31
Kita Shinsuke si tuan sempurna. Tiap hari, ia selalu dibanjiri pujian. Entah itu karena kerja kerasnya atau etikanya yang luhur. Tetangga sekitar bilang, Shinsuke merupakan Role utama pria masa kini.
Kini, si tuan sempurna tengah mengemudikan mobil. Melaju membelah jalanan Tokyo yang tak pernah lenggang. Salah satu mansion yang terletak di Roppongi jadi tujuannya.
Ia sudah berjanji pada [Name] bahwa hari ini akan datang menjenguk jelita. Tapi sebelum itu, Shinsuke memiliki urusan penting yang harus diselesaikan.
Sementara itu, Shinsuke sudah lebih dulu mengantarkan nenek ke rumah [Name]. Sedangkan ia terpaksa harus berggegas pergi lagi. Ia bahkan belum sempat bertatap muka dengan pemilik rumah.
Mobilnya sudah terparkir dengan benar. Shinsuke turun dari mobilnya dengan gagah. Langkahnya terlihat kokoh dan penuh percaya diri.
Kaki berbalut sepatu air jordan membawanya melangkah melewati setiap lantai di mansion tersebut. Hingga akhirnya, kakinya berhenti di depan salah satu pintu di lantai 7. Tanpa ragu, ia menekan bel pintu tersebut.
Selang beberapa detik, pintu pun terbuka. Seorang lelaki jangkung dengan rambut hitam basah menyapa Shinsuke dengan raut terkejut.
"Kita-san?" Ada ke tidak percayaan dalam nada bicaranya.
"Apa kabar?" sapa Shisuke.
"A... baik. Apa yang Kita-san lakukan disini?"
"Menemui mu. Tidak boleh?"
"Tentu boleh, hanya saja tidak biasanya. Ah, silahkan masuk."
Shinsuke mengekor si tuan rumah. Ruang tamunya tampak berantakan. Kaleng bir dan bungkus makanan ringan berserakan dimana-mana. Tanpa bertanya, ia bisa menerka apa alasan dibalik semua ke kacauan ini.
"Aku kira kau bukan tipikal orang yang suka minum," ucap Shinsuke, agak sinis.
"Aku hanya minum saat ada masalah." Si tuan rumah melenggang kedepan lemari pendingin. Mengambil minuman kaleng yang tersis. "Kita-san, aku hanya punya ini—"
"[Name], benarkan?"
Tubuh Rintarou membeku. Rasanya ada angin dingin yang berhembus di hatinya.
"Masalahmu itu [Name] bukan?"
Jeda yang diisi hening. Kedua pria saling bertukar pandang tanpa melontarkan kata. Membuat seisis ruangan yang cukup besar ini terasa canggung.
Angin dingin yang membelenggu Rintarou perlahan hilang. Ralat, bukan menghilang, Ia hanya mengabaikannya.
Rintarou melanjutkan langkah, menaruh kaleng jus jeruk keatas meja. Jarak antara dirinya dan Kita-san pun menipis.
"Ini semua tidak ada kaitannya dengannya. Dan aku sudah memutuskan semua hubungan dengan dia," balasnya, tegas.
Helaan napas lolos dari bibir Shinsuke. "Kau jadi tidak pandai berbohong ya, Suna."
"Terserah Kita-san saja mau beranggapan seperti apa. Yang jelas aku memang sudah tidak memiliki hubungan—"
"Lalu, kenapa kau masih menyimpan fotonya?" Shinsuke melempar tatapan kearah kumpulan foto diatas bufet. Terdapat kumpulan foto seputar momen sekolah si pemilik rumah. Dan diantaranya, terselip foto [Name] yang tengah tersenyum lebar sambil mengacungkan jari jempol. Mata Shinsuke memang cukup bagus untuk bisa menemukan hal sekecil itu.
Rintaraou dibuat tak berkutik. Melawan si tuan sempurna memang hal yang mustahil dalam hidupnya. Lantas, ia menjatuhkan tubuh diatas sofa. Meraup wajah frustasi.
Perdana bagi Shinsuke melihat juniornya seputus asa ini. Saat SMA, dikalahkan tim manapun dan di babak apapun, Rintarou tak pernah si semengenaskan ini.
Rintarou menopang dagu, menatap Shinsuke dengan wajah datar. Walau hatinya carut marut. "Kalau memang ada kaitannya dengan dia, lalu kenapa?"
Sesaat, petani tampan terdiam sebelum akhirnya ia memutuskan untuk duduk disamping juniornya. "Kau mempersulit segalanya, Suna."
"Aku?"
"Ya. Temui dia, dan katakan kau masih ingin berhubungan dengannya. Dan semuanya akan terselesaikan."
Giliran Rintarou yang menghela napas. "Kita-san, kau tidak akan mengerti," ujarnya lemah. "Aku tidak berani menemuinya."
"Apalagi sekarang? Dulu kau bilang takut bertemu dengannya karena tidak ingin merasa kehilangan m. Sekarang, dia tidak akan pernah pergi jauh lagi. Lalu apalagi alasan mu?"
"Aku malu." Rintarou menyembunyikan wajahnya diantara kedua telapak tangan. "Aku yang menyerah begitu saja dan membuatnya terluka, bagaimana bisa muncul dihadapannya begitu saja."
"Disaat dia ingin mendekat, aku justru mengusirnya. Hanya karena egoku. Aku... aku ingin menemuinya, tapi aku tidak sanggup. Seperti ada suara yang menggema di kepala yang mengolok keinginanku. Suara itu terus berdenging dikepalaku," lanjutnya.
Shinsuke bisa saja mencaci maki pemuda yang tengah putus asa itu karena keputusan bodohnya. Tapi Shinsuke bukan pria seperti itu. Ia sudah belajar untuk melihat masalah dari berbagai perspektif. Dan ia tahu, Rintarou berbuat seperti itu hanya demi melindungi hatinya. Bertahan, bukankah itu insting dasar manusia.
Ia pun sama, ketika [Name] datang kembali kedunia ini, ada pertempuran antara logika dan perasaan. Ia bahagia sekaligus risau. Bagaimana kalau gadis itu akan pergi lagi. Tapi, Shinsuke mengutamakan hati. Memutuskan tuk berlari kearah [Name].
Tak peduli nantinya [Name] akan menghilang atau tidak. Yang terpenting, ia ingin menghabiskan waktu bersama pujaan hati selagi bisa.
"Suna, minta maaflah, aku yakin dia akan memaafkanmu."
"Ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan maaf, Kita-san. Antara aku dan dia memang sudah berakhir tidak ada yang bisa diselamatkan lagi."
"Kau yang memperumitnya."
"Kau tidak mengerti Kita-san, ini semua—"
Shinsuke kehilangan kesabaran, ia menarik bagian depan kaos yang dipakai Rintarou. Keduanya berhadapan. Ada kejut pada sepasang manik hijau keabuan. Dan ada keseriusan bercampur amarah yang mengintip dari ekspresi tenang Shinsuke.
"Kau pengecut," desis Shinsuke. "Kalau memang kau masih menyukainya, temui dia atau telepon dia. Minta maaf padanya. Soal dia memaafkanmu atau tidak, itu urusan nanti. Kau ini laki-laki, Suna. Jangan hanya merengek. Bergeraklah."
Setelah kalimat penuh penekanan itu dilontarkan, Shinsuke langsung melepaskan cengkramannya. Tanpa permisi, ia berjalan menuju pintu keluar. Sebelum melangkah pergi, Shinsuke menoleh lalu berkata, "Asal kau tahu, dia juga menunggumu."
*
"Ah Shin-chan, dari mana saja kau?" tanya nenek saat mendapati cucunya memasuk apartemen [Name].
Senyum kecil tersungging. "Ada urusan sebentar nek. Bagaimana keadaan [Name]?"
"Dia sedang tidur. Tidurnya sangat pulas, sepertinya selama di rumah sakit tidurnya tidak pernah setenang ini."
Lantas, Shinsuke berjalan pelan memasuki kamar pujaan hati. Benar, [Name] tengah terlelap diatas kasur.
Ayah [Name] mendapat pekerjaan mendadak. Jadi, ia memepercayakan putrinya kepada Shinsuke dan neneknya. Ayah sudah mengenal mereka dengan baik, jadi ia tidak menaruh curiga kepada mereka.
Karena hal itu pula, Shinsuke dan nenek memutuskan untuk bermalam disini dan baru pulang esok hari, saat ayah [Name] pulang kerumah. Mana mungkin mereka tega meninggalkan [Name] yang baru pulang dari rumah sakit seorang diri.
"Shin-chan, jangan ganggu dia," bisik nenek yang berdiri di ambang pintu.
Sang cucu menoleh, tersenyum kecil lalu memberikan anggukan sebagai jawaban.
Nenek balas tersenyum. Lalu melenggang pergi. Jam 3 sore, pasti nenek ingin menonton acara televisi kesukaannya.
Shinsuke duduk ditepi ranjang, menatapi lamat-lamat wajah tidur [Name]. Ada kesenangan tersendiri saat dia melakukan hal tersebut. Jemarinya bergerak mengelus pipi [Name].
Baik dirinya atau siapapun di dunia ini, tidak ada yang memperkirakan kalau ia akan menaruh hati pada perempuan ini. Berawal dari empati dan berakhir mencintai. Sungguh lucu.
Setiap gerak-geriknya membuat hati Shinsuke merasa hangat dan nyaman. Menghabiskan waktu dengannya menjadi kebahagiaan untuk Shinsuke. Itu sebabnya, setiap ia pergi ke kuil, ia selalu berdoa agar bisa menghabiskan seluruh hidupnya bersama [Name].
Tapi sepertinya Dewa tidak menjawab permohonannya. Tanpa bertanya, Shinsuke sudah tahu kalau sudah ada seseorang di hati [Name]. Bodohnya, dia malah mengungkapkan perasaannya.
Cinta memang membuat orang bodoh.
[Name] menggeliat, mungkin belaian jari Shinsuke penyebabnya.
Perlahan, kelopak matanya terbuka. Hal yang pertama ia lihat adalah senyum tulus Shinsuke. Wah, senyumnya sangat indah. Tidak baik untuk kesehatan hati [Name] yang baru bangun tidur. Tapi tunggu dulu...
"Senpai, ke-kenapa kau ada disini?!" [Name] langsung bangkit dari posisi tidrunya. Wajahnya nampak terkejut.
Shinsuke tertawa kecil. Saat ini, [Name] terlihat sangat menggemaskan. Tangannya bergerak menyelipkan helaian rambut kebelakang telinga sang gadis.
"Bukankah aku sudah berjanji untuk menjengukmu hari ini," balasnya tenang.
"Ah... benar. Nenek sudah datang lebih dulu hahaha..." Maklum, baru bangun tidur. Otaknya belum berfungsi sepenuhnya.
"Aku mengganggu tidur mu?"
[Name] menggeleng cepat. "Aku sudah kenyang tidur hehehe..."
Apa hanya [Name] yang merasakan kecanggungan ini. Semenjak pengakuan Shinsuke, ia tidak merasa nyaman untuk berbicara berdua dengan Shinsuke.
"[Name] kau merasa canggung?"
"Iya –eh tidak kok. Tenang saja, tenang."
"Sudah ku duga."
Berkelit dihadapan Shinsuke adalah sebuah kemustahilan. [Name] memutuskan untuk menunduk dalam diamnya.
"Soal pengakuanku. Aku tidak ingin kau melupakannya. Tapi kau tidak perlu menjawabnya. Aku tahu, kau sudah menyukai seseorang," ucapnya, tenang dan lembut.
[Name] mengangkat wajahnya terkejut. "Siapa?"
Tangan Shinsuke terulur mengulus kepala [Name]. "Nanti juga kau akan tahu."
Entah [Name] yang bodoh atau memang perkataan Shinsuke yang tidak jelas.
"Jadi, bisa kita kembali menjadi teman lagi?"
Tanpa ragu, [Name] mengangguk.
"Bagus." Lagi, Shinsuke mengelus kepala [Name].
"Akhirnya aku bisa bernapas lega. Senpai tahu, aku bingung kalau nanti salah menjawab. Bagiku, Shin-senpai itu teman terbaik yang sudah kuanggap sebagai kakak sendiri."
"Oh ya?"
"Un!"
"Tapi, [Name]. Aku ingin kau mengingat hal ini. Jika nanti, lelaki yang kau sukai justru menyakiti hatimu. Kau boleh kembali padaku. Hatiku selalu terbuka untuk ku."
*
Sudah larut, tapi [Name] belum mengantuk. Penyebabnya ada dua. Pertama, ia terlalu banyak tidur siang tadi. Kedua, pikirannya sedang aktif menerka siapa orang yang di maksud Shinsuke.
Selama ini, [Name] terlalu fokus pada masalah bertahan hidup di dunia ini. Ia sampai tidak menyadari perasaannya. Memang siapa yang dia sukai. Dan kenapa Shinsuke mengetahuinya sedangkan dia tidak.
Apa Shinsuke punya ilmu yang dengan roy Kiyoshi?
Berulang kali [Name] bertanya pada Shinsuke. Alih-alih menjawab, ia malah tersenyum kecil. Oke, [Name] tahu senyum Shinsuke itu indah. Tapi petani tampan itu harus tahu, kalau semua hal tidak bisa diselesaikan dengan senyum.
Ah menyebalkan.
Apa dia sebodoh itu sampai tidak menyadari perasaannya sendiri. Tapi sebelumnya, ia memang belum pernah jatuh. Jadi wajar bukan, kalau dia terlambat menyadari perasaannya.
Mari berasumsi seperti itu. Oke sekarang saatnya tidur.
Drt... drt...
"Ah sial! Ada apalagi ini—" [Name] berhenti mengumpat. Penelepon yang tak pernah ia duga tapi selalu ia harapkan.
Tanpa pikir panjang. Ia langsung mengangkat panggilan tersebut. Baik dirinya maupun penelepon, keduanya tak langsung bertukar kata. Seolah sengaja membangun hening.
"Apa kabar?"
"Baik." [Name] tak kuasa menahan tangis. Kebahagiaan membuncah dalam dirinya.
Jeda cukup panjang tercipta. Suara deru napas yang terasa berat jadi pengisi jeda yang berlangsung cukup panjang.
[Name] tidak tahu harus berkata apa. Juga, tangisnya menghalangi dia untuk berkata.
Jadi kali ini, ia biarkan si penelepon yang menuntun arah pembicaraan. Menyampaikan secara langsung maksudnya menelepon setelah sekian lama.
"[Name]..."
Tidak bisa dipungkiri, ia rindu suara tersebut memanggil namanya.
"Aku minta maaf."
"Aku sudah memaafkanmu Rin," balas [Name] tanpa berpikir.
"Maaf... aku memang egois..."
Suara isak terdengar dari seberang. Rintarou juga menitikan air mata.
Ditengah malam yang tenang. Dua insan melalui sambungan telepon meluruskan semua benang kusut yang mengikat mereka selama ini. Berderai air mata dengan kehangatan merengkuh hati.
Akhirnya, mereka menjumpai terang dalam gulita yang membelit. Saling memaafkan, saling mengerti, dan saling memahami jadi kuncinya.
Hubungan yang telah dipasrahkan tersambung kembali. Mungkin jadi lebih kuat dari sebelumnya.
[Name] dan Rintarou kembali terhubung.
Tebece
Seneng kalian Suna udah nongol?
:")
14 Agustus 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro