Tenth Cup
Bagaimana jika selama ini, semua perjuangan ini, telah membawamu ke babak yang indah dalam hidup?
Bagaimana jika semuanya berhasil, meskipun sepertinya tidak seindah dalam khayalan?
Beberapa orang memahami bahwa terkadang semua kepedihan bermuara pada satu hal yang luar biasa. Namun sebelumnya ia harus berjuang mengganti kenangan buruk dengan mimpi indah.
Semua penderitaan akan mengubah perilaku seseorang, bisa jadi menjadi lebih percaya diri atau bahkan kehilangan kepercayaan.
Percaya terhadap cinta yang berakhir bahagia.
Zhang Zhehan berjuang keras untuk meyakini semua itu.
Cuaca hari ini melambang hatinya yang turut cerah dengan perasaan berbunga seperti ada musim semi di sana.
Walau pun terlihat sedikit canggung, sebenarnya pikiran Zhehan melayang seringan kapas sampai tak sadar dia tersenyum sendiri.
Dokter muda di depannya turut mengulas senyum cerah.
"Kukira tak ada masa depan lagi bagiku semenjak hari-hari gelap yang kulalui. Tetapi secercah harapan datang," ia berkata pelan.
"Bagaimana kau menemukannya?"
"Aku pergi diam-diam dari rumah ketika Jiejie sedang pergi belanja. Terkurung dalam kebosanan kadang membuatku ketakutan. Takut akan kesepian, kau tahu itu dengan baik."
Dokter itu mengangguk paham.
"Tiba-tiba aku melihat sebuah coffeeshop dengan taman bunga berwarna-warni. Ada beberapa meja kursi di sana. Aku memberanikan diri mampir, berjuang untuk kembali menjadi diriku yang dulu di mana aku bisa berbaur tanpa kenal takut atau terlihat aneh. Kemudian aku terus mengunjungi tempat itu."
"Karena managernya tampan?" dokter itu menggoda.
Zhehan menggeleng, tersipu. Entah bagaimana dia merasa jadi anak gadis yang mengalami hal seperti jatuh cinta untuk pertama kalinya. Mengingat bagaimana dirinya pernah menjalin hubungan dulu, meski berjuang untuk ia lupakan. Tetapi perasaan seperti ini terasa asing dan memalukan. Dia benci menduga-duga apakah pemuda tampan yang ia pikirkan juga memiliki perasaan yang sama.
"Frappuccinonya enak," Zhehan mengangkat wajah dan tersenyum.
"Oh jadi itu alasannya," sang dokter tertawa kecil.
"Dan juga Simon."
Zhehan melanjutkan, kembali menipiskan bibir dan menunduk.
Bersama dengan manager tampan itu, dia merasakan hidup kembali setelah sekian lama mati dalam kegelapan dan kesepian. Simon perlahan menjemputnya untuk keluar dari sana dan membawanya pada titik terang.
Kebahagiaan yang sempat lenyap dia tawarkan lagi dan ia menyambutnya dengan senang hati. Kepahitan dalam hidupnya dia tetesi rasa manis sehingga tak begitu terasa lagi kepahitannya. Simon benar-benar menyelamatkannya dari segala hal yang membuat Zhehan seperti kehilangan diri. Untuk sekali lagi.
"Tetapi dokter, setiap kali aku melangkah pergi dari coffeshop itu aku kembali teringat siapa diriku. Ketika Jiejie mengingatkan aku setiap saat untuk meminum obat, aku merasa harapanku kembali memudar. Aku lantas tersadar, jika dia tahu kebenaran tentang diriku. Akankah Simon mau membalas perasaanku?"
Zhehan meremas-remas jemarinya menunjukkan kegelisahan yang nyata.
"Jika kau yakin dengan perasaanmu sendiri, dan jika Simon sebaik dugaanmu. Kurasa itu tidak akan ada hubungannya dengan apa yang pernah terjadi di masa lalu," si dokter tampan memberikan komentar yang menenangkan hati.
Tatapan mata Zhehan penuh kilat harapan yang terkadang berkerlip terkadang memudar.
"Semoga kau benar. Aku benar-benar membutuhkannya untuk menjadi ramai dalam sepiku."
Keheningan tea house tiba-tiba terusik oleh suara denting gelas pecah. Suara itu berasal dari bagian dapur namun karena suasananya begitu tenang, itu terdengar jelas.
Zhang Zhehan tersentak.
Ingin sekali ia tegur pelayan yang begitu sembrono dalam pekerjaannya. Tahukah dia kalau jantungnya sekarang berdebar sangat cepat dan berisik? Benar-benar berisik sampai ia takut suara-suara ganjil mulai terdengar olehnya.
Sang dokter memegang tangan Zhehan, menepuknya lembut dengan ekspresi serius berbaur cemas.
"Tenanglah Zhehan, itu bukan apa-apa.."
Reaksi Zhehan perlahan-lahan semakin menunjukkan keambiguan dan sulit diprediksi. Dia bergerak-gerak gelisah, menatap sang dokter seolah memandang sosok mayat hidup. Mata indahnya tercoreng ketakutan yang mendalam.
"Semua baik-baik saja.." sang dokter tersenyum lagi, lembut.
"Ayo, kita pergi dari sini. Aku akan meresepkan obat untukmu, setelah itu aku akan mengantarmu pulang ke rumah Jiejie."
Zhang Zhehan berdiri dengan lutut goyah, seluruh tubuhnya gemetar.
☕☕☕
Sudah lewat dua jam sejak tengah hari. Suasana coffeeshop tidak seramai saat jam makan siang di mana ada beberapa karyawan yang menghabiskan jam istirahat dengan makan dan minum kopi di sini.
Simon duduk di patio menatap Bunga-bunga. Dia sudah menyelesaikan beberapa laporan dan juga rapat singkat dengan Li Daikun. Semangatnya tidak seperti tadi pagi di mana ia menggebu-gebu untuk bekerja dan berharap Zhang Zhehan akan datang berkunjung. Dia menantikan jam demi jam tetapi sang tamu idaman tidak datang.
Mungkin dia memang tidak memiliki waktu untuk mengunjunginya, ataukah dia minum kopi di tempat lain? Tidak-- pikiran seperti itu hanya akan bermuara pada prasangka buruk yang tak berhak ia tuduhkan pada seseorang yang tidak memiliki hubungan istimewa dengannya.
Piano di sudut kafe terdiam membisu. Tak ada yang berniat memainkannya, dirinya tidak terlalu pandai bermain piano dan pikirannya pun tidak bisa terfokus tanpa kehadiran Zhehan di dekatnya.
Cangkir bardenting cukup nyaring saat bersentuhan dengan meja. Simon menoleh pada sumber suara di mana salah seorang pelayannya tengah membersihkan meja. Si pelayan itu, Vincent, melihat padanya dan tersenyum. Simon memberikan senyum untuknya juga tetapi hanya satu senyum hambar.
Tiba-tiba Vincent teringat si tamu cantik yang teramat istimewa. Penyebab sikap diam Simon pasti hanya satu, yaitu pemuda cantik yang baru tadi pagi dia lihat sedang berdua dengan seseorang.
"Sir," Vincent mengangguk sopan ketika berjalan melewati Simon dengan tray kotor di tangannya.
"Hai, kemari sebentar," Simon melambai.
"Ya sir."
"Apakah aku melewatkan kedatangan seseorang?" Simon menahan pandangan untuk tidak memutari sekitarnya, menanti dan mencari sosok yang tak kunjung datang.
"Maksud anda pemuda cantik itu?"
Simon mengangguk.
"Hari ini dia tidak datang," Vincent menjawab, dengan satu alasan lain, tiba-tiba merasa bersalah.
"Ah, ya.. Mungkin dia sibuk," Simon bergumam pada diri sendiri.
"Sir," ujar Vincent ragu-ragu.
"Ada apa? Tampaknya kau ingin mengatakan sesuatu," Simon menyelidik.
"Mungkin tamu anda tidak bisa datang karena berkunjung ke tempat lain," Vincent menyampaikan hal ini setelah bergulat dengan keraguan.
"Bagaimana kau bisa tahu?" Simon mengernyit heran.
"Tadi pagi aku melihatnya bersama seseorang."
"Seseorang?"
Vincent mengangguk.
"Seperti apa dia?"
"Seorang pria berjas putih dan mengenakan kacamata. Dia sangat tampan dan mereka terlihat akrab."
Vincent berharap cara dia menyampaikan kabar itu tidak berlebihan serta tidak menimbulkan efek dramatis pada sang manager. Tetapi hati yang tengah jatuh cinta memang sulit dipahami. Seseorang yang tengah jatuh cinta bahkan bisa cemburu dan berprasangka buruk meski pada seekor kucing yang mendekati orang yang ia cintai.
Dan ini seorang pria tampan?
"Menurutmu dia siapanya?" Simon balik bertanya, kacau oleh badai dalam pikirannya sendiri yang tiba-tiba datang menderu, melonjak-lonjak.
Vincent menggeleng, selalu ada seribu kemungkinan. Dia berkata pelan dan sopan, "Mungkin saja itu saudaranya, atau sahabatnya."
Simon sesaat terkesiap. Faktanya, dia tidak tahu banyak tentang Zhehan. Dia hanya mengenalnya sebatas di coffeshop, bahkan ia tidak berani mengunjungi rumahnya atau mengajaknya pergi berdua ke suatu tempat. Nampaknya dia harus lebih berusaha untuk mendapatkan semua informasi tentang Zhehan serta mendapatkan hatinya.
"Hmm, bisa jadi. Aku akan tanyakan itu padanya nanti. Sekarang kembalilah bekerja."
Vincent mengangguk, tapi dia memiliki satu pendapat yang ingin ia sampaikan, dia memberanikan diri bicara lagi.
"Sir, menurutku jika ada sesuatu yang kau pendam, sebaiknya lekas katakan saja padanya sebelum terlambat," Vincent mengatakannya dengan cukup sopan dan tersirat. Harusnya Simon mengerti tentang itu. Dan memang Simon mengerti. Ada satu luapan perasaan di dadanya memikirkan gagasan tentang menyatakan cinta pada Zhehan.
"Ehm, akan kupikirkan saranmu."
Dia mengisyaratkan dengan tangan agar Vincent meninggalkannya. Pelayan itu berbalik pergi, membiarkan Simon larut dalam kegalauan. Semoga saja pria yang dilihat Vincent bersama Zhehan memang sebatas saudara atau sahabatnya.
Semoga bukan kekasihnya.
Tuhan, tolong iya.
☕☕☕
Cuaca dua hari terakhir benar-benar membingungkan. Terkadang langit menunjukkan mendung, namun di seperempat sisa hari, matahari kembali nampak dan bersinar begitu terik. Benar-benar menyebalkan.
Terpaksa Zhang Zhehan membatalkan kunjungan ke coffeshop pada hari kemarin karena suhu turun naik begitu cepat.
Hari berikutnya, matahari mengintip ragu-ragu dari balik awan kelabu. Meskipun begitu, Zhang Zhehan memutuskan mengayuh sepedanya menuju coffeeshop. Hembusan angin terasa dingin, namun hangat tetap terasa karena aku juga memakai blazer dan syal cukup tebal.
Rasanya ia ingin cepat-cepat sampai dan duduk menikmati dinginnya pendingin ruangan. Frappuccino dengan es batu memenuhi gelas juga sepertinya cocok untuk meredam panas di tubuh serta hatinya yang masih kesal dengan perubahan cuaca.
Langkahnya dipercepat karena sekarang di kepalanya terbayang tentang minuman dingin itu. Tenggorokannya makin terasa haus. Dia ingin minum.
"Satu Iced Frappuccino," ucapnya pada seorang pelayan saat ia sudah menyamankan diri di meja kursi yang menghadap taman.
"Cuaca hari ini aneh, ya?"
Pelayan itu, lagi-lagi Vincent, tersenyum kecil setelah bertemu pandang dengan si tamu cantik.
Zhang Zhehan mengangguk, "Sangat aneh."
Lima menit kemudian Frappuccino dengan tambahan kubus dingin memenuhi gelas diletakan Vincent di hadapannya. Zhehan mengucapkan terima kasih. Pelayan itu melemparkan senyum misterius, seolah mengetahui apa yang tidak diketahui orang lain. Di mata Zhehan, ekspresi Vincent nampak pengertian sekali. Duduk menopa dagu dengan telapak tangan, Zhehan memperhatikan minumannya yang begitu segar. Sesaat dia larut dalam arus lamunan yang tak ia pahami namun selalu menghampiri tak berkesudahan.
Beberapa saat berlalu, Zhehan tersadar dari lamunan oleh satu suara yang dia dambakan. Ia terkesiap dan sedikit bergeser, tersadar bahwa ia hampir saja bereaksi berlebihan atas kemunculan Simon yang tiba-tiba dari arah pintu utama Cafe.
Senyuman pria itu seketika menghancurkan ekspestasi akan segarnya Frappuccino dingin. Dadanya kini dipenuhi kehangatan.
"Kau datang," Simon mendekat, duduk di depannya.
Zhehan tersenyum gugup.
"Melamunkan apa?"
"Melamunkan minuman ini." Gelas basah itu diangkat Zhehan dari nampan dan segera saja ia minum. Rasanya lega namun sekali tegukan saja tidak cukup. Aku meneguknya sekali lagi dan menggapai es batu dengan lidah. "Ah, leganya."
"Kau benar-benar kehausan?"
Zhehan mengangguk. "Cuaca sekarang benar-benar tidak bisa ditebak, ya?"
"Kutebak, kemarin kau tidak datang karena cuaca cerah mendadak mendung dalam sekejap demikian pula sebaliknya. Betul?"
Zhehan mengangguk lagi. Sekian detik berlalu, tiba-tiba keheningan memanjang. Zhehan sibuk dengan minumannya dan Simon sibuk dengan perasaan dan monolog kacau dalam benaknya.
Rasa penasaran, rasa cinta yang dibelit dugaan buruk dan lain-lain tumbuh menyusulnya dalam dirinya dia merasa hatinya cemas dan otaknya panas. Bibirnya terkatup rapat, rahangnya terasa kaku. Pikirannya menjadi kabur sesaat.
"Zhehan," akhirnya Simon berhasil menemukan suaranya setelah jeda sekian lama.
"Ya," mata Zhehan berkedip-kedip ke arahnya.
Apakah pemuda cantik ini akan menerima cintanya?
Simon membatin rumit.
Lagi. Pikiran buruk bahwa Zhehan sudah memiliki pacar kembali menghantui. Tidak peduli seberapa keras Simon ingin menyingkirkan kecurigaan. Entah sejak kapan kecemburuan mulai tumbuh, dan melilit hatinya untuk pertama kali sejak beberapa pekan yang telah berlalu.
"Jika kau ada waktu, sore ini aku ingin mengajakmu ke suatu tempat," ujar Simon hati-hati.
Zhehan melebarkan mata.
"Kemana?"
"Danau."
Simon sudah memikirkan tempat ini sejak beberapa hari terakhir dan malam-malam sulit tidur karena memikirkan Zhehan.
"Hmmm.. Itu tempat yang indah bukan?"
"Ya. Bisakah kau meluangkan waktu untukku?"
Zhehan tampak termangu sejenak, dia memikirkan tentang Jiejienya yang protektif. Tapi rasa penasarannya menang. Akhirnya ia mengangguk, mengirimkan kelegaan pada dada Simon yang tak karuan.
"Baiklah. Aku akan menyelinap sore ini. Apa aku harus menemuimu lagi di sini?"
Senyum kelegaan dan penuh harapan membayang di wajah tampan sang manager.
"Ya. Aku akan menunggumu."
Tanpa bisa dicegah kegugupan dan kecamuk rasa lainnya merayapi hatinya. Ini adalah kisah cinta pertamanya yang tak terduga. Semoga berakhir manis semanis minuman di depannya. Seindah wajah Zhehan yang berbinar cerah.
To be continued
Please vote and comment for this simple Junzhe love story ❤☕😉
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro