18
"Aw!"
Padahal sedang asik melamun. Siapa juga yang berani mengetuk kepalaku dengan botol air. Mendongak, si pelaku hanya memasang raut datar seolah tak merasa bersalah.
"Kau disuruh mengisi botol air bukannya melamun," ucapnya kemudian melempar botol kosong padaku.
Untung refleksku bagus, jadi aku bisa menangkapnya dengan baik. "Ya maaf."
Aku kembali melanjutkan pekerjaan yang sempat tertunda. Sedangkan sipengganggu hanya diam ditempat sambil menatapku. Lama-lama risih juga di perhatikan begini. "Hey, daripada terus melihatku begitu, lebih baik kau membantuku!"
"Kita-san menyuruh kami untuk tidak membiarkanmu sendirian. Jadi aku datang kesini."
Kesal, aku menyipratkan sedikit air padanya. "Karena sudah kesini, bantu aku!"
"Kenapa?"
"Supaya cepat selesai."
Ia menghela napas. Dan akhirnya akulah yang menang. Pertama kalinya aku menang dari Suna Rintarou. Rasanya ada kebanggan tersendiri.
"Kau indigo? Bisa melihat hantu?"
"Kata siapa?"
"Aku hanya bertanya."
"Lalu apa yang membuatmu ketakutan sampai seperti itu?"
Gerakan tangan terhenti. Apa tepat bila menceritakan ini pada Rin. Tunggu dulu, dia sedikit meragukan. Mengingat dia suka membagikan video aib si kembar. Juga, Rin tak sepengertian Shin-senpai. Tetap merahasiakan hal ini darinya memang pilihan terbaik.
"Hey Rin, kalau kau kesini hanya untuk mengajak ku mengobrol lebih baik pergi saja." Pengalihan topik yang bagus wahai diriku.
Rin menghela napas kecil. Kemudian tak lagi menanyakan apapun.
Setelahnya, kami benar-benar tak lagi bertukar kata. Suasana jadi terasa membosankan. Hal tersebut membuat rasa kantuk ku makin berlipat. Selepas kejadian semalam, aku memang tak tidur lagi. Rasa takut masih membayangi. Aku tak berani terlelap.
Kulirik dari ekor mata, Rin juga ikut menguap. Tertangkap basah kau. "Rin, tadi kau menatapku lagi kan?"
"Jangan asal tuduh."
"Kau tertangkap basah. Tadi aku menguap lalu beberapa detik kemudian kau juga ikut menguap."
Lelaki itu tidak menyangkal atau mengiyakan, ia justru mendengus. "Kau baik-baik saja?"
Pandangan kami beradu. Kekhawatiran tercermin kuat dari iris kuning keabuan miliknya. Mendadak perasaan tak nyaman menyusup sanubari. "Entahlah," jawabku.
Dahi middle blocker handal itu mengernyit.
"Aku tidak baik-baik saja karena suatu hal. Tapi disisi lain aku baik-baik saja karena kalian begitu peduli padaku."
"Kau membingungkan, [name]." Telapak tangannya yang basah meraih kepalaku. Mengusapnya dengan pelan dan penuh perhatian. "Aku tidak bisa memahaminya."
Sudut-sudut bibirku terangkat membentuk senyum kecil. "Rin, rambutku basah lho."
"Aku tidak peduli."
"Hey!"
*
"[Surname]!"
"Ah maaf, aku mengantuk," ucapku. Tadi hampir saja wajahku membentur meja. Terimakasih pada Akagi. Kalau bukan karenanya, mungkin aku sudah jadi bahan tertawaan.
"Sebaiknya kau tidur saja," ucap Aran.
"Lalu yang membereskan ini siapa?"
"Ada aku, dan yang lainnya. Kalau memang sudah tidak sanggup, kau tidur saja." Shin ikut menawarkan bantuan.
Aku menggeleng pelan, selain rasa tanggung jawab terhadap tugas, aku juga masih terlalu takut untuk tidur. Dulu ibuku pernah bilang, cara cepat menghilangkan kantuk adalah dengan bergerak. Mungkin dengan mencuci piring aku bisa menghilangkan kantuk.
"Jangan memaksakan diri." Piring yang hendak kubawa ke wastafel berpindah ketangan Osamu. Bungsu Miya menatapku datar. "Biar aku saja yang mencuci piring, kau tidur."
"Aku tidak mau tidur!" Kembali kuambil piring tersebut.
"Kalau begitu, beristirahat saja. Kau sudah bekerja seharian."
"Osamu benar, lebih baik kau beristirahat." Dengan santai, Rin mengambil piring tadi kemudian memberikannya pada Osamu. "Kalau kau tumbang kita juga yang repot."
"[Surname], kalau kau tidak mau tidur. duduk saja disini temani aku mengobrol," ucap Ginjima sambil menepuk kursi kosong disebelahnya. "Ada yang bilang mengobrol dapat menghilangkan penat."
"Hey kata siapa?" Omimi meragukan hal tersebut.
Di duniaku yang dulu, aku punya teman banyak. Tapi tak pernah ada yang seperhatian dan sepeduli ini. Rasanya seperti anugerah bisa mengenal dan dekat dengan mereka.
"Eh, [surname] kenapa menangis?!" Akagi yang panik langsung menyodorkan tisu padaku.
"Apa ini karena Osamu mengambil alih pekerjaan [name] ya," terka Rin.
Mendengar ucapan juniornya, Aran meringis kecil.
Mendengar keributan tersebut, Shin yang tengah mencuci piring bersama Osamu pun kembali ketempat makan. Ia mendekat, lalu menyentuh bahuku dengan pelan. "Kau kenapa? dia muncul lagi?"
Aku menggeleng sembari sesenggukan.
Tangan Shin berpindah mengelus kepala. "Lalu?"
"A-aku tidak ingin pergi meninggalkan kalian..."
Hening sejenak sebelum mereka semua tergelak secara bersamaan. Mungkin bagi mereka ucapan ku itu lucu. Tapi bagi Shin yang sudah mengetahui segala sesuatunya, ia hanya bisa diam sembari menatapku dengan tatapan yang sulit kuterjemahkan.
Antara memilih tetap tinggal untuk bersama mereka tapi dihantui oleh jiwa pemilik tubuh ini. Atau terbebas dari ketakutan tapi harus rela mengucapkan selamat tinggal pada mereka. Aku tak bisa memilih.
Kalau boleh, aku ingin membuat pilihan sendiri. Tetap disini bersama mereka tanpa ada rasa takut yang membayangi. Bolehkah aku berharap seperti itu. Apakah kau akan mengindahkan harapanku, Tuhan.
*
Pukul Sembilan malam. Beberapa orang –mungkin hampir semuanya sudah terlelap. Latihan hari ini luar biasa berat, bahkan lebih berat dari kemarin.
Tekad ku kuat untuk tidak tertidur. Aku tidak ingin mengambil resiko berjumpa dengan dia lagi. Tidak ingin juga menimbulkan kegaduhan yang merenggut waktu istirahat mereka.
Dan yang lebih penting, aku tidak ingin menambah ketakutan dengan melihatnya. Semakin aku takut, semakin aku ingin meninggalkan dunia ini. Mengabaikan permohonan Shinsuke dan berpisah dengan yang lain, aku sungguh tidak ingin melakukannya.
Beberapa saat lalu, Matsumoto menemaniku dari sambungan telepon. Tapi karena merasa tidak enak membuatnya tetap terjaga, aku memutuskan sambungan dengan alasan mengantuk. Tidak bohong juga kalau aku bilang demikian. Memang faktanya begitu. Tapi maaf saja, aku tidak mau memanjakan rasa kantuk.
Mulai detik ini, tertidur haram hukumnya bagiku. Setidaknya sampai aku bisa mengendalikan ketakutan dan memberanikan diri menghadapinya.
Dengan alunan musik yang terdengar dari earphone, kesunyian lobi tidak terlalu terasa mencekam.
Aku sengaja berada di lobi. Disini tak senyaman dikamar. Kalau pun nanti aku ketiduran pasti akan bangun lagi. Dan kalau aku memjupai sosok itu diluar mimpi, aku bisa langsung berteriak meminta pertolongan. Mengingat kamar pelatih berada didekat lobi.
Berulang kali aku meyakinkan kalau diriku kuat. Menggaungkan harap dan doa yang entah akan diijabah atau tidak. Setidaknya aku sudah berusaha.
"Eh, [name]-chan apa yang kau lakukan disini?" Miya Atsumu dengan wajah yang masih segar berjalan mendekat.
"Kau belum tidur?" tanyaku sembari melepas earphone.
Ia menggeleng. "Aku tidak bisa tidur karena ingin makan puding. Ku pikir hasrat untuk makan puding bisa kutahan sampai besok. Tapi sepertinya tidak."
Enaknya, dia tidak bisa tidur hanya karena puding. Sedangkan aku, ah aku tidak ingin membahasnya. Mari singkirkan kantuk dan ubah suasana.
"Jadi, kau mau pergi membeli puding?"
"Begitulah."
"Eh? Memangnya boleh. Ini sudah larut lho."
"Kurasa tak masalah. Toh pelatih tidak bilang ada jam malam."
Benar juga. "Aku ikut, boleh?"
Atsumu tersenyum lebar. "Lagipula aku juga masih punya hutang membelikan es krim padamu. Ayok!"
Aku mengekor pada Atsumu. Merasa tak nyaman, pemuda itu menyuruhku untuk berjalan berdampingan. Bukannya tidak mau beriringan dengan dia. Tapi langkah kaki Atsumu itu lebar, berbeda dengan ku. Makannya lebih baik tertinggal dari pada kelelahan mengejar langkahnya.
Mungkin sadar dengan kesulitanku dalam menyamakan langkah. Atsumu pun memutuskan untuk berkorban. Ia memperlambat jalannya. Dan akhirnya kami bisa berjalan berdampingan.
Yah walau kadang Atsumu tanpa sadar kembali berjalan dengan kecepatan biasanya. Tapi usahanya patut di apresiasi.
Obrolan ringan mengiringi perjalanan kami menuju mini market. Atsumu yang selalu membuka topik. Mulai dari keluh kesahnya menjadi anak kembar, tentang dirinya yang sedang mencari kelemahan Shinsuke, juga tentang rasa irinya pada Aran yang berpenampilan dan memilik nama seperti orang asing.
Tanpa sadar aku mengulum senyum. Selama menjalani hidup disini, aku selalu jadi orang yang memutar otak demi mencari topik pembicaraan. Dan tanpa sadar, aku merindukan saat dimana aku hanya jadi makmun dalam sebuah percakapan.
Perbincangan dengan Atsumu itu asyik. Tapi kalau kita terlalu sensitif dan tidak memahami wataknya, mungkin akan berakhir sakit hati. Itulah kenapa Osamu bilang kalau Atsumu banyak tidak disukai orang.
"Atsumu?"
"Hmm?" Ia sempat menoleh padaku sebelum kembali menatap jalan didepannya.
"Kau tidak merasa terganggu saat ada orang yang membencimu?"
Atsumu berpikir untuk beberapa saat. "Biasa saja. Kita tidak dilahirkan untuk disukai semua orang, kita dilahirkan untuk jadi diri sendiri."
Daripada kagum pada ucapannya. Aku lebih merasa kaget. Benarkah dia Atsumu yang mulutnya suka mematik pertikaian. "Kau mengutip dari mana kata-kata itu?"
"Dari internet." Senyum lebar ia sunggingkan. "Kalimat itu benar juga sih. Kalau kau terus memikirkan hal itu hidupmu akan sia-sia. Toh sebaik apapun kita, pasti ada saja yang akan membenci."
"Atsumu, kau tidak dirasuki arwah orang bijak kan?"
"Hey!"
"Sepertinya aku perlu melakukan pengusiran roh."
*
Atsumu tengah membayar belanjaan. Sementara aku menunggu diluar. Kami tidak hanya membeli es krim dan puding. Atsumu membeli berbagai keperluan lain yang ia butuhkan. Banyak barang belanjaan yang kami beli, ditambah kasir yang sudah sepuh dan tidak bisa melayani dengan gesit. Makannya transaksi berjalan lama.
Karena bosan, aku menunggu sambil berjongkok di depan mini market.
Suasana sekitar sangat sepi. Tak ada yang berlalu lalang. Aku jadi ngeri sendiri. Menengok kearah Atsumu, pemuda itu terlihat tengah berdebat dengan kasir. Ah kenapa lama sekali.
Aku terlonjak saat mendapati seekor kucing sudah berada didepanku. Warnanya hitam, tak ada corak lain. Matanya berwarna biru neon. Indah.
Karena bosan menunggu, aku mulai mengajaknya bermain. Sialnya, si kucing malah mengabaikanku dengan berjalan menjauh. Lantaran kesal, aku mengejar kucing tersebut.
Sial! beraninya dia mengabaikanku.
Larinya begitu cepat. Kenapa semua makhluk didunia ini selalu bergerak cepat dalam berjalan dan berlari.
"Hey kucing, jangan pergi—"
Tin tin...
Sial, truk-kun!
Tubuhku terpental bersamaan dengan bunyi rem mobil yang memecah keheningan. Aku terbaring cukup jauh dari lokasi truk berhenti.
Sialan, bukannya hal seperti ini harusnya terjadi saat aku masih hidup diduniaku. Truk-kun si pengantar menuju isekai, kenapa kau malah menabrak ku yang sudah masuk isekai.
Ah rasanya hangat, apa ini...
Darah!
Seketika rasa sakit menyerang tubuhku. Sakit sekali, rasanya seperti tubuhku hancur. Atau memang tubuhku sudah hancur.
Dalam pandanganku yang mulai buram aku melihat sosok kucing tadi tengah menatapku dengan iris biru neonnya yang terlihat menyala.
Aku ingin berteriak terkejut, namun suara yang keluar malah jadi terbata-bata dan tak jelas. Disamping kucing itu berdiri sosok pemilik tubuh ini. Perlahan ia mendongak, menampilkan raut pucat itu secara utuh. Kemudian bibirnya bergerak pelan. 'Selamat tinggal,' dugaku itula yang dia ucapkan.
Tuhan, jadi seperti ini caramu mengusirku dari tubuh ini. Sungguh kejam.
Pandanganku semakin buram, bahkan suara Atsumu yang meneriakan namaku terdengar begitu jauh.
Sangat jauh.
Jauh. Benar, aku akan pergi jauh dari Atsumu dan yang lainnya. Aku hanya manusia yang tak memiliki kuasa. Walau berkeinginan untuk tetap tinggal. Tapi kalau takdir tak mengijinkan, bisa apa. Pasrah adalah satu-satunya pilihan.
Aku menutup mata. Semua indraku perlahan kehilangan fungsinya. Tubuhku mulai merasa dingin di tengah malam musim panas. Ah sudah waktunya.
Selamat tinggal semuanya.
The end
.
.
.
.
Tapi boong
.
Tebece
Aku nggak tega bikin sad ending :")
Btw, mulai sekarang book ini akan up tiap hari sabtu (malam minggu)
Jadi malam minggu kalian akan jadi berwarna
6 Februari 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro