Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

12

Ting tong... Ting tong...

Clek...

"Oh, kenapa kalian datang?"

Aku, dan si kembar memutuskan untuk menjenguk Suna sepulang latihan. Ku pikir Suna akan senang dan berbunga. Nyatanya tidak. Dasar Suna ini.

Tadinya hanya aku yang akan pergi. Tapi Atsumu secara spontan juga ingin ikut, dia bilang ingin melihat bagaimana rupa Suna kalau sedang sakit. Lalu Osamu juga ikut dengan alasan perlu mengawasi saudaranya.

Shin juga tadinya ingin ikut. Tapi dia harus membantu nenek. Bagi ia, nenek adalah segalanya.  Matsumoto dan Aran juga berkeinginan sama. Sayang mereka berhalangan karena suatu alasan yang tidak mereka sebutkan.

"Hey, berbahagialah sedikit." Tangan kanan Atsumu langsung mendarat di bahu Suna.

Tanpa tenaga, Suna langsung menepis tangan Atsumu. Ia lalu bergerak menutup pintu rumahnya.

"Woy Suna!" teriak Atsumu.

"Dia tidak mau bertemu denganmu Tsumu!"

"Suna, ayo buka dong!" aku tak mau kalah.

Kembali pintu itu dibuka. Kali ini dengan sedikit kasar. Bola keleramg hijau keabuan itu memberikan kesan intimidasi.

"Kamu bilang apa?" suaranya jadi lebih rendah. Efek sakit mungkin.

"Yang mana?"

"Barusan."

"Yang, suna ayo buka pintunya dong?" ku ulng dengan nada yang sama pula.

Decakan pelan keluar dari mulut Suna. "Kalian pulang saja. Kalau ada disini, aku jadi makin sakit."

"Setidaknya beri kami minum dulu. Kami capek, asal kau tahu saja," kata Atsumu.

"Benar itu!" kali ini aku di pihak Atsumu.

"Aku mau es jeruk," ujar Atsumu.

Suna menggaruk rambut kesal. "Habis ku beri minum lngsung pulang, ingat?"

"Yeay!" aku dan Atsumu melakukan high five. Entah kenapa kami jadi se akrab ini. Sementara Osamu hanya mengacungkan satu ibu jarinya.

"Suna, orang tua mu mana?" tanyaku setelah mendapati rumah Suna sangat sepi.

"Kerja."

"Tapi kamu sakit."

"Orang sakit harus di kasih makan," ucapnya. "Dari pada bnyak tanya. Lebih baik bantu aku."

Sambil ber-oh kelewat panjang, aku hendak meletakan pantat di atas sofa.

"Woy, bantu aku bikin minum."

Sial, padahal tinggal beberapa centi lagi pantat teposku mendarat di kursi. "Aku tamu lho."

"Aku sedang sakit."

Memang ya, mau sakit sehat atau sekarat. Berdebat dengn Suna itu harus siap mengalah.

"[Name]-chan, jangan masukan racun kedalam minumanku ya... "

"Tolong racuni minuman Tsumu. Aku ikhlas."

Mengabaikan kedua saudara berwajah fotokopi-an itu, aku mengekor malas dibelakang Suna. Dapur Suna rapih. Sepertinya seharian ini belum ada yang menyentuhnya.

"Buatkan saja mereka teh." Suna berdiri sambil menyandarkan kedua tangan di counter dapur. "Kenapa diam?"

"Aku yang buat?"

"Iyalah."

"Tapi aku tamu lho."

"Tapi aku sedang sakit lho."

Selamat kepada Suna Rintarou. Karena memenangkan perdebatan untuk ke sekian kalinya.

"Teh nya mana? Gelasnya mana? Air hangatnya mana?"

"Teh ada di rak gantung, air hangat perlu kmu rebus dulu, gelasnya ada di rak. Jelas?"

"Bantu aku."

"Maaf, aku sedang sakit."

Berdecak kesal. Lantas aku mulai kegiatanku. Pertama, rebus air. Sambil menunggunya mendidih. Aku menyiapkan gelas dan juga teh nya. Sementara itu Suna masih berada di posisi yang sama. Mata sipitnya terus mengawasi.

Kenapa aku tahu?

Karena sesekali aku menoleh kearahnya. Dan saat itu pula kami saling bertukar pandang.

"Hey."

Aku menoleh.

"Kamu panggil Kita-san dengan apa?"

"Eh?"

Ia berdecak. "Jawab. Bukannya eh."

"Shin-senpai?"

"Kalau si kembar?"

"Osamu dan Atsumu."

"Kalau aku?"

"Suna."

Seketika, helaan napas langsung lolos dari kedua bibir tipisnya. "Kamu lupa ya."

"Lupa apa?"

Ia mengeleminasi jarak. Dan aku hanya bergeming. "Aku kan sudah bilang, kalau kamu memanggil aku dengan Suna, dahimu akan ku sentil."

Sontak, aku langsung menutup mulut dengan kedua tangan. Aku lupa itu. Suna tidak pernah main-main. Dan sejak bertatap muka, entah sudah berapa kali aku memanggilnya dengan Suna. Bagaimana nasib dahiku.

"Maaf su— pokoknya maaf."

"Tidak mau."

"Suna!"

Tak

"Suna, sakit!"

Tak

"Bukan Suna, tapi Rintarou," ucapnya tenang namun penuh penekanan di setiap suku katanya. "Ri-n-ta-rou, coba kamu ulang."

"Rintarou?"

"Ya begitu. Mulai sekarang panggil aku begitu. Jangan Suna lagi."

"Terlalu panjang."

"Persingkat."

"Rin? Bagaimna?"

"Terserah. Asal jangan Suna."

"Woy! Es jeruk ku mana, aku haus nih!"

Walau sedang sakit, tenaga Suna lumayan juga. Buktinya dia dapat melempar kain lap tepat ke muka Atsumu yang berjarak cukup jauh.

"Suna, jangan lemparin kain lap ke muka Tsumu," ujar Osamu yang ikut muncul di dapur. "Lempar pakai gelas, piring, apapun yang berat. Jangan yang ringan."

"Ide Bagus!"

"Sialan kalian semua."

Niat awal ingin menjenguk. Tapi malah jadi ribut begini. Yasudah biarkan, yang penting mereka bahagia. Ku fokus membuat teh saja.

Dan semoga, tidak ada korban jiwa. Amin.

*

Usai menjenguk —aku ragu menyebut acara kunjungan tadi dengan menjenguk. Yang jelas kunjungan kerumah Sun—maksudku Rin, sangatlah melelahkan.

Mulai sekarang aku harus membiasakan memanggil dia dengan Rin. Kalau tidak, bisa ambles dahiku disentilnya.

Melepas sepatu di genkan. Lalu berjalan sempoyongan kedapur. Haus sekali. Apalagi saat pulang tadi aku terus terlibat debat tak penting dengan si kembar.

Topiknya random. Mulai dari mana Yang lebih bagus Molten apa Mikasa. Ya mana ku tahu, memegang bola voli saja belum pernah. Sampai mana Yang lebih baik diantara mereka.

Aku benar-benar lelah. Salut pada Shin yang bisa bersabar menghadapi mereka setiap hari.

"Eh?"

Mematung ditempat. Bulu romaku menegang. Ada seseorang yang tengah duduk di meja makan. Sosok itu hanya berupa siluet. Tapi jelas, itu sosok seorang perempuan. Tubuhnya mungil. Entah siapa. Di ingatan [name], ia tak pernah punya saudara dengan perawakan seperti itu.

"Ma-maaf, anda siapa?" mencoba tetap tenang. Secara diam-diam ku melakukan panggilan. Nampaknya sosok tersebut tidak menghadapku.

Mataku membola. Jantung berdebar kian cepat. Tak ada nomor siapapun di kontak ponselku. Padahal jelas sekali, aku menyimpan nomer ayah dan anak-anak klub voli.

Mengabaikan sosok itu. Aku memeriksa riwayat panggilan dan kontak masuk. Kosong.

Aku masih ingat, beberapa menit lalu aku bertukar pesan dengan Shin dan Matsumoto. Saat sampai di depan gerbang pun Suna mengirimiku pesan. Tapi kemana perginya.

Ah sial! Sebenarnya ada apa ini.

Derap langkah pelan mulai terdengar. Sosok itu bergerak mengikis jarak. Tubuhku gemetar, kaki ku mendadak kehilangan fungsi. Seketika, aku langsung terduduk lesu diatas lantai.

Sambil menatapi sosok yang semakin mendekat. Aku hanya bisa melantunkan doa dan merasaka keringat dingin mengalir dari sekujur tubuh. Tuhan, sebenarnya ada apa ini.

Ia memasuki sisi terang. Siluet itu berubah jadi sesuatu yang bisa kulihat dengan jelas.

Itu, tubuh ku. Tepatnya tubuh [name].

Ada takut, cemas, khawatir, dan penasaran yang merundung. Namun tak dapat ku ekspresikan lewat kata. Seakan menjadi gagu. Untuk berteriak pun tak bisa.

Ia berlutut di depanku. Wajah ayunya nampak pucat. Binar kehidupan tak lagi terpantul dari kedua maniknya. Serupa mayat hidup.

Tangannya menyentuh daguku. Ada sensasi dingin yang menusuk. Jemari kurusnya perlahan menjelajah seluruh permukaan wajahku.

"Kembalikan."

Aku bergeming. Suara serak nan berat itu memberika beban tambahan dikaki. Aku ingin segera lari. Tapi tak bisa.

Kedua tangannya mencengkram bahuku erat. Bahkan kukunya menancap di atas kulit.

"Kembalikan, kembalikan, kembalikan!" ia terus mengulang kata yang sama. Semakin lama nadanya semakin meninggi. Membuat telingaku berdenging.

"Kembalikan tubuhku!"

*

"Aaa..."

Keringat dingin membanjiri tubuhku. Dengan keadan setengah linglung, aku berjalan mengitari kamar. Lalu bergegas menuju dapur. Ada takut yang membayangi. Dengan langkah pelan, aku menilik keadaan dapur dari balik tembok.

Aman. Tak ada siapapun disana.

Tubuhku langsung merosot. Sebisa mungkin mengatur napas yang masih memburu.

Rupanya cuma mimpi.

Menjambak rambut frustasi. Tadi memang mimpi. Tapi entah kenapa terasa begitu nyata. Bahkan, sensasi saat kuku-kuku itu menyuntuh pundak ku pun masih bisa terasa.

Meringkuk, sembari memeluk tubuh. Udara musim panas tak berpengaruh padaku. Tubuhku dingin.

Kenapa tiba-tiba aku bermimpi seperti itu. Apa pemilik asli tubuh ini ingin mengambil kembali apa yang jadi miliknya.

Tapi kalau begitu, sia-sia saja perjuanganku selama. Aku sudah berhasil melawan Nakamura. Menjadi akrab dengan anak-anak klub voli. Bahkan aku diajak ikut kamp pelatihan.

Sial! Kenapa disaat sudah enak begini dia mau mengambil alih. Kenapa tidak waktu itu saja.

Kenapa juga dia harus menghantuiku. Bukannya kalau sudah bereinkarnasi tubuh ini jadi milikku ya.

Ku rasakan pipi mulai basah. Sial, aku jadi menangis.

Bukannya tujuanku bereinkarnasi di dunia adalah agar aku bisa akrab dengan anak-anak voli Inarizaki. Lantas, kenapa aku harus merelakan tubuh ini.

Aku tak paham!

Tapi apa memang tujuan bereinkarnasi agar aku bisa dekat dengan mereka. Dan lagi, dari awal aku sudah ragu kalau aku bereinkarnasi. Pasalnya, aku belum pernah menemui ajal. Memori terakhir merekam kalau aku tengah tertidur. Tidur yang bersifat sementara.

Di novel, maupun komik, syarat bereinkarnasi ke isekai adalah kematian. Lantas kalau ini bukan reinkarnasi lalu di sebut apa.

Juga, jika memang tujuanku bertandang kesini adalah agar bisa menjadi dekat dengan anak-anak klub voli. Kurasa terlalu remeh.

Tuhan maha adil. Mana mungkin dia menghilangkan nyawa pemilik tubuh ini hanya untuk memuaskan keinginanku.

Lantas, jika tuhan maha adil, maka yang akan dipuaslan bukan hanya aku seorang. Tapi si pemilik tubuh ini juga bukan.

Jika memang begitu. Aku dapat menyimpulkan satu hal. Tuhan mengirimku kedunia ini hanya untuk sementara. Sampai aku bisa membuat hidup [name] jadi lebih bahagia dan layak.

Sial!

Ting tong...

Ya tuhan, apalagi kali ini.


Tebece



Udahan ya nge-fly nya, capek :")







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro