2
Aku terkejut.
Nakamura cs Juga.
Yang nulis juga terkejut.
Begitu pula, anak-anak yang masih tersisa di dalam kelas.
Pasalnya, selama hampir satu semester, tak ada yang berani ikut campur dengan persoalan yang berkaitan dengan Nakamura. Entah karena malas atau memang tak ingin di gilas.
Dan lagi, bukannya orang itu acuh. Bukannya dia hanya peduli pada diri sendiri, dan koleksi foto aib di ponselnya. Lantas kenapa. Apa dia jatuh cinta padaku. Ku akui, muka [name] ini lumayan cantik. Wajar sih. Aduh malu sendiri.
"Suna, kenapa?" Tanya Nakamura, mencoba terlihat ramah. Fakta menarik, Nakamura akan terlihat ramah di depan para cowok, terutama yang memiliki tampang lumayan. Dan sepertinya, Suna masuk dalam kategori lumayan itu.
"Aku ada perlu sama dia," ucapnya dengan ekspresi malasnya.
"Perlu apa ya?" tanya Nakamura, yang sok imut.
"Iya, perlu apa?" tanyaku. Seingatku memang tidak ada hal yang harus kami berdua lakukan.
Suna malah menatap kesal kearahku. Lah kenapa. Apasalahnya bertanya saat kita tak tahu apa-apa.
"Si [surname] ini sudah janji bakal jadi babu klub voli selama sehari. Soalnya hari ini manajer kami tidak datang."
Eh emang iya? Aku berusaha menggali hal tersebut dalam ingatan [name]. Tapi, tidak ada. Bahkan hari ini merupakan kali pertama kami mengobrol.
"Eh klub voli perlu bantuan ya? Kalo gitu biar aku saja." Nakamura menawarkan diri sendiri.
"Katanya mau belanja."
"Bisa di tunda."
"Katanya pusing."
"Mendadak hilang."
Suna menghela napas. Batu sekali Nakamura ini. "Yakin mau? Bakal jadi babu loh."
Nakamura diam mempertimbangkan. Diakan anak sultan. Mana mau diperlakukan sebagai babu.
"Ng-nggak apa kok ehehe..."
Asli, aku tercengang. Ada apasih dengan klub voli putra, sampai dia rela jadi babu untuk sehari.
"Nggak pantes. Yang pantes jadi babu si [surname]." Dan Suna pun berjalan keluar kelas sambil menggandeng tanganku.
Iya, aku digandeng Suna Rintarou. Si manusia yang selalu kelihatan lemes. Tangannya kasar, tapi besar. Beda jauh dengan tanganku yang mungil ini.
Ah... Aku jadi berdebar. Sedari lahir belum pernah berpacaran. Dan lagi, ini adalah Suna. Aku berani bertaruh mukaku sangat merah.
Tuhan, terimakasih.
*
Dari pada memusingkan rencana untuk mendekati klub voli. Lebih baik aku memikirkan cara untuk menghentikan Nakamura cs membuli ku. Sumpah, kehadiran mereka sangat mengganggu.
Dan lagi aku tidak terbiasa di buli. Ini adalah pengalaman pertamaku dibuli.
Tapi bagaimana caranya ya. Lapor kepihak sekolah? Tapi itu tak berguna. Nakamura itu anak sultan. Pihak sekolah pasti akan membelanya. Hah... Semua ini Akan lebih mudah kalo aku bereinkarnasi sebagai anak sultan.
Eh tak boleh begitu. Bisa reinkarnasi di dimensi ini saja sudah sangat bersyukur.
Aku bersyukur kok Tuhan, tadi itu cuma ya... Suara kecil hatiku. Jadi tolong jangan ambil kenikmatan ini. Biarkan aku menikmatinya untuk lebih lama. Kalau bisa selamanya.
"Woy!"
Oh jelas, aku kaget.
"Kebiasaan, ngelamun terus," ucapnya.
"Ah maaf." Tolong beritahu kenapa berlaru-larut dalam lamunan sendiri itu menyenangkan. Aku melirik pergelangan tangaku. Ternyata Suna sudah melepaskannya.
"Ini pertama kalinya aku liat kamu ngelawan Nakamura."
Benar juga. Apa ini mencurigakan. Ah pastinya begitu. Tiba-tiba saja kelinci berubah jadi Singa. "Aneh ya hehehe..." sebisa mungkin, ku kendalikan ekspresi wajah untuk tetap terlihat tenang.
"Nggak juga." Suna mengusap tengkuknya. Lalu melempar tatapan pada sebuah pohon besar. "Justru hebat," cicitnya.
Lagi-lagi aku terkejut dengan aksinya. Serius Suna orangnya seperti ini. Kupikir antara Suna dan Osamu, Suna akan lebih acuh. Nyatanya tidak.
Suna menghela napas. "Kita harus cepat!"
"Eh kemana?"
"Gedung olahraga."
"Ngapain?"
"Jadi babu."
"Eh beneran?!"
"Ya."
Kali ini, Suna tidak menarikku. Dia hanya menyuruhku mengikutinya. Akupun mengekor. Langkah kaki Suna lebar. Apa karena kakinya panjang. Aku jadi sulit mengimbangi.
"Suna, tumben telat," sapa seseorang berbadan besar yang aku tidak tahu siapa namanya.
"Maaf kapten." oh iya, saat ini Kita Shinsuke masih kelas dua dan dia belum menjadi kapten. "Kapten, aku bawa orang buat bantu-bantu."
"Bantu-bantu?"
"Iya. Hari ini Matsumoto-san kan tidak bisa ikut latihan. Jadi dia yang akan bantu-bantu."
Tangan suna bergerak memberikan sinyal padaku untuk mendekat. Sialnya, aku menurut. "Namanya [full name]."
"Salam kenal!" yaampun kikuk sekali.
"Mohon kerja samanya. Maaf kalau merepotkan."
Tiba-tiba saja Suna menyodorkan tangannya. Apa ini, dia minta duit. Aku tak menyangka dia tipe yang suka minta-minta. Terpaksa aku memberikannya uang.
Suna mengernyit, lalu berdecak. "Bukan ini maksudku!"
"Terus, apa?"
"Sinikan tasmu. Biar kusimpan di ruang klub. Toh kamu juga nggak bawa baju olahraga kan. Jadi nggak usah ganti."
"Ohh... Bilang dong," ucapku sambil menyerahkan tas. "Makasih ya."
"Biasa aja."
Dan Suna pun pergi menuju ke ruang klub.
"[Surname], bisa ikut aku? Aku akan menjelaskan tugasmu untuk hari ini."
"Baik, kapten!"
Kami berdua memasuki gedung olahraga. Sudah banyak anggota yang berkumpul disana. Mereka sedang melakukan persiapan.
Ah ada Aran! Gila, dia tinggi banget.
Aku nggak mau kalau disuruh berdiri disampingnya. Bisa jadi kutu aku.
"Tugasmu simpel saja, mencatat waktu berlari, jumlah spike yang masuk, jumlah serve yang masuk. Oh dan jangan lupa untuk menyiapkan minuman."
"Siap!"
"Jangan tegang begitu, santai saja."
"Kapten, itu fans nya Atsumu ya?" rupa-rupanya Osamu yang bertanya.
Aku teringat kejadian tadi pagi. Dan langsung emosi. Rasanya ingin kutarik rambut Osamu sampai botak. Lucu kali lihat dia botak. Apa mukannya akan mirip seperti Tanaka.
"Oh bukan, dia yang akan menggantikan Matsumoto untuk hari ini."
"Oh." pandangan Osamu menyipit. "Kamu kenapa natap aku macam orang ngajak ribut."
What the f***
Apa dia melupakan kejadian tadi pagi. Gampang banget ya dia melupakan segala perbuatan bengis yang mampu membuat orang sengsara.
"Nggak!" aku memalingkan muka kearah lain.
"Aneh," ucapnya lalu berjalan ketengah lapangan untuk membantu para seniornya memasang net.
"[Surname], sekali lagi mohon kerja samanya ya."
"Si-siap!"
*
K
erjaanku hari ini, mengisi botol air minum, membagikannya, mencatat ini-itu, juga membalikkan papan skor saat latih tanding antar sesama anggota.
Tidak salah sih, Inarizaki di juluki sebagai penantang terkuat. Kemampuannya bukan main. Aku sampai terpana melihat kehebatannya. Saking terpananya, aku sampai lupa membalikkan papan skor.
"Ah, [surname], kau sudah boleh pulang," ucap si kapten.
"Eh, tapi beres-bereanya kan belum selesai."
"Tidak apa-apa, kami bisa mengatasinya kok."
"Kalau sudah memutuskan untuk membantu, maka harus membantu sampai akhir."
"Kau sudah cukup banyak membantu kok."
"Tidak... Tidak... Aku belum cukup membantu! Tolong biarkan aku membantu sampai selesai!"
Sang kapten terkikik geli. "[Surname] baik sekali ya. Kalau memang kamu bersikeras, mau bagaimana lagi. Kalau merasa lelah, pulang duluan saja."
"Baik!"
Aku tidak baik, aku punya alasan lain untuk tetap disini. Siapa tahu akan ada kesempatan untuk mengobrol atau menjadi dekat dengan para anggota voli inti. Kan lumayan. Inilah keahlianku, mencari kesempatan dalam keluasan.
"Kau belum pulang?" Tanya Aran. Kaget aku, kenapa dia bisa tiba-tiba ada disampingku. Apa dia jin.
"I-iya."
"Kalau begitu, tolong bantu kami memunguti bola ya."
"Siap!"
Aku buru-buru berjalan menjauh. Kan sudah ku katakan kalau aku tidak ingin berdekatan dengan Aran. Soalnya perbedaan badan kami begitu besar. Aran tinggi dan aku... Tahulah. Aran juga berototo, terlihat sedap dilihat, sedangkan aku, kurus kering begini. Jadi penasaran, sehari-harinya [name] ini makan apasih.
"Tsumu, sini bayar!"
"Hah?! Bayar buat apa?!"
"Buat puding yang kamu makan."
"Dari pada pudingnya nggak dimakan, mending aku makan saja. Nanti kan jadi sia-sia."
"Bego! Bukannya nggak mau aku makan, tapi mau ku makan nanti. Makannya kalo ada orang ngomong tuh didenger! Sialan!"
"Aku ini kakakmu! Sopan sedikit dong!"
"Nggak!"
"Bilangin ke bunda nih!"
"Silahkan. Aku juga mau ngadu ke bunda kalau kamu ngambil pudingku."
"Tukang ngadu!"
"Ngaca woy!"
Niatan untuk memunguti bola lenyap begitu saja. Rasa-rasanya pertengkaran si kembar jauh lebih menarik. Pertengkaran mereka semakin menjadi, bahkan sampai ada adegan pukul-pukulan. Wah semakin seru saja. Ternyata memang benar mereka ini hobinya ribut.
Beberapa anggota mencoba melerai mereka. Tapi gagal. Sang kapten pun tidak bisa. Dan satu-satunya yang bisa melerai mereka adalah Kita Shinsuke. Melihat Kita yang memarahi mereka secara langsung, entah kenapa menimbulkan rasa senang dalam diriku.
"Ternyata kau fans nya Atsumu ya."
Aku menoleh kesamping, ternyata Suna. "Kenapa kamu mikir gitu?" Setahuku, [name] tak pernah menunjukkan ketertarikan terhadap Atsumu.
"Dari tadi kamu liatin aja dia. Sampe senyum-senyum, kamu juga pengen jadi manajer klub voli."
"Aku nggak liatin dia, aku liatin pertengkaran si kembar. Aku nggak senyum karena dia, aku senyum lihat kehebatan Kita-senpai," ucapku. "Juga, aku mau jadi manajer voli karena aku suka voli."
Suna mengernyit. "Kau suka voli?"
"Iyup!"
"Bisa main voli?"
Aku cuma bisa nyengir. Faktanya, aku suka voli karena membaca manga haikyuu. "A-aku cuma tahu istilah-istilah dalam voli. Juga aturan dalam bermain voli."
Suna terdiam. Matanya menatapku.
"Aku bukan fans Atsumu, aku fans klub voli Inarizaki."
'Klub voli Karasuno, Nekoma, Fukurodani, Seijo, Shiratorizawa juga.' Aku melanjutkan didalam hati.
"Oh."
Yah, cuma oh doang.
*
Akhirnya aku pulang kerumah. Badanku lumayan pegal juga menjadi babu di klub voli. Rupanya jadi manajer itu tidak mudah. Salut untuk para manajer.
Untuk pulang, aku harus menaiki bus. Busnya lumayan ramai. Tapi untungnya masih ada satu bangku yang kosong. Senangnya bisa duduk.
Rasanya ngantuk sekali. Tidur sebentar tak apa mungkin. Toh rumahku masih jauh.
Baru saja ingin menjelajah ke alam mimpi. Bus ini kembali berhenti. Ada satu penumpang yang naik. Seorang wanita lansia. Ah melihat wanita itu, aku jadi teringat nenek ku yang sudah meninggal.
Wanita itu tampak kebingungan mencari tempat duduk. Aku tidak yakin bahwa masih ada yang kosong. Aku pun bergegas menawarkan tempat dudukku.
Nenek itu tersenyum lalu berterimakasih.
Aku suka berbuat baik. Entah kenapa, setiap kali perbuatan baik kita mampu mengukir senyum diwajah orang ada perasaan puas dan bangga. Mungkin aku berbuat baik bukan demi orang lain. Tapi demi diri sendiri.
Terpaksa, akupun berdiri. Sialnya, aku semakin ngantuk. Bahkan aku sampai hampir tersungkur saat bus berhenti. Untungnya bus berhenti di halte tujuanku. Jadi tak perlu lama-lama menahan kantuk lagi.
Sebelum turun dari bus, aku sempat bertukar senyum juga ucapan sampai jumpa dengan nenek tadi.
Jalanan di sini memang sepi kalau sudah malam. Tapi aku tak perlu risau. Karena jarang terjadi tindak kejahatan disekitar sini.
Eh tapi kok...
Aku merasa ada yang mengikutiku. Tapi rasanya tidak mungkin, mau apa di mengikutiku —benar juga! Sekqrangkan aku ada di tubuh [name], dan wajahnya kan cantik. Apa jangan-jangan dia stalker. Oh no! Aku harus bagaiamana.
Lari?
Wait a minute, aku harus pastikan dulu apa benar ada yang mengikutiku atau hanya perasaanku saja. Kan tidak lucu, sudah lari terbirit-birit, eh nyatanya tidak ada apa-apa dibelakangnku.
Dengan gerak kaku, aku menoleh kebelakang. Kedua mataku terbelalak lebar.
"Ka-kamu! Kamu, ngapain ngikutin aku?!"
Tebece
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro