Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

27


Masih segar dalam ingatan Suna Rintarou tetang hari itu. Menjadi perdana baginya merasakan gelenyar aneh di dadanya. Penyebabnya tidak bisa di duga. Siapa sangka, sosok [Name] yang terlihat sok kuat menentang ratu perundung, membuat Middle blocker itu merasakannya.

Selama ini, [Name] terdeskripsi sebagai gadis angin dalam benaknya. Hanya salah seorang yang lewat dalam hidupnya. Tapi siapa sangka, momen itu mengubah segalanya.

Keberadaan [Name] telah menjelma menjadi segalanya bagi Rintarou. Seolah seluruh dunia Rintarou berotasi memutari jelita. Kehilangan [Name] bagai bencana untuknya.

Naas, pernah sekali ia merasakan bencana tersebut. Waktu itu, dunianya terasa runtuh. Hampir saja ia berjabat tangan dengan depresi, memilih menggantung leher pada seutas tali. Beruntunglah, ia masih memiliki teman-teman dan pengalihan dari rasa frustasinya. Dan voli menjadi penyelamatnya.

Fokus pada voli, Perlahan Rintarou mencoba menghapus kenangan tentang [Name]. Walau terkadang, sosok itu masih suka curi-curi untuk hadir dalam benaknya.

Rasanya, [Name] terlalu sayang untuk dilupakan tapi terlalu menyakitkan untuk di ingat.

Tetap saja Ia berusaha melupakannya. Sekian tahun berlalu pun ia masih belum mencapai titik keberhasilan. Namun ia masih terus berusaha.

Dan ditengah perjuangannya, ia mendengar kabar tentang kembalinya [Name]. Taman bunga yang layu dihatinya jadi subur seketika. Ada debaran tak tertahankan untuk berjumpa kembali.

Namun, euforia itu akhirnya terpatahkan oleh logika. Bagaimana kalau [Name] pergi lagi seperti kala itu? Apa Rintarou akan kembali jatuh kedalam depresi tak berujung?

[Name], jiwanya bukan berasal dari dunia ini. Belajar dari kejadian waktu itu, Rintarou meyakini, kecil kemungkinan keberadaan [Name] akan menjadi permanen.

Lantas bagaimana? Berat hati ia putuskan untuk tidak terlibat lagi dengan wanita itu.

Rintarou muak dengan kehilangan. Ia juga lelah dengan melupakan. Ia hanya ingin hidup damai. Dirinya dan voli. Tanpa ada [Name] dan rasa kekhawatiran berlebih.

Itu yang terbaik. Untuk dirinya, maupun untuk [Name].

Malam itu, Semesta seolah tak merestui niat baiknya. Tiba-tiba, bel apartemen berbunyi. Dari intercom ia tahu kalau itu [Name]. Niat awal ia tidak ingin membuka pintu tersebut. Tapi, karena perempuan itu terus memencet bel berulang kali, akhirnya ia membuka pintu tersebut.

Selang beberapa detik sebelum membuka pintu. Rintarou melantukan doa. Mempersiapkan hati dan mental. Berharap pertahanan yang dibangunnya tidak akan goyah begitu saja.

Hanya dari sorot mata dan senyum, Rintarou bisa tahu kalau yang berdiri didepannya bukan sang pujaan hati. Tapi pemiliki orisinil tubuh tersebut. Haruskan Rintarou bersyukur.

Ketika ia hendak membuka mulut, tiba-tiba saja tubuh itu terhuyung kedepannya. [Name] tak sadarkan diri. Tanpa pikir panjang, Rintarou membawanya kedalam. Membiarkannya tertidur sampai pagi menyapa.

Niat baik Rintarou berubah menjadi bumerang. Tanpa persiapan, ia bersitatap dengan sorot mata yang amat ia rindukan. Senyum yang telah lama tak ia jumpai. Tuhan kembali mempertemukan mereka.

Ada keinginan kuat untuk merengkuh jelita kedalam pelukannya. Mendekapnya erat, memastikan bahwa ia tak akan pergi lagi. Tapi, Logika Rintarou mengalahkan hasratnya. Ia tetap berpegang teguh pada pendiriannya. Bersikap dingin ia jadikan sebagai perisai.

Tat kala mereka beradu argumen, saat derai air mata mulai membasahi pipi [Name]. Dada pemain Ejp Raijin berdenyut nyeri.

Seperginya [Name] tidak menandakan badai berlalu. Rintarou memasuki prahara berikutnya. Perang batin dengan dirinya sendiri. Rintarou terombang-ambing. Pendiriannya mulai goyah. Keinginan untuk berada di samping [Name] kian menggebu.

"Bodoh..." berulang kali ia mengatakan hal tersebut sembari duduk diatas lantai. Tiap detik jarum berbunyi, gelisah kian bertambah.

Hingga sang mentari menduduki singgasananya, Rintarou masih tenggelam dalam gundah. Terombang-ambing antara logika dan cinta. Mungkin, sampai gelap meraja, ia akan terus seperti itu.

Cinta memang sebegini rumitnya. Kalau saja bisa memilih, Rintarou tidak ingin menaruh hati pada perempuan itu. Atau, ia tidak ingin jatuh cinta sama sekali.

Dering ponsel yang nyaring terdengar samar di telinganya. Rintarou sedang berada didunianya sendiri.

Kali pertama memang terasa bagai hembusan angin tak berarti. Tapi setelah berkali-kali berdering, Rintarou tak punya pilihan untuk tidak mengangkatnya.

"Halo?" dingin dan ketus.

"Suna, kau sedang apa?" suara Osamu menyapa dari seberang.

"Kau ada perlu apa? Kalau tidak penting aku—"

"[Name] baru saja mengalami kecelakaan."

*

Orang bilang, saudara kembar itu berbagi pikiran dan perasaan yang sama. Kali ini, Miya bersaudara setuju. Karena saat ini, merasa tengah membagi sedih yang sama.

Osamu sampai harus rela meninggalkan kedainya disaat sedang ramai pembeli. Beruntung ia memiliki pegawai yang bisa diandalkan. Atsumu sendiri terpaksa harus undur diri dari acara team bonding.

Keduanya berakhir terduduk lesu di diatas kursi ruang tunggu. Berdoa untuk keselamatan [Name] yang tengah bertaruh nyawa di dalam ruang operasi.

"Samu..." suara Atsumu terdengar lemah.

"Hmm?"

"Hal seperti ini pernah terjadi juga kan?"

"Hmm..."

"Waktu itu, aku bersamanya. Andai saja waktu itu aku tak berdebat dengan kasir tentang diskon, pasti aku bisa mencegah hal itu." Atsumu menunduk dalam tanda penuh penyesalan.

Hanya Osamu yang tahu bagaimana penderitaan saudaranya selepas kejadian itu. Atsumu menyalahkan dirinya. Bersembunyi di balik senyum dan sikap menyebalkannya. Atsumu menumpuk beban dan rasa bersalahnya.

Osamu bergerak menepuk punggung Atsumu. "Tidak ada yang menyalahkanmu," ucapnya, pelan.

"Tapi aku tetap merasa bersalah."

"Terserah kau saja."

Atsumu menggeram pelan. Mengacak rambut pirangnya yang memang sudah urakan akibat diterpa angin. "Harusnya kau bisa lebih menghiburku."

"Malas."

"Dasar menyebalkan!"

"Dari pada memikirkan masa lalu, bukankah lebih baik kita memikirkan masa sekarang." Perkataan Osamu membuat amarah Atsumu mereda. "Kau tahu, aku takut. Sama seperti waktu itu. Apakah saat siuman nanti, [Name] masih menjadi [Name] yang menyebalkan."

"Sialan, aku juga jadi takut."

Bayangan tentang kejadian yang melibatkan [Name] di masa lalu, terlukis jelas di benaknya. Osamu membenci [Name]. Awalnya. Tapi berkat kegigihan jelita, hatinya perlahan mulai luluh. Osamu pikir tidak ada salahnya tuk membuka diri. Toh memiliki seorang teman perempuan bukan hal buruk.

Dan Osamu tidak menyesali pilihannya. Selain ikut klub voli, berteman dengan [Full Name] masuk dalam momen berharga yang ia dapatkan ketika duduk di bangku SMA.

"Hey Osamu."

"Hmm?"

"[Name]-chan pernah berpesan. Kalau suatu saat dia menghilang dan [Name] yang asli kembali mengambil tubuh itu. Dia bilang kita harus bisa berteman dengan [Name] yang asli, selayaknya kita berteman dengan [Name]-chan." Ada pilu mengintip dari nada bicaranya.

"Aku tidak bisa."

"Kenapa?"

"Kau tahu, yang berjuang mendekatiku itu [Name] palsu. Bukan [Name] yang asli. Dan aku menghargai perjuangan itu," jelasnya. "Bukankah, yang harusnya memperbaiki sifat itu kau ya. Kau ini suka sekali menyindir [Name] yang asli."

"Ah, kau benar juga. Tapi rasanya mulutku gatal untuk melakukan itu," ujarnya. "Bukannya aku membenci [Name] yang asli. Hanya saja menyebalkan saat dia menirukan sifat [Name]-chan. Seolah dia berperan menjadi pengganti saja. Aku tidak suka. [Name]-chan, tidak bisa digantikan siapapun."

Osamu menghela nafas. "Sulit untuk diakui, aku juga sependapat. Bagiku, walau mereka berdua berada ditubuh yang sama, tapi mereka tetap berbeda."

Si pirang tak menjawab. Ia menyandarkan tubuh pada sendaran kursi. "Samu, Aku tidak ingin [Name]-chan pergi lagi."

"Sama. Tapi kalau takdir berkata lain bagaimana."

"Entahlah."

*

Kita Shinsuke, pria yang berintegritas tinggi dalam pekerjaan. Jika tidak ada hal teramat penting, ia tak akan sudi menelentarkan ladang dan tanamannya. Dan kondisi kali ini masuk dalam situasi penting, juga gawat.

Beberapa jam setelah ia bercengkerama dengan [Name] melalui gawai. Ia mendapatkan kabar buruk dari Osamu.

Shinsuke pria yang peka, hanya dengan mendengar suara [Name], ia tahu seberapa putus asanya perempuan itu.

Harusnya, Ia tidak mengakhiri percakapan. Sebaiknya, ia memperiotaskan [Name] lebih dari pada pekerjaan. Bagaimanapun, jelita itu sangat membutuhkan orang disampingnya. Shinsuke sudah dipersilahkan untuk menempati tempat itu. Tapi, dia memilih acuh.

Sama seperti masa lalu. Shinsuke tidak bisa melindungi jelita. Dia gagal, kali ini pun sama.

"Shin-chan, kau mau kemana buru-buru begitu?" Nenek beraut heran bercampur khawatir. Shinsuke selalu setenang air. Saat ia tergesa, nenek yakin ada hal buruk yang sudah terjadi.

"Aku harus ke Tokyo."

"Sekarang?"

Shinsuke mengangguk sembari mengemasi barang dengan asal. "Aku mungkin akan menginap juga."

"Kenapa?"

Tangannya berhenti bergerak. Memang ada baiknya agar nenek mengatahui hal ini. Bagaimanapun, nenek sudah menganggap [Name] seperti cucunya sendiri. "[Name], kecelakaan."

Rasanya, jantung nenek seperti di remat secara perlahan. Tiap detik terasa makin menyesakan juga sakit. Kakinya lemas seketika. Kalau saja, Shinsuke tidak sigap, ia sudah terjatuh keatas lantai.

"Nenek baik-baik saja?" Shinsuke memapah nenek, kemudian mendudukanya diatas kursi.

Beliau tak menjawab. Napasnya terengah. Tangannya bergerak mengelus dada kiri. Beliau masih syok. Melihat kondisi tersebut, Shinsuke bergegas mengambil segelas air. Sedikit kebingungan, namun akhirnya beliau menenggak air tersebut.

"Shin-chan, bagaimana kondisi [Name]-chan?" kekhawatiran terdengar jelas. Matanya mulai berkaca-kaca.

"Agak mengkhawatirkan. Tapi tidak separah waktu itu." Shin terpaksa berbohong.

"Nenek ikut ya."

Shinsuke menggeleng pelan. Tangannya bergerak mengelus tangan neneknya. "Nenek diam dirumah saja. Nanti, kalau [Name] sudah lebih baik, baru kita akan menjenguknya. Sekarang nenek berdoa saja untuk kesembuhannya."

Untuk beberapa saat, nenek terdiam. Mencoba menerka alasan Shinsuke melarangnya. Cucunya memang selalu memikirkan yang terbaik untuk dirinya. Pastinya, larangan kali ini pun demi kebaikannya.

Nenek menghela napas. Tangannya bergerak menangkup wajah cucunya. Tak sadar, waktu sudah berlalu selama ini. Cucunya yang manis telah menjelma menjadi pria tampan dengan sikap luhur.

"Shin-chan mau ke Tokyo bukan?"

"Iya nek."

"Nenek tidak akan ikut. Tapi, tenangkan dirimu dulu. Nenek takut terjadi sesuatu saat kau mengemudi dengan kondisi seperti ini."

Shinsuke memahami orang-orang disekitarnya. Tapi, yang paling memahami dirinya, hanyalah nenek seorang.

"Tenangkan dirimu," ucap nenek dengan nada pelan.

Untuk beberapa saat, nenek dan cucu tersebut beradu pandang. Sampai akhirnya sang cucu yang memutuskan kontak mata lebih dulu. Ia tak sanggup memandang iris neneknya. Benteng yang ia bangun runtuh seketika.

Bulir air, mulai jatuh membasahi pipinya. Dadanya terasa sesak. Ada amarah dan kesedihan yang ingin dilampiaskan. Tapi ia tidak tahu harus bagaimana.

Dengan perlahan, nenek menarik Shinsuke kedalam pelukannya. Mengelus pelan punggung lebar tersebut. Shinsuke adalah definisi pria yang tegar. Tapi bukan berarti ia tidak bisa tumbang.

Dulu, saat kelas dua SMA, selepas kecelakaan [Name], Shinsuke pernah tumbang. Hanya nenek yang mengetahui itu. Namun berkat kasih sayang nenek, si tangguh akhirnya bangkit kembali.

Dan dari kejadian masa lalu juga kali ini, nenek menyimpulkan kalau cucunya memang menaruh hati pada [Full name].

Tebece







Hai apa kabar?

Maaf kalau cara menulis ku jadi kaku dan berantakan,
Soalnya aku udah lama nggak nulis ehehehe

19 Juni 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro