˗ˏ three
𓆝 𓆜
˚ · ✰
Jemari menyapu pelan permukaan kulit. Begitu lembut sarat akan kasih, penuh cinta pula mengecup kening. Setelahnya mengukir kurva, timbulkan hangat dalam diri kala ia pandangi sang laksmi. Napas teratur, kelopak serta bulu mata yang bertubruk. Senyum samar tercipta, seolah mimpinya berganti indah kala tuan daratkan labium hangat.
"Bajuku benar-benar kebesaran ya," kekehan itu meluncur keluar dari taruna bermahkota salju. Menggelengkan kepala tak habis pikir, kala lembayung pandangi daksa di balik kain tebal. Tenggelam.
Ponsel berdering. Izana mendengus pelan, kemudian memutar bola mata jengah. Menutup kelopak, halangi jalan pandang. Untuk setelahnya menggeser tombol serta menyambut dengan riang.
"Ya, Kakucho?"
Suara dari seberang sana kini terdengar, membalas sapaan akan sang tuan.
"Malam, Izana. Kau tidak lupa kan sekarang ada jadwal pemotretan?"
Izana menutup mulutnya. Mencegah tawa untuk keluar, kemudian mengangguk pelan.
"Tentu tidak."
Desir angin merangsek masuk, ciptakan distorsi yang mana menyapu rungu. Tanpa diberitahu pun tahu, Kakucho tengah mengendarai mobil, sementara kacanya dibuka. Izana dalam hati menggerutu, berpikir seharusnya ditutup saja agar pembicaraan mereka tidak terganggu.
"Baguslah," seolah tahu apa yang dipikirkan Izana, Kakucho menaikkan jendela mobil. Suara samar terdengar, memasuki telinga tuan pemilik surai salju. Kini kembali hening sedetik, hingga larik paripurna lain dikeluarkan si pengendara.
"Aku dalam perjalanan ke apartemenmu. Mau kujemput sekalian ke dalam?"
Lega tiada, panik timbulkan gundah. Izana terdiam sejenak, durjanya kian menggelap. Memandangi nona yang terlelap, kini ia menyeringai. Mengatur intonasi pula, kini mulai keluarkan kata.
"Tidak perlu."
"Tumben?"
"Sekali-kali, Kakucho."
Suara dari ponsel kini mengumandangkan tawa renyah.
"Haha, baiklah. Aku dalam perjalanan, sebentar lagi sampai."
"Hm."
Tombol merah ditekan. Setelahnya ponsel kembali terbaring manis di dalam saku. Izana bersenandung laksana syaulam, menghantarkan mimpi indah, mengusir yang buruk.
Kini terkekeh, beranjak sebelum akhirnya berbalik badan.
"Aku berangkat ya."
Tinggalkan nona laksana putri waruna. Indah durjanya, paripurna pula raga. Hantarkan pasang surut perasaan, tak hanya untuk sang tuan. Bagi semua. Bahkan dirinya.
Jelaga itu memantulkan punggung yang kian mengecil, hingga sudut bibir tertarik, kala yang dipandang telah hilang. Ditelan. Untuk setelahnya kembali menutup kelopak.
•••
Tubrukan antara benda tumpul tak nyaman masuk ke dalam rungu. Mengundang decakkan sebal, kala pria dengan surai bergaris duduk di atas sofa. Tampak kacau, kentara tak dapat tidur. Sebab bawah matanya kini dihiasi hitam.
Dua insan lain menatap bingung. Kendati diri tahu jelas apa yang digundahkan sosok ini, labium mereka masih terkunci rapat. Sampai helaan napas berat telah lolos berkali-kali dari tuan penggigit tongkat kecil, kini Senju menendang meja disertai kening yang mengerut.
"Ah, sialan! Kalau kau segitunya khawatir, kenapa tidak turun tangan?"
Wakasa meggeleng. Menolak akan saran tersebut dan beralih membungkuk. Memijat kening frustasi.
"Tidak bisa. Kamu tahu kan media akan langsung menyorot bila tampak mencurigakan?"
Tetap berdurja muram, tak bersirobok netra. Enggan menatap laksmi di hadapan. Sementara lawan bicara kini menaikkan sebelah alis. Bersandar nyaman kontras dengan keadaan.
"Waka, kau lebih peduli pandangan publik daripada wanita itu?"
Dehaman terdengar. Alihkan atensi nona, sementara tuan lain diam. Pikiran, baik raga pun telah memecah bagai fraksi kala sebuah pengumuman telah dikonfirmasi. Menghancurkan hati.
"Sedikit sopan, Senju."
Takeomi angkat suara. Memalingkan kepala pula menurunkan dagu.
"Bagaimana pun mereka bukan orang biasa seperti kita. Dan mereka lebih tua darimu, hargai."
Senju menghela napasnya. Bertopang dagu, diri menjawab dengan nada yang begitu muram.
"Pemilik perusahaan, Omi bilang itu orang biasa?"
Takeomi tersenyum tipis. Tak menjawab.
Bulu mata lentik beradu kala kelopak menutup. Tak sampai sedetik hingga permata kembali pamer akan binar, kini pandangi durja muram tuan. Afeksi yang tak dapat diberi secara gamblang kini harus sirna sudah harapan. Sebab buana telah menelan.
"Waka, kau tidak yakin kan, kalau (Full Name) benar-benar mati?"
Nyenyat mendominasi ruang. Pelaku duduk dengan santai, menatap polos dua pria di dekat. Sementara Takeomi memijat keningnya. Tak habis pikir. Waka kini mulai mengangkat pandang.
Detik itu, Senju menyeringai. Bersirobok netra dengan tuan beranting, tetap rupawan kendati pucat mengisi.
"Bukannya kamu owner akun secretlove, si anonim?"
Memperhatikan suasana yang tampak runyam, serta atmosfer yang memberat, Takeomi sedikit banyak paham. Menghela napas, puntung rokok dipadamkan.
"Aku tunggu di luar."
Senju abai, tak melirik barang sedetik. Sementara Wakasa hanya mengangguk pelan, mengantarkan Takeomi dengan nyenyat dalam ruang.
"Mengingat kamu yang belakangan ini sibuk dengan ponsel, sampai tidak fokus dengan jadwal ... kemungkinannya juga bukan nol persen. Ditambah username tersebut, Waka. 'Secret Love', ahaha!! Aku agak bodoh dalam pelajaran bahasa asing, tapi aku tahu artinya."
"..."
Pria yang dimaksud terdiam. Enggan menjawab, labium terkunci rapat. Hingga kini jemari mengambil alih tongkat kecil dari sela gigi, seringai mulai timbul. Melebar tiap detik.
"Aku tahu kamu juga bodoh dalam bahasa asing. Pasti kamu mengartikannya sebagai orang yang mencintai dalam diam," mata memicing. Nona yang jauh lebih muda, kini mengukir kurva. Abai akan ekspresi tuan di hadapan, kini tangan kanan mulai bergerak. Tanpa ragu menunjuk taruna bersurai unik.
"Waka, kau menyukainya kan?"
Menggeleng.
Tawa kecil lolos dari celah labium. Kini memijat keningnya. Mengisi ruang senyap dengan kekehan langka. Menimbulkan guratan halus pada gadis lain dalam sana. Pudar sudah kurva, digantikan tanya dalam benak. Sementara Wakasa, pria yang dimaksud kini bersandar dengan santai. Setelahnya memiringkan kepal dengan raut yang kembali malas.
"... Senju, apa kau yakin tidak mau menjadi detektif saja?"
•••
25 September 2021
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro