29
Pernahkah kalian merasa bahagia dan terbebani disaat bersamaan?
Aku pernah. Tepatnya, sedang mengalami hal tersebut. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengganjal. Jadi serba salah.
Shin-senpai dan Osamu berulang kali memberikan kata-kata mutiara tuk meyakinkanku, tapi tetap saja beban atas rasa bersalah tak menghilang.
Dan saat perasaan negatif menguasai, ada bisikan yang bertanya, 'pantaskah aku mendapat semua ini?'
"Good morning!"
Aku menoleh kearah pintu, Atsumu berdiri menyandarkan tubuh pada kusen. Ada sebuket bunga ditangannya. Senyum kecil menyapa kedatangan punggawa MSBY. Ia pun balas tersenyum.
Atsumu juga menyapa pasien yang sekamar dengan ku. Seiring bertambahnya umur, Atsumu paham pentingnya ramah tamah dan sopan santun. Mungkin itu salah satu kunci suksesnya.
"Untukmu," sebuket bunga ia serahkan padaku. "Melamunkan hal yang sama?"
Menghela napas. "Tak perlu ku jawab pun kau tahu."
"[Name]-chan, aku sudah menasihati mu, kalau--"
"Aku tahu," potongku. "Tapi tetap saja aku tidak bisa menghindari pikiran tersebut."
Terdiam beberapa saat, Atsumu duduk di kursi. Tubuhnya sedikit dicondongkan kearah ku. Sepasang amber memancarkan keseriusan yang membuat alis mengernyit. Kenapa lagi dia.
"[Name]-chan, kau tidak ingin tinggal di dunia ini ya?"
"Bu-bukan begitu!"
"Kalau kau memang tidak ingin tinggal di dunia ini, aku bisa membunuhmu saat ini juga."
Seketika aku membeku. Dari raut wajah, sorot mata, dan gestur tubuh, aku tidak menangkap bahwa Atsumu tengah berkelakar.
Seperti ada yang menaruh es di tengkuk ku. Benar-benar membuat tak nyaman. Memutuskan kontak mata dengan Atsumu menjadi pilihan. Pandangan ku beralih ke sebuket bunga lili putih.
"Lihat, kau tidak mau kan." Nada bicaranya kembali normal. "Jangan merengek terus seperti itu. Pemilik tubuh yang asli tidak akan kembali meskipun kau terus seperti itu."
"Tapi, aku--"
"Lili putih, kau tahu maknanya?"
Aku menggeleng pelan.
"Kehidupan yang baru." Atsumu menegakkan tubuhnya. Sorot matanya perlahan melembut. Menghilangkan aura tegang yang sempat merajai. "Jalani hidup ini dengan baik. Lakukan itu bukan sebagai bentuk keegoisan. Tapi, lakukan itu demi menghargai pemilik aslinya."
"Kalau pun kau terus merasa bersalah, dan berakhir bunuh diri. Aku berani bertaruh, dia akan mengutuk mu karena telah menyia-nyiakan kesempatan," lanjut Atsumu.
Ucapan Atsumu menamparku. Yang kubutuhkan saat ini memang bukan kata-kata motivasi yang penuh semangat. Tapi realita yang dibalut kata-kata pedas. Peran tersebut memang cocok untuk Atsumu.
Sekali lagi, atensiku tercurah untuk sebuket bunga indah pemberian Atsumu. Ku pikir ini hanya formalitas yang Atsumu bawakan sebagai kepantasan dalam menjenguk. Tak kusangka ternyata maknanya amat dalam.
"Ini hanya awal. Lambat laun rasa bersalah itu akan berangsur hilang diganti rasa syukur. Ini adalah kehidupan yang kau inginkan bukan? Jadi, jangan terpuruk terlalu lama. Ambil segala sisi positifnya."
Lili indah masih mengunci pandanganku. Ada senyum geli tat kala mendengar perkataan Atsumu. "Aku tidak sangka kau bisa berkata begitu."
"Kau pikir yang bisa memberikan motivasi hanya kita-san, hah?!"
Beban yang sedari tadi memberatiku terangkat bersamaan tawa kecil yang mengudara. Siapa sangka kedatangan Atsumu bisa menjadi pelipur. "Terimakasih," ucapku.
Ia balas dengan senyum. "Saat kau mulai memikirkan hal-hal negatif, segera kabari hubungi aku --kalau aku sibuk, hubungi temanmu yang lain. Bicara apapun dengan mereka. Sibuk kan diri sampai kau melupakan hal-hal negatif."
"Atsumu, kau ini atlet voli atau psikiater?"
"Tentu saja atlet voli yang hebat," ucapnya dengan bangga.
"Terserah kau saja, asal kau bahagia." Aku sibuk mencium wangi bunga Lili, sedangkan Atsumu sibuk menceritakan kehebatannya dalam bermain voli. Entah kenapa, aku juga ikut bangga mendengarnya. Walau sedikit menjengkelkan juga.
"Oh ya [Name]-chan, tadi Suna habis dari sini?"
Seperti ada tangan yang meremas jantungku. Terasa sakit dan nyilu. Terlalu sibuk dengan perkara [Name] orisinil, aku melupakan hubungan yang retak antara aku dan Rin. Retak, bukan rusak. Karena aku harap masih bisa memperbaikinya.
Aku menggeleng pelan. Mencoba menyembunyikan lara dengan senyum. "Memang kenapa?"
"Sepertinya aku melihat dia di lobi."
"Mungkin kau salah lihat."
"Aku yakin seratus persen dengan penglihatanku. Mataku masih sehat," katanya, tak mau mengalah. "Memang seburuk apa pertengkaran kalian hingga dia tidak mau menjenguk mu?"
Kronologi perdebatan kami hanya ku ceritakan pada Shin. Selain kepadanya, aku tidak berniat menceritakan kepada siapapun. Aku hanya tidak ingin orang lain menganggap Rin egois karena pendiriannya. Meski sakit, aku paham tentang ketakutan yang dia alami.
"Lumayan parah," jawabku.
"Kau tidak ada niatan untuk berbaikan dengannya?"
"Tentu saja ada."
"Sudah mencoba menghubunginya?"
"Belum."
"Saat kau sudah siap, coba hubungi dia."
Hening beberapa detik sebelum suara kunyahan menginterupsi. Rupanya Atsumu tengah memakan apel yang dibelikan ayah untuk ku. Tanpa berkata, aku menatapnya dengan tatapan sinis. Sementara Atsumu tanpa merasa bersalah, terus mengunyah apel sampai gigitan terakhir.
Baru saja aku ingin membuka mulut untuk mencacinya, Atsumu lebih dulu pamit undur diri karena ada urusan. Orang terkenal memang super sibuk.
Dan sekarang apa yang harus ku lakukan? Scrool media sosial? Ah itu lebih baik dari pada memikirkan hal yang tidak-tidak.
*
"Makanan disini tidak enak, aku ingin cepat pulang. Ah, aku ingin makan masakan nenek!"
Tawa kecil terdengar dari seberang. Setiap kali mendengarnya, aku selalu merasa lebih sehat. Tawa dan senyum Shin memang sesuatu sekali. Sayang aku belum bisa melihatnya secara langsung.
Shin bilang dia sangat sibuk. Jadi dia belum bisa menjenguk ku lagi. Saat aku masih koma, dia memang sempat datang. Tapi kan aku tidak bisa melihatnya. Dan dia kembali ke Hyougo sebelum aku sadar.
"Bersabarlah. Hanya tinggal beberapa hari lagi kau harus di rumah sakit kan?"
"Iya sih, tapi membosankan. Ayah sibuk. Osamu dan Atsumu juga. Bahkan Ran-senpai sedang berada di luar kota saat ini," keluhku.
"Bagaimana dengan Suna?"
Suaraku tercekat. Seketika pikiranku kosong. Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Segala sesuatu terasa aneh setiap kali mendengar namanya. Rindu, sendu, dan kesal bersatu. Mengurungku dalam prahara tak pasti.
"Dia belum menjengukmu?" Seakan tak sabar, ia kembali melontarkan pertanyaan.
Refleks, aku menggeleng, padahal kami sedang berbicara lewat sambungan telepon. Untungnya, Shin cukup peka. Dari diam yang terasa canggung, ia bisa mengatahui jawabannya.
Helaan napas mengusik telinga. Terdapat kekesalan didalamnya.
"Padahal aku sudah memberitahukan semuanya pada dia."
"Senpai memberitahukan semuanya?"
"Kurasa aku sudah mengatakannya dengan jelas."
"Lalu bagaimana reaksinya?" suaraku jadi agak lirih.
"Dia hanya diam saja. Aku sudah menyuruhnya untuk menjengukmu, lalu dia hanya menjawab iya. Aku kira dia sudah menjengukmu."
Kenapa masalahnya jadi rumit begini. Ku pikir semuanya akan selesai jika Rin tahu aku tidak akan meninggalkan dunia ini. Rupanya tidak. Apa mungkin itu hanya alibi. Bagaimana kalau sebenarnya Rin sudah tak ingin terhubung denganku.
Menyakitkan.
"Kau baik-baik saja?"
Aku tertawa untuk menutupi sendu. "Tentu saja baik-baik saja. Mana mungkin karena dia, aku jadi sedih hahaha..."
"Jangan memaksakan diri untuk terlihat baik-baik saja." Suaranya begitu halus. Selalu membuatku nyaman di masa sulit.
"Apa aku terlihat seperti memaksakan diri?" tanyaku setelah jeda cukup panjang.
"Ya," jawabnya cepat. "Aku bisa tahu dari nada bicaramu. Bahkan dari deru napas mu pun aku bisa mengetahuinya."
"Wah... Kau hebat sekali Shin-senpai. Mungkin kau harus berhenti jadi petani dan mulai meramal. Ku yakin, kau akan sukses besar."
Lagi, tawa terdengar dari seberang sana. "Benarkah?"
"Tentu saja!" Walau masih ada yang mengganjal dihati, aku ikut tertawa bersamanya.
Shin tidak sedingin dulu. Saat berbicara denganku, ia banyak tersenyum dan berbagi tawa. Bahkan, ia tertawa terhadap candaan jayus yang aku lontarkan. Mungkin ia hanya ingin menghargainya.
"[Name], soal Suna jangan terlalu mempermasalahkannya. Kau fokus saja pada penyembuhanmu. Aku akan membantu sebisaku."
"Terimakasih. Tapi, kurasa senpai tak perlu sejauh itu." Ada hening sebelum aku melanjutkan kalimat. "Besok, aku akan mencoba menelepon nya. Kalau dia memang tidak mengangkat teleponku, berarti hubungan kami memang sudah tidak tertolong."
Aku tersenyum miris kepada bunga lili yang sudah ditaruh di vas. Hidup baru ini tidak boleh ku sia-siakan hanya untuk satu orang. Aku harus menjalani hidup ini dengan baik dan penuh kebahagiaan.
"[Name]..."
"Mau bagaimana lagi, kadang hal seperti ini memang sering terjadi dalam hidup bukan. Saat yang disini masih ingin terhubung, tapi yang disana sudah tidak mau terhubung, mau bagaimana lagi. Aku hanya akan menyiksa diriku dengan terus bertahan."
Menyakitkan.
"[Name], maaf."
"Senpai ini kenapa minta maaf. Justru aku yang harusnya minta maaf--"
"Aku minta maaf karena tidak bisa ada di sisi mu."
Ribuan kupu-kupu berterbangan membentur dinding perut, menghasilkan sensasi geli yang membuat sudut-sudut bibirku terangkat. "Senpai, kalau kau terus berkata manis seperti itu, aku bisa jatuh cinta padamu lho."
"Kalau begitu, aku akan terus bersikap manis."
tebece
Halo para readers
Aku harap kalian baik-baik saja.
Jangan lupa jaga kesehatan, dan prokes ya.
Semoga pandemi ini cepat berakhir, amin...
Tbh, aku ngerasa book ini makin aneh. Tapi, karena aku punya prinsip untuk menyelesaikan apa yang sudah aku lakukan. Jadi aku tetap berusaha melanjutkannya.
Fighting!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro