11
Tak pernah kusangka akan tiba hari dimana Suna Rintarou, jatuh sakit. Tekejut. Dia bisa sakit juga. Pagi tadi, sebelum berangkat sekolah, ia memberitahuku kalau dia terserang demam musim panas. Kasian tapi lucu.
Sepulang sekolah aku harus menjenguknya.
Karena Suna tak hadir. Aku bingung menghabiskan waktu istirahat dengan apa. Tak ada teman mengobrol. Keadaan ini mirip seperti saat aku pertama kali bertandang ke dimensi ini. Miris.
Tapi tunggu dulu. Kali ini berbeda. Aku bukan lagi mangsa Nakamura. Jadi tak masalah kalau aku mengajak mereka mengobrol, bukan. Tak Ada Yang perlu mereka risaukan.
Tergetku adalah keempat sekawan Yang hendak melenggang pergi ke kantin. Mereka asik. Sering tertawa Dan membanyol bersama. Mereka tipeku.
"Hai."
Aku ramah, mereka bingung.
"Mau ke kantin? Aku ikut ya, ya, ya?"
Mereka melempar tatapan pada satu sama lain. Jelas, ini reaksi penolakan. Tapi bukan aku kalau menyerah begitu saja. Dengan senyum selebar model iklan pasta gigi, aku menanti respon.
"Maaf ya, kami ada urusan dulu." pembohong. Gestur tubuhnya berkata demikian.
"Aku bisa menunggu."
"La-lama lho..." sahut yang lain.
"Tak apa." ini tak mudah. Tapi aku tetap memaksa tersenyum.
"Maaf ya, [surname]-san. Kami ada masalah pribadi dulu. Jadi tak enak bila mengajakmu. Sekali lagi maaf."
Kalau sudah begini mau bagaimana lagi. Bersikukuh hanya membuatku lelah. Menyerah adalah pilihan mutlak. "Oh yasudah kalau begitu. Lain kali ajak aku ya."
"I-iya."
Keempatnya langsung berlalu tanpa menoleh padaku. Firasatku berkata. Mereka akan membicarakan ku setelah berbelok di persimpangan lorong. Bukan geer. Hanya saja, apa yah. Aku sudah biasa menghadapi orang-orang seperti mereka. Alih-alih berterus terang di depan orangnya langsung. Mereka lebih suka meluapkan perasaan mereka dibelakang. Kadang dilebih-lebihkan pula.
Mungkin mereka berempat itu tipikal yang kemana-mana selalu berempat. Menganggap persahabatan mereka suci dan tak boleh diganggu siapapun.
Sepertinya aku harus mencari target lain untuk di dekati.
Kedua orang yng tengah melahap bekal didalam kelas kurasa cocok. Mereka tak terlalu pendiam. Tak terlalu berisik juga. Mereka juga ramah.
"Halo! Wah, bekal kalian kelihatan enak. "
Salah satu dari mereka tersenyum. Lalu menutup bekalnya. "Ah iya, terimakasih. Permisi dulu ya." Ia lalu beranjak pergi sambil membawa bekalnya.
Yang satunya tersenyum canggung padaku lalu ikut berlalu.
Kenapa begini.
*
Benar kata orang jaman dahulu. Jangan berlebihan dalam berbahagia. Nanti kesedihan akan datang begitu cepat. Buktinya, kemarin aku masih tersenyum lebar, seolah berkata pada dunia aku insan paling berbahagia. Nah sekarang, aku duduk meringkuk seorang diri di taman tak terurus.
Sudah lama aku tak merasa kesepian didunia ini. Kapan ya terkhir kali aku merasa seperti ini.
Menghela napas.
Kenapa mereka masih menjauhiku. Apa Nakamura mengancam mereka. Aku ragu. Dia memang buruk, tapi menyebarkan propaganda begitu bukan hobinya.
Kenapa ya...
Lagi, aku menghela napas. Kali ini lebih panjang.
Apa karena [name] yang terlalu kaku dan tidak asik diajak berteman. Ah pasti itu. Dalam ingatan gadis ini. [Name] sebenarnya tak sepenuhnya dijauhi. Ada beberapa kesempatan dimana dia di kasihani dan coba didekati. Tapi dengan cara menyebalkan, dia malah mendepak orang-orang tersebut.
Menjambak rambut fruatasi. [Name] ini kenapasih. Lihat, sekarang kamu hanya menyusahkanku saja.
"Argh!"
"Hey, kamu gila ya?"
Dari sekian banyak orang di semesta ini. Kenapa harus bertemu dengannya. Menghembuskan napas kencang. Tuhan, beri aku kekuatan menghadapi dia. "Aku masih waras ya. Jangan sembarangan."
Senyum menyebalkan terpatri diwajahnya. Ia lalu mengambil tempat di sampingku. "Ku pikir."
Aku langsung memukul bahunya. Tak apa, sekalian melampiaskan amarah padanya. tak masalahkan.
"Jadi, kamu kenapa? Ada masalah? Cerita saja. Aku bisa menjaganya."
"Aku ragu."
"Hey!"
Sudahlah. Lagian memang hanya Atsumu yang bisa kujadikan sebagai tempat berbagi cerita. Kalau memang dia sangat menyebalkan. Ku tinggalkan saja.
"Jadi gini. Aku merasa kesepian karena tidak punya teman."
Atsumu mengernyit. "Tidak punya teman? Lalu kamu anggap apa Suna, Samu, Kita-san, dan aku?"
"Eh memng kita berteman?"
"Sialan!" Atsumu mengerucutkan bibir lalu beralih menatap lurus kedepan.
Terkekeh ringan. Reaksinya lucu juga. "Bercanda. Kamu juga teman ku kok," ucap ku. "Memmng kalian temanku. Tapi kalian cowok. Aku ingin teman cewek. Tahukan, sensasinya berbeda."
"Kan ada Matsumoto-san."
"Memang dia mau berteman denganku?"
"Coba saja. Dia ramah kok."
Entah sudah berapa kali aku menghela napas. Hanya tuhan yng tahu. "Oke akan ku coba."
"Hey, kenapa kamu masih murung begitu?"
"Aku sedih."
"Iya aku juga tahu kamu sedih. Tapi karena apa?"
"Temanku sedikit karena aku orang yang menyebalkan dan membosankan." Rasanya aku makin sedih saja. Ku tenggelamkan wajahku kedalam kedua telapak tangan.
"Lalu kenapa kalau temanmu sedikit?"
Lantas, aku menatap kesal Atsumu. "Nggak seru."
"Teman itu bukan soal jumlah. Tapi soal kualitas. Biar temanmu sedikit tapi mereka tulus."
Ah benar juga sih. Di kehidupanku sebelumnya. Teman ku banyak. Tapi banyak juga diantara mereka yang menghilang dan pergi begitu saja. Ternyata konsepnya begitu. Tak peduli seberapa banyak teman yang kamu punya. Akhirnya hanya akan tersisa yang tulus.
Jadi. Dari pada membuat diri sendiri lelah dengan mencari teman yang belum tentu bertahan sampai akhir. Lebih baik menerima fakta bahwa yang sedikit dan berkualitas itu sudh cukup.
I got it.
"Atsumu, kerasukan Osamu?"
"Hah?!"
"Nggak biasanya Atsumu mengatakan hal yang Bagus. Biasanya kan Atsumu selalu mengatakan hal buruk."
"Tidak selalu. Ada kalanya aku juga bisa berkata bjiak."
Entah apa yng membuatku terkekeh. Tapi, berkat itu rasa sedihku sedikit terngkat. "Terserah kamu saja. Oh ya, terimakasih."
Ia tersenyum. Atsumu memang tampan. Sayang mulutnya menyebalkan. "Sama-sama."
"Hah... Rasanya sedikit lega."
"Oh ya. Kalau kamu merasa kesepian di kelas. Kamu boleh main ke kelasku. Tahu kan aku ku kelas berapa?"
"Tahu."
"Atau kalau kamu malu datang ke kelasku. Aku bisa nyamperin ke kelasmu."
"Apa nggak merepotkan Atsumu?"
Menggeleng sambil tersenyum. "Tidak. Nanti tinggal kamu kabari saja aku."
"Bagaimana? Pakai telepati?" memejamkan mata. Kedua telunjuk diletakan di ujung dahi. "Atsumu apa kamu bisa menangkap isi pikiranku?"
Matanya meyipit. Tawa Atsumu terdengar begitu renyah. "Kamu ini ada-ada saja."
Tawanya bagai virus. Dengan cepat aku pun tertular.
"Sudah, sudah, berhenti," ucap Atsumu. Walau begitu, ia belum sepenuhnya berhenti tertawa.
"Kamu berhenti dulu, nanti aku ikutan berhenti."
"Oke hahaha... "
"Berhenti!"
Hap
Kami berdua berhenti tertawa. Saling bertukar pandang dan selang beberapa detik, tawa kami kembali meledak. Kenapa kami menjelma jadi makhluk receh tak jelas begini.
Pada akhirnya. Tawa kami mereda.
"Haduh, capek," ucap Atsumu. "Oh ya soal tadi."
"Ya?"
"Kamu bisa mengabariku lewat mengirim pesan kan."
"Ah iya."
"Jadi, ayo bertukar nomer ponsel."
*
Sepulang sekolah, aku disuruh untuk ikut membantu di klub voli. Katanya supaya terbiasa saat kmp pelatihan nanti. Aku tak keberatan. Toh, kalau di rumah juga hanya rebahan tak berarti.
Lebih baik disini. Bisa berguna dan menjadi lebih dekat dengan anggota klub voli.
Hari ini, akan ada latih tanding dengan anak-anak universitas. Belakangan ini, pelatih Inarizaki memang sangat gencar meningkatkan kualitas tim.
Aku sibuk menata kursi sedangkan Matsumoto tengah menyiapkan botol minum.
"Perlu dibantu?"
Tanpa menoleh. Aku tahu siapa pemilik suara itu. "Kamu pemanasan saja, aku bisa sendiri."
"Sudah selesai." Ia langsung bergerak membantuku.
Menghebuskn napas. Aku merenggangkan badan. Stamina tubuh ini memang bermasalah. Padahal baru bergerak sedikit, tapi lelahnya sudah terasa.
"Kalau lelah istirahat saja."
"Mana ada!" langsung kembali bergerak merapihkan kursi. Sambil sesekali melirik kearahnya. "Osamu, makasih."
Dia tak membalas. Masih sibuk dengan pekerjaannya.
"Osamu, terimakasih!" aku meninggikan nada bicara.
Masih tak digubris.
"Osamu, terimakasih!" akhirnya aku berteriak.
Menghela napas. Osamu lalu menoleh padaku dengan wajah kalemnya. "Aku dengar." Ia memperpendek jarak, lalu mengacak rambutku. "Tak perlu berterimakasih. Kita memang harus saling membantu."
Setelahnya, Osamu langsung berlari memenuhi panggilan dari kapten. Terpaksa, aku harus melanjutkan pekerjaan ini seorang diri. Tapi tak masalah, hanya tinggal sedikit lagi.
Beberapa menit kemudian pekerjaan ini selesai. Setelah ini aku harus apalagi. Ah, mungkin aku bisa membantu Matsumoto.
Langsung aku hampiri Si cantik yang tengah berkutat mengisi air kedalam botol.
"Matsumoto-san!"
"Ah [surname], sudah selesai menata kursinya?"
Aku hanga mengangguk. "Boleh ku bantu?"
"Dengan senang hati." Ia tersenyum ramah.
"Matsumoto-san, kenapa tidak bisa ikut kamp pelatihan?"
"Ah itu, aku tidak mendapat izin dari orng tuaku."
"Oh, begitu."
"Iya." Ia tertawa kecil. "Oh ya, kata Atsumu. Kamu ingin berteman denganku?"
Ah sialan Atsumu dan mulut embernya. Aku hanya tersenyum canggung.
"Awalnya aku kira [surname] tipikal cewek yang terobsesi pada Atsumu, tapi tidak. Maaf ya sudah berprasangka buruk." lagi, ia melayangkan senyum. "Ayok berteman, kurasa kita akan cocok."
Relung hatiku menghangat. Sudah lama aku tak merasakan hal seperti. Pada akhirnya, yang tulus akan datang tanpa perlu bersusah payah kita raih.
"Ayo berteman, Matsumoto-san!"
Tebece
Kalian bingung milih siapa? Sama aku juga :")
Ternyata memang jalan satu-satunya adalah dengan ber poliandri :")
Btw, aku ada fic baru tentang atsumu
Mmpir juga ya ;)
https://my.w.tt/lslilx9ii9
Hey, satu lagi. Kalian minat nggak ikut gc roleplay haikyuu di whatsapp?
Kalo iya, pm ya;)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro