Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

17

Perlahan kesadaranku kembali.

Sepertinya aku tertidur saat sedang melakukan konfersasi via telepon dengan Matsumoto. Ah, aku merasa tak enak tertidur begitu saja.

Masih dengan mata setengah terbuka, aku melirik kearah jam dinding. Pukul tiga pagi.

Sial!

Kenapa harus terbangun di waktu seperti ini. Tuhan kenapa kau tidak membiarkan ku terlelap sampai Fajar menyingsing. Sebegitu bencinya kah kau kepadaku.

Hening, sangat hening. Yang bisa kudengar hanya suara detik jarum dan napas memburu disebelahku—

Dengan gerak cepat, aku menoleh kesamping.

Sial, sial, sial!

Sosok itu tengah duduk tepat disebelah ranjang. Rambutnya menjuntai sampai menyentuh lantai. Wajah tirus nan pucat. Bibir hampir membiru, cekungan mata, dan tatapan mata yang kosong. Sekilas, dia tidak mirip dengan rupaku saat ini. Tapi kalau ditelaah dengan baik, rupa kami sama hanya dalam kondisi berbeda.

Kabur, ya aku harus kabur dan mencari bantuan.

Bangsat! Kenapa tubuhku tidak bisa bergerak. Berteriak pun tidak bisa.

Keringat dingin membanjiri tubuh. Dadaku berdegup kecang. Saking kecangnya terasa begitu sakit dan menyesakkan. Suhu ruangan menurun drastis, berbanding terbalik dengan ketakutanku yang melonjak naik.

Sosok itu bergerak menoleh padaku. Ini bukan perdana kami berjumpa. Tapi ini jadi kali pertama aku menatapnya secara langsung.

Mengerikan. Kendati begitu, seperti ada kesedihan yang mengintip dari wajahnya.

Sebuah persepsi menyelusup masuk diantara rasa takut yang masih gencar merundung. Mungkinkah aku yang jahat. Aku yang jahat karena telah mengambil alih tubuhnya. Membuat jiwanya terusir. Berkelana didunia fana tanpa di kenal siapa-siapa. Menyebabkan dirinya berakhir menjadi nelangsa.

Kesedihan kudedikasikan untuk jiwa Malang juga untuk diriku. Kami sama-sama dipermainkan tuhan.

Walau begitu, aku tidak ingin menyerah. Mungkin memang egois, tapi segala sesuatunya akan kupertahankan. Maaf jiwa [full name] hidup memang sekejam itu.

"Sebentar... lagi..." Parau, lemah, dan menakutkan. Suaranya mampu mengusir pilu yang sempat mengusik. Kengerian kembali meraja. Iba yang sempat ku berikan pada sosok itu menyublim bersamaan dengan seringainya yang melebar. "Sebentar lagi... "

Bulu kuduk meremang. Optimisme yang sempat menggebu dibekukan oleh atmosfer ruangan yang kian menipis.

Tubuhku masih membatu. Suaraku belum kembali. Dan waktu seolah berjalan sambil terseok. Begitu lambat dan menyiksa.

Yang bisa kulakukan hanya meremas kelopak mata kuat-kuat, membiarkan suaranya yang terus melirihkan kata yang sama memasuki pendengaranku. Tak lupa, menggaungkan doa dan harap dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Indra pendengaranku hanya mendengar bunyi detik jam. Tak ada lagi lirihan lemah yang mengerikan.

Lantas aku memberanikan diri untuk membuka mata—

Wajahnya tepat berada didepanku. Tubuhku masih membatu, suaraku masih terbelenggu. Sialan!

Bibir pucatnya bergerak pelan. "Sebentar lagi... kau akan pergi!"

*

Aku menjerit sampai tenggorokanku sakit. Tubuhku basah karena keringat. Napasku memburu cepat.

Yang tadi itu hanya mimpi, tapi terasa begitu nyata. Lebih nyata dari sebelumnya.

Lantas, aku melirik kearah jam. Waktu yang sama seperti di mimpi.

Dengan tubuh yang bergetar, aku bergerak keluar kamar. Berjalan sembari meraba tembok menuju ke ruang utama.

Lantaran terlalu lemas, aku terjatuh ditengah jalan. Tangisku pecah.

Kiasan mati ketakutan itu nyata. Meremahkannya berbuah petaka bagiku.

Aku tak sanggup bergerak. Sambil mengepalkan jari dan membiarkan tangis mengusik keheningan, aku membiarkan tubuhku tergeletak di lantai lobi.

Rasa optimis, keinginan egois untuk bertahan lenyap begitu saja. Aku takut, aku ingin pulang.

"[Name]-chan, kau kenapa?!" Atsumu berjongkok, lalu mencoba mendudukkan tubuhku. "Kau kenapa? Jangan berbaring dilantai, kotor."

"Kau baik-baik saja?" kali ini Osamu yang bertanya.

Kendati begitu, aku tak bisa menjawab. Kemampuan berbicara ku seperti lenyap begitu saja, yang bisa kulakukan hanya menangis sekeras-kerasnya.

"[Name]-chan?!"

"Tsumu kau jaga dia. Aku akan panggilkan pelatih dan yang lain," ucap Osamu setengah panik. "Jangan macam-macam ya."

"Kau pikir aku seburuk apa hingga mau macam-macam di kondisi seperti ini, hah?!" maki Atsumu pada punggung saudaranya yang kian mengecil.

Aku mencengkram erat kaos bagian depan Atsumu. Meluapkan ketakutanku padanya.

"[Na-name]-chan?"

Tangan Atsumu perlahan bergerak menepuk pelan punggungku. Ia membiarkan aku meluapkan tangis dan ketakutan di dada bidangnya.

"Tenang, semua akan baik-baik saja," bisiknya pelan, penuh ketenangan.

Sayang, kata-kata seperti itu tak lagi berguna.

Tak berselang lama, pelatih dan anggota yang lain datang mengerumuni ku.

"[Name]?" suara rendah Rin yang sedikit serak memasuki pendengaran. Walau begitu, aku memilih untuk tidak menyahut.

Tangan Shinsuke mengelus bahuku, dengan suara lemah lembut berulang kali ia menanyakan keadaanku.

Aku merasa bersalah membuat mereka semua panik. Sebisa mungkin aku mencoba menghentikan tangisku. Namun berakhir gagal.

Akagi berkata kalau ia tak keberatan dengan tangisku. "Kalau masih mau menangis, lanjutkan saja," tambahnya.

"Akagi benar, biarkan dia tenang dulu. Jangan ditanyai apapun dulu," ucap pelatih.

Tangisku berlanjut. Yang lain hanya menatap dengan tatapan khawatir. Posisiku masih sama, memendamkan wajah di dada Atsumu. Shinsuke sendiri masih Setia berlutut disebelahku.

Aku ingin pulang, tapi di sisi lain ingin terus disini.

Semua ini benar-benar membingungkan. Kenapa kisah perjalanan isekai ku harus seperti ini. Kenapa tidak berjalan manis dan mulus seperti di komik-komik.

Sial!

Setelah beberapa lama. Tangisku berganti menjadi sesenggukan. Memalukan, tapi aku tidak bisa menghentikannya.

Cengkraman tanganku pada kaos Atsumu makin mengerat. Pemiliki kaos maklum.

"Kau sakit?" tanya pelatih.

Aku menggeleng kecil.

"Lalu?"

Aku ingin bersuara. Tapi aku tidak bisa menjabarkan apa yang terjadi barusan. Seolah tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikannya. Kalau pun ada, apa mereka akan percaya.

"[Surname]?" pelatih mengerutkan kening.

"Pelatih, kurasa [name] masih harus menenangkan diri," ucap Shinsuke.

"Kalau begitu, bawa dia ke kamarnya."

"[Name]-chan, kau bisa kembali ke kamarmu sendiri?" Atsumu memegang cengkramanku, perlahan mencoba melepaskannya. Walau ragu, aku mengangguk lemah.

Atsumu, dan Shinsuke mencoba membantuku untuk berdiri. Tubuhku terlalu lemas dan tak bertenaga, hampir saja aku kembali terjatuh. Tapi dengan cekatan, Atsumu dan Shinsuke bisa menangkapku.

Anggota yang lain pun sempat terkejut saat mendapati aku hampir terjatuh.

Helaan napas lega dari mulut Rin lolos kedalam pendengaranku. Sesaat, pandangan kami sempat beradu. Tersirat ke khawatirkan dalam pupilnya.

"Kalau begitu izinkan aku membopong mu."

Tak ada protes yang keluar tat kala Aran menggendongku. Aku terlalu lemah dan ketakutan untuk malu-malu kucing. 

"Hati-hati, Aran," ucap Akagi.

"Yang lain bisa kembali ke kamar masing-masing," ucap pelatih. "Ayo sana kembali! besok kalian masih harus berlatih!"

"Tapi--" Atsumu langsung mengatupkan mulut rapat tat kala pelatih memelototinya.

Semua anggota klub pun mulai membubarkan diri, kecuali pelatih, Shin, dan Aran, tentunya karena dia yang akan membawaku.

Sesampainya di kamarku, Aran langsung menurunkan dengan pelan diatas kasur. Ucapan terimakasih pun terucap dari bibirku.

"[Surname], kalau ada apa-apa panggil saja saya atau anggota yang lain lewat telepon," ucap pelatih. "Kalau begitu, beristirahatlah. Kalau sudah membaik, besok kau harus ikut bantu-bantu."

Pelatih berjalan menuju pintu, Shin dan Aran mengekor. Mereka berdua sempat menoleh padaku, menatapku tidak tega.

"Tunggu dulu!"

Ketiganya menoleh, menatap dengan heran.

"Kenapa [surname], kau merasa sakit?"

Aku menggeleng kecil. "Bisa tolong salah satu dari kalian tinggal disini untuk menemaniku?" 

Pelatih, dan Aran agak terkejut. Sedangkan Shin terlihat begitu tenang. Mengingat ini bukan kali pertama baginya melihatku dalam keadaan seperti ini, wajar saja jika dia sangat tenang.

"Pelatih, biar aku saja yang menami [name]."

Lagi-lagi Aran dan pelatih dibuat terkejut. 

"Kalau Kita yang bersama [surname], ku rasa tak masalah. Kalau begitu, aku kembali dulu. Pastikan kalian tidak berbuat macam-macam," ucap pelatih. Ia lalu melenggang lebih dulu.

Tatapan Aran bergantian menatapku dan Shin. "Perlu ku temani juga?"

"Tidak usah. Kau kembali saja ke kamar. Bilang ke yang lain kalau [name] baik-baik saja. Aku yakin mereka sangat khawatir saat ini," ujar Shin dengan nada yang begitu tenang.

"Baiklah kalau begitu." Aran berjalan keluar pintu. "Oyasumi, [surname]," ucapnya sebelum menutup pintu kamar.

Shin berjalan menuju kasur, lalu duduk tepat disamping kananku. "Tidur saja. Kau terlihat lemas sekali."

Lucu juga, padahal baru beberapa menit lalu aku terbangun dari tidur tapi malah terlihat kelelahan. "Aku tidak mau tidur."

"Aku tidak akan macam-macam, tenang saja."

"Aku tahu, Shin-senpai tidak akan macam-macam, hanya saja..."

Kata-kata ku menggantung diudara. Ragu merasuk. Hal tak masuk akal begini siapa yang akan mendengarnya. Memang lebih baik ku simpan sendiri.

"Kenapa?" 

"Tidak kenapa-napa."

"Ceritakan saja. Aku akan mendengarkannya."

"Ini tidak masuk akal. Senpai pasti tidak akan percaya."

"Nenek suka menceritakan kisah para dewa padaku. Dan aku akan duduk sambil menyimak dengan seksama." Nada bicaranya begitu lembut. "Terkadang cerita tersebut tak masuk akal, tapi aku tetap mendengarkannya. Karena aku percaya di dunia ini mungkin ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan dengan akal."

Senyumnya seolah membujukku untuk terbuka padanya. Dan akupun luluh. 

"Senpai percaya tidak kalau aku ini bukan [surname] yang sebenarnya?" mata kami saling beradu. Dia masih terlihat tenang. "Bahwa sebenarnya, jiwa yang mengisi tubuh ini bukanlah jiwa [name] yang sebenarnya, melainkan jiwa orang lain?"

Ia termenung. entah karena terkejut, atau karena menganggap ceritaku diluar nalar. Dan aku meyakini potensi kedua. Memang Shin bisa menerima cerita dewa yang kadang diluar akal. Tapi itu dewa. beda cerita denganku.

Mulutku bergerak membentuk senyum miris. "Lupakan saja. Hal tadi benar-benar mustahil. Anggap saja aku gila."

Sentuhan yang begitu mendadak menghantarkan listrik kesekujur tubuhku. Antara si pemilik tangan, dan tangannya yang menggenggam tangaku, entah aku harus fokus kemana. Tapi ketika Shin mulai membuka suara, aku tahu kearah mana aku harus memusatkan perhatian. Tentu kepada sepasang iri indah itu.

Aku dapat melihat ketulusan, kekhawatiran, dan perhatian terpancar dari kedua jendela dunianya. Ada juga berbagai perasaan lain yang tak bisa ku terjemahkan.

"Aku tahu." Genggaman tangannya kian mengerat. "[full name] yang sebenarnya tak akan berani menyapaku. [full name] yang sebenarnya tak akan pernah tertarik dengan voli. [full name] yang sebenarnya tak akan bisa akrab dengan Suna. [full name] yang sebenarnya tak memberikanku rasa hangat saat berbincang dengannya."

"Sejak kapan?"

"Sejak hari dimana kau menuduhku membuntutimu." lagi, ia tersenyum. "Aku terus berpikir, dan berkonspirasi."

"Jadi senpai percaya?"

Dia mengangguk.

Tanpa kusadari, air mataku kembali menetes. Tangisku berbeda dengan yang tadi. Kali ini aku bahagia. Bahagia bahwasannya ada yang paham dan percaya dengan situasiku.

Shin melepas genggaman tangannya. Sedikit kecewa saat itu terjadi. Tapi didetik berikutnya aku paham. Shin ingin mengusap air mataku dengan ibu jarinya. Gerakannya begitu lembut dan terasa hangat.

Dengan Shin yang kembali membawa tanganku kedalam genggamannya, aku pun mulai menceritakan segalanya. Tentang mimpi burukku, ketakutanku, dan rasa putus asaku. Dia pendengar yang baik. Tak menginterupsi sedikitpun. Saat aku tak bisa menyelesaikan kalimat karena masih terbayang rasa takut, ibu jarinya akan bergerak mengelus punggung tanganku yang masih terjebak dalam genggamannya.

Ada perasaan lega tat kala aku telah menceritakan semuanya. Ketika segala sesuatu begitu melelahkan dan buntu, memang pilihan paling tepat adalah bercerita pada orang yang tepat. 

"Aku benar-benr takut dan putus asa. Aku ingin pulang saja. Biar jiwa [full name] saja yang mengisi tubuh ini. Aku tidak kuat."

Genggaman tangannya menguat. "Boleh aku egois?" tanyanya dengan nada rendah yang lebih serius.

Tatapan penuh tanya adalah responku terhadap kalimat tanyanya.

"Mungkin kau akan terus dihantui dan merasa ketakutan. Tapi aku ingin kau tetap disini. Jangan pergi."

tebece

Hay apa kabar?
Semoga sehat selalu dan selalu berada dalam lindungan tuhan

Turut berduka cita untuk berbagai bencana yang menimpa negeri ini

Semoga cepat berlalu 🙏🏻

Btw... Aku publish dua book baru, ayok mampir kesana gaes ehehe...

See u...

22 Januari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro