Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sixth Cup


Zhang Zhehan Pov

Ketika aku dan ayahku mendekati rumah asing itu, emosiku ada di mana-mana. Aku sangat ingin melihat rumah, kota, dan kehidupan baruku. Aku gugup untuk memulai kembali. Namun, aku juga bersemangat untuk mendapatkan awal yang baru.

Meskipun emosi berkembang tentang kehidupan baruku, aku tahu bahwa rumah ini terlihat sedikit aneh. Ada banyak orang mengenakan piama seragam berwarna biru dilengkapi nomor di bagian dada, dan ada sebagian lagi dengan seragam putih. Ada pria wanita dan semuanya sibuk dengan masalahnya masing-masing. Sepertinya tidak mudah untuk keluar dari rumah besar ini, dan aku pun tidak bisa lari dari masalahku selamanya.

Setahun kemudian, aku telah belajar untuk menerima kenyataan bahwa aku tidak akan pernah menjalani kehidupan yang normal, dengan teman-teman yang normal, atau keluarga yang normal.

Aku telah menjadi mahluk dengan campuran yang tidak normal antara ketakutan dan patah hati, dan tidak peduli seberapa keras aku mencoba untuk melepaskan diri dari itu, emosi tersebut akan selalu menemukan jalan kembali kepadaku.

Kehidupan telah mengantarkan dan membawa aku dari satu tempat ke tempat lainnya. Nasib telah memindahkan aku dari satu titik ke titik lainnya. Dan aku sambil mengejar kedua hal ini mendengar suara-suara yang mengerikan dan melihat hal-hal yang berdiri sebagai halangan dan rintangan di jalanku.

☕☕☕

Sebulan terakhir aku masih mampu berdiam di rumah tanpa berani berjalan keluar, namun pada akhirnya aku sama sekali tidak bisa menahannya. Jiwa bebasku memberontak dan karena itulah sekarang aku mencoba keluar rumah dengan segenap resiko dalam genggaman.

Aku berjalan padahal tidak punya tujuan. Sampai akhirnya aku menemukan sebuah coffeeshop di pojok taman yang asri dan damai memancarkan kehangatan dan suasana kekeluargaan dan tanpa sadar masuk ke dalamnya.

Lantai dua ̶ menurut barista sempat kudengar mengobrol ̶ adalah tempat yang tepat untuk menjernihkan pikiran terlebih di meja dekat kaca yang menampilkan pemandangan jalan.

Aku lebih memilih meja kursi yang ditata di luar dengan awning biru transparan menghadap taman dan sekarang aku sudah duduk di tempat yang dimaksud. Aku menoleh ke kiri dan kanan. Dadaku dilingkupi perasaan bahagia sampai sesak rasanya sebab melihat kembali keramaian setelah sekian lama tenggelam dalam kesepian. Aku seperti merasakan kebebasan walau aku tahu ini hanya sebentar karena aku harus kembali pulang sebelum wanita pelayanku tiba dan mendapatiku tidak ada di rumah.

Kenyataan lalu tenggelam tergantikan oleh angan-angan sampai tak sadar aku terdiam begitu lama dengan mata terpaku pada pada bunga-bungawn indah serta alunan instrumental piano yang menyayat hati.

Aku benar-benar damai sekarang. Orang di sekitarku tidak tahu tentang aku, yang mereka tahu kalau aku adalah salah seorang tamu dan terlihat bahagia walaupun semuanya adalah kepalsuan. Siapa yang tahu bahwa orang lain juga penuh kepalsuan, berpura-pura tertawa bahagia walau kenyataannya memiliki masalah mau pun noda hitam dalam hidup. Kita semua menjalani hidup ini terkadang dengan penuh kepalsuan.

Aku menyukai Frappuccino. Entah mengapa manisnya terasa sangat cocok di lidahku. Mewakilkan banyak rasa, sensasi yang membawaku pada masa-masa yang telah lalu.

Perlahan minumanku habis, dan alunan lagu berhenti sesaat. Perlahan tapi pasti, sekarang aku merasa kesepian lagi.

Rasanya aku ingin mengobrol dengan seseorang karena lama-lama aku tidak betah dengan keterdiaman juga pikiran yang semakin lama semakin menjalar tidak tentu arah. Aku takut berpikiran macam-macam yang akhirnya hanya mengancam diriku sendiri. Dan, satu-satunya cara untuk menepis itu semua adalah dengan mengobrol, entah apa topiknya yang terpenting aku teralihkan.

Namun, dengan siapa? Aku datang sendirian. Tak ada siapapun yang kukenal di sini. Akhirnya aku kembali menatap taman, tenggelam dalam kesepian yang begitu menyesakkan.

Lama aku melamun sampai tak sadar langit berubah warna. Aku harus segera kembali.

Sempat ketika melewati satu meja, aku menyadari beberapa pasang mata tengah memperhatikanku. Namun, ini bukan waktunya untuk perduli. Aku tengah diburu oleh waktu.
Sebenarnya aku masih ingin bebas.
Aku ingin merasakan kembali sesuatu yang dinamakan kebebasan.

Apa bisa aku kembali datang ke sini esok hari?

☕☕☕

Esok harinya patio masih menjadi tujuanku karena aku ingin duduk lagi di tempat kemarin dan kembali berangan-angan akan hidup bebas yang amat aku inginkan meskipun sebenarnya amat jauh dari kenyataan.

Tidak ada lagi tempat yang ingin kusinggahi dalam menjalani hari-hariku yang membosankan.

Berapa lama aku mengunjungi kafe ini? Dua pekan? Tiga?

Ya, mungkin sebulan. Kurang lebih. Aku tidak datang setiap hari karena aku tidak bisa selalu mencuri-curi untuk keluar dari rumah. Lagipula, aku tidak selalu menyempatkan diri melipat burung bangau dari uang kertas. Itu kebiasaan baruku yang menyenangkan setelah beberapa peristiwa yang terlalu berat untuk otakku menjadikan memoriku terdistorsi dan membuat aku lupa sejak kapan kebiasaan ini melekat padaku. Apakah saat aku masih kecil? Dan apakah kebiasaan ini benar-benar milikku. Aku tak tahu. Paling tidak ini akan menjadi ciri khas. Para pelayan di kafe itu akan mengingatku dengan baik karena hanya aku yang membayar dengan uang kertas berbentuk burung. Satu kesenangan kecil yang terkadang menyedihkan. Mereka mengingatku di saat orang lain tidak.

Satu pagi pada kunjunganku yang ke sekian, dan Frappuccino yang tak terhitung. Aku melihat satu pemandangan baru selain bunga-bunga yang gugur mau pun mekar secara bergantian, atau kupu-kupu dan kumbang yang beterbangan di sekitar taman. Satu wajah baru, pemuda yang sangat tampan dan mempesona. Sekilas aku melihatnya tengah bicara dengan seorang pegawai. Menahan antusiasme dalam diriku, kufokuskan pandangan pada kopi di meja. Sudut mataku sesekali mencuri pandang ke arahnya.

Pemuda itu bertubuh tinggi, postur yang sempurna, bentuk hidung dan mulut yang indah serta sorot mata yang penuh daya tarik berbahaya. Aku tidak mengharapkan dia melihat padaku. Dalam hidupku yang sempat terkurung gelap, dalam kesepian yang melingkari, dan dalam secangkir Frappuccino manis yang tak semanis hidupku, tidak ada lagi yang namanya harapan. Tetapi ternyata satu kilasan momen singkat, pemuda itu menoleh dan melihat padaku untuk beberapa saat.

Aku terkejut. Bisa kudengar sayup hangat suaranya membuatku langsung teringat pada kopi dalam cangkir yang tersisa.

Dia memberikan senyum yang tanpa sadar membuatku ikut tersenyum.

Aku .. bahagia.

Pemuda itu tidak melihat padaku lagi setelahnya. Dia terdiam dengan ekspresi gugup yang begitu lucu.

Aku menundukkan wajah kembali pada cangkir kopi. Membisu, namun dalam hati sedang sibuk bicara.

Aku tahu, aku ingin menatapnya lagi namun sepertinya ..
Itu terlalu berani.
Ah, mengapa memangnya? Tatap saja, jangan diam seperti ini.

Atau kalau bisa meminta, dia menatap dan datang mendekat. Aku akan menanggapinya dengan senang hati atas wujud rasa terimakasihku karena sudah menghargaiku. Jika dia bicara, apapun topiknya, akan aku tanggapi.

Tapi dia hanya terdiam kaku seperti sambil sesekali menatapku.

Masalahnya .. jantungku berdebar dengan tempo tidak normal sekarang.
Aku merasakan sesuatu, tapi tidak tahu apa.

☕☕☕

Bingung, disergap kekhawatiran dan keraguan. Aku benar-benar terkuras.
Namun aku berdiri di depan coffeeshop seperti orang linglung.

Sambil mendesah, aku meremas tali tasku erat-erat; berjalan ke depan, aku menuju satu meja menghadap taman.

Di beberapa tempat, obrolan meletus dengan keras, dan tawa-tawa nakal yang juga keras hingga aku bisa mendengarnya dengan jelas.

Menyamankan posisi dudukku, akhirnya kupanggil seorang pelayan.

"Satu Frappuccino."

"Baik, sir. Ada tambahan?"

"Itu saja, terima kasih."

Si pelayan mundur, bersiap pergi, tetapi saat mata kami beradu, dia mengernyit samar. Dia masih muda namun cukup pintar membaca wajahku yang penuh pertanyaan.

"Ada yang ingin kau sampaikan?" pelayan bertanya hati-hati.

Aku tidak tahan untuk tidak melihat ke arah counter di dalam sana, kutangkap punggung barista yang tengah bekerja, tak kutemukan sosoknya di mana pun.

"Pria tampan bertubuh tinggi yang kulihat kemarin, apakah dia sudah datang?" begitulah rasa maluku hilang dan bertanya seolah tanpa sadar.

"Tamu?"

"Sepertinya bukan," aku mengetuk-ngetukkan kuku di meja. Gelisah. Pelayan menangkap gerakanku, dengan murah hati mencoba membantu. Dia berpikir sejenak dan menemukan selintas dugaan.

"Staff?"

"Mungkin. Aku baru kali pertama melihatnya."

Pelayan tersenyum, "Mungkin maksud anda Mr. Simon, manager baru sekaligus pemilik kafe ini. Tinggi dan tampan serta menarik perhatian pada pandangan pertama, siapa lagi kalau bukan dia."

Kekehan maklum keluar dari mulutnya membuatku ingin menggali lubang di taman karena malu.

"Hmmm, sayang sekali. Hari ini dia bersama salah seorang staff divisi preparasi sedang keluar kota untuk mengecek supplier baru kami. Dia baru dan masih harus banyak belajar, memeriksa semua detail."
Pelayan menjelaskan tanpa kuminta.

Aku mengetukkan kaki dengan tidak sabar ke lantai. Setiap gerakan yang tertangkap dariku adalah kecemasan, juga senyum kosong yang mungkin terbentuk di wajahku. Untuk kali pertama aku tertarik pada seseorang tetapi dia masih menjadi misteri yang menjengkelkan.

"Anda baik-baik saja?" pelayan itu maju selangkah mendekatiku diam-diam, dengan tatapan bingung serta curiga membuat aku terlihat seperti penguntit.

"Ya, tentu," aku menyeka mata menghapus jejak kecewa lalu menggosok telapak tanganku dengan gugup, seluruh situasi ini hanya berteriak menyebutku 'bodoh'.

Ada apa denganku, kenapa aku harus peduli pada tanggapan orang lain?

Pelayan itu jelas tampaknya tidak membiarkan aku begitu saja. Dia kembali bicara dan aku tebak dia pasti sekali lagi menawariku menu lain untuk dipesan.

"Baiklah, kalau begitu tidak masalah. Apa kau benar-benar tidak mau tambahan menu?" memutar mataku, menunduk, diam-diam mengutuk pelan. Aku menjawab dengan gelengan.

Aku sangat memalukan. Tapi semua sudah terlanjur.

"Tunggu!"

Ketika pelayan itu berbalik, aku mencegah dan ia menghentikan langkah.

"Ya?"

"Apa dia akan kembali esok?"

Berpikir sejenak, si pelayan memutuskan untuk menebak, "Kupikir ya. Mr. Simon baru di sini, dia memiliki banyak pekerjaan. Esok dia pasti datang."

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Terima kasih."

"Apa anda kawan lamanya?"

Aku mengerling, tidak siap dengan pertanyaan ini.

"Kawan lama?"

"Ya, Mr. Simon baru kembali ke Chengdu sekitar satu bulan. Dia tinggal di Shanghai, begitu yang kudengar. Tetapi ayahnya di sini dan ia pernah menghabiskan masa kecil di Chengdu. Kupikir anda pasti salah satu teman masa kecilnya."

Penuturan si pelayan membuat aku tertarik dan ingin berbicara lebih banyak hal. Kuputuskan untuk mengorek beberapa informasi, semua hal tentang pemuda tampan bernama Simon, sang manager baru.

"Hmm, dengar.. Maukah kau bicara sebentar saja denganku?"

Pelayan itu berdiri bimbang memeluk tray di dadanya. Aku menambahkan dengan senyum, "Kalau kau ragu, bawakan aku satu blueberry cheesecake."

"Baik," si pelayan mengangguk, sedikit bersemangat. Dia berbalik, masuk ke dalam kafe dan kembali sepuluh menit kemudian dengan satu cangkir minuman dan sepotong besar blueberry cheesecake dalam piring.

Aku berhasil mengundangnya bicara beberapa menit lagi. Pelayan itu ramah dan terbuka, kulirik nama di seragamnya.

Vincent.

To be continued

Sorry for slow update
Shenshen lagi badmood gegara movie Hanhan diganti face.

Duh, ya ampun.

Miss you Hanhan 💖

Please vote
Salam Langlangding 💙

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro