28
Sejuk. Rasanya begitu menenangkan berada di tempat ini. Dengan suasana remang dan sebuah bangku taman yang hanya di tempati oleh ku.
Sebut saja ini tempat penantian. Menunggu nasib ku selanjutnya. Entah kembali ketubuh asli, menjalani kehidupan baru, atau dikirim ke surga. Pasrah, tapi aku tetap berharap yang terbaik.
Seingatku, setelah mengakhiri sambungan telepon dengan Shin, aku memutuskan untuk menyantap sarapan di salah satu cafe yang aku lewati. Kala itu, aku sangat lapar dan sakit hati.
Setelah menyantap sepotong pancake, aku merasa seperti ada yang menarik ku kedalam sebuah kegelapan. Awalnya aku panik. Tapi kemudian aku teringat sebuah janji.
Keinginan untuk berjumpa dengan Rin sudah terpenuhi. Lantas, ini saatnya untuk menyerahkan tubuh kepada pemilik aslinya.
Dan akhirnya aku berakhir di sini. Menunggu dengan perasaan gusar.
Pertemuan terakhir dengan Rin, menjadi pukulan besar. Masih ada benang kusut yang perlu di luruskan antara kami berdua. Tapi takdir selalu berlainan dari kehendak ku.
Kalau dipikir-pikir, ini bukan salah takdir. Tapi memang janjiku yang begitu. Sudahlah, menyalahkan takdir tak mendapat apa-apa. Yang bisa kulakukan hanya menerima segalanya.
Karena bagaimana pun, dunia ini sebuah panggung pertunjukan. Aku hanya salah satu aktor yang tak punya wewenang menentang arahan sutradara.
"Sedang menunggu?"
Sontak aku menoleh kearah sumber suara. Mataku membulat sempurna. Kenapa dia bisa ada disni.
"Boleh aku duduk di sampingmu?" Ia terus berjalan mendekat. Gaun putih yang di kenakannya memberikan kesan anggun dan manis. Ditambah dengan senyum itu. "Boleh?" tanyanya lagi.
Masih setengah bingung, aku hanya mengangguk kecil.
Aku tidak menyangka akan ada momen dimana kami saling berbagi bangku seperti itu. Mungkin ini kado perpisahan yang Tuhan siapkan untuk ku. Tidak terlalu buruk.
"Sudah lama aku ingin berbicara denganmu." Tutur katanya terdengar lembut. Membuat pendengarnya merasa seperti tenang. "Awalnya kita bertemu di situasi yang buruk. Terakhir kali bertemu pun begitu singkat."
Tanpa sadar aku tersenyum. Lucu juga kalau di ingat-ingat. Dulu dia menakut-nakuti untuk merebut kembali tubuhnya. Dan aku membencinya karena dia ingin mengambil haknya. Bagaimana pun, dulu kami hanya remaja yang naif. Menyampingkan segala sesuatu demi mementingkan ego.
"Kali ini bagaimana rasanya hidup di tubuhku?"
Kami bertukar tatap. Sorot matanya terasa lembut. Membuatku semakin nyaman berada di dekatnya.
"Lumayan, mungkin," jawab ku.
Kekehan kecil mengudara. "Lumayan baik? Atau buruk?"
"Lumayan baik." Mengingat bagaimana hangatnya mereka menyambutku. "Lumayan buruk juga." Tentang bagaimana Rin bersikap padaku.
"Suna?"
Aku yakin, dari diam ku ini, ia bisa menemukan jawaban.
"Maaf," desisnya pelan.
"Kau tak perlu minta maaf. Ini bukan salahmu, aku, atau pun Rin. Memang takdir saja yang membingungankan. Aduh, takdir ada-ada saja ya hahaha..." Menyembunyikan luka dibalik tawa rasanya sangat perih.
Ada jeda cukup panjang sebelum ia membuka topik selanjutnya. Tak ada niatan untuk ku memimpin pembicaraan. Suasana damai ini, membuatku memilih untuk terhanyut dibawa arus.
"Kau sudah membaca surat dariku?"
"Yang di selipkan di dalam buku harian?"
"Iya."
Aku mengangguk kecil.
"Syukurlah." Ia terdengar bahagia ketika mengatakannya. "Aku memang sudah menuliskannya di surat. Tapi, aku ingin mengatakannya secara langsung padamu. Terimakasih untuk segalanya, berkat kau, hidup ku jadi indah."
Kami kembali bertukar tatap. Pantulan diriku tergambar jelas pada sepasang manik yang terlihat berkaca. Senyum belum juga Lekang, walau beberapa detik telah berlalu semenjak ia mengucapkan terimakasih.
"Kau tidak perlu berterimakasih. Justru aku yang harusnya berterimakasih. Juga, maaf karena telah egois."
"Waktu itu aku juga egois. Jadi tidak perlu meminta maaf."
"Impas?"
Ia mengangguk sambil terkekeh.
"Kalau saja, aku dan kau hidup di dunia yang sama. Mungkin kita bisa menjadi teman baik," ucap ku. "Ku pikir kita cocok."
"Kalau begitu, mari berdoa. Semoga di kehidpan selanjutnya, kita bisa menjadi sahabat."
"Pasti."
Setelahnya, percakapan kami mengalir begitu saja. Dengan teman yang mana pun, aku tak pernah merasa seperti ini. Ini jadi perdana untuk ku merasakan hal ini.
Sefrekuensi? Mungkin lebih dari kata itu.
Melihat respon dan gesturnya. Ia pun terlihat nyaman berbincang denganku. Syukurlah.
Mulai dari membicarakan dunia masing-masing. Bercerita tentang keluarga kami. Mencaci Nakamura cs. Sampai bergosip tentang anak-anak klub voli Inarizaki. Hingga, membicarakan sesuatu yang mengejutkan.
"Aku menyukai Suna."
"Hah?!"
Ia kembali terkekeh. "Apa semengejutkan itu?"
"Tentu saja. Aku dengar, diantara yang lain, Rin yang paling dingin memperlakukan mu."
"Entahlah. Cinta memang seaneh itu." Ada getir dalam suaranya yang begitu lirih. "Sebenarnya, aku sudah menyukai Suna sebelum kau datang ke dunia ini."
"Hanya saja, aku tidak berani bertindak sepertimu. Aku terlalu pengecut," lajutnya. "Maka dari itu, kehadiranmu benar-benar membawa anugerah untuk ku. Walau dia bisa membedakan antara diriku dan kau. Tapi aku jadi punya jalan untuk berbicara dengan dia. Terimakasih."
Selain terkaget. Aku tidak tahu harus berekspresi seperti apa lagi. Mengiba? Bukankah diriku saja sudah menyedihkan. Menghibur? Aku tidak yakin bisa melakukannya.
"Tolong jaga Suna untuk ku." Ia lalu beranjak berdiri. Kemudian mulai berjalan memunggungi ku. Menuju ke tempat dimana tak ada cahaya sama sekali.
Aku ingin menggapai tangannya, memintanya untuk menemaniku lebih lama. Tapi, tubuhku seakan terbelunggu. Yang bisa kulakukan hanya menatapi punggung yang kian ditelan kegelapan itu. Hingga akhirnya benar-benar menghilang.
Awan kelabu menyelimuti hati. Sukma menjerit atas perpisahan ini.
Selamat tinggal [Name].
*
Satu hal yang ku keluhkan saat membuka mata, silau.
Ada setitik air mata menganak di ujung. Getir masih merundung saat aku kembali keduniaku.
"Sayang, kau sudah bangun?!"
Pandanganku tertuju pada suara pria paruh baya yang berteriak panik. Kenapa dia bisa ada disini. "Ka-kau kenapa bisa ada disini?"
Tangannya yang hendak menekan tombol nurse call terhenti. Wajahnya menegang. "Apa maksudmu, aku ini ayahmu."
"Kau bukan ayahku, kau ayahnya [Name]."
"Iya, kau itu [Name]. jadi aku ayahmu."
"Tidak, aku bukan [Name]..." suaraku bergetar. Bagaimana bisa aku masih berada di dunia ini. Kemana [Name] yang sebenarnya.
Ditengah kebingungan dan kesedihan. Sakit kepala yang amat luar biasa menyerang ku tiba-tiba. Rasanya seperti kepalaku akan meledak.
Sama seperti ketika aku pertama datang ke dunia ini. Bersamaan dengan rasa sakit yang semakin menggila. Memori tentang kehidupan [Name] setelah kecelakaan tempo itu mulai mengalir deras. Momen sedih dan menyakitkan terasa begitu nyata. Seolah aku yang mengalaminya.
Sial, ini lebih sakit daripada waktu itu. Tubuhku menggelinjang tak karuan sambil mengerang hebat. Bahkan, aku sampai terjatuh dari ranjang.
Ayah [Name] panik. Suaranya bergetar mencoba menenangkanku. Sesekali berteriak memanggil suster dan dokter dengan lantang.
Selang beberapa menit, rasa sakit mulai mereda. Kemudian, bersamaan dengan datangnya dokter rasa sakit pun menghilang. Dan semua kenangan [Name] berhasil kudapatkan.
"A-ayah apa yang terjadi. Kenapa aku bisa ada dirumah sakit?" canggung rasanya saat memanggil beliau dengan sebutan ayah.
"Salah seorang yang membawamu kesini bilang, kau tiba-tiba menabrakan dirimu kesebuah mobil yang tengah melaju."
"Tapi aku tidak ingat pernah--"
Ah, itu bukan diriku. Pasti [Name] yang melakukannya. Jadi, yang berpisah dengan dunia ini bukanlah diriku. Melainkan dia.
Harusnya aku bersyukur. Tapi aku tidak bisa. Rasanya benar-benar menyesakkan. Sebenarnya apa yang dia pikirkan.
"Sayang kau kenapa? ada yang sakit?" tanya ayah [Name].
Tangis ku pecah. Terdengar memilukan sekaligus memalukan. Seperti anak kecil yang baru saja kehilangan permennya. Ayah menarik ku kedalam pelukannya. Tangannya mengelus punggungku. Beliau juga terisak di bahuku.
Kenapa semuanya jadi begini.
*
"Maksudmu, [Name] yang asli sudah pergi?"
Aku memberikan anggukan sebagai jawaban atas pertanyaan yang di lontarkan Osamu.
Untuk beberapa saat, bungsu Miya tertegun. Sebelum akhirnya menunduk sambil melapalkan doa. "Semoga dia tenang."
"Aku merasa bersalah. Rasanya tidak adil untuk [Name]."
Osamu mengambil sepotong apel yang sudah dikupas, kemudian memasukannya kedalam mulutku yang sedikit terbuka. "Ini bukan salahmu."
Dengan malas aku mengunyah apel itu. Hatiku begitu gamang.
"Ku rasa, keputusan [Name] untuk menyerahkan tubuhnya padamu adalah keputusan tepat. Karena, semakin lama ia berada di tubuh ini, aku yakin dia justru akan merasa semakin sakit hati."
"Karena kalian memperlakukan [Name] dengan buruk?" terka ku masih sambil mengunyah.
"Salah satunya. Tapi ada hal yang lebih besar dari itu."
"Apa?" apel di mulutku sudah terlumat habis.
"Nanti juga kau tahu." Lagi, Osamu menjejalkan apel. "Lagi pula, sejak kau menghuni tubuhnya, menurutku, kehidupannya sudah menjadi milikmu. Kau yang berjuang, bukan dia. Secara tidak langsung, dia yang menjadi asing untuk kehidupan dan orang-orang sekitarnya."
"Dia tidak mampu mengatasi itu, makanya dia memohon pada Tuhan--"
"Lantas, memang kau juga awalnya berpikir mampu berada di titik ini. Berkali-kali aku mencaci mu. Di perlakukan buruk oleh Nakamura dan teman-temannya. Sendirian di dunia yang terasa asing ini. Memangnya itu tidak berat."
Aku berhenti memamah. Apel yang belum terkunyah sepenuhnya masih berada di dalam rongga mulut. Fokus ku tercurah untuk Osamu dan perkataannya.
"Hidupmu juga berat, tapi kau mampu mengatasinya. Tidak menyerahkaan masalah kepada orang lain. Kau yang pantas mendapatkan segalanya." Tatapan matanya begitu dalam. Seakan aku bisa tenggelam dalam sepasang manik miliknya. "Mungkin ini memang terdengar tidak adil untuk [Name], juga aku terdengar egois atau kejam. Tapi aku tak masalah. Menurutku, kau lebih pantas berada di tubuh ini."
Air mata mulai berderai. Ugh, belakangan ini aku jadi sangat cengeng. Menyebalkan. "Tapi, dia juga berhak bahagia--"
"Telan dulu apelnya," potong Osamu. Aku menurut. "Lanjutkan."
Kepalan tangan, meninju bahu Osamu dengan pelan. "Kau merusak suasana!"
Alih-alih membalas. Osamu malah terkekeh kecil. Tangannya bergerak mengelus rambutku. Pelan dan lembut. Membuatku tersipu dan berakhir dengan diriku menyingkirkan tangannya secara kasar.
"Osamu, [Name] juga berhak bahagia bukan?"
"Ya, semua manusia, kau juga," ucapnya begitu lembut. "Kebahagian itu ada banyak cara. Tidak hanya satu. Mungkin Tuhan memberikan dia kebahagiaan dengan cara lain."
"Semoga, kuharap [Name] bahagia."
"Sekarang ini tubuhmu dan nama itu milikmu sepenuhnya."
Brak...
Suasana gloomy hancur seketika. Si pirang yang tengah membawa parcel langsung menghambur menuju ranjang.
Parcel dilempar asal kepada Osamu. Betuntung refleknya bagus. Sementara kedua tangannya mencengkram bahuku erat. Tatapan nya terasa begitu mengintimidasi.
"Kau siapa? [Name]-chan atau [Name] yang asli?!"
Rasanya tadi benar-benar pilu, sampai dunia ini ikut terasa abu-abu. Tapi kenapa rasa kesal langsung melonjak saat melihatnya. Apa ini bipolar.
Aku berpikir terlalu jauh. Mana ada bipolar. Jelas-jelas Atsumu saja yang kelewat menyebalkan.
Tak kunjung mendapat jawaban, ia jadi kesal. Dengan kencang, ia mengguncang kan tubuh ini. Osamu tak tinggal diam, ia berusaha mengingatkan kembarannya untuk berhenti. Tapi tidak digubris.
Jengkel, aku pun menggigit tangan kanannya. Atsumu berteriak kesakitan. Sambil mengelus bekas gigitan, ia menatapku dengan tatapan berkaca-kaca. Apa sesakit itu.
"Kau [Name]-chan. Tidak diragukan lagi." Ia tersenyum kecil. "Kau tahu, aku sangat takut. Aku takut kejadian waktu itu terulang kembali. Tapi syukurlah ini masih kau."
"Atsumu, mulai sekarang [Name] hanya satu," ucap Osamu.
"Maksudmu?"
Osamu mengangguk singkat. Dan sepertinya Atsumu mengerti hal itu. Ikatan batin saudara kembar memang patut di acungi jempol.
Sejenak Atsumu terdiam. "Kau baik-baik saja?" tanyanya.
"Entahlah, rasanya ada yang mengganjal di hatiku," jawabku.
Atsumu menupuk bahuku berulang-ulang. "Tidak apa-apa, lambat laun perasaan itu akan pudar. Tidak apa-apa, semua akan baik-baik saja."
Memiliki orang-orang tulus disamping kita saat masa krusial memang anugerah terindah. Meski dunia terasa berat, itu tak menjadi masalah besar.
Teman-teman di dunia ini memang anugerah. Tapi, diantara semua orang yang kutemua di dunia ini. [Name], kaulah anugerah terindah.
Oleh karenanya, dimanapun kau berada saat ini. Aku harap kau juga dikelilingi oleh orang-orang yang tulus menyayangimu.
Sekali lagi, selamat tinggal dan terimakasih anugerah terindahku.
tebece
Sorry untuk keterlambatannya 😔
Untuk para pembaca jangan lupa menjaga prokes ya.
Jaga kesehatan selalu Dan semoga pandemi cepat berlalu.
Menurut kalian chapter kali ini bagaimana?
Aku menanti pendapat kalian ^^
See u
28 Juni 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro