13
Ting tong...
Ada ragu saat melangkah. Sebenarnya, aku tak ingin membuka pintu tersebut. Rasa takut masih menyambangi hati. Tapi, semakin diabaikan, suaranya makin keras dan itensitasnya makin menjadi. Berisik, mengganggu ditengah malam. Aku tak ingin ditegur tetangga.
Ting tong...
Meraup napas dalam. Tanganku yang bergetar membuka knop pintu.
ceklek
Kelegaan langsung mendera kala mendapati sosok yang tengah berdiri didepan pintu sambil memasang raut bingung.
"Kamu tidak apa?"
Menggeleng pelan. Tidak ada yang lebih menyenangkan ketika dihampiri seseorang saat tengah dalam kondisi ketakutan. Ditambah, orang itu adalah Shin senpai.
Sentuhannya mengejutkan. Tapi menghantarkan rasa nyaman juga hangat. Jemarinya bergerak mengusap air mata yang masih menganak disudut mata.
"Kenapa?" nada suaranya rendah. "Takut sendirian lagi?"
Lagi, aku menggeleng cepat.
"Terus?"
Mana mungkin aku menceritakan kejadian tadi. Ada dua kemungkinan kalau itu terjadi. Pertama, aku akan dikatai gila. Kedua, dia akan percaya dan akan membenciku karena aku sudah merebut tubuh tetangganya tanpa sengaja.
"Hey, kamu menangis lagi. Tak apa kalau tak mau cerita. Aku tidak memaksa."
Sial, kenapa aku selalu menangis di depan Shin. Ini memalukan. Rasanya seperti orang lemah saja. Kalau begini, apa bedanya aku dengan [name] yang sebelumnya. Sama-sama cengeng.
Tangan Shin bergerak memaksa pelan wajahku untuk mendongak. "Tak usah malu," ucapnya pelan. "Tak apa. Menangis saja."
Tangisku pecah. Bayangkan anak kecil yang menangis karena ditinggal ibunya, nah begitulah keadaanku saat ini. Secara perlahan, tangan Shin membawaku kedalam pelukannya. Lembut, dan tak memaksa. Kalau pun aku menolak, pasti langsung terlepas.
"Aku takut hiks..." Persetan dengan malu. Aku ingin melampiaskannya dalam pelukan Shin. "Aku takut banget hiks..."
Tepukan pelan dipunggung memberikan sensasi menenangkan. "Tak apa, menangislah. Tapi jangan takut lagi, ada aku disini."
Kedua tanganku mencengkram erat kaos bagian depannya. Mungkin jika kulepas, akan tersisa jejak kusut disana. Baik aku ataupun si pemilik, sepertinya tidak mempermasalahkan itu.
Entah sudah berapa menit aku menangis dalam pelukannya. Yang jelas, perasaanku jadi lebih baik.
Kami berdua sudah berpindah kedalam rumah. Ini pukul sebelas malam, dan ada lelaki yang bertanding di rumahku. Juga, aku hanya sendirian di rumah. Wow, semoga tidak ada tetangga yang berselisih paham.
Aku yang tuan rumah. Tapi Shin yang membuatkanku minum.
"Diminum dulu," ujarnya yang sudh mengambil tempat disamping kananku.
"Teh?"
"Iya."
"Aku ingin susu."
Ia menghela napas sejenak. Lalu bangkit lagi. "Tunggu sebentar."
Kepergiannya untuk memenuhi keinginanku tertahan lantaran aku memegangi tangannya. "Aku hanya bercanda kok."
Ia berbalik. Tak ada raut kesal diwajahnya. Justru ia tersenyum tipis. Tangannya mengacak pelan rambutku. "Sepertinya kamu sudah lebih baik." lantas, ia kembali duduk disampingku.
Teh tersebut ku tenggak habis. Tak ada yang istimewa dari teh ini. Tapi entah kenapa efeknya mampu menerbangkan ribuan kupu-kupu yang tertidur didalam perutku. "Maaf merepotkan senpai."
"Toh aku yang datang sendiri."
"Senpai kenapa kesini?" sesekali aku menyisip teh.
"Aku mendengar teriakanmu."
Aduh aku jadi malu. "Maaf."
"Untung tak membangunkan nenek." Santai seperti biasa. "Kupikir ada maling atau penjahat. Jadi aku langsung kesini."
"Tidak ada kok senpai."
"Lalu?"
Bibirku langsung terkatup rapat. Belum ada niatan untuk bercerita.
"[name]?"
"Senpai barusan memanggilku dengan nama kecilku?"
"Iya. Kamu memanggilku Shin, jadi sebagai gantinya aku memanggilmu [name]. Tak boleh?"
Menggeleng pelan. "Tak masalah. Sesuka senpai saja."
"Jadi, kamu tidak ingin memberitahuku alasan dari ketakutanmu?"
"Ah, aku mimpi buruk." memang benar bukan.
"Mimpi tentang apa?"
Selang beberapa detik aku terdiam. "Mimpi aku menghilang dari dunia ini."
Tak ada lagi balasan. Dan kami terjebak dalam hening.
Sesekali aku melirik wajah setenang aliran air sungai itu. Aku baru sadar kalau sepasang manik itu terlihat begitu Indah. Ditengah temaram penerangan lampu, matanya terlihat bersinar.
"Kamu tidak akan menghilang."
"Bagaimana senpai bisa yakin?"
"Insting."
"Aku tidak tahu senpai percaya hal seperti itu."
"Kadang."
"Oh, fakta baru tentang Kita Shinsuke." Terkikik geli. Entah kenapa sisi yang seperti ini terasa menggemaskan juga. "Apa senpai akan bersedih kalau aku menghilang?"
"Sepertinya."
"Senpai, aku boleh tanya?"
"Ya."
"Kalau misalnya, jasadku masih ada tapi kepribadianku yang berubah bagaimana?"
Ia mengernyitkan dahi. "Maksudnya? Roh mu diganti milik orang lain?"
Tertawa canggung aku mengiyakan.
"Aku mengenal [full name] yang serampangan dan berisik. Kalau tiba-tiba kamu jadi pendiam, kurasa aku jadi tidak mengenalmu lagi."
Kalimatnya sukses membentuk kurva melengkung diwajahku. Bungah tak terpungkiri.
"Tidurlah, sudah malam. Besok kmu harus berangkat kesekolah," ucapnya pelan. "Mau aku temani atau tinggal?"
*
Cekrek... Cekrek...
"Suna hentikan!"
Tak
"Rintarou!"
Sialan, sentilan Sun —ah maksudku Rin bukan main. "Oke Rintarou, bisa kamu berhenti memotretku?"
"Maaf tidak bisa." Rin masih Setia memotretku dari angel yang sama.
"Rin berhenti!"
"Tidak mau."
"Rin aku marah nih!"
"Justru makin Bagus. Mukamu makin lucu."
Menyebalkan. Lantas, aku membenamkan wajah pada lipatan tangan.
Karena semalam aku tak bisa tertidur lagi. Efeknya adalah lingkaran hitam yang mengerikan dibawah mata. Dan si Rin sialan ini malah memanfaatkan hal itu untuk mengejekku. Kesal.
"Hey, jangan di sembunyikan."
Suna berusaha membuatku kembali menegakan wajah. Namun tak berhasil.
"Aku nangis nih!" ancamku.
"Nangis aja. Nanti videonya aku sebar."
"Rin!"
Ia tergelak. Begitu lepas dan tulus. Eh sebentar, ini kali pertama aku melihat dia tertawa. Senang sih jadi sebab di blik tawanya, tapi kesal juga.
"Jangan tertawa!"
Getaran di saku rok mencuri perhatian ku. Rupanya ada pesan dari Matsumoto. Ia mengajak ku dan Rin untuk makan siang bersama anak-anak klub voli di atap.
"Rin, ayok ke atap?"
Tawanya langsung mereda. Alisnya mengernyit. "Untuk apa?"
"Makan siang bersama. Kamu tidak di kabari?"
"Oh." Dia kembali memasang raut malas. "Tidak usah kesana. Kita makan siang disini saja."
"Lebih ramai lebih seru."
"Lebih merepotkan."
Aku menarik tangannya. Gila berat juga. Apa karena dia banyak dosa. "Ayok!"
"Tidak."
"Kalau begitu, aku saja yng pergi sendiri."
"Hey!" Ia meninggikan sedikit suaranya. "Jadi begitu caramu membalas Budi. Aku tak pernah meninggalkanmu, tapi kamu malah seenaknya mau meninggalkanku."
Lho, kenapa jadi begini. Aku yang sudah kelewatan atau memang Rin yang terlalu berlebihan.
"Sudah sana pergi hus... hus... " Ia lalu mencurahkan perhatiannya pada ponselnya.
"Rin jangan marah. Salah sendiri kenapa menyebalkan."
Dia bergeming.
"Aku kan ingin mencari teman baru, jadi wajar kalau aku mau bergaul dengan mereka."
Mendengus pelan. Sepasang iris kuning keabu-abuan menatapku tajam. "Apa aku saja nggak cukup?"
"Aku ingin berteman dengan semua anak-anak voli."
"Yasudah sana pergi, jangan pedulikan aku."
"Kan aku bilang anak-anak voli, itu berarti Rin juga termasuk. Jadi ayok makan bersama."
Memutar mata malas. Lagi, perhatiannya di curahkan ke ponsel. Penasaran. Aku mengintip apa yang mengasyikan dari gawainya.
"Rin!"
"Apa?" ia mendelik kesal.
Dia kesal. Aku juga kesal. Pasalnya Rin tengah mengedit fotoku. Bukan editan yang memperindah. Tapi yang membuatku terlihat konyol.
Tanpa membalas kata, aku berusaha mengambil ponsel itu. Tentunya Rin tidak tinggal diam. Ia memanfaatkan tinggi badannya yang berbeda jauh dariku. Diangkatnya tinggi-tinggi ponsel tersebut. Aku mencoba meraihnya dengan melompat-lompat. Sayang, tak membuahkan hasil.
Ide cemerlang melintas dibenakku.
Seperti Hinata, didalam anime. Aku mundur beberapa langkah. Lompatan tertinggi di dapat dari ancang-ancang yang baik.
Jarak ini sudah lumayan. Aku mulai berlari kecil menghampiri Rin. Lalu melompat dan
Bruk...
Bukannya terbang seperti Hinata di anime. Aku malah menubruk Rin. Sialnya, Rin sedang tidak dalam kondisi siaga, jadi kami berdua terjatuh. Dan berakhir dalam posisi yang ambigu.
"Yaampun [name]-chan, kamu apakan Suna?!"
Celaka.
*
"[Surname]-chan, bisa jelaskan pada kami apa yang sebenarnya terjadi?"
Menelan ludah susah payah. Matsumoto yang begitu menyeramkan tampil perdana dihadapanku. Atsumu sialan memang. Kenapa dia muncul saat aku dan Rin berada di posisi seperti tadi. Sialnya, si kuning itu malah langsung mengambil kesimpulan lalu membawa ku dan Rin kedepan para senior. Saat ini aku tengah di sidang para senior.
"Bu-bukan begitu, aku tidak sengaja. Sumpah!"
"Hiks..."
Sialan Rin. Kenapa pura-pura menangis. Menyebalkan. Aku juga korban tahu.
"Tenang Suna, kamu memang pantas dilecehkan," ucap Atsumu.
"Bajingan!"
"Tsumu jangan begitu," Osamu mengingatkan. "Satu-satunya yang pantas di lecehkan ya cuma kamu."
"Ngajak ribut ya?!" Atsumu menarik kerah Osamu.
"Nggak tuh." Dengan kasar, Osamu menyingkirkan tangan kembarannya. "Tapi kalau kamu bersikeras, aku ladenin."
Menggulung lengan seragam. Atsumu menentang saudaranya. "Sini maju!"
Ekhem... Ekhem...
"Masalah [name] saja belum kelar. Jadi tolong jangan menambah perkara."
"Maaf, Kita-san. Ini semua salah Samu."
"Bukan aku. Tapi kamu."
"Hah mana ada?!"
"Ada kok!"
Ekhem...
"Maaf Kita-san."
Memang benar Shin itu pawang si kembar. Salut deh. Susah tahu jadi pawang si kembar. Kemarin saja, setiap kali ingin menghentikan perdebatan mereka, aku justru berakhir terlibat.
"Jadi, [name]."
"Ah iya Shin-senpai."
"Sebenarnya apa yang terjadi."
"Jadi begini..." tak sedikit pun aku melewatkan detail kejadian tadi. Harus jelas. Agar semua memihak padaku dan menyudutkan Rin. Biar ku balas dia. "... begitu senpai."
Helaan napas keluar dari mulut Shin. Matanya beralih dariku. Atsumu jadi tempat berlabuh pandangan penuh intimidasi itu. "Atsumu."
Mampus kamu manusia kuning.
Miya yang satu itu berjingkut. "I-iya?"
"Lain kali jangan langsung mengambil keputusan secara sepihak."
"Ba-baik!"
"Dengarkan, resapi, dan ingatlah," kata Rin. Tangannya mendarat pelan di bahu Atsumu.
"Aku malu punya saudara sepertimu, Tsumu."
Dia tidak membalas. Sepertinya merajuk. Buktinya bibirnya yang maju beberapa centi. Biarkan, itu karma untuk mu.
"Dan Suna, jangan suka memperkeruh keadaan."
"Eh, aku tidak kok."
"Kamu tadi pura-pura menangis."
Mampus!
"Ternyata cuma salah paham. Maaf ya [surname]-chan, tadi aku menyeramkan," ucap Matsumoto.
"Lagipula, aku ragu [surname] akan menyerang Suna. Bukankah yang mungkin itu kalau sebaliknya," kata Ginjima sembari memakan bekal.
Rin melempar tatapan sinis pada Ginjima.
"Lho kenapa? Bukannya benar ya. Kan—"
"Makan saja. Tak usah banyak bicara," potong Osamu dengan tenang.
"Woy! Beraninya kamu memotong perkataanku!"
"Ayo Gin, hajar Samu!" Atsumu nampak bersungut-sungut.
"Ayo Osamu, hajar Gin." Sebenarnya Rin niat tidak mengatakan itu. Pasalnya, nada bicaranya lemas sekali, juga dia sibuk main ponsel.
"Aku sabar, aku diam." Aran mengelus dada melihat kelakuan juniornya.
"Aku lapar!" Teriak Ren Omimi.
Pertengkaran Ginjima dan Osamu yang di kompori oleh Atsumu berlanjut. Yang lain acuh, malah fokus pada bekal masing-masing.
Ini kali pertama makan siang ku seramai dan sehidup ini. Menyenangkan.
Aku ingin tinggal disini selamanya. Aku akan berjuang. Tidak akan kubiarkan dia mengambil tubuh ini dan menikmati apa yang tengah ku capai. Tidak akan.
Kebersamaan, dan kehangatan ini adalah hasil jerih payahku. Dan satu-satunya yang boleh menikmatinya tentu saja hanya aku seorang.
"Eh aku baru sadar, Kita juga punya sedikit lingkaran hitam dibawah matanya," kata Matsumoto.
"[Surname] dan Kita, apa kalian berjodoh?" goda Ren.
Langsung ku sangkal. "Semalam aku tidak bisa tidur, jadi Shin senpai menemaniku. Kalau tidak salah, kami baru bisa tertidur di jam tiga pagi. Benarkan senpai?"
Pertengkaran anak kelas satu langsung terhenti. Dengan mata membelalak, mereka menatap Shin dengan pandangan tak percaya. Hal yang sama juga dilakukan teman sejawat Shin.
Wah sepertinya akan ada sidang sesi kedua. Shin maafkan aku.
Tebece
Hey kalian yang oleng ke sana-sini, apa kabar ;)
Tebece
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro