32
Benar apa kata pepatah. Selalu ada pelangi sehabis badai.
Entah itu nantinya akan ada badai lagi. Yang jelas, saat ini pelangi yang sangat indah sedang membintangi hidupku.
Beberapa hari lalu, dokter bilang aku sudah pulih sepenuhnya. Walau masih harus melakukan check up tiap bulan. Tapi setidaknya, aku sudah boleh pergi kesana-kemari.
Ah senangnya.
Berputar dua kali didepan cermin. Menatap pantulan diri berbalut dress berwarna [Favorite color]. Cantik. Tidak masalah kan memuji diri sendiri.
Hari Ini, aku memiliki jadwal berpergian dengan Rin. Yup Suna Rintarou. Setelah percakapan melalui telepon di malam itu, hubungan kami kian membaik. Bahkan, ia sering datang menjenguk ku.
Dan untuk merayakan kesembuhanku, dia mengajak untuk pergi ke seuatu tempat. Masih di rahasiakan. Dia bilang surprise.
Aku bergegas keluar kamar. Ada ayah yang tengah mengupas buah sambil menonton televisi.
Selama aku sakit, dia rela mengambil cuti. Itu semua bukti kasih sayangnya.
"Eh, tumben berdandan. Mau pergi?"
Aku mengangguk. "Aku akan pergi dengan Rin."
"Kencan?" Senyum jahil tersungging diwajah ayah.
"Bukan! Cuma jalan-jalan biasa kok."
Ting tong...
"Ah, sepertinya dia sudah datang."
Aku bergegas membuka pintu. Rin berdiri dengan pakaian kasual. Aku tidak bisa berbohong. Dia terlihat sangat keren.
"Kau berdandan?" tanyanya, sedikit mencondongkan badan.
"Kau juga."
Ia tersenyum kecil lalu mengacak rambutku. "Oh ya, mana ayahmu? Aku harus meminta izin padanya."
Lantas, aku mengantar Rin kepada ayah. Beliau tersenyum melihat Rin yang membungkuk, memberikan salam.
"Paman, aku izin membawa. [Name] keluar." Tak pernah aku mendengar Rin sesopan ini saat berbicara.
Bukan hanya tampilan fisik yang berkembang. Sikapnya juga. Rin, aku bangga padamu.
Tangan ayah menyentuh pundak Rin. Seketika atmosfir terasa berat saat kedua pria itu bertukar tatap.
"Tolong jaga putriku," ucap Ayah, terasa dalam dan sarat makna.
"Tanpa paman minta pun aku akan menjaganya."
Secara bergantian, aku menatap meraka. Entah kenapa,adegan ini terasa janggal untuk ku. "Kenapa jadi mirip seperti ayah sedang menyerahkan ku pada Rin?"
"Kalau begitu, kami izin pergi dulu," ujar Rin, tiba-tiba.
"Hati-hati, jangan berbuat yang macam-macam ya!"
"A-ayah!"
*
"Rin, kita mau kemana?" tanyaku. Pasalnya, sudah cukup lama kami berkendara di dalam mobil. Membuat pantat ku lelah.
Lagi, ia tidak menjawab. Hanya melirik sesaat sambil tersenyum. Kemudian kembali fokus pada jalanan.
Ini sudah kali ketiga ia mengabaikanku.
"Tidak bisakah kau memberitahuku?" sungut ku.
"Kalau ku beritahu, nanti bukan surprise lagi."
Aku menghela napas. "Terserah kau saja deh."
Rasanya seperti ada sengatan listrik saat Rin menggenggam tanganku. Sontak, aku menoleh kearahnya. Sepasang manik hijau abu-abu masih fokus pada jalanan. Senyum tak lekang dari wajah tampannya. Tampan? Tentunya Rin tampan. Harap periksa mata kalian jika menganggap manusia satu ini tidak tampan.
"Apa maksudnya ini?"
"Hm?"
"Tangan."
"Oh ini. Dari pada menganggur lebih baik ku gunakan untuk menggenggam tanganmu saja."
"Terserah kau saja." aku melirik kearah Ac. Sepertinya tidak rusak. Lantas kenapa aku merasakan sensasi panas seperti menjalar di pipi.
"Rin... Supaya tidak bosan, bagaimana kalau kita bermain sesuatu?" usulku setelah sekian lama terdiam.
"Apa?"
"Tot, turth or turth. Jadi nanti aku akan menanyakan pertanyaan padamu dan kau harus menjawabnya dengan jujur. Begitu pula sebaliknya."
"Harus jujur?"
"Yup! Dimulai dari ku dulu. Bagaimana?"
"Terserah kau."
"Ekhem... ekhem... Pertanyaan pertama untuk Suna Rintarou. Bagaimana perasaanmu menjadi atlet yang terkenal?"
"Bangga. Aku bisa memperoleh popularitas dan kekayaan."
"Sombong."
"Tidak masalah bukan?"
"Iya Rin, sesukamu aja. Asal kau bahagia. Sekarang giliranmu."
"Pertanyaan untuk [Full name], saat sudah menikah nanti. Ingin punya berapa anak?"
"Eh kenapa pertanyaannya seperti itu?"
"Tidak boleh?"
"Boleh sih... Hanya saja, aku tidak memperkirakan kau akan menanyakan hal seperti itu."
"Kalau begitu, cepat jawab."
"Aku ingin punya dua anak. Satu laki-laki dan satu perempuan."
"Oh."
Eh hanya itu saja responnya. Menyebalkan sekali. Padahal aku sudah menjawab dengan penuh antusias.
"Sekarang giliranku lagi. Pertanyaan untuk Suna Rintarou, tipe cewek mu bagaimana?"
"Kenapa? Kau ingin mencalonkan diri sebagai kekasihku?"
"Aku hanya bertanya!"
"Aku juga cuma Tanya, tak usah panik," balasnya, santai. "Tapi aku tidak keberatan kalau kau mencalonkan diri."
Ugh... Apa-apaan senyumnya itu. Menyeblakna sekali. Mentang-mentang tampan, tebar senyum sembarangan. Jantungku, tenangkan dirimu.
"Rin, jangan berkelit. Cepat jawab," ucapku, mengarahkan pembicaraan ke jalur yang benar.
"Tipe wanitaku ya... Aku tidak mempermasalahkan fisik. Mau siapapun itu asalkan bisa membuat hatiku berdegup kencang."
Genggaman tangan Rin mengerat. kurasakan ibu jarinya mengelus punggung tangan ku dengan lembut. Membuat, pandangan ku jatuh kearah Rin.
Sesaat, kami bertukar tatap. Sebelum akhirnya aku menyuruh Rin untuk kembali fokus mengemudi.
Ada gejolak aneh Yang membuatku tak sanggup menatap sepasang manik indah yang terbias cahaya itu. Perasaan yang sulit tuk di jelaskan dengan kata. Terasa menggelitik sekaligus mendebarkan.
"Sekarang giliranku kan?" Tanya Rin.
"I-iya, giliranmu." Sedikit kaget. Untungnya, aku masih bisa mengendalikan diri untuk tidak terlihat kikuk.
"Pertanyaan untuk [Full name], saat menikah nanti kau ingin tinggal dirumah bergaya jepang atau eropa?"
"Kenapa pertanyaanmu selalu berkaitan dengan pernikahan?"
"Tidak kenapa-napa."
Aku menghembuskan napas. Terdiam sejenak untuk berpikir. Pasalnya, aku belum pernah berfikir sampai sejauh itu. Jangankan hunian. Untuk menikah pun aku belum ada rencana.
"Hmm... Aku tidak keberatam dimana pun. Asalkan bisa hidup bahagia. Tapi, rumah traditional jepang boleh juga."
Rin mengangguk singkat. "Oke sekarang giliranmu."
Dan permainan Tot kami terus berlanjut sepanjang berjalanan. Begitu pula genggaman tangan Rin.
***
Rin membawaku ke tempat yang sangat Indah. Udaranya sangat sejuk. Rumput membentang luas sejauh mata memandang. Bermacam pohon dan bungan tumbuh subur menghiasi arena ini.
Ditambah, langit hari ini begitu cerah. Biru yang dihiasi awan tipis seputih kapas.
Terasa seperti di negeri dongeng. Aku menyukainya.
Kami mengambil banyak foto dengan gaya lucu. Yah, walau sebagian besar hanya fotoku. Rin tampak tidak keberatan saat aku memintanya untuk memotret. Justru, aku melihat antusiasme di wajahnya. Suatu hari, ini akan jadi kenangan yang kami rindukan.
Kami sudah menjelajah hampir seperempat arena. Sangat melelahkan, rasanya kakiku seperti ingin patah. Walau sudah dinyatakan pulih, tapi aku disarankan untuk tidak melakukan aktifitas yang membutuhkan banyak tenaga.
Aku tersentak tat kala Rin menyampirkan jaketnya ke pundak ku. Kebesaran. Jelas, ukuran tubuh kami berbeda jauh.
"Kau baru sembuh," ucapnya sembari bersandar di pagar.
"Terimakasih."
"Masih sanggup berjalan?"
"Bagaimana kalau kita duduk dulu. Kaki ku sedikit sakit."
"Mau ku gendong?"
Aku menggeleng cepat. "Aku tak selemah itu. Ayok duduk disana!"
Berlangkah beriringan menuju bangku taman yang jaraknya terbilang jauh. Sesekali, aku menoleh kearahnya. Dan saat itu, pandangan kami bertemu. Tanpa bertukar kata, kami saling melempar senyum. Seolah menjadi manusia paling bahagia di bumi.
Rin mengibas-ngibaskan kursi menggunakan tangannya. "Duduklah disini."
Ah, rasanya sesuatu sekali diperlakukan seperti ini oleh Rin. Tapi belakangan ini, dia memang aneh. Tiba-tiba saja jadi sangat baik dan perhatian. Biasanya kan dia sering jahil. Aku curiga. Jangan-jangan ada udang di balik batu.
"Kau haus?"
"Eh? Tidak kok."
Lantas, Rin memperbaiki posisi jaket yang hampir merosot dari pundak ku. Jarak kami jadi begitu dekat. Aku bisa mencium wangi maskulin menguar dari tubuhnya. Pipi ku kembali terasa panas. Wangi parfum Rin tidak baik untuk kesehatan ku.
Perlahan, aku mendorong dada bidang itu untuk menjauh. Tak ada perlawanan dari Rin.
"Rin, kenapa kau jadi sebaik ini?" tanyaku, sembari memalingkan wajah ke sekumpulan bunga yang menari mengikuti hembusan angin.
"Tidak boleh?"
"Bukan begitu, hanya saja terasa aneh . Biasanya, kau kan suka jahil padaku."
"Jadi kau lebih suka dijahili olehku? Dasar masokis."
"Bukan begitu!"
"Aku sedang melakukan penebusan."
"Penebusan?"
Ia mengangguk. Menghadirkan senyum pilu yang terasa sendu.
"Karena sudah bersikap pengecut dan egois." begitu lemah dan tak berdaya. Rin selalu jadi seperti ini saat membahas penyesalannya.
"Rin, aku sudah bilang—"
"Aku tahu kau sudah memaafkanku. Tapi biarkan aku menembus rasa bersalahku dengan cara ini. Aku tahu ini tidak cukup, tapi hanya ini yang bisa ku lakukan."
"Malam itu, kita sudah meluruskan semuanya. Tidak ada lagi penebusan atau semacamnya."
"Tapi rasa bersalahku masih tersisa."
"Rin, kau sungguh keras kepala."
"Ya aku memang begini."
Udara di sekitar terasa jadi berat. Itu sebabnya aku tidak suka membahas masalah ini. Aku benci saat Rin masih saja bergulat tentang kesalahannya kala itu. Padahal, itu semua sudah ku anggap sebagai angin lalu. Juga, aku tidak ingin melihatnya merasa bersalah begitu. Rasanya menyesakkan.
Untuk mencairkan suasana, aku mengusulkan untuk kembali memainkan permianan TOT. Tanpa pertimbangan, Rin langsung menyetujuinya.
Syukurlah.
"Kali ini, bagaimana kalau dimulai dariku?"
Aku langsung mengangguk. Toh tak masalah siapapun Yang mulai lebih dulu. Yang terpenting kami menikmatinya.
"Pertanyaan untuk [Full name], mau kah kau menjadi istri ku?"
***
"Osamu!"
Pemilik kedai terlonjak, hampir saja ia menjatuhkan gelas dari tangannya. Matanya menatap kesal kearahku.
"Tidak bisakah kau masuk dengan cara baik-baik?"
"Tidak!" Napas masih memburu.
Lantas, Osamu menyuruhku untuk duduk terlebih dulu. Ia lalu menyuruh Salah satu pegawai magangnya untuk mengambilkan air minum. Walau akhirnya terabaikan olehku. Saat ini ada yang lebih darurat dari memuaskan dahaga.
"Gawat Osamu, gawat!"
Osamu nampak tidak tertarik. Ia hanya mengangkat sebelah alis sebagai respon.
"Rin!"
"Kenapa dengan Suna? dia sembelit lagi?"
Aku menggeleng.
"Lalu?"
"Dia melamarku."
Prank...
Gelas yang sedari tadi di pegang Osamu jatuh bebas ke tanah. Berhambur, menyebar ke berbagai arah.
Tidak heran kalau Osamu syok. Aku pun begitu. Bahkan, setelah kejadian itu. Aku mendadak jadi orang bodoh yang hanya bisa menjawab dengan anggukan dan gelengan.
Karenanya, setelah pulang, aku langsung bergegas menuju kedai Osamu yang sepertinya sedang bersiap-siap untuk tutup. Aku tidak bis menyimpan masalah ini seorang diri.
"Ka-kau tidak bercanda?!" Kedua tangan Osamu mencengkram bahuku dengan erat. "Kau tidak sedang halu kan?!"
"Tidak, aku serius!"
Perlahan, Osamu melepaskan cengkramannya. "Ah, aku tidak tahu kalau dia seburu-buru ini. Padahal baru saja berbaikan denganmu."
"Osamu, aku harus bagaiamana?!"
"Kenapa Tanya aku?" Balasnya santai. "Harusnya kau tanyakan pada dirimu sendiri. Masalah ini, aku tidak bisa membantu."
"Aku bingung, Osamu..."
Ia menghela napas. "[Name] kau menyukai Suna?"
"Eh itu, aku juga tidak tahu."
Lagi, ia menghela napas. Osamu sepertinya lelah menghadapiku. Tapi mau bagaimana lagi, saat ini aku tidak punya tempat curhat lain selain dia.
"Masalah ini hanya bisa kau temukan solusinya sendiri. Pikirkan baik-baik." Osamu bangkit dari duduknya. "Kurasa masih ada beberapa onigiri yang tersisa. Kau mau?"
Aku menggeleng. Pikiranku terlalu rumit untuk menikmati Onigiri nikmat buatannya.
Tat kala tangan besar Osamu mengeacak pelan rambut kepala. Aku mendongka menatap sepasang Iris abunya. Senyum kecilnya seakan berusaha tuk menenangkanku.
"Jangan terlalu membebani diri. Pikirkan perlahan-lahan saja. Suna pasti akan menunggumu dengan sabar."
"Aku tidak yakin."
"Percayalah padaku, karena Suna sangat mencintaimu, [Name]."
Tebece
Telat up :")
23 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro