Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

3

Aku Tidak akan kaget kalau yang membuntutiku itu om-om mesum, atau pria hidung belang. Tak pernah aku menduga sekalipun dia yang mengikutiku. Berkhayal pun tidak pernah.

Aku menunjuk orang yang berdiri mematung sejauh dua meter dariku dengan jari telunjuk yang bergetar. Ada percampuran antara syok dan senang.

Kok senang?

Iya, soalnya yang mengikuti ku itu Kita Shinsuke. Bayangkan, mamahnya klub voli SMA Inarizaki mengikuti ku. Kenapa ya? Apa dia stalkerku? Ah tidak mungkin. Orang sebaik Kita tak mungkin punya sifat seperti itu.

Atau mungkin...

Ah pasti dia ingin memastikan aku pulang dengan selamat. Benar-benar mamah yang baik. Rasanya ingin diadopsi oleh Kita.

Kaki Kita mulai melangkah mendekat. Seketika akupun tersadar dari lamunan. "Aku tidak mengikutimu," ucapnya santai.

Dia menyakal. Pastinya sih. Siapapun pasti tidak ingin dipergoki tengah mengikuti seseorang. "Senpai, tidak usah malu-malu. Aku akan merahasiakannya kok."

Kakinya berhenti melangkah. Jarak antara kami hanya tinggal satu meter. Kita menghela napas. "Aku tidak malu. Dan aku ulangi, aku tidak sedang mengikutimu."

Mataku memicing. "Terus kenapa senpai berjalan dibelakangku."

"Rumahku, bersebalahan dengan rumahmu."

"Oh—"

Eh... Eh maksudnya apa? Rumahnya disebalahku? Berarti dia tetanggaku dong. Aku berusaha mengorek kenangan milik [name]. Dan memang benar Kita Shinsuke, adalah tetanggaku.

Arghh.... Bego, [Name] bego. Padahal rumahmu bersebelahan dengan Kita, tapi kenapa kau tidak mau mengakrabkan diri dengannya. Bego, Bego banget malah. Kalau akusih, sudah kudekati dia dari dulu.

Sebenarnya, seberapa nolep [name] ini?!

Eh tunggu, kalau jalan pulang kami searah berarti tadi dia satu bus denganku. Tapi kok aku tidak sadar.

Apa dia jalan kaki? Tidak mungkin.

Apa dia naik karpet terbang? Tidak mungkin juga. Diakan Kita Shinsuke. Bukan Aladin.

Pakai pintu kemana saja? Tidak mungkin juga. Diakan bukan temannya Doraemon.

Kesampingkan hal itu. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini untuk bisa pulang bersama Kita. Lumayan, sekalian mengakrabkan diri.

"Kita-senpai, mau pulang— "

Sial, Kita malah sudah berjalan jauh didepan sana meninggalkanku.

Yasudahlah, biarkan saja. Kalau hari ini tidak bisa kan masih ada esok. Esok tidak bisa masih ada lusa. Intinya kesempatanku masih ada selagi aku berusaha.

Juga, senang mengetahui fakta bahwa Kita Shinsuke adalah tetanggaku.

Aku bertanya. Apa fanfic ini akan berganti judul jadi 'seniorku tetanggaku.'

*

Sampai dirumah. Aku langsung... Rebahan. Tolong jangan ditiru kemalasan ini. Memang aku sudah berjanji untuk rajin. Tapi... Ya mau bagaimana lagi. Saat melihat kasur, rasanya langsung ingin rebahan.

Sambil berbaring menatapi atap-atap langit. Aku memikirkan serangkaian kejadian yang terjadi hari ini. Ada senang, ada kesal juga.

Aku senang bisa bertemu anak-anak voli Inarizaki.

Aku kesal menjadi target bully.

Helaan napas meluncur begitu saja. Aku harus berusaha agar si Nakamura sialan itu berhenti merundungku.

Tapi, caranya bagaimana. Melapor ke pihak sekolah tidak membantu. Melawan percuma, salah satu anteknyakan atlet Judo. Apa aku juga harus belajar bela diri. Ah, tapi pasti perlu waktu lama agar aku bisa menjadi ahli dan dapat men damprat tubuh bongsor Saruki.

Mengacak rambut dengan kasar, rasanya aku hampir frustasi.

Aku terkejut saat mendapati jam. Hampir satu jam aku berbaring seperti ini.

Biasanya, diduniaku yang dulu. Akan ada suara lantang ibu yang menyuruhku mandi dan makan. Tapi, di dunia ini suara seperti itu tidak bisa kudengar lagi.

Ironis, sesuatu yang dulunya tak ku sukai, kini menjelma menjadi hal yang ku rindukan.

Meringkuk. Aku menyelam dalam memori si pemilik tubuh. Mencoba memahami lebih jauh kehidupannya.

Sepi, sendiri, senyap, memorinya hanya di penuhi dengan hal itu. Gadis malang.

Tenang saja [full name], akan ku buat hidup mu jadi ramai dan terbebas dari buli. Aku berjanji.

Tapi sebelum itu, aku harus mandi terlebih dulu.

*

"Tumben sekali berangkat sepagi ini," ucapnya.

"Ah iya, hari ini aku piket."

"Bukannya ini masih terlalu pagi untuk piket."

"Ah, Iya juga sih hehehe..." Tawa canggung berusaha menutupi kebohonganku.

Iya, barusan aku berbohong.

Sebenarnya hari ini aku tidak ada jadwal piket. Alasan berangkat sepagi ini adalah agar bisa bareng dengan Kita tentunya.

Kita mulai melangkah. Aku berlari kecil menyamakan langkah kami. "Senpai, nggak keberatan kan kalau berangkat bareng."

"Tidak juga," jawabnya. Kedua bola matanya menatap lurus kedepan.

"Senpai, mau latihan pagi ya?"

"Iya."

"Senpai sudah sarapan?"

"Sudah."

"Mm... Senpai sudah buang air besar?"

Langkah kakinya berhenti. Ia menatapku dengan wajah poker face nya. Aku hanya membalas dengan senyum kecil.

"Random sekali."

"Hah?!"

"Pertanyaanmu." Setelahnya dia melanjutkan langkah.

"Tidak boleh ya?" Tanyaku sambil cengengesan. Sebenarnya agak malu juga.

"Tidak juga." Nada bicaranya tenang. Tak ada tanda terganggu sedikit pun. "Hanya aneh."

"Aneh?"

"Dua hari yang lalu, kau selalu menghindar saat bertemu dengaku."

"Hah menghidar, gila ya [name] ini!" Seketika aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Lalu aku tertawa canggung. "Lupakan... Lupakan... Hehehe..."

Kita menghela napas, kemudian kembali melanjutkan lngkah. Aku tetap mengekor sambil bertanya hal-hal tak penting. Meski hanya di jawab dengan iya, dan tidak.

*

"Atsumu, nice serve!"

Bola di lempar keatas, dan...

Plak

Atsumu memukulnya dengan sekuat tenaga. Namun sayang, bolanya tidak mencetak angka, karena melesat keluar lapangan.

Atsumu terlihat kesal, sampai-sampai menjambak rambutnya sendiri. Sementara sang saudara malah asik mengejek. Untung saja pertempuran tak terjadi diantara mereka. Kalau terjadi kasian mamah Kita.

Saat ini aku sedang mengintip kegiatan latih tanding antar sesama anggota. Aku mengintip dari jendela gedung olah raga.

Sebenarnya, niat awalku berangkat pagi hanya untuk berangkat bersama Kita. Melihat latihan mereka tak masuk list. Tapi karena saat tiba di kelas keadaan begitu sepi dan terlihat menyeramkan. Aku memutuskan untuk datang ke gedung olahraga.

Lumayan juga bisa melihat permainan voli. Selama ini aku tidak pernah melihat permainan voli secara langsung. Ah pernah sih sebenarnya. Saat ada festival olahraga antar kelas di sekolah yang dulu. Tapi sensasinya tidak seseru sekarang. Memang beda ya permainan antara noob dan pro.

"Oh, fans nya Atsumu ya?"

Aku menengok, dan mendapati seorang cewek berambut kecoklatan yang sedikit bergelombang. Bulu matanya lentik, hidungnya mancung, tubuhnya tinggi semapai, itunya berisi pula.

Ukh... Jadi iri.

"Fansnya Atsumu ya?" Ia mengulangi pertanyaannya.

Kenapa dari kemarin aku selalu ditanya begitu ya. Ya aku memang kagum pada Atsumu, suka juga. Tapi bukan berarti aku penggemarnya. Aku ini lebih apa ke apa ya.

"Bukan kok!" Sanggahku.

"Oh... Lalu sedang apa disini?"

Akupun menjelaskan alasan kenapa aku ada disini.

"Kalau begitu masuk saja. Diluar dingin lho," ajaknya.

Seketika dilema. Aku ingin masuk. Tapi aku malu. Jangan salah, begini-begini juga, aku masih punya malu.

"Ayo!" Senyum ramahnya menyihirku. Menolak juga tidak enak.

Akhirnya akupun mengikuti dia memasuki gedung olahraga. Semua orang yang berada di gedung olahraga menatap kearah kami. Ah, mendadak aku malu.

"Maaf ya, ku pikir kau fans nya Atsumu. Soalnya kita sering kedatangan yang seperti itu. Dan terkadang merepotkan."

"Aa... Aku bukan kok."

"Oh ya, aku Matsumoto Ran, kelas 2."

Ah, si manejer. "Aku, [full name]."

"Salam kenal ya."

"Iya!" Aku membalas senyumnya. Senang rasanya bisa mengobrol dengan sesama cewek.

"Kau!"

Kita tampak terkejut mendapatiku berdiri disamping Matsumoto. Iyalah pasti terkejut, kan aku bilangnya ingin piket. Eh sekarang malah ada disini dan do nothing.

"Halo senpai, kita ketemu lagi hehe..." Aku tersenyum canggung sambil melambai padanya.

"Kalian saling mengenal?" Kali ini Magsumoto yang terkejut.

"Dia tetanggaku," jawab Kita.

"Wah... Aku tidak tahu kamu punya tetangga se imut ini."

Yaampun, baru saja aku dibilang imut oleh cewek cantik. Seumur-umur, baru kali ini fisik ku di puji. Jadi malu.

"Kenapa kau bisa ada disini?" Pertanyaan dari Kita, membuyarkan duniaku.

"Dia takut, soalnya dikelas sangat sepi dan terlihat menyeramkan," jelas Matsumoto.

"Kalau begitu, memang lebih baik disini," ucapnya. "Oh ya, Matsumoto, bisa tolong ambilkan minum dan handuk?"

"Baik!" Ucapnya dengan senang hati. "[Surname], tunggu disini ya."

"Eh, aku ikut membantu."

"Tidak apa-apa. Aku bisa sendiri."

"Tapi, aku ingin membantu."

Dan akhirnya, Matsumoto memperbolehkanku membantunya. Aku sudah sedikit terbiasa dengan hal ini, karena kemarin aku sempat ikut bantu-bantu.

"[Surname], pernah menjadi manajer?"

Aku menggeleng. "Waktu kemarin aku ikut bantu-bantu di klub voli."

"Jadi, kemarin kamu yang menggantikanku ya. Terimakasih banyak." Senyum mengakhiri kalimatnya. "Aku tak menyangka Suna yang merekomendasikanmu."

"Aku juga tidak menyangka hehehe..."

"Ngomong-ngomong, apa benar kamu bukan fansnya Atsumu?"

"Sebenarnya... Dari pada fans Atsumu, aku ini lebih ke fansnya klub voli Inarizaki sih."

Benar. Aku bukan hanya suka Atsumu. Aku juga suka Osamu, Suna, Aran, Kita, ginjima, pokoknya semuanya. Aku senang melihat aksi mereka dilapangan.

"[Surname], suka voli?"

"Suka!"

"Bisa bermain voli?"

"Tidak hehehe..."

Matsumoto ikut tertawa. "Kau tahu, aku juga jadi manajer hanya karena diajak Aran. Padahal tidak tahu apa-apa soal voli."

Aku menanggapinya dengan senyum. "Oh ya, senpai. Apa masih ada posisi untuk jadi manajer kedua?"

Tangan Matsumoto yang sedang mengisi air mendadak terhenti. Ia kemudian tersenyum kecil. Bukan kepadaku, entah kepada siapa.

"Entahlah, kapten bilang untuk sekarang satu manajer sudah cukup."

"Kenapa? Bukannya, kalau ada dua jadi lebih mudah."

"Sebenarnya, dengan ada Kita jadi ikut terbantu juga."

"Tapi—"

"Beberapa anggota voli kami cukup populer. Dan karena alasan untuk mendekati mereka, banyak cewek yang mulai mencoba jadi manajer karena ingin dekat dengan mereka. Awalnya, kami tidak ambil pusing. Toh, asal mereka mau bekerja. Tapi, malah berakhir buruk. Mereka hanya terfokus pada satu orang, kerja mereka juga tak benar. Banyak komplen. Dan sejak saat itu, kami berhenti mencari manajer."

Jadi, Matsumoto menyamakanku dengan para gadis caper itu. Aku memang ingin menjadi manajer karena ingin dekat dengan mereka, bukan hanya satu orang. Tapi selain itu, aku juga ingin menjadi bagian dari tim, mendukung mereka, lalu melihat mereka bertanding. Aku ingin menjadi bagian dari tim.

"Maaf ya, [surname]-chan. Bukannya tak ingin percaya padamu. Tapi kami masih sedikit kurang berani merekrut manajer baru."

"Tidak apa-apa senpai."

"Syukurlah." Ia tersenyum lagi. Cantik, tapi aku tak sedang dalam mood untuk mengagumi senyumnya. "Ah... Semua botol sudah terisi rupanya. Saatnya kita kembali ke lapangan."

"Baik!"

Kami berdua pun kembali ke gedung olahraga. Kemudian membagikan handuk juga air kepada para anggota yang tengah beristirahat.

"Wah, fans Atsumu datang lagi."

Ah suaranya nyebelin banget. Tapi maaf saja, saat ini aku tidak ingin berdebat. "Ini minum dan handuknya."

Dia langsung menerimanya, "kau gigih sekali ya. Datang sepagi ini hanya agar bisa bertemu Atsumu."

Aku menatap Osamu, kesal. Kenapa dia menyebalkan dan banyak omong sekali. Bukannya di manga, sikapnya itu lebih kalem dan tenang. Apa ini Osamu versi berbeda. Atau ini sisi Osamu yang tidak di tunjukan di manga.

Persetan. Kesabranku yang cetek tak bisa membendung amarah ini.

"Aku bukan fans Atsumu!"

"Oh ya." Dengan santai ia menenggak minumnya.

"Ya! Aku datang bukan karena ingin melihat Atsumu. Aku kebetulan berangkat terlalu pagi, dan karena di kelas masih sepi juga terlihat menyeramkan, aku datang kesini."

"Ya... ya... " ujarnya, malas.

Ini kenapa Osamu menyabalkan sekali. Apa jangan-jangan dia Atsumu yang sedang cosplay jadi Osamu.

"Terserah kau mau mendekati Atsumu dengan cara apapun. Asal jangan satu hal." Mata sayunya menyipit tajam. "Jangan dengan mendekati klub ini." Usai mengatakan itu, Osamu berbalik lalu berjalan menjauh.

Kedua tangaku terkepal. Apa aku terlihat murahan sehingga mau menghalalkan segala cara demi mendekati kembarannya.

Cukup sudah! Aku muak. Biar ku beri dia pelajaran.

Aku menggulung lengan kemeja hingga ke siku. Langkah lebarku menghantar mendekati Osamu yang sudah agak jauh. Kepalan tangan kananku sudah siap. Ada energi mistis mengalir disana.

Miya Osamu, rasakan ini!

Bruukkk...

Tebece

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro