Twelfth Cup
//Back to present//
Kenapa kau berlari?
Aku mengerti, jika ungkapan cinta terlalu mengejutkan
Tapi aku membencinya, saat sikapmu seolah mengakhiri persahabatan..
Sebelum Simon bisa mengatakan atau melakukan apapun. Akhirnya mereka terpisah dengan tidak berdaya. Seolah ada duri di tenggorokan, Simon merasa sulit bernafas.
"Tidak perlu bersedih," Vincent tiba-tiba berdiri di sampingnya, membawa tray kosong.
"Mungkin dia hanya perlu waktu."
Simon menunduk sekilas, lalu menatap lagi ke arah di mana sosok Zhehan menghilang.
"Waktu?" ia menahan senyum getir.
"Kita sudah hampir dua bulan berteman."
Vincent mengangkat bahu, "Sejujurnya, itu tidak cukup. Tapi jangan khawatir sir, masih ada hari esok."
"Kau pikir esok dia akan kembali datang kemari?" Simon bersikap seolah kehilangan harapan. Itu bukan jati dirinya yang sebenarnya. Entah mengapa, Zhehan memberikan banyak pengaruh tanpa ia sadari.
"Kenapa tidak?" Vincent memberi semangat. Menurutnya, sang manager tampan perlu diberi harapan. Meski pun hanya samar.
"Kita lihat saja nanti."
Simon menghela nafas. Bunga-bunga bugenvil warna warni merunduk dan bergoyang di bawah sinar matahari pukul sepuluh yang cerah. Dalam pandangannya yang tengah kalut, kelopak bunga-bunga seolah berubah menjadi percik kembang api. Vincent benar. Bagi beberapa orang, tidak akan ada cukup waktu untuk mempertimbangkan satu keputusan. Dan bagi sisanya yang terburu-buru, akan selalu ada harga yang harus dibayar jika tindakannya salah. Zhehan mungkin tidak yakin atas perasaannya sendiri, atau bahkan tidak ada sama sekali perasaan itu. Sejujurnya, bahkan mereka tidak banyak memiliki kenangan berdua.
Simon menyipitkan mata sebelum memutar tubuh, berniat kembali ke ruangan kantornya.
"Baiklah. Seusai saranmu. Semoga itu benar."
Langkahnya mulai bergerak menuju pintu masuk kafe, sementara Vincent mengamati meja di mana Zhehan dan sang manager barusan duduk berdua. Ada satu benda terlupakan dan ia segera memanggil Simon kembali.
"Sir, tas kawan anda masih tertinggal di sini."
Simon menghentikan langkah.
Tas? Ah, ya. Zhehan begitu tergesa-gesa, nyaris panik. Dia bahkan melupakan barang miliknya.
"Berikan padaku!" perintah Simon.
Vincent mengangguk, mengambil tas selempang warna biru yang sederhana namun elegan, memiliki satu merk terkenal. Tas ini pasti cukup mahal.
Setelah menerima tas milik Zhehan, serta menikmati aroma yang tertinggal dari si pemilik barang. Simon kembali ke ruang kantornya di dalam kafe.
☕☕☕
Langit Chengdu berubah kelabu seiring malam yang mulai merayap, mengantarkan matahari ke balik gunung. Sedan Chevrolet hitam milik Simon bergerak pelan melewati gerbang besi yang terayun, memasuki halaman luas berumput rumah sang ayah. Paman Zhao duduk di salah satu bangku di bawah pohon begonia melemparkan biji-biji gandum pada kawanan merpati yang berkerumun di kakinya.
"Bagaimana harimu, nak?" ia mengangkat pandangan ke arah Simon yang baru turun dari mobil, menenteng dua tas. Miliknya dan milik Zhehan.
Simon menoleh dan tersenyum sekilas.
"Buruk, paman."
"Sepanjang hari ini cuaca indah dan cerah, mengapa harimu justru buruk?"
Simon berhenti sejenak mengamati kawanan merpati yang bercicit.
"Entahlah."
Mengapa cintaku harus ditolak di hari yang indah ini?
Helaan nafas panjang kembali terdengar saat Simon berjalan kembali menapaki paving blok di tengah halaman berumput. Angin semilir menghantarkan aroma wangi gerumbulan melati di satu sisi taman. Simon meliriknya sedetik, mengagumi keindahannya bersamaan seekor merpati naik ke atas kepala, mengepakkan sayap, berputar bagai baling-baling.
☕☕☕
Aku tidak memintamu memegang tanganku. Berdekatan saja, itu sudah cukup..
Peristiwa tadi pagi masih menari-nari di benak Simon. Sulit baginya menerima penolakan ini. Dia baru pertama kali menyatakan cinta dan langsung berhadapan kecewa. Di hari-hari kemarin dia masih menganggap sikap manis Zhehan sebagai ungkapan perasaan, dia tidak siap jika semua itu hanya ilusi.
Lantunan irama lagu bertempo lambat dan sendu mengalir dari pemutar musik di dalam ruangan. Membawa hati dan pikiran melayang ke satu tempat jauh di mana tak ada kesedihan. Mata gelap Simon berkilau oleh gelisah yang menghantar rona suram di wajahnya. Dia menatap jauh ke langit malam tanpa kerlip bintang hingga berakhir jatuh pada satu benda di atas meja yang sejak tadi terabaikan.
Tas selempang milik Zhehan.
Haruskah aku membukanya?
Tidak sopan membongkar tas milik orang lain walau pun itu seorang sahabat. Simon bergulat dalam pemikiran hening mencari keputusan tepat apakah ia harus membukanya atau tidak. Setahunya, Zhehan tidak pernah terlihat memainkan ponsel. Mungkin tidak ada benda berharga di dalamnya hingga Zhehan pun siang tadi tidak kembali untuk mengambil tas. Simon mengerutkan kening. Apakah perasaan mengatasi akal sehat?
Setelah dipikir-pikir, banyak sekali hal yang tidak ia ketahui tentang Zhehan. Juga tentang pria tampan yang pernah dilihat Vincent berdua saja dengan Zhehan, dia bahkan belum tahu siapa. Ada banyak pertanyaan yang ingin ia ajukan tapi semuanya selalu buyar jika sudah berhadapan dengan Zhehan.
Benar-benar payah.
Mungkin sekali ini saja. Tidak apa-apa membuka tas milik orang lain. Mungkin ini satu langkah untuk mengenal Zhehan dengan lebih baik, mungkin juga tidak ada apa-apa di sana. Hanya keisengannya yang tidak penting.
Ragu-ragu, Simon membuka resluiting tas. Memegang dan mengelus benda itu, ia mengenali bahan berkualitas terbaik dan merk yang terkenal. Zhehan terlihat seperti seseorang yang istimewa. Tapi di satu saat, kadang terlihat seperti pemuda sederhana yang tersesat.
Tak ada benda istimewa di dalamnya. Ada beberapa uang kertas yang dibuat serupa bentuk bangau. Ada buku bacaan, ballpoint, sapu tangan, kacamata lensa bening, permen coklat.
Astaga, Zhehan seperti remaja imut yang membawa benda-benda imut kemana pun ia pergi.
Tunggu, ada satu barang lagi yang nampak unik. Sebuah botol plastik tebal. Jelas itu sebuah botol obat. Ada label menempel di luarnya.
Mr. Zhang Zhehan
Clozapine
Darah Simon berdesir. Matanya nyaris tak berkedip menatap botol itu. Memutar-mutarnya, mengamati sekali lagi khawatir ia keliru atau tulisan dokter itu terlalu buruk hingga ia salah baca.
Zhehan mengkonsumsi obat?
Apakah dia menderita satu penyakit atau sedang menjalani perawatan tertentu.
Mengapa dirinya tidak tahu?
Simon menggenggam botol itu dalam telapaknya. Memejamkan mata.
Dia harus menemukan jawaban pertanyaan ini.
☕☕☕
Matahari telah muncul dari balik pohon-pohon pinus, membawa cahaya bersamanya. Pagi hari pukul sepuluh, Chengdu didekap teduh. Simon mengemudi ragu-ragu ke satu jalan yang pernah diberitahukan Zhehan padanya di satu waktu pertemuan mereka yang telah lalu.
Kau tahu minimart Moonlight? Tidak jauh dari sana, ada sebuah rumah bercat putih dengan pagar hitam dirambati tumbuhan morning glory. Tirai-tirainya berwarna hijau. Aku sering berada di sana.
Memarkir mobilnya yang spektakuler di bawah naungan pohon wisteria, Simon tidak langsung melangkah keluar. Beberapa lama ia memandangi rumah yang ciri-cirinya sesuai dengan ucapan Zhehan. Halamannya dipenuhi tanaman hias yang meliuk-liuk dihembus semilir angin. Dandelion biru keunguan menerbangkan satu dua kelopaknya di bawah hangat cahaya matahari.
Simon menghela nafas panjang. Diraihnya tas milik Zhehan, kemudian berjalan masuk ke halaman. Pagar hitam itu tidak terkunci, bisa dirasakannya keheningan menenangkan melingkupi rumah itu.
Hati-hati, kakakku galak..
Senyuman Zhehan melintas di matanya, mengirimkan sinyal kerinduan yang mendalam di hati Simon. Senyum yang sangat ingin ia lihat lagi. Tanpa sadar sudut matanya basah.
Pemuda bertubuh tinggi semampai dibalut setelan kerja warna biru muda itu menuju pintu utama dan berhenti di sana, menekan bel yang tersedia di samping pintu.
Simon bersiap menghadapi apapun dan siapapun. Tetapi ketika pintu bergerak terbuka, sosok yang muncul di luar dugaannya. Seorang wanita dewasa, berwajah cantik dengan sinar mata teduh menatap padanya terheran-heran.
"Mencari siapa?" ia bertanya.
Senyuman Simon refleks merekah, mungkin wanita ini anggota keluarga Zhehan, mungkin juga bukan siapa-siapa. Hanya dewa yang tahu apakah ia tersesat atau tidak.
"Hallo, selamat pagi. Aku ingin bertemu Zhehan," Simon berkata seramah mungkin.
Wanita itu menatapnya aneh. Bukan reaksi yang mengecewakan. Hanya aneh. Semakin Simon memperhatikan dan memikirkan, semakin banyak pertanyaan bermunculan memenuhi otaknya.
"Zhehan tidak ada di rumah," wanita itu menjawab datar.
"Tapi, siapa anda? Di mana dan kapan kau mengenal Zhehan?"
Simon menunjukkan tas yang dibawanya pada si empunya rumah.
"Aku Simon. Manager kafe yang sering dikunjungi Zhehan. Kemarin dia meninggalkan tasnya di tempatku. Aku datang kemari untuk mengembalikannya."
Alasan yang jujur dan masuk akal. Wanita itu terlihat berupaya untuk percaya. Dia mengulurkan tangannya menyambut tas milik Zhehan. Ada kesedihan berkelebat di matanya yang menghilang sebelum Simon menangkapnya.
"Begitu rupanya. Anda baik sekali. Terima kasih."
Simon tidak akan mengizinkan wanita itu untuk menutup pintu tanpa mendapat penjelasan yang ia inginkan. Tambahan pula, Simon sengaja tidak masuk kerja demi bertamu ke rumah ini. Dia tidak boleh kembali dengan kecewa.
"Nona, bolehkah aku masuk?" ia berkata sebelum si wanita sempat mengucapkan basa basi busuk dan mengusirnya secara halus.
Wanita itu akhirnya mundur setelah melayangkan tatapan curiga. Dia merentangkan sebelah tangannya yang tenang, dan tersenyum hambar.
"Tentu. Silakan."
Simon duduk di sofa ruang tamu, tidak berani membiarkan satu kata pun keluar dari bibirnya lagi. Suasana hening tercipta di antara keduanya. Suasana rumah itu tidak seperti rumah tinggal pada umumnya. Tidak banyak pajangan berupa guci atau foto, hanya beberapa perabot penting dan beberapa lukisan, membuat atmosfir ruangan menjadi lebih dingin. Napas yang mereka hembuskan satu-satunya bunyi yang bisa didengar.
"Anda temannya Zhehan?" Wanita itu, Jiejie, mulai bertanya.
Simon mengangguk.
"Cukup mengherankan, Zhehan tidak pernah mengatakan apapun tentang anda."
Ketika mengatakan ini Jiejie teringat bagaimana selama ini Zhehan sering pergi bersepeda, dan mengatakan sepintas lalu tentang mengunjungi coffeeshop.
"Zhehan juga tidak pernah mengatakan apapun tentang anda," Simon menanggapi dengan senyum.
"Aku Kei Na Yu. Zhehan biasa memanggilku Jiejie. Sebenarnya kami masih saudara jauh."
"Aku cukup terkejut. Sebenarnya Zhehan sangat misterius bagiku. Tetapi dia rutin mengunjungi kafe, memesan minuman yang sama, dan membayar dengan uang kertas berbentuk burung bangau. Ini, yah-- cukup unik," Simon menahan senyum.
"Kau pikir dia aneh?" Jiejie menyelidiki.
Simon menggeleng, "Aku tidak berpikiran begitu. Maaf jika aku tidak sopan. Tapi aku ingin jujur padamu. Sebenarnya, aku -- aku mencintai Zhehan."
Saat mengatakan ini, jantungnya berdegup kencang. Wajah tampan Simon bergetar dan senyumnya muncul kembali di atas pecahan-pecahan kecemasan.
Jijie terpesona sesaat. Ekspresinya, dan di matanya yang tanpa dasar melintas sedikit cahaya. Ada jejak humor aneh di sana yang tidak Simon lihat dalam dirinya selama beberapa menit lambat yang mereka habiskan untuk duduk di sofa ini.
"Kau serius?" ia bergumam skeptis.
Simon mengangguk lagi, tatapannya tidak terbantahkan. Kemudian tangannya bergerak ke atas tas yang diletakkan Jiejie begitu saja di meja.
"Sikap Zhehan selama ini sangat baik dan manis. Dia juga bermain piano di kafe milikku. Tetapi semua berubah dalam sekejap pagi kemarin. Dia berlari panik saat aku bicara serius tentang hubungan kami."
Jemarinya mengetuk meja sebelum melanjutkan.
"Maaf jika aku terlalu penasaran. Tetapi aku pikir ada hal yang sulit dijelaskan yang kutemukan dalam tas ini. Seharusnya aku tidak lancang membukanya. Aku terkejut menemukan sebotol clozapine di dalamnya. Lantas aku mencari tahu di internet tentang perawatan obat itu."
Simon ragu-ragu. Sebagian dari dirinya berteriak, pembicaraan sulit di bibir ini tidak lain hanyalah menggali hal yang tidak menyenangkan.
Wajah Jiejie menegang, tetapi berusaha dia tutupi dengan sikap tenangnya.
"Jadi katakan padaku apa yang terjadi atau dialami Zhehan. Bukankah obat itu untuk perawatan penyakit psikis?"
Ada sesuatu mengusik jauh di relung hatinya, rasanya tidak siap mendengar yang terburuk. Tetapi Simon yakin, siapa pun dan seperti apa Zhehan nanti. Satu yang pasti, dia akan tetap mencintainya.
To be continued
Please vote and comment ❤
Salam Langlangding ☕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro