus mendekapmu."
Lagi, bibir Rintarou mendaratkan kecupan di tempat yang sama.
"Sekali lagi, aku ingin bertanya. [Name], mau kah kau menikah denganku?"
Tidak apa-apakan bila ia menjadi egois kali ini. Toh [Name] sudah cukup bersabar dan menderita. Tidak masalah bukan kalau dia mendekap kebahagiannya.
'Shin-senpai, [Name] maaf karena sudah egois.'
"Jadi, apa jawabanmu?"
"Iya, aku mau. Aku mau menikah denganmu Rin!"
The End
Huahh.... Akhirnya tamat juga
Terimakasih untuk para pembaca yang sudah bertahan sampai sejauh ini. Kalian adalah penyemangat ku.
Peluk Cinta untuk kalian semua
Dan untuk penumpang kapal ShinNem, harap bersabar.
Btw, ada sedikit hadiah untuk para pembaca tercinta. Semoga kalian suka
Sekali lagi terimakasih banyak. Sampai berjumpa di book-ku yang lain 💖
With love dandeulf
19 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro