Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

23

"Kau tidak akan pergi lagi kan?"

Ketakutan tercermin kuat dari jendela dunianya. Sayangnya, aku tidak bisa mengusir ketakutan tersebut. Semuanya masih menjadi misteri. Bedusta untuk meyakinkannya bukanlah hal baik.

"Entahlah," jawabku. "Tapi selagi aku masih berada disini, aku ingin menjalani hidup sebaik mungkin."

Ia tak lagi berkata. Namun arah pandangnya masih tertuju padaku. Keindahan sepasang manik keemasan membuatku tak sadar kalau Shinsuke telah berhasil mengikis jarak diantara kami. Tanpa permisi, ia menyandarkan kepala dibahuku.

"Senpai?"

"Sebentar saja, aku mohon."

Pada akhirnya, kami menghabiskan malam dalam diam dengan posisi seperti ini. Aku yang akhirnya dikalahkan kantuk dan memilih berkelana ke alam mimpi. Dan Shinsuke yang masih bersandar dibahuku sambil menghembuskan napas yang terasa berat.

Paginya, aku terbangun diatas futon. Mungkin Shinsuke yang memindahkanku.

Karena dia adalah Kita Shunsuke si tuan sempurna, aku tidak memiliki prasangka buruk. Dia tidak mungkin melakukan hal yang tidak-tidak.

Pagi ini sarapan terasa begitu hangat. Senyum nenek masih secerah dulu, walau masanya makin menuju senja. Aku senang diberi kesempatan untuk bersua dengannya lagi. Melihat sosoknya, sedikit meringankan kerinduanku pada ibu.

"[Name]-chan, bukankah masakannya sangat enak?" Senyum nenek terlihat indah. Melihatnya membuat hatiku berbunga.

"Um, ini enak sekali."

"Ini semua Shin-chan yang masak lho."

Sontak aku melirik kearah Shin yang tengah menyuapkan nasi kemulutnya. Ia hanya mengangkat sebelah alisnya. "Senpai, kau akan jadi suami yamg hebat."

"Benar sekali." Nenek mengangguk. Sepertinya ia paham pesona yang dimiliki sang cucu.

Walau sedang disanjung, Shinsuke masih beraut datar. Mungkin dia tidak terlalu memperdulikannya. Ia lalu manaruh sayuran keatas nasi ku. Kenapa orang-orang suka sekali menaruh sayuran kedalam mangkukku. Padahal aku dan sayuran itu seperti Hashirama dan Madara, bermusuhan.

"Cepat habiskan makananmu, bukankah kau harus segera pulang," ucapnya, begitu tenang.

"Eh, [name]-chan sudah mau pulang?" ada sendu mengintip di balik wajah nenek.

Aku mengangguk kecil. Sebenarnya ada keinginan untuk menetap disini sedikit lebih lama. Tapi ada pekerjaan yang menantiku.

"Sering-seringlah berkunjung kesini. Shin-chan pasti sangat senang."

"Nenek," tegur Shin dengan nada sesopan mungkin. Shin memang selalu menghormati neneknya. Aku salut padamu, Shin.

Beberapa saat aku bertukar pandang dengan Shinsuke sebelum akhirnya kembali menatap nenek. "Akan ku usahakan."

Senyum nenek kembali tercipta. Kedua tangan keriput itu menggenggam tanganku. Seketika perasaan hangat menjalar sampai ke hati.

"Nenek sudah semakin tua, dan sepertinya waktu nenek tidak banyak lagi," ucapnya pelan.

"Jangan bicara begitu nek." Tanganku balas menggenggam kedua tangannya. Perpisahan itu memang hal wajar. Tapi aku tidak ingin hal tersebut terjadi begitu cepat.

Beliau hanya tersenyum. "Kalau sudah wakutnya, jaga Shin-chan untuk nenek ya."

"Nenek..."

"[Name]-chan tidak mau?"

"Bukan begitu, tapi—"

"Nenek mohon."

Secara bergantian, aku menatap Shin dan nenek. Perasaanku saja, atau memang wajah Shin agak memerah. Apa dia terkena demam. Sedangkan nenek terlihat sangat bersungguh-sungguh. Bukannya tidak ingin memenuhi keinginannya. Hanya saja, aku tidak ingin beliau berkata begitu. Seolah memang ajal sudah menyapa saja.

"Bagaimana?"

Aku menghela napas dalam. "Baik nek, aku akan menjaga Shin-senpai dengan sebaik mungkin."

*

Bising, sangat bising. Tapi aku bersyukur dengan keadaan ini. Setidaknya hal ini bisa sedikit membunuh canggung yang tiba-tiba saja hadir antara aku dan Shin.

Sejak selesai sarapan Shin jadi sangat pendiam. Lebih pendiam dari biasanya. Bahkan, saat aku mengajaknya berbicara pun, dia hanya membalas sesingkat mungkin.

Mendengar jawaban singkat itu membuatku merasa lelah untuk membuka obrolan. Dan akhirnya kami saling mengatupkan mulut.

Aku bertanya-tanya, apa mungkin aku telah melakukan kesalahan. Ah mungkin semalam aku mendengkur dengan keras dan membuatnya tidak bisa tidur.

Tapi kan awal mulanya dia bersikap begitu saat sarapan selesai. Apa mungkin dia marah karena aku makan begitu banyak. Ah kenapa aku malah makin ngawur.

"Senpai, kurasa kau tidak usah menunggu sampai keretaku datang. Senpai kan banyak pekerjaan."

"Tidak masalah."

Tuh kan, kenapa dia jadi begini. Ah aku tidak tahan lagi. "Senpai, kau marah padaku?"

Dan akhirnya ia menoleh padaku. "Tidak."

"Lalu kenapa sikap mu jadi begitu padaku."

"Begitu bagaimana?"

"Ya begitu. Sedikit berbeda. Agak cuek begitu."

Ia terdiam sejenak, sebelum mengalihkan pandangan kearah orang yang berlalu lalang distasiun. "[Name], kau tahu maksud perkataan nenek?"

"Tentu saja tahu. Nenek ingin aku menjaga senpai."

"Dia ingin kau menjadi istriku."

"Eh?"

*

"Zombie jangan makan aku!"

Aku mengusap dahi. Gila, peluh membanjiri tubuhku. Mimpi buruk tadi memang luar biasa mengerikan. Ralat, mimpi buruk yang aneh.

Di mimpiku, seperti biasa, Shin memasok beras untuk toko Osamu. Tapi beras kali ini berbeda dari yang biasanya. Berasnya berwarna hijau. Shin bilang itu beras varian baru. Beras rasa melon.

Lalu Osamu  menjual Onigiri dengan bahan dari beras tersebut. Dan orang yang memakannya berubah menjadi zombie.

Aku dan Atsumu yang hendak mampir ke toko Osamu pun dikejar-kejar zombie. Lalu kami bersembunyi di dinding Maria. Sayangnya dinding Maria sudah diinvasi oleh zombie. Dan aku pun terbangun.

Absurd sekali mimpiku ini. Tapi seru juga kalau aku ceritakan pada yang lain.

Ah, jam berapa sekarang. Aku tidak boleh terlambat bekerja.

Lantas aku meraih ponsel diatas nakas hanya untuk melihat jam –apa ini. Kenapa bisa seperti ini.

Ini hari sabtu? Bukankah aku tidur di hari kamis. Kenapa sudah sabtu saja. Apa aku tidur selama itu. Tapi aku tidak merasa seperti orang tidur dalam waktu yang lama.

Apa ini fenomena missing days.

Melihat kalender di ponsel. Tidak ada hari yang hilang. Lantas, apa aku benar-benar tidur selama itu. Ah, kenapa aku sebegitu sukanya dengan tidur. Padahal harus ada pekerjaan yang aku selesaikan.

Tapi kenapa kamar ini jadi sangat berantakan. Seingatku, aku sudah merapihkannya sebelum tidur. Apa aku berjalan sambil tidur.

Ini sangat aneh, jelas ada sesuatu.

Ting... tong...

Bunyi bel sukses membuatku terjungka dari tempat tidur. Parahnya, kepalaku harus membentur lantai. Sakit sekali, aku yakin pasti benjol.

Bel kembali di tekan dengan tidak sabaran. Orang tak beretika mana yang bertamu sepagi ini dengan cara seperti itu.

Tunggu... apa mungkin itu penagih hutang. Kalau begitu, aku tidak boleh membukanya. Biar saja dia berasumsi kalau aku tidak ada.

Ting tong ting tong...

Abaikan oke, lebih baik aku memikirkan fenomena missimg days yang menimpa—

Ting tong ting tong...

Jangan pedulikan.

Ting tong

Aku menyerah, suaranya sangat mengganggu. Dengan langkah lebar, aku berjalan ke arah pintu. Untuk memastikan, aku putuskan untuk melihat tamu sialan dari layar intercome.

Kedua iris melebar. Rupanya dia.

Segera aku membuka pintu. Ada perasaan bahagia yang meletup. Membuatku tak kuasa menahan senyu. "Lama tidak berjumpa—"

"Berhenti menggangguku."

Tebece

Jumlah orang yang kangen suna(t)  di book ini :")



21 Maret 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro