Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

20

"Awas!"

Tin tin...

Ckit...

Sekitar jadi riuh. Semuanya berteriak terkejut. Aku tersungkur, kaki ku lemas. Baru saja, aku hampir tertabrak.

Ibu langsung menghampiriku kemudian mengguncangkan bahuku dengan keras. Sambil terisak, beliau menanyakan keadaanku, sesekali mengumpat kesal.

Untuk beberapa saat, aku hanya diam Membayangkan bahwa tubuhku hampir digilas ban mobil membuatku ngilu.

"Kau tidak apa-apa kan?!" Ibu menangkup wajahku, memaksaku mengalihkan pandangan dari mobil tadi. "Jawab! kau tidak apa-apakan?!"

"I-ibu..." Aku langsung memeluk tubuhnya. Ketakutan membuat tubuhku bergetar.

Di dalam mimpi, aku pernah merasakan sakitnya tertabrak mobil. Walau hanya bunga tidur, rasa sakitnya nyata. Membayangkan rasa sakit tersebut didunia nyata, membuatku terisak.

Beliau membalas pelukanku. Tangannya bergeak mengelus punggung. Begitu menenangkan dan hangat. Dan untuk beberapa saat, kami bertahan dalam posisi tersebut. Berbagi kasih antara ibu dan anak. Kalau dipikir, kapan terakhir kali aku memeluk beliau, begitu pula sebaliknya.

Setelah aku dan ibu tenang, kami langsung meminta maaf pada pengendara mobil. Memang salah ku karena menyeberang sambil melamun. Beruntung pengendara tersebut orangnya ramah. Sehingga masalah berakhir dengan mudah.

Setelah memastikan aku tak terluka, Ibu mengajak ku untuk mampir ke sebuah kafe yang berada didekat situ. Beliau memintaku untuk menenangkan diri sebelum kami pergi ke tempat tujuan.

Hari minggu ini, kami berdua memutuskan untuk berbelanja di salah satu departement store besar dikota ini. Awalnya aku menolak, tapi ibu memaksa.

Ibu memesankan milkshake untuk ku, dan secangkir lemon tea untuk dirinya. Aku mengatupkan mulut sambil menatap tangan diatas pangkuan yang masih sedikit bergetar.

Tak berselang lama, seorang pelayan menyajikan pesanan kami dengan ramah. Aku lansgung menyedot milkshake tersebut. Rasanya begitu menyegarkan.

"Kau itu kenapa?"

Aku mendongak, menatap wajah ibu yang terlihat begitu khawatir. "Kenapa apanya?"

"Kenapa selalu melamun?!"

"Ah itu..." terlalu gugup, membuat tanganku tanpa sadar bergerak menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali.

"Kau punya masalah? Kalau begitu cerita saja pada ibu."

Aku menggeleng. Sebenarnya hidupku baik-baik saja. Hanya saja karena terlalu merindukan mimpi itu, aku jadi sering melamun. Kalau mimpi adalah cerminan dari apa yang sangat kita inginkan. Kenapa mimpi waktu itu tak muncul lagi.

"Lalu kenapa kau melamun?"

"Hanya ingin hehehe..."

Ibu langsung memukul bahuku, tidak sekali tapi berkali-kali. Pukulannya keras pula. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengadu kesakitan. Mana mungkin aku membalasnya, yang ada aku malah jadi anak durhaka.

Beliau lalu menghela napas. Raut sendu terlihat diwajahnya. Ah aku baru sadar kalau wajahnya sudah mulai keriput. Aku terlalu sibuk dengan duniaku, sampai aku tidak sadar kalau beliau sudah bertambah tua.

"Ibu takut kehilangan mu. Lain kali berhati-hatilah."

Tanganku bergerak meraih tangan beliau yang saling bertaut diatas meja. Tangannya sama dinginnya dengan milikku. Padahal cuaca hari ini sangat panas.

Manusia memang cenderung berlari ke sesuatu yang tidak pasti. Aku pun begitu. Padahal aku punya ibu yang begitu menyayangiku (walau galaknya tidak kira-kira) Tapi aku malah selalu memikirkan orang-orang dalam imajinasiku.

"Aku tidak akan pergi sebelum membuat ibu bahagia."

*

Aku berdiri dibawah sorotan cahaya. Sementara sekitar tampak sangat gelap. Begitu senyap, hingga aku bisa mendengar suara napasku.

Mimpi?

Seingatku, kami sedang berbelanja di departement store. Kenapa tiba-tiba ada disini. Apa aku tiba-tiba tertidur saat sedang belanja. Tidak mungkin. Sesuka apapun aku dengan tidur, mustahil untuk tertidur dalam kondisi seperti itu.

Atau mungkin sedang terjadi pemadaman listrik.

Lantas, aku meneriakan nama ibu. Mengedarkan pandangan ke sekeliling. Aku tak berani mealangkah keluar dari spotlight, aku takut. Sekitar sangat gelap.

Ah handphone! aku bisa menggunakan senter dari handphone-ku. Eh tas ku mana, aku menyimpan ponsel didalam sana.

Tiba-tiba tangan kanan ku terasa sangat sakit. Aneh, padahal tak ada luka.

"Percuma saja kau meneriakan nama ibumu, dia tidak akan muncul."

Suara itu menggema dengan lantang dari segala penjuru. Kendati demikian, aku tidak bisa menemukan sosok pemilik suara. "Siapa kau?" tanyaku dengan nada bergetar lantaran menahan rasa sakit.

"Aku? Aku adalah apa yang biasa orang sebut dengan Tuhan."

Apa aku mati? Ah tidak mungkin, ini pasti mimpi. Ya ini mimpi. Aku pasti tertidur saat melihat-lihat baju yang harganya selangit. Benar, seperti itu.

Bunyi tawa membahana. "Lucu sekali, mencoba meyakinkan diri dengan hal konyol seperti itu. Kau memang selalu seperti itu ya."

"Ka-kau bisa mendengar isi hatiku?"

"Aku adalah Tuhan. Maha segalanya."

"Ja-jadi saya sudah mati?"

"Kau belum mati, hanya tidak sadarkan diri."

"Lalu kenapa saya bisa ada disini?"

"Aku ingin menawarkan sesuatu untukmu. Apa kau mau merasakan hidup di tubuh [full name] lagi?"

"[f-full name]? maksudnya bermimpi tentang dunia haikyuu lagi?"

"Ketahuilah, apa yang terjadi beberapa tahun lalu bukanlah mimpi semata. Kau memang benar-benar pergi ke dunia itu."

"Bu-bukan mimpi? Jadi itu nyata?!"

"Benar."

Aku bahagia mendengar nya, sangat bahagia malah. Jadi aku benar-benar berbicara dengan Shinsuke, dan berdebat dengan si kembar. Ah bagaimana ini, aku terlalu bahagia sampai-sampai lupa cara bernapas.

"Jadi, bagaimana dengan tawaran-Ku?"

Seketika aku berhenti berjingkrak. Memikirkan tawaran tersebut adalah hal sulit. Di satu sisi, aku ingin pergi kedunia itu. Disisi lain, aku tidak ingin meninggalkan ibu.

Kali ini berbeda dengan waktu itu. Kala itu, aku tidak diberi pilihan, tiba-tiba saja dipindahkan ke tubuh [full name]. Menerima dengan senang hati jadi pilihanku.

Tapi, tak peduli sesuka apapun aku pada mereka. Ibu tetap yang utama. Lagipula, aku sudah janji untuk membahagiakan beliau. Rasanya aku jadi anak durhaka kalau pergi secara tiba-tiba sebelum membuat beliau bahagia.

"Maafkan saya, tapi saya tidak bisa menerima tawaran Anda karena—"

"Karena ibumu?"

Aku tersenyum kecil, sepertinya penjelasan secara lisan tidak diperlukan.

"Kalau begitu, kau tidak perlu merisaukannya. Karena ibumu sudah meninggal."

Rasanya seperti ada ribuan jarum menghujam hatiku. Ah ternyata inu memang mimpi, bodohnya aku sempat percaya kalau ini nyata. Mana mungkin ibu meninggal. Jelas-jelas tadi ibu sedang bersamaku, dan beliau terlihat sehat.

Aku menampar pipi ku menggunakan tangan kanan. Berkali-kali aku menamparnya. Terasa sakit, tapi kenapa aku tidak juga bangun dari mimpi buruk ini.

"Bangun! Ayo bangun!" tidak cukup, aku harus tampar lebih keras. Lakukan lagi, lagi, lagi–

"Tenangkan dirimu!"

Telingaku berdenging. Aku sampai terduduk karena tak kuasa menahannya.

"Ketika kau sedang berbelanja dengan ibumu, gedung departement store tiba-tiba saja ambruk. Tubuh ibumu tertimpa bangunan, dan nyawanya tak tertolong. Sementara kau berhasil selamat. Hanya saja tangan kananmu tertimpa reruntuhan."

Pantas saja tanganku begitu sakit. Tapi, sakit ditangan ini tak seberapa dengan rasa sakit di hatiku.

"Tuhan, bi-bisakah kau menghidupkan ibuku lagi, kumohon..." lantas aku bersujud, mengharapkan kemurahan hati-Nya.

"Ini sudah takdirnya."

"Kumohon tuhan, aku mohon pada-Mu..." Hanya sunyi yang kudapat. Tuhan memang tidak mau mengabulkan doaku. "Ka-kalau begitu, izinkan aku bertemu dengan ibuku. Kumohon tuhan, untuk terakhir kalinya."

"Aku datang padamu untuk memberikan penawaran, bukan mengabulkan permohonanmu." Suaranya menggetarkan hati. Sontak mulutku terkatup. "Jadi, kau ingin hidup sebagai piatu di dunia mana? Duniamu, atau dunia [full name]?"

Rasanya seperti ada batu besar yang ditaruh dipunggungku. Sangat berat, hingga aku tidak kuat untuk bergerak dan melanjutkan hidup didunia manapun.

Kenangan indah dan buruk yang kualami bersama ibu ditampilkan bak rangkaian film dalam benakku. Beribu penyesalan menyeruak.

Aku ingin memeluknya lagi. merasakan kehangatan dari tubuh yang mulai rentan dan menua karena sibuk mengurus ku. Aku ingin melihat senyumnya. Aku ingin dimarahi olehnya. Aku ingin ibuku.

"Jadi, apa keputusanmu?"

Aku mendongak, menatap kosong cahaya yang terasa hampa diatas sana. "Aku akan tetap hidup di duniaku. Aku ingin mengurus jasad dan pemakaman ibuku."

"Kau yakin?"

Tak ada keraguan dalam pilihanku. Aku memang tidak bisa memenuhi janji untuk membahagiakannya. Jadi, setidaknya aku ingin mengganti hal itu dengan mengurus jasad dan pemakamannya. Tidak sepadan memang, tapi apalagi yang bisa ku lakukan.

"Pastikan kau tidak menyesal."

*

Penyesalan? Apa itu bisa disebut penyesalan ketika kau terkadang memikirkannya.

Disaat aku sedang lelah, aku memikirkan apa jadinya kalau aku menerima tawaran itu. Bukannya aku menyesal karena lebih memilih mengurusi pemakaman ibu ketimbang bertemu anak-anak Inarizaki. Hanya saja, aku sedang berpikir.

Segala sesuatu berjalan dengan hambatan. Termasuk ketika hari dimana ibu dimakamkan. Saudara yang biasanya acuh, tiba-tiba saja muncul dan membahas perihal warisan. Beruntung ibu sudah menulis surat warisan. Semua hartanya akan diserahkan padaku, anak semata wayangnya.

Mengetahui fakta tersebut, aku merasa lega sekaligus sedih. Disaat aku hanya memikirkan kesenanganku, ibu selalu memikirkan diriku. Bahkan beliau sudah membayangkan tentang kematiannya.

Dibantu oleh Erika, dan bibi (adik ibu) aku mengurus pemakamana ibu. Ayah? Beliau sudah pergi ke pelukan wanita lain sejak sepuluh tahun lalu. Ayah bahkan tidak datang ke acara pemakaman ibu.

Aku tak ingin menganggap lelaki brengsek itu sebagai ayah. Tapi berulang kali ibu mengingatkanku untuk tidak bersikap begitu. Sekarang, karena ibu sudah tidak ada, tak masalahkan bila aku tidak menganggapnya sebagai ayah.

Hari-hari tanpa ibu terasa begitu berat. Penjuru rumah dipenuhi kenangan kami berdua. Teriakan dan tawa ibu kadang menghantui ku dikala malam tiba. Dibawah selimut dalam temaram lampu tidur, aku sering menangis sambil mendoakannya.

Baru terhitung dua minggu semenjak kepergian beliau, tapi aku sudah sangat merindukannya. Rindu yang lebih berat dibandingkan ribuan rindu yang pernah kualami sebelumnya.

Bahkan, rindu dengan anak-anak Inarizaki pun tak bisa menandingi rindu kali ini.

Aku tahu, ibu pasti tidak suka melihat aku bersedih. Sebenarnya aku juga tidak ingin bersedih, tapi aku tak kuasa menahan perasaan.

Ah, air mataku keluar lagi. Memalukan, padahal aku sedang berasa di kafe. Dan disini lumayan ramai. Diam-diam, aku mengusap air mata menggunakan punggung tangan. Berharap tidak ada yang menyadarinya.

Jangan seperti itu wahai diriku, ayo bangkit! Demi ibu, demi diri sendiri, Semangat!

Eh?

Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa semua orang berhenti bergerak. Sejak kapan, dan kenapa?!

Lantas aku berlari keluar kafe.

Bukan hanya orang-orang yang berhenti bergerak. Burung, air, dan benda jatuh pun berhenti bergerak. Waktu berhenti? Apa ini kuasa Tuhan? Dan kenapa hanya aku yang bisa bergerak.

Kerumunan orang terlihat seperti kumpulan patung. Tak bergerak, bahkan tak bernapas. Diantara mereka yang tak bergerak, aku melihat seorang wanita berjalan dengan anggun mendekat kearahku. Bagus, aku tidak sendirian.

Jarak kami makin terkikis, hingga akhirnya wanita itu berdiri didepan ku. Ia tersenyum kecil kemudian melepas sunglasses yang ia pakai.

"[full name]?!"

Tebece

Kok jadi gini?

SSW (suki suki watashi) dong ehehe //slap


20 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro