Seventh Cup
Simon suka lari pagi. Walau pun ia tahu Chengdu adalah kota yang santai, dia mulai membentuk kebiasaan di minggu pertamanya tinggal di kampung halaman. Pagi di antara pukul enam hingga tujuh pagi, ia mengenakan setelan olah raga dan sepatunya dan mulai berlari menempuh meter demi meter.
Rumah ayahnya berada di dataran yang lebih tinggi dari kawasan perumahan itu. Dari tempatnya berdiri Simon bisa melihat atap coffee shopnya dari kejauhan di antara atap-atap berdesakan serta puncak gedung tinggi. Pucuk-pucuk pohon Eucalyptus dan Flamboyan menyembul cerah di antara warna-warna gelap atap genting mau pun rooftoop pada sebagian rumah penduduk, gedung fasilitas umum dan perkantoran.
Simon berlari sejauh empat blok ke utara. Dia belum terlalu familiar dengan kawasan yang di beberapa tempat telah mengalami perubahan.
Tidak perlu takut tersesat, ia berpikir di sela nafas memburu teriring semilir angin lembut meniup wajahnya.
Jalanan agak menurun, berbelok, dengan trotoar bersih serta tanaman pagar hidup tertata rapi. Jalanan umum yang indah dan tenang di daerah perumahan dengan lokasi strategis. Simon merasa beruntung menjadi bagian dari hunian ini. Dia berbelok ke kiri. Ada batang-batang cemara norfolk hijau tua berbaris. Lalu jalan menurun lagi sedikit, kemudian sedikit menikung. Toko-toko kecil yang ia lewati masih tutup dan gelap. Ada Knights Tavern, tempat berkumpul para pemuda, lalu ia melewati satu gereja tua bernama Lady Mercy. Tidak ada mobil di jalan ini. Mungkin pada siang hari akan ada beberapa yang melintas.
Saat dia menyusuri jalan utama yang makin melandai, melintasi genangan cahaya kuning keemasan matahari yang mulai menampakkan diri melalui bayang-bayang yang dilemparkan pucuk cemara yang terpahat angin, satu-satunya suara yang ia dengar adalah derap sepatunya sendiri serta desiran angin pagi. Simon berhenti sejenak pada satu persimpangan, dia melihat sebuah minimart bernama Moonlight di sisi jalan bagian utara, serta beberapa rumah penduduk di sisi lain.
Sesaat dia bingung memilih rute. Ketika ia melirik jam tangan, sudah hampir setengah jam ia berlari kecil. Tidak perlu terlalu keras pada diri sendiri. Simon memutuskan berlari ke arah dari mana ia datang. Berencana melacak bagian lain dari lingkungan kota kelahirannya yang indah. Simon tidak menyadari saat dari jalan di sisi timur minimart, seorang pemuda cantik mengayuh sepeda dan berbelok ke arah berlawanan.
☕☕☕
"Selamat pagi sir!"
Li Daikun menyapa Simon yang baru saja menjejakkan kaki di kafe.
"Pagi. Aku terlambat ya?"
Acara lari pagi biasanya tidak membuat agendanya terganggu. Simon hanya terlalu lama di kamar mandi tadi. Dia bahkan belum sarapan dan minum kopi.
"Tidak apa-apa . . .” sahut Li Daikun.
Simon menuju ruang kantor kecil berpintu kaca di salah satu bagian kafe khusus staff, duduk di mejanya memeriksa beberapa laporan pembelian dan juga omzet harian. Dia menghabiskan banyak dana kemarin saat menyeleksi biji kopi terbaik dari perkebunan di Hangzhou.
Dengung mesin espresso dan lantunan musik mulai menghidupkan suasana kafe. Sudah pukul sembilan lebih di pagi hari. Menenggelamkan diri beberapa lama lagi dalam jurnal dan perincian lain, Simon berjalan meninggalkan meja dan keluar menuju coffee area.
"Satu french toast dan moccachino," ia memesan sarapan pada seorang pelayan.
Ada seorang barista di coffee bar, mengangguk pada Simon dan kembali ke mesin espresso, membuka pegangan portafilter, membuang kue bubuk yang sudah dikemas ke tempat sampah di bawah meja, lalu pindah untuk membilas filter di wastafel kecil.
Pesanan mochaccino tampaknya menjadi pesanan pertama, dan itu datang bukan dari seorang tamu. Kedatangan beberapa pengunjung akan membebaskan para pelayan sebentar lagi, dan sebagian besar dari dua puluh meja kafe berlapis marmer kosong, yang biasa terjadi pada Senin pagi di awal pekan.
Lewat sudut matanya, Simon melihat Vincent berjalan melewatinya.
"Vincent, kemari," ia melambai.
Si pelayan sudah tahu, atau merasa sudah tahu, akan apa yang ditanyakan oleh sang manager.
“Ngomong-ngomong,” kata Simon kepada karyawannya, "Apakah tamu yang itu kemarin datang kemari?"
"Yang itu yang mana sir?"
"Kau tahu yang mana," Simon mendesis.
Vincent tersenyum lebar, "Ya, dia datang."
Mata Simon berkerlip oleh kegembiraan, bertepatan dengan moccacinno datang ke hadapannya. Aromanya semakin luar biasa diiringi kabar kecil yang menyenangkan.
"Menurutmu apa hari ini dia akan datang?" tanya Simon, seolah membuat taruhan.
Vincent teringat pembicaraan singkatnya dengan si tamu cantik kemarin. Ada ketertarikan yang cukup transparan pada mata tamu itu saat bertanya tentang Simon. Dia berani bertaruh, tamu itu pasti datang lagi.
"Aku jamin sir," ia menyeringai sekilas.
"Bagus. Kuharap memang begitu."
French toastnya menyusul kemudian, Simon mengintruksikan Vincent untuk kembali bekerja dan ia menghadapi sarapannya yang terlambat.
Langit cerah terhias awan putih menjadi teman Zhang Zhehan dalam melangkah menuju coffeshop yang tersisa beberapa meter lagi di depan mata. Di tiga meter sebelum pintu, dia menoleh untuk melihat sosok sang manager yang melamun dengan cangkir dalam genggaman tangan.
Beberapa menit berlalu, Simon tanpa sengaja melihat seorang pelayan membawa nampan berisi secangkir Frappuccino. Tanpa bisa dikendalikan hatinya berdesir.
"Leon, siapa tamu yang memesan Frappuccino?" ia dikuasai penasaran yang menggiringnya pada sikap aneh.
Pelayan yang dipanggil Leon menoleh, tersenyum pada Simon dan menjawab dengan gerakan kepala sopan ke arah satu meja di patio.
"Tamu yang memakai kemeja biru, sir."
Simon mengikuti arah tatapannya.
Itu dia.
"Oh, baiklah. Antarkan pesanannya."
Pelayan mengangguk dan berjalan pergi.
Kegugupan membayangi juga ingatan tentang wajah si pemuda cantik menghantuinya hari-hari terakhir ini sampai memejamkan mata pun sedikit sulit. Simon memikirkan sosok itu tiada hentinya. Ada perasaan miris dan juga ironis bahwa kota kelahiran yang dia tinggalkan dan tak pernah terpikir untuk kembali malah akan membawanya menemukan seseorang yang begitu berbeda dalam pandangan pertama. Sempat ia membuat sugesti untuk jauh saja dan lupakan semua seperti tak pernah melihat tamu itu.
Namun, semua niat kacau dalam sekejap ketika angannya bertemu dengan wajah yang begitu lembut seakan mengundang untuk masuk dalam jebakan.
Simon memandangi si tamu dari balik jendela, ketika Leon menyajikan Frappuccino-nya tamu itu terlihat mengucapkan sesuatu. Gerakan bibir tipis sewarna kelopak mawar nan indah, membuat pikiran Simon mengembara tak tentu arah. Senyuman yang seakan mendorongnya untuk duduk di hadapan sang tamu dan kembali membiarkan diri terbuai pada cantiknya.
Rasa tertarik pada diri Simon berhasil memenangkan debat karena sekarang kakinya melangkah pada si tamu, menaruh cangkir kopi miliknya sendiri di meja, lalu duduk dengan perlahan.
"Hallo, apa kabar?"
Wajah pemuda cantik terangkat dari menekuni minumannya.
"Baik," Zhang Zhehan menjawab.
Simon tak bisa untuk tidak tersenyum mendengar suara semanis madu itu. Suara mengandung candu dan membuat Simon ingin mendengarnya lagi.
Dia tidak sabar menunggu kalimat selanjutnya yang si tamu tujukan padanya. "Kamu? Apa kabar?"
Ada sesuatu dalam diri Simon yang melompat kegirangan ketika Zhehan juga balas menanyakan kabarnya. Simon tak ingin membuat sang tamu lama menunggu, maka dia langsung menjawab, "Aku baik."
Zhehan tersenyum lagi. Simon merasa beruntung dia tidak sedang minum atau bisa saja mulutnya menyembur. Semuanya terlalu mendadak, mata indah yang menatap, senyum manis yang ditujukan semuanya mengarah untuknya.
Bagaimana bisa dia berpikiran untuk menjauh kalau diberikan senyum seperti ini saja seperti membuatnya kikuk.
"Apa yang kau pesan?" Simon bertanya sebagai pengalihan. Dalam hati harap-harap cemas agar sikap gugupnya barusan tidak disadari oleh sang tamu. Mau taruh di mana wajahnya sebagai seorang manager?
"Frappuccino," Zhehan menunjuk cangkirnya.
"Kenapa Frappuccino?"
"Aku suka itu. Rasanya manis."
Tercatat di otak Simon sejak kemarin, Zhehan suka minum Frappuccino.
"Hanya itu alasannya?"
"Rasa manisnya menawarkan semua kepahitan," Zhehan melanjutkan, berteka-teki.
"Ohh..." Simon mengangguk-angguk. Teori dari mana itu?
"Lalu, apa yang kau minum?" Zhehan balas bertanya.
"Moccacinno. Aku minum itu sekarang." Simon meraih cangkir untuk ditunjukkan pada Zhehan.
"Enak?"
"Bagaimana kelihatannya?"
Zhehan tertawa kecil. Dada Simon serasa diterpa kehangatan.
"Aku belum tahu siapa namamu," merasa cukup dengan basa-basinya, Simon kini bertanya ke inti.
"Zhehan. Zhang Zhehan. Panggil saja aku Zhehan."
Nama yang indah.
"Aku Simon. Manager baru kafe ini," Simon memperkenalkan diri.
Zhehan mengangguk sekilas, senyumnya masih terukir indah.
"Kau tinggal di mana?" Simon kembali memenuhi rasa penasarannya.
Zhehan tidak langsung menjawab. Di benaknya berputar segala kemungkinan akan timbulnya pertanyaan demi pertanyaan. Baik itu tentang latar belakang mau pun pekerjaan dan sebagainya. Sesaat dia bingung. Zhehan memejamkan mata, menggoyang-goyangkan kepala perlahan seperti mengusir lalat.
"Tidak jauh dari sini."
"Jalan kaki?" Simon memikirkan gagasan untuk mengantar pulang Zhehan suatu hari dengan sedan Chevrolet terbarunya yang keren.
"Naik sepeda," Zhehan menjawab ringan, membuka matanya yang berbinar.
"Bersepeda itu sehat," ia melanjutkan.
Simon tengah meneguk moccacinno -nya, tiba-tiba ide tentang mengantar pulang seketika menguap.
"Karyawanku bilang kau menjadi pelanggan kafe selama sebulan terakhir."
"Yah, sekitar itu. Apa kau memata-mataiku?" Zhehan mengerling, ada godaan di sana.
"Tidak. Bukan begitu. Aku hanya ingin lebih dekat dengan para pelanggan," Simon mengelak, darah mengalir deras dan berdenyut di pelipisnya.
"Untuk memudahkanmu, ingat saja satu hal. Aku adalah teman lamamu sewaktu di sekolah dasar."
"Teman lama...???" Simon tercengang. Sekolah dasar pula. Tunggu, apa dia melewatkan sesuatu? Apa mungkin dia pernah memiliki teman pria secantik ini?
"Ya. Sekolah dasar kita Angel Education. Tapi aku pergi keluar kota setelah lulus."
Simon menggaruk lehernya, kenapa ia tidak mengingat teman lama ini. Memang sudah berlalu begitu lama dan beberapa kawan serta kenangan lama tergantikan dengan yang baru.
"Maaf jika aku melupakanmu. Tapi bagaimana kau bisa mengingatku?"
"Mudah saja. Kau lumayan populer di sekolah, dan kau tampan. Tubuhmu lebih tinggi dibanding kawan-kawan."
Zhehan tersenyum lagi.
"Begitu ya?" gumam Simon.
Zhehan mengangguk. Kini mereka resmi berteman. Dia meneguk Frappuccinonya. Terasa sangat manis.
"Jadi beritahu aku di mana alamatmu?" tanya Simon lagi.
Zhehan menggeleng. "Yang pasti tidak jauh dari sini. Kau tahu minimart Moonlight? Tidak jauh dari sana, ada sebuah rumah bercat putih dengan pagar hitam dirambati tumbuhan morning glory. Tirai-tirainya berwarna hijau. Aku sering berada di sana."
Simon mengangguk-angguk.
"Tapi jangan datang ke sana," Zhehan memperingatkan.
"Kenapa?" Simon bertanya kecewa.
"Kakakku galak," Zhehan menyeringai, lantas memberi solusi.
"Jika kau ingin bertemu dan bicara denganku. Aku akan usahakan datang kemari tiga atau empat kali dalam sepekan."
Ide bagus. Simon akan mempertimbangkan diskon untuk si tamu cantik yang telah menarik hatinya.
"Aku setuju. Senang bisa bicara denganmu, dan ya, kau pernah bertemu teman sekolah lain?"
Raut wajah Zhehan terlihat bingung sekilas, "Tidak. Ah, mungkin pernah, tapi aku lupa."
Simon mengangguk-angguk, berusaha tidak berpikir terlalu jauh. Sejujurnya dia pun tidak terlalu mengingat semua teman semasa sekolah dasar. Hanya beberapa saja yang pernah sangat dekat.
"Kau tidak berpikir aku akan meminta diskon karena aku teman lama bukan?" Zhehan mengerling lagi, manis.
Simon terkekeh, ada nada senang dalam suaranya, "Bisa kupertimbangkan."
"Tidak perlu," Zhehan menggeleng, dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
"Itu akan membuatku terlihat seperti mengambil keuntungan. Lagipula, aku masih punya uang ini."
Dengan tangan putih dan lentur, diantara jemari ramping, Zhehan meletakkan sesuatu dalam genggamannya ke atas meja.
Simon meliriknya. Itu adalah uang kertas lima dollar yang dilipat dalam bentuk burung bangau.
Itu kebiasaan unik sang tamu. Dia selalu membayar dengan uang kertas yang dilipat berbentuk bangau.
Orang bilang, seribu bangau kertas akan bisa mengabulkan satu permohonan.
To be continued
Please vote and comment if you like this simple story ❤
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro