Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

15

"Wahai kalian semua, lihatlah kehebatanku!"

Decak kagum keluar dari mulut Matsumoto. "Aku tidak menyangka [surname]-chan sepintar ini."

"Senpai jangan berkata begitu. Aku jadi malu."

"[surnema], kamu nyontek kan? Jujur aja. Nanti aku bilangin ke guru."

Ginjima sialan. Aku tersenyum mengejak pada lelaki perak itu. "Maap saja, aku berhasil karena usahaku sendiri."

"[name]-chan, bukannya waktu hari minggu kamu berkata kalau kamu tidak belajar dan mengingat sedikit pun materi pelajaran. Kok bisa kamu hanya mendapat nilai merah di satu mata pelajaran?" Atsumu menatap heran. Bukan hanya Atsumu, hampir semua beraut bingung.

"Wow... [name] ternyata pintar ya." Pujian Rin justru terdengar seperti ejekan di telingaku.

Ah, jadi begini rasanya sombong. Sungguh menyenangkan. Tertawa angkuh, lalu bersedekap tangan. "Dengar semua. Aku terhindar dari nilai merah bukan karena pintar atau belajar dengan giat..." Semua menyimak dengan bersunggug-sungguh. "...Tapi karena keberuntungan!"

"Sialan!" Ginjima mendecih.

Aran geleng-geleng sambil berdecak. Matsumoto tertawa kecil. Rin, aku yakin dia mengumpat dalam diamnya.

Selama seminggu ujian, aku sempat ketar-ketir bahkan tidak tidur sama sekali. Terlalu sibuk dengan Nakamura dan anak-anak voli, aku jadi lupa kewajiban utama pelajar. Dan sialnya, tidak ada satupun ingatan soal belajar di memori [name].

Sebenarnya aku pesimis. Karena setiap mengisi jawaban aku menggunakan cara legenda, yaitu dengan menghitung kancing. Tapi siapa sangka, aku hanya gagal di satu pelajaran, matematika. Walau yang lainnya lulus dengan nilai pas-pasan. Tapi lumayan kan.

Ah keberuntunganku memang diluar nalar.

Merasa ada yang menimpa kepalaku, aku menoleh ke samping. Rupanya tangan Shin. "Jangan bangga akan hal seperti itu. Lain kali belajarlah lebih keras, jangan lupakan kewajiban mu sebagai pelajar," ucapnya.

Aku meringis. "Baik senpai."

"Dengar itu [name]-chan." Atsumu ikut mendaratkan tangannya diatas kepalaku.

Dikira kepala tempat penitipan tangan. Niat hati ingin mengusir tangan Atsumu, tapi Osamu sudah lebih dulu melakukannya.

"Itu juga berlaku untukmu, Tsumu," ucap Osamu.

"Perhatian semua, aku ingin bertanya siapa saja yang harus ikut kelas perbaikan?" tanya kapten

Aku, Atsumu, Osamu, Ginjima, Suna mengangkat tangan. Sisanya, tidak. Wah, terlihat sekali yang bobrok hanya angkatan kami.

"Berapa?"

"Aku satu, hanya di matematika," kata ku.

"Aku juga," sahut Suna pelan.

"Hanya matematika," kata Osamu.

"Matematika dan sastra," jawab Atsumu.

Suara tawa mencuri atensi kami. Rupanya Ginjima yang tengah tertawa. Menggerakkan telunjuk ke kanan dan ke kiri, ia tersenyum pongah. "Kalian ini lemah sekali. Masa Matematika saja dapat nilai merah."

"Memangnya kamu tidak?" tanya Osamu.

"Tidak dong!" Ginjima tertawa sombong.

"Jadi, Ginjima kamu tidak memiliki kelas perbaikan?" tanya kapten.

Tawanya langsung mereda. "Eh ada."

"Berapa?"

"Tiga. Sastra, Kimia, dan seni."

Kali ini giliran kami yang tertawa. Tak kusangka karma akan datang secepat ini.

Kapten menghela napas. "Kalau begitu, jadwal untuk camp latihan musim panas terpaksa harus diundur beberapa hari. Kalian yang mendapat nilai merah, pastikan belajar lebih rajin agar bisa lulus dan ikut camp pelatihan."

Setelah mengatakan itu, latihan yang sempet tertunda karena pun kembali berlanjut. Mengingat bubuk minuman energi habis, Matsumoto pun bergegas membelinya. Sementara ia menyuruhku memantau latihan ini. Ini tak terlalu sulit, karena Matsumoto sudah mengajariku.

Aku sudah menjadi manajer?

Tidak, bukan begitu. Aku diajari karena akan menggantikan Matsumoto pada camp musim panas nanti. Adanya aku disini pun sebenarnya hanya untuk melaporkan perihal kelas perbaikan pada kapten.

Tapi sudahlah, tak menjadi manajer juga tak masalah. Asalkan bisa dekat dengan mereka. Ingat, banyak jalan menuju roma.

"[name], kamu melamun."

Terlonjak, hampir saja aku menjatuhkan buku catatan yang ku pegang. "Maaf senpai."

"Apa yang kamu lamunkan?"

Senpai dan teman-teman senpai. "Tidak ada, hanya soal kelas perbaikan saja."

"Kenapa?"

Menggaruk tengkuk. Ah malu sekali mengakuinya. "Aku tidak pandai matematika. Entah sekeras apapun aku belajar, aku tidak bisa."

"Mau ku ajari?"

"Eh, Serius?" ada kaget bercampur senang.

Ia mengangguk. "Kurasa kamu tidak pernah paham, karena belum menemukan guru yang tepat. Aku memang tidak terlalu pandai, tapi kudengar, belajar akan lebih mudah jika diajari orang terdekat apalagi teman sendiri."

Eh benar juga. Dikehidupnaku yang dulu pun sama. Materi yang disampaikan teman lebih bertahan lama di otakku.

"Mau?" tanyanya.

Aku mengangguk antusias.

"Malam ini, di rumahmu. Kita mulai belajar."

"Baik Shin-senpai!"

*

Helaan napas lolos dari celah bibirnya. Duduk tegak bersilah dengan kedua tangan yang dilipat didepan dada. Mata coklat kusamnya menatap para tamu tak diundang yang tiba-tiba saja muncul.

"Atsumu, Osamu, Suna, kenapa kalian disini?" tanyanya.

Ketiganya saling melempar tatapan, kemudian kembali menatap si senior layaknya anak anjing yang tengah memohon.

"Ingin belajar?" Atsumu bahkan ragu dengan jawabannya.

Osamu memukul punggung saudaranya. "Kenapa ragu, tentunya ingin belajar. Memang kamu kesini mau apa."

"Atsumu kesini ingin menggoda Kita-san, mungkin," ujar Rin malas. "Ah maaf kita-san hanya bercanda." Si sipit langsung menunduk tatkala tatapan Shin tertuju padanya.

Lagi, Shinsuke menghela napas. Ia lalu menyisir rambut dwi warnanya menggunakan jari. "Aku tidak masalah kalian ikut belajar. Tapi tumben sekali, biasanya pun kalian tidak mau ku ajari."

"Hm... kita ingin bertobat, yakan?" Atsumu dan Osamu menyahuti pertanyaan Rin dengan anggukan kaku.

"Terserah kalian saja. Tapi kalian harus meminta izin dulu pada pemilik rumah," ucap Shin, kalem seperti biasanya.

Tiga pasang mata menatapku.

Menghela napas. "Boleh saja, asal jangan minta makan dan minum."

Atsumu menjambak rambutnya. "Akh... padahal aku haus, aku ingin jus jeruk!"

"Tsumu, jangan berisik. Aku tak mau dimarahi karena mulut menyebalkanmu," ucap Osamu yang sedang mengeluarkan alat tulis dari tas nya.

Tanpa banyak basa-basi, kami mulai sesi belajar. Shinsuke menerangankan dengan santai namun tegas. Singkat namun dapat aku mengerti. Sesekali aku tak fokus pada materi, melainkan pada bibirnya bergerak-gerak. Entah, aku juga tak tahu kenapa.

Sesekali juga, pandangan kami beradu. Dan entah kenapa pula, aku jadi gugup dan berakhir memalingkan pandangan ke catatan.

Sepertinya ada yang aneh dengan tubuh [name].

Sama halnya denganku, ketiga cowok tak di undang juga memperhatikan dengan seksama. Hanya sesekali Rin yang kebetulan duduk disamingku, iseng mencoret-coret catatanku dengan pensil mekaniknya. Namun tenang, beberapa menit lalu ia sudah tidak melakukannya lagi. Lantaran aku sempat memukul punggung tangannya.

Kejadian tadi sempat membuat mulut Shinsuke berhenti. Untungnya tak sampai kena tegur atau marah. Sialan memang Rin ini.

"Sampai sini, ada yang ingin ditanyakan?"

Kami berempat diam. Hanya mengangguk singkat.

"Kalau begitu, coba kalian kerjakan latihan di halaman 32."

"Yang nomer satu?" tanya Osamu.

"Iya, nomer 1, 2, sampai sepuluh."

"Nani?!" untuk kali pertama kami berempat kompak.

"Kerjakan saja." Shinsuke beranjak dari duduknya. "Sementara itu, aku akan menyiapkan minuman dan cemilan. [name], kamu punya cemilankan?"

"Eh ada kok. Tapi biar aku saja."

Tangan Shinsuke memberikan gesture agak aku tetap diam ditempat. "Kamu fokus kerjakan soal, biar aku yang membawakan cemilan dan minum."

Tapi kan ini rumah ku, yasudahlah. Mengabaikan hal tadi, aku mulai mengerjakan soal. Sial, kok jadi mudah begini. Aku jadi ragu kalau jawabanku benar.

"[name], kamu mengerti soal nomer 2?"

Aku menatap Atsumu yang duduk diseberangku. "Mengerti dong," ucapku bangga.

"Kalau begitu, bantu aku mengerjakannya."

"Biar aku saja." Osamu menarik buku Atsumu. "Yaampun, bodohnya kamu. Jawaban nomor satu itu dua bukan tiga."

"Heh jangan sok pintar ya kamu Sumu, otak kita ini satu dua."

"Nggak."

"Samu!"

Kalau saja Rin tidak melerai dengan membawa-bawa nama senior mereka yang tengah berjibaku menyiapkan cemilan di dapur, si kembar tak akan berhenti. Aku juga yakin, kalau tidak dalam kondisi seperti ini. Alih-alih melerai, Rin justru akan menikmatinya.

Alhasil, Atsumu hanya bisa pasrah saat Osamu memberikan penjelasan sembari menyelipkan kata hinaan. Karena seru, fokusku teralihkan pada mereka.

Ketukan pada meja merebut atensiku. Rupanya Rin. Mengangkat sebelah alis menjadi salah satu cara bertanya tanpa kata.

Betopang dagu, manik hijau keabuan menatap lurus kearahu. "Sudah?" tanyanya dengan nada rendah.

"Ah belum, baru sampai nomor empat."

"Boleh tanya?"

"Apa?"

"Aku tidak mengerti soal nomer tiga."

"Bagian mananya?"

"Semua."

Mengikis sedikit jarak. Dengan pengatuhuan yang kudapat tadi, aku mulai mencoba menjelaskan sebisaku. Aku sendiri khawatir kalau Rin tidak akan terlalu paham. "...jangan lupa hasil akhirnya dibulatkan ya, aku juga tadi hampir lupa. Sudah mengerti?"

Pandangan kami bertemu. Seperti biasa, raut wajahnya seperti manusia kekurangan energi.

"Rin, kamu mengerti?" tanyaku sekali lagi.

"Hmm... coba ulangi sekali lagi. Aku masih kurang paham."

"Dari mana?"

"Dari awal."

"Sial-" Sabar, jangan mengumpat. Disini ada Shinsuke, aku tidak boleh kena ceramahnya, lagi. Tidak apalah membantu Rin, anggap sebagai balas budi karena dia sudah pernah membantuku. "Oke, tapi kali ini simak dengan baik!"

Kembali aku jelaskan dari awal. Sesekali aku meliirik Rin dari ekor mataku, bukan memperhatikan buku catatannya yang tengah ku coret-coret, ia malah memperhatikanku. Sial, memang dia niat mengerjaiku.

"Rin!" Masih bertopang dagu, dia memberikan 'hm' singkat sebagai sahutan. "Perhatikan bukunya, jangan aku!"

"Bukannya yang harus diperhatikan itu orang yang menjelaskannya ya?"

"Tapi nanti kamu nggak paham."

"Biasanya aku gitu, dan paham."

"Tapi tadi nggak."

"Kamu jelasinnya terlalu terburu-buru." Jari jenjangnya mengetuk buku catatan. "Lanjutkan, kali ini jangan terlalu cepat. Dan aku akan memperhatikan dengan caraku."

Si kembar sempat terganggu karena perdebatan kami. Osamu bahkan menawarkan diri untuk mengajari Ri , namun si sipit menolak dengan alasan Osamu harus memperhatikan saudaranya. Dengan berat hati, aku kembali melanjutkan penjelasanku.

"Sudah selesai?" Shinsuke datang membawa nampan berisikan minuman juga cemilan. Kompak (lagi), kami menggeleng. "Ada kesulitan apa?" Shinsuke sudah duduk ditemaptnya.

"Aku tidak ada. Si Rin yang punya kesulitan, jadi aku terhambat karena harus mengajari dia," aduku.

"Atsumu dan Osamu bagiamana?" tanya Shinsuke.

"Aku tak ada masalah. Untuk masalah kembaranku, bisa aku urus." Osamu memang lebih bersifat kakak, dari pada kakaknya sendiri. "Kita-san ajari saja Suna."

"Kalau begitu, [name] kamu fokus pada soalmu. Suna biar aku yang urus."

"Aye aye captain!" akhirnya aku terbebas.

"Suna, bagian mana yang menghambatmu?"

"Ah tidak ada kita-san." Senior itu mengernyit, lantas aku pun begitu. "Mendadak saja aku sudah paham. Mungkin tadi otakku sedang memproses."

"Yasudah kalau begitu. Kalau ada yang tidak paham, tanyakan padaku saja. Jangan ke [name], dia juga sedang fokus mengerjakan soal."

"Baik kita-san."

"Osamu, kamu juga kerjakan soal. Atsumu biar aku yang urus."

"Baik kita-san."

"Akhirnya aku terbebas dari caci maki Samu!"

Dan aku hanya bisa memendam kekesalan yang sudah memuncak sampai ubun-ubun ini. Kalau meledak sekarang, bukannya lega malah nanti tambah kesal. Mengingat Shinsuke pasti akan melerai dan menasihatiku dengan kata-katanya yang santai tapi menusuk itu.

"Apa?" Tanya Rin, ketus.

Memalingkan muka kearah lain. Aku tidak membalas perkatannya. Kekanakan? Biarkan. Suruh siapa menyebalkan.

Sepertinya Rin pun tak ambil pusing. Tak ada gangguan atau panggilan dari dia. Bagus kalau begitu. Sambil menetralkan emosi, aku tidak ingin terlibat dengannya terlebih dulu.

Mataku menatap sosok bayangan yang bergerak pelan diluar jendela. Semakin lama, wujudnya terlihat makin jelas. Sosok itu berdiri menyamping, sedikit membungkuk, rambutnya terjuntai panjang.

Hantu?

Mana mungkin. Mataku lelah mungkin. Muenguceak mata kasar, kemudian kembali melempar tatapan ke tempat yang sama.

Astaga!

Bulu kuduk meremang, jantung bekerja dua kali lebih cepat, keringat dingin mengalir di sekujur tubuh.

Kedua mataku membelalak lebar. Sosok itu terlihat begitu jelas, dia aku, tepatnya [name]. Terlihat pucat dan layu.

"[name]!"

Sentuhan dibahu membuatku bergerak panik dan berakhir membenturkan kaki ke meja. Sial, sakit.

"[name], kamu tidak apa?" Atsumu bergegas menghampiriku. Osamu pun melakukan hal sama.

"Mukamu pucat sekali."

Masih dalam kekalutan, aku kembali menengok kearah jendela. Hilang, sosok itu hilang. Kendati begitu rasa takut masih menyambangi. Ini bukan mimpi, berbeda dengan waktu itu.

"[name]!"

Napasku memburu, menatap Shinsuke dengan pandangan kalut. Kedua tangannya menangkup pipiku, memastikan aku tetap menatapnya.

"Tenang, tarik napasmu." Menurut tanpa banyak kata. Ketenangan Shin seolah menular padaku. "Sudah tenang?" mengangguk singkat. Kedua tangannya lepas dari pipiku.

Sentuhan ringan dibahu membuatku mendongak. Rupanya Rin. Ekspresi yang sama ketika kami berdua berada di UKS. "Kamu tidak apa-apa?" tanyanya, pelan.

Aku hanya menggeleng. Memang aku sudah tidak panik. Tapi tubuhku masih bergetar. Rasa takut masih merundung.

"Mungkin dia kelelahan," simpul Osamu. "Selesai membantu di klub malah belajar matematika, pasti berat."

"Kali ini aku setuju denganmu saudaraku." Atsumu menepuk bahu saudaranya. "Kalau begitu, kita sudahi saja sesi belajar kali ini. Tidak apakan Kita-san?"

Shinsuke menghela napas. "Tak masalah."

Para pejantan itu mulai berbenah merapihkan barang mereka. Ah ini tidak bisa dibiarkan. Saat bersama mereka saja dia masih menghantuiku apalagi kalau aku ditinggal sendiri. Tuhan aku tidak siap, aku takut.

"[Name], kami pulang-"

"Tunggu, jangan pulang!"

Keempatnya menatapku bingung.

"Menginaplah dirumahku!"

"Nani?!"





Tebece






kangen nggak?

Stay safe kalian semua

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro