Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16

Belakangan ini rasa takut terus menghantui. Ada cemas tatkala hanya berada sendiri. Bersyukur. Tiap malam, rumah Shinsuke selalu terbuka lebar menyambutku. Dan lagi, neneknya dengan senang hati menerimaku tidur disebelahnya.

Bermula dari malam dimana aku meminta Atsumu dan yang lainnya untuk menginap. Shinsuke dengan tegas melarang. Ia lebih menyarankan agar aku yang menginap dirumahnya. Tanpa pikir panjang, aku pun mengiyakan. Tak masalah dimanapun itu, asal aku tidak sendiri.

Hari-hari di rundung kecemasan terus berlanjut. Dan tanpa terasa, pelatihan musim panas akhirnya dimulai.

Menguap lebar, aku berjalan lunglai menaiki bus. Duduk disamping jendela mungkin jadi pilihan yang baik. Bangku di sampingku masih kosong—oh sudah tidak lagi. "Pagi Osamu."

"Pagi. Kurang tidur lagi?"

Mengangguk pelan. Permasalahku tentang waktu tidur sudah jadi rahasia umum anak-anak voli. Entah karena aku tidak sengaja bercerita pada Atsumu, atau karena aku selalu terlihat mengantuk belakangan ini.

"Coba dengarkan musik relaksasi."

"Sudah."

"Lalu?"

"Masih sulit tidur."

"Pakai lilin aroma—"

"Masalahnya, aku terlalu takut tidur dimalam hari." Pandanganku jatuh pada jendela.

Semua anggota klub voli sudah naik kemobil bis. Bis pun melaju.

Sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Sesekali membiarkan kantuk menguasai. Pada akhirnya, aku tak bisa berkelana kealam mimpi karena keadaan terlalu bising. Kenapa Atsumu harus berteriak saat berdebat dengan Ren-senpai. Sungguh mengganggu.

Ah, ngantuk, lelah. Ini semua karena sosok mengerikan itu. Sialan!

"Eh?"

"Pakai itu, supaya nyaman," ucap Osamu sesudah memasangkan bantal leher padaku. "Juga ini." Kali ini ia memasangkan earphone ditelingaku.

Perbuatan Osamu membuatku termenung. Tak ada yang bisa kulakukan selain diam memandangi bungsu keluarga Miya itu.

"Kamu bilang takut kalau tidur di malam hari. Tapi, kalau pagi hari bagaimana?"

Pagi hari biasanya aku disibukkaan dengan rutinitas harian pelajar. Jadi aku tak pernah memikirnya. Namun kali ini aku memiliki kesempatan.

"Katanya perjalanannya sekitar tiga jam. Kamu bisa memanfaatkannya untuk tidur."

"Terimakasih."

Tangan Osamu bergerak menepuk pelan kepalaku. "Ada request untuk lagu?"

"Apa saja, asal bisa menjadi pengantar tidur."

Instrumen menenangkan mulai melantun. Walau begitu, tak sepenuhnya menutup suara bising disekitarku. Tapi begini saja sudah cukup. Perlahan, aku memejamkan mata. Sayup-sayup aku mendengar perselisihan antara Osamu dan... Rintarou, mungkin. Ah menganggu.

Persetan, aku abaikan saja.

"Osamu, tukar tempat duduk denganku."

"Tidak mau."

"Kenapa? kamu biasanya disamping Atsumu kan."

"Aku bosan."

"Atsumu mengganggu."

"Kenapa pindah kesini, kenapa tidak ketempat lain?"

"Itu karena..."

Dan kalimat Rin yang menggantung menjadi suara terakhir yang aku denger.

*

Aku terbangun tepat saat kami sampai di tempat tujuan. Terimakasih pada Shinsuke yang mau membangunkanku, disaat yang lain malah seenak jidat mengabaikanku yang tertidur pulas sambil memeluk jaket yang entah milik siapa. Dan hey! Kenapa bisa ada padaku.

Mengabaikan rambut yang berantakan. Aku langsung turun dari bis, mengejar rombongan yang hampir menjauh.

Bruk...

Kenapa malah begini. Aku malu. Rasanya mau pulang saja. Mau tinggal dengan neneknya Shin. Aku tidak mau ikut kamp pelatihan.

"Suna, nanti kirim fotonya ya," ucap Atsumu.

"Nice Suna!"

"Kalian itu jahat sekali. Ada orang jatuh malah di foto." Ginjima, aku padamu Ginjima. "Ditertawakan juga dong!"

"Ginjima sialan!" Langsung kulempar jaket yang pemiliknya masih misterius itu pada Ginjima.

"Jangan mengumpat. Itu tidak baik. Apalagi kamu perempuan." Sebuah tangan terulur. Tanpa ragu aku meraihnya. Si pemilik tangan membantuku berdiri.

"Terimakasih, Shin-senpai."

"[Surname], kamu tidak terluka?" tanya Akagi-senpai. Rupanya yang waras memang hanya para senior. Kenapa teman seangkatanku tidak ada yang benar.

Aku menggeleng pelan. Perjalanan kami kembali berlanjut.

"[surname], ini jaketmu!" teriak Ginjima.

"Itu bukan punyaku!"

"Lalu—"

"Itu punyaku," ucap Osamu sambil mengambil alih jaket miliknya dari tangan Ginjima.

Ah milik Osamu rupanya. Wangi parfum di jaketnya enak juga. Aku suka.

Pelatih memberikan arahan, lalu mengatur pembagian kamar. Karena aku satu-satunya perempuan, tentunya aku akan tidur seorang diri. Dan itu artinya gawat.

Sial!

"Kalau tidak ada yang ditanyakan. Segera simpan barang-barang kalian di kamar masing-masing. Setelah itu, beristirahatlah. Karena sejam kemudian kita akan memulai latihan."

Semua bergerak menuju kamar masing-masing. Sementara aku masih mematung ditempat. Memikirkan apa yang akan terjadi malam nanti. Andaikan Matsumoto ikut, pasti aku tak perlu merisaukan hal ini.

Eh tunggu dulu. Kalau Matsumoto ikut, berarti aku tidak ikut kamp pelatihan dong. Argh! Yang salah memang sosok itu. Kalau memang dia menginginkan tubuh ini, harusnya dia berbicara baik-baik. Jangan malah muncul sambil menakut-nakuti.

Lagipula untuk apa dia melakukan itu. Apa dia pikir dengan begitu aku akan berakhir mati ketakutan. Lalu akhirnya dia bisa mengambil alih lagi tubuh ini. Aku memang ketakutan, tapi kalau sampai mati karena hal seperti itu, kurasa tidak. Dan tolong jangan. Aku ingin hidup awet di dunia ini.

"Hey!"

"Ya?!" balasku, setengah terlonjak.

"Kenapa diam saja?" tanyanya. "Apa kakimu terluka saat jatuh tadi?"

"Tidak kok."

"Lalu?"

Mana mungkin aku memberitahu kecemasanku. Bisa-bisa aku dianggap konyol. "Aku hanya sedang melamun."

"Melamun tidak baik, nanti cepat mati." Tanpa permisi, tangannya mengambil alih tasku. Lalu berjalan beberapa langkah. "Ayo cepat."

"Rin, kamu nggak kekamar mu?" setenang berlari, aku mencoba menyamakan langkah kami.

"Nanti."

"Asal kamu tahu saja ya, sebenarnya aku tak perlu diantar."

Kaki jenjangnya berhenti melangkah. Sepasang mata sipit memicing tajam padaku. Tanpa di duga, ia melemparkan tas tepat di mukaku. Untung kali ini refleksku bagus. "Rin, sialan!"

"Jangan melamun, cepat kekamar dan berbenah." Rintarou pun kembali ke tempat yang seharusnya.

Aku tahu niat Rin baik. Tapi tak enak juga meminta bantuan. Karena disini kami sama-sama sibuk dan memiliki waktu terbatas. Apalagi, setelah ini dia akan berlatih.

Melangkahkan kaki malas sambil menyeret tas jinjing. Akhirnya aku sampai di kamar. Tidak terlalu luas, tapi bersih. Sialnya, kamarku ini letaknya cukup berjauhan dengan letak kamar anak cowok.

Ponsel berdering tat kala aku sedang berbenah sembari mengumpat. Rupanya Matsumoto. Menjawab panggilan, langsung ku setel kedalam mode pengeras suara. Sementara itu aku kembali berbenah. Waktuku tidak banyak.

"Halo kouhai-ku yang manis..."

"Halo senpai-ku yang cantik."

Tawa merdu melantun dari ponsel. Sementara senyum simpul bertengger di bibirku. Senang rasanya bisa akrab dengan Matsumoto. Dia sosok yang begitu mengagumkan dimataku. Baik dan bersahaja.

"Bagaiamana perjalanannya?"

"Selama perjalanan aku tertidur pulas."

"Dasar ya, kamu." Ia terkikik geli. "Oh ya, kalau ada sesuatu yang tidak dipahami, tanyakan saja ya. Dengan senang hati aku akan memberitahumu."

"Aye aye captain!"

"Jangan terlalu dibuat pusing. Kamu juga harus bersenang-senang."

Lagi, aku tersenyum. Duduk ditepian ranjang. Me-nonaktifkan mode pengeras suara. Lalu menempelkan ponsel didekat telinga. "Senpai, sebenarnya aku sedikit khawatir." Kurasa curhat pada dia adalah pilihan yang tepat.

Dari seberang sana, Matsumoto merepon. Nada bicaranya seolah mengatakan kalau dia siap sedia mendengarkan keluh kesahku.

"Sebenarnya, aku sedang dibayangi rasa takut. Apalagi kalau malam hari, dan sendirian." Dalam jeda yang kuberikan, Matsumoto hanya merespon dengan 'iya.' Bertanda dia menyimak dan antusias terhadap ceritaku. "Dan masalahanya, selama kamp pelatihan ini. Tiap malam aku akan tidur sendirian."

"Maaf ya [name]-chan. Aku tidak bisa menemanimu."

"Tidak apa-apa senpai." Toh kalau senpai bisa ikut, aku tidak akan ada disini.

"Kalau nanti malam takut, kamu bisa meneleponku. Akan kutemani sampai kamu tertidur."

"Apa tidak merepotkan?"

"Tidak kok. Toh besok aku lowong."

Yang sedikit tapi berkualitas memang sangat berharga. Temanku didunia ini tidak banyak. Tapi bisa kupastikan mereka benar-benar tulus dan baik. "Senpai, boleh aku bertanya."

"Ya?"

"Kenapa senpai tidak ikut kamp pelatihan?"

Hening sejenak, sebelum akhirnya ia menghela napas lumayan panjang. "[name]-chan bisa menjaga rahasia?"

"Kurasa. Setidaknya, aku tidak seperti Atsumu."

Tawa Mtasumoto kembali menyapa. "Sebenarnya... aku akan pindah."

Rasanya seperti duniaku runtuh seketika. Baru saja beberapa detik lalu aku bersyukur akan keberadaanya. Tuhan, salah apa aku hingga kau sekejam ini.

"Alasanku tidak ikut karena aku harus berbenah."

"Kenapa? kapan?" Suaraku bergetar.

"Ayahku di pindah tugaskan. Mungkin sebelum libur musim panas berakhir aku sudah pindah."

"Kenapa tidak memberitahu yang lain?"

"Aku tidak ingin merusak suasana kamp pelatihan mereka. Setelah kamp pelatihan selesai, aku akan memberitahu mereka kok." Kali ini tawanya terdengar palsu dan mengganggu. "Jadi tolong jangan beritahu siapa-siapa, oke?"

Ah, jadi ini alasan kenapa Matsumoto Ran tidak ada di manga haikyuu.

Rentang kedekatan kami memang singkat. Tapi hatiku terasa remuk mendengar semua ini. Aku paham tentang Konsep segala sesuatu akan pergi. Tapi aku tak tahu bahwa akan secepat ini.

Rasanya seperti ada batu besar ditaruh dipunggungku. Belum selesai satu masalah. Tuhan malah menambahkannya lagi. Entah apa yang Dia inginkan dariku. Mengujiku? Tapi bukankah ini sudah berlebihan.

"[Name]-chan, jangan menangis. Aku janji akan terus menghubungimu."

Aku adalah saksi dari ribuan hubungan yang perlahan memudar karena terbentangnya jarak yang nyata. Lantas, haruskah aku mempercayainya.

*

Gedung olahraga ramai. Sesi latihan sudah dimulai. Diawali dengan pemanasan ringan, lari, kemudian latihan serve. Pemain Inarizaki memiliki serve yang bermacam dan kuat. Terutama Atsumu. Entah kenapa dia jadi sangat mengerikan kalau sedang melakukan serve. Seperti ada aura psikopat yang menguar dari tubuhnya.

Sementara itu, aku sibuk mecatat. Jangan anggap remeh pekerjaanku. Sambil terus memperhatikan dan mencatat, aku juga harus berhati-hati pada bola nyasar yang bisa saja—

Plak

Kena kepalaku.

"[Surname], kamu baik-baik saja?"

"Bolanya tidak kenapa-napa kan?"

"Tsumu, servemu payah."

"Berisik, Samu!"

Apa hari ini dewi fortuna sedang tidak peduli padaku. Kenapa sial terus. Menyebalkan sekali. Dan lagi, kenapa serve Atsumu keras sekali.

"Mengantuk lagi?" tanya kapten.

"Tidak!" sanggahku cepat. "Aku hanya melamun."

"Jangan keseringan melamun, apalagi ditempat seperti ini."

"Maaf kapten. Aku tidak akan mengulanginya. Mulai sekarang aku akan fokus."

Kapten menepuk tangannya beberapa kali. "Ayo semua kembali berlatih!"

Yang sempat mengerumuniku pun mulai membubarkan diri. Tatapanku sempat beradu dengan Rintarou untuk beberapa detik. Sebelum ahirnya, si pemilik iri hijau keabuan itu lebih dulu memutuskan kontak. Rasanya seperti tatapan Rin mengatakan sesuatu. Tapi aku tak bisa menerjemahkannya.

Maaf saja, aku bukan ahlinya dalam membaca tatapan mata.

"[Name]-chan, maaf." Tiba-tiba saja tangan Atsumu menyentuh dahiku. "Sakit?"

"Iya!"

"Maaf ya, lain kali aku traktir es krim sebagai permintaan maaf."

"Dua?"

"Yaampun banyak sekali."

"Kamu pernah bilang, dua itu nggak banyak. Kalau lebih dari 10 baru banyak."

Putra keluarga Miya tergelak. Tangannya bergerak mengacak kasar rambutku. "Yaampun, masih ingat saja."

Tentu saja ingat. Masa itu aku seperti orang tersesat didunia. Di musuhi Osamu, di buli Nakamura, yang paling parah di tuduh sebagai fans Atsumu. Memori yang buruk. Tapi, kalau diingat lagi, aku sudah melakukan kemajuan yang luar biasa.

"Sudah pergi sana. Lihat, kapten sudah melotot tuh!"

Masih dengan tawa kecilnya, Atsumu kembali ketengah lapang.

Mengabaikan dahi yang berdenyut nyeri. Aku terus melakukan tugasku.

Bukan hal buruk juga. Melihat mereka latihan itu seperti fan service untuk mataku. Uwoh... lihat kaki berotot mereka. Keren sekali.

Sial, Rintarou memergokiku. Yang bisa kulakukan hanya memasang senyum bodoh. Ah benar-benar memalukan. Semoga dia tidak sadar dengan kelakuan mesumku.

Latihan berjalan tanpa hambatan. Tunggu, apa tragedi bola menyasar dan pertengkaran singkat antara si kembar bisa disebut hambatan. Kalau memang iya, berarti latihan hari ini tidak telalu lancar.

Sampailah kami di penghujung latihan. Sudah jadi tradisi, akan ada latih tanding untuk para tim reguler. Dan disinilah aku, berdiri disamping papan nilai menemani Shinsuke.

"Senpai tidak ikut main?"

Manik itu menatapku penuh. "Aku bukan bagian dari pemain reguler."

Ah aku baru ingat. Ini tahun kedua Shinsuke. Dia bukan apa-apa di klubnya. Pelatih dan pembina masih menutup mata terhadap Shinsuke rupanya.

Sembari memamerkan senyum penuh optimisme, ku menepuk pelan bahunya. Aku tidak tahu dia butuh kata penyemangat atau tidak, tapi aku sangat ingin mengatakannya.

"Senpai, jangan menyerah. Terus lakukan apa yang terbaik menurut senpai. Aku yakin, sebentar lagi mereka akan menyadari potensi senpai."

Sekilas, sepasang iris cantik itu terlihat berkaca-kaca. Sebelum akhirnya si pemilik memutuskan kontak.

"Terimakasih."

Tebece



Kenapa ya banyak yang nggak suka atsumu :")




17 Desember 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro