Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

10

Nakamura sudah benar-benar berhenti merundungku. Hanya saja, sesekali tatapan sinis dan sindiran masih kerap bermuara padaku. Tak masalah, toh sindirian dan tatapan sinis tak sanggup membunuh.

Segala sesuatu mulai berjalan lancar.

Kemarin, aku menelepon ayah melalui telepon rumah milik Shin. Beliau senang dan memberikan izin tanpa syarat. Ia hanya meminta ku untuk tidak merepotkan yang lain, dan tentu agar aku bisa mejaga diri.

Awalnya canggung saat memulai percakapan dengan beliau. Bagaimana pun, aku ini bukan putrinya. Sikap santai dan humoris beliau lah yang melenyapkan kecanggungan. Aku heran kenapa [name] tidak bisa mengakrabkan diri dengan orang tuanya.

Aku jadi ingin mengguncangkan tubuh [name] supaya ia sadar kalau sebenarnya dia dikelilingi orang-orang baik.

Menutup kembali liptint yang baru ku pakai. Warnanya tak telalu mencolok. Cantik dan cocok untuk warna kulitku.

Hari ini minggu, sesuai janji aku akan pergi menonton film dengan Suna. Aku tidak berias berlebihan. Hanya memakai bedak tabur dan liptint. Setidaknya, aku tidak ingin melihat mukaku terlalu polos.

Aku memakai dress floral berwarna biru yang dipadukan dengan sepatu putih. Untuk rambut, aku mengikatnya dengan gaya ponytail. Tak lupa tas selempang berwarna putih tersampir di pundakku.

(Source : Pinterest)

Sempurna. Aku tinggal menyemprotkan parfum dan siap berangkat.

Oke, aku siap.

"Ah senpai, selamat siang," sapaku saat melihat Shin keluar dengan balutan pakaian santainya.

"Siang." pandangannya menelisik apa yang tengah ku kenakan. "Kamu tidak ingin ikut kencan buta kan."

Tertawa ringan. Tidak lucu memang. Tapi entah kenapa humorku tergelitik. "Tentu saja tidak." Mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah. "Aku hanya ingin pergi menonton film, dan membeli ponsel baru."

"Ponsel baru?"

Mengangguk. "Iya, ponsel lamaku rusak karena di lempar orang gila."

"Lain kali berhati-hati dalam menjaga barang pribadi," ucapnya. "Juga, kalau sudah dapat ponsel baru tolong beritahu aku nomor ponsel mu."

"Oh pasti." Satu jempol teracung. "Aku pergi dulu ya senpai. Sampai jumpa."

Aku hanya melambaikan tangan pelan. Kemudian berlalu. Pemberhentian pertama adalah stasiun.

*

Rupanya aku tak perlu menunggu karena Suna sudah berada di titik temu. Si jangkung sipit tengah berkutat dengan ponselnya. Sepertinya, ia tidak menyadari keberadaanku.

Apa ku kageti saja ya. Pasti menarik.

Berjalan mengandap, aku menghampirinya dari belakang.

"DOR!"

"Nggak kaget. Aku udah tahu." Suna menoleh dengan wajah malasnya. "Kamu cukup lama juga ya. Apa ada sesuatu."

"Eh, lama. Aku tepat waktu lho. Kan memang kita janjian jam 11. Lihat," aku menunjuk jam digital raksasa yang terpajang di atas gerbang masuk stasiun. "Kurasa Suna yang datang lebih awal."

Ia tidak menjawab. Cowok itu justru sibuk memasukan ponsel kedalam tasnya.

Kalau dipikir-pikir, ini kali pertama ku melihat Suna dalam balutan pakaian kasual. Lumayan juga. Tak kusangka seleran fashionnya oke begini.

(Source : Pinterest)

Niat hati ingin bersiul. Tapi...

"Kamu sedang apa?"

Aku tak bisa. "Suna, hari ini kamu terlihat keren." Aku mengacungkan kedua jempol.

"Kalau sakit pulang saja sana."

"Aku serius!"

"Aku juga serius."

Menghela napas. Percuma saja melanjutkan perdebatan tak penting ini. Lebih baik aku mengalah. Ingat, mengalah bukan berarti kalah.

"Jadi, kita beli ponsel ku dulu. Oke?"

"Terserah."

*

Urusan membeli ponsel lumayan memakan waktu. Aku tak menduga. Usai membeli ponsel, kami memutuskan untuk makan terlebih dahulu di cafe terdekat. Toh, waktu penayangannya masih cukup lama.

"Berapa nomor mu?"

"Nomor apa?" pandanganku teralihkan dari ponsel ke arah Suna yang juga tengah memegang ponsel. "Oh, ponsel ya?"

"Ya."

Kami sudah sering mengobrol. Aku pun tak ragu mengatakan kami sudah menjadi dekat. Tapi kami baru bertukar nomor ponsel sekarang. Dulu, saat masih memakai ponsel lama. Di kontaknya hanya terdapat tiga nomor telepon. Ayah, bibi, dan wali kelas.

Tapi, tenang saja. Ponsel ini akan memiliki nasib berbeda. Akan banyak kontak yang kusimpan. Anak-anak voli, kelas, tetangga, dan masih banyak lagi.

"Ku save nomor mu dengan nama Suna nyebelin ya?"

"Hey!"

"Kamu kan emang nyebelin." Menjulurkan lidah lalu kembali fokus pada ponsel. "Suna nyebelin, oke save."

"Kenapa Suna, kenapa tidak Rintarou?"

Tatapan kami beradu. Aku tak mengerti makna dari sorot matanya. Yang jelas, dengan begini Suna terlihat lebih keren.

"Kan sama saja."

Suna berdecak. Ia menyesap ice tea yang sempat terabaikan. "Kalau kamu save Suna, bisa jadi kamu meledek ibu atau ayahku. Atau kerabat ku yang lain." kembali tatapan itu tertuju padaku. "Kalau Rintarou, sudah pasti aku."

"Tapi, memangnya di Jepang yang punya nama Rintarou cuma kamu saja?"

Lagi, ia berdecak. Tanpa permisi ia langsung mengambil ponselku. Protesku tak sempat di gubris. Tak berselang lama, ia mengembalikannya. Rupanya ia mengganti nama kontak dengan 'Rintarou baik.'

"Memang kamu baik?" tanya ku.

"Kalau aku tidak baik. Mana mau ku membantumu."

Aku tertawa cnggung. Jadi tak enak sendiri. "Maaf Suna-sama. Suna memang baik kok, sedikit tapi."

"Jangan banyak bicara. Cepat makan."

Tanpa saling bertukar kata lagi. Kami menghabiskan apa yang sudah kami pesan. Untuk rasa, juara sekali. Mungkin aku akan memberikan 5 Bintang di halaman web cafe ini. Terlepas dari itu, tempat ini sngat cantik. Mengusung tema skandinavian klasik. Juga, alunan piano yang memberikan sensasi relaksasi pada pikiran membuat siapapun semakin betah berada di cafe ini.

"Suna, lain kali kita kesini lagi ya."

Hanya sepersekian detik, Suna terlihat terkejut. "Terserah."

"Lain kali kita aja anak-anak voli juga, biar meriah."

"Nggak jadi."

"Eh?"

"Cepat habiskan makananmu."

Kembali kami fokus pada makanan. Cara makan Suna terlihat cool. Dan apa ya, santai tapi tak bertele. Berbeda denganku. Sebagai seorang perempuan aku sedikit tersindir.

Makanan telah habis. Tak berlama-lama kami memutuskan untuk segera melenggang pergi.

"Permisi, ini bill nya." Salah seorang pelayan menghampiri kami.

"Oh, sebentar —"

"Ini. Kembaliannya untuk tips saja." Suna bangkit dari kursi. "Ayo."

"Eh, Suna tunggu dulu." Sambil menutup tas selempang yang terbuka, aku berlari kecil mengejar Suna yang sudah berada di ambang pintu.

"Terimakasih atas kunjungannya."

"Suna!"

"Apa?"

"Harusnya aku yang bayar. Kan kamu minta hari ini di traktir olehku."

"Aku minta di traktir nonton film. Bukan makan."

"Kalau begitu.... " aku mengambil beberapa yen dari tas. "Aku bayar untuk jatah makanku yang tadi."

Suna mengambilnya. Namun dia menaruhnya kembali kedalam tas ku. "Jangan sok kaya. Simpan uang ini untuk mentraktirku nonton film. "

Sialan.

*

Yang bisa ku lakukan hanya duduk sambil memainkn ponsel baru. Sementara Suna memesan tiket dan membeli popcorn. Ia berinisiatif untuk melakukan itu semuaa. Entahlah, mungkin panas hari ini membuatnya bisa sedikit berperilaku baik.

"Eh, [surname]!"

Aku kaget mendapati Atsumu tengah berjalan beriringan dengan Hoshimiya. Kok bisa ada kebetulan semacama ini ada.

"Hey, Miya," sapaku. "Hoshimiya-san juga."

"Atsumu, aku ke toilet dulu." mengangguk singkat padaku. Hoshimiya lalu berlari kecil ke toilet. Sepertinya dia kebelet.

"Sendirian?" Miya kuning langsung mengambil tempat disampingku.

"Tidak, aku bersama Suna. Tuh..." aku menunjuk Suna yang mengantri dengan malas. "Dia sedang membeli tiket."

"Kalian akrab ya."

"Ya lumayan." Seneng mendengarnya. "Kamu sedang kencan?"

Ia tertawa kecil. "Tolong jangan artikan begitu. Aku hanya pergi menonton film dengannya."

"Ku kira kalian berpacaran."

"Tidak kok."

"Soalnya, ingat waktu aku datang di latihan pagi kalian. Kamu dan Osamu bertengkar karena masalah Hoshimiya."

"Kapan?"

"Yang waktu aku ikut terlibat pertengkaran dengn kalian. Dan malah di marahi Shin-senpai."

Untuk beberpa saat dia mencari keberadaan kepingan memori tersebut. Kemudian gelak tawanya pecah. "Yaampun, kalau diingat lagi lucu juga. Kmu kok bisa terlibat pertengkaran dengan kami ya."

"Diam, nggak lucu tahu!"

Mengabaikanku. Ia terus tertawa. Dasar ya dia ini. Tawanya perlahan mereda.

"Dengar ya. Aku dan Miyu-chan tidak ada apa-apa. Aku dekat dengannya karena memang dia asik diajak mengobrol dan tidak pelit dalam memberikan contekan."

"Kamu memanfaatkannya?"

Kurva lengkung yang menyebalkan terpampang jelas di wajahnya. "Tidak juga. Toh dia juga senang bisa dekat denganku. Mungkin ini bisa disebut simbiosis mutualisme."

Mendapati kelakuan menyebalakannya, membuat helaan napas terlontar begitu saja. "Miya, kamu sialan."

"Aku tak peduli. Yang begitu kan bukan cuma aku," sanggahnya terkesan buru-buru. "Oh ya. Jangan panggil aku Miya. Atsumu saja. Aku takut saat kamp pelatihan nanti panggilan tersebut akan membingungkan."

"Oke."

"Sebagai gantinya aku panggil [name]-chan ya."

Kami saling memanggil nama depan. Wah... Apa artinya kami sudah sangat akrab hingga bisa di sebut bestie?  Tidak juga. Atsumu kan memang selaku memanggil orang-orang dengan nama depan mereka. Jangan terlalu berlebihan [name]. Ini Atsumu bukan Osamu.

"Seenakmu saja."

Sudah ku katakan. Berbincang dengan Atsumu itu asik. Obrolan kami mengalir terus. Bila satu topik hendak habis dibahas, Atsumu akan memancing topik lain untuk muncul. Kendalanya hanya satu, kadang mulutnya terlalu tajam.

Asik berbincang. Kami sampai tidak sadar Suna sudah kembali membawa satu popcorn berukuran besar dan dua cola di tangannya. Kalau saja iA tidak menghela napas, baik aku ataupun Atsumu tak akan menyadari keberadaannya.

"Oh hey, Suna," sapa Atsumu ramah. "Kamu mirip babu."

"Kamu di usir dari rumah ya."

"Sialan!"

Ampun kedua orang ini. Yang kulihat, Atsumu memang sering menyulut pertengkaran. 

"Ngapain disini?" tanya Suna.

"Aku juga mau non—"

"Atsumu, maaf lama!" Atensi kami bergulir pada Hoshimiya yang tampil lebih wangi selepas dari toilet. "Eh ada Suna juga. Halo, Suna."

Suna tidak membalas. Ia malah memberikan popcorn, dan satu cup cola pada ku.

"Ah gawat Atsumu,  dua menit lagi filmnya dimulai!" Hoshimiya langsung menarik tangan Atsumu. "Sampai nanti ya..."

"Sampai jumpa Suna, [name]-chan!"

"Bye... Atsumu juga Hoshimiya-san!" teriakku.

Merasa ada yang menatap. Aku pun mendongak. Rupanya Suna tengah melemparkan tatapan tajam padaku. "Oh ya, tadi kamu membeli tiket dan popcorn pakai uangmu kan. Ini aku ganti—"

"Tak perlu." Ia lalu duduk. Kendati begitu, tatapan tajam itu belum lenyap. Ini Suna kenapa ya.

"Jangan begitu Suna. Aku kan sudah janji mau mentraktirmu." Aku mencoba meletakan beberpa lembar uang di telapak tangannya. Tapi Suna langsung menyembunyikannya dari jangkauanku. "Sun—"

"Kita-san, bahkan sampai si kembar juga. Tapi aku tidak."

"Maksudmu apa sih. Aku tidak mengerti."

"Dipanggil dengan nama depan."

"Hah?"

Suna mendengus. "Rintarou. Kalau kamu memanggilku Suna. Ku sentil dahimu."


Tebece


Jadi kalian tim siapa?

Suna

Atsumu

Osamu

Kita

🥰

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro