Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Second Cup

Ada suatu hal di sudut hati yang sedari dulu memaksa untuk terungkap dan menjadikan dirimu  tempatku bercerita. Nada indah ini senantiasa mengalun di dalam hati, ibarat lantunan piano yang biasa kau gemakan. Tapi, apa bisa kukatakan sedangkan niatku saja terkalahkan oleh rasa gugup dan takut?

Tak ada yang perlu dikhawatirkan, aku cukup mengatakan bahwa aku –-

Simon mengerjapkan mata, seketika dilanda gelombang rasa gugup.

“Haii…!” ia tergagap.

Matanya otomatis melebar dan mulutnya terbuka setengah untuk beberapa detik sebelum akhirnya menyunggingkan senyum yang sedikit canggung dan malu.

“Maaf, aku terlambat ya?”

Suara merdu berkumandang seiring munculnya seraut wajah tampan yang balas menatap pada Simon.

Tiba-tiba saja pemuda itu sudah duduk di depannya .

Pemuda itu berpakaian casual. Jeans biru tua dengan kemeja santai berwarna biru muda. Satu sling bag dengan merk dan kualitas baik tersampir di bahunya yang segera ia lepas dan taruh di meja. Nuansa biru yang ia kenakan kontras dengan kulit putih sehalus marmer yang cemerlang. Mata bening berbinar indah, bibir merah dengan lengkungan manis.
Tatapan Simon terkunci pada keindahan di depannya.

“Kukira kau tidak akan datang, Zhehan,” ujarnya.

“Kau lama menunggu?” tanya si pemuda yang baru datang yang dipanggil Zhehan.

Simon mengerjap dengan susah payah.

“Sebenarnya tidak, tapi..” ia tersipu seperti anak gadis.

“Satu menit terasa panjang saat menunggu kedatanganmu.”

Ada banyak kata yang ingin Simon lontarkan sebagai pembuka obrolan. Namun, itu semua tertahan di tenggorokan dan akhirnya ia terdiam beberapa saat, menatap Zhehan yang kembali melihat ke arah taman dengan wajah seperti biasanya. Manis. Simon tiba-tiba merasa membuat kesan buruk. Duduk bengong  seperti orang bodoh di hadapannya.

Dalam sepersekian menit, keduanya kembali bertatapan. Mendadak Simon seperti lupa cara untuk bernapas. Otak segera mengirimkan sinyal untuk menghirup oksigen kalau tidak ingin terjerembab kehilangan kesadaran dan jatuh pingsan.

Dia mencoba bernapas normal dan menyembunyikannya dengan senyum seperti tak terjadi apapun. "Aku tidak mengganggu, kan?"

Rambut Zhehan bergoyang selaras dengan gelengan kepala.
"Tentu tidak."

Simon mengetuk kuku jemari pada meja. "Sejak pertama aku melihatmu di sini. Sejak saat itu juga aku berniat untuk duduk di hadapanmu lalu mengajakmu berbicara ̶ " dia tersadar kalau ia bebicara terlalu membosankan sebagai pembuka obrolan.

Wajahnya sesaat terasa hangat, merasa canggung, mau ditaruh di mana mukanya kalau seperti ini. "Maaf, aku terlalu banyak bicara tidak penting."

Zhehan menggeleng kembali dengan senyum tipis terlukis pada bibir merah muda. Simon lagi-lagi terpaku. Pemuda cantik itu semakin manis kalau sedang tersenyum seperti itu.

"Tidak apa-apa."

Lembut suaranya kembali terdengar.

"Omong-omong, kenapa? Ada hal penting yang ingin kau sampaikan?" pertanyaan itu membawa Simon kembali pada kenyataan setelah terbuai pada bayang-bayang indah yang tercipta oleh senyuman.

Mata indah Zhehan menatapnya hingga Simon dibuat salah tingkah.

"Tidak ada apa-apa. Hanya .. aku tidak bisa melihat seseorang duduk sendirian dan terlihat kesepian."

Tawa lantas mengalun dari bibir tipis si pemuda cantik, menghantam kepala Simon lalu turun membuat debaran dalam dada. Tawa manis yang ternyata mengandung opium. Simon berpikir tidak hanya matanya saja, tapi ternyata tawanya juga memiliki mantra yang membuat korban seperti kehilangan akal sampai berbicarapun rasanya tidak bisa.

Adakah korban lain selain diriku, Simon bertanya-tanya dengan hati perih. Kehilangan kemampuan berbicara untuk sekejap karena tawa indah itu.

Zhehan mengakhiri tawanya dengan senyuman manis dan memikat.
“Pelayan,” dia melambai pada seorang pemuda yang kebetulan baru saja mengantarkan minuman pada tamu lain dan kebetulan lewat di dekat meja mereka.

Si pelayan datang menghampiri.

“Satu Ice Frappuccino.”

“Baik. Ada tambahan?”

“Untuk sementara itu saja.”

Simon melirik si pelayan tidak senang.

“Pergilah!” desisnya setengah mengusir. “Aku akan mengurus sisanya nanti.”

“Ya sir!”

Pelayan itu bergegas pergi.

Keduanya berpandangan lagi.

“Aku begitu gelisah dan tidak sabar menunggu kedatanganmu,” ujar Simon mencoba terdengar mantap.

Zhehan menatapnya, matanya berubah agak sayu.
“Kau terlihat semakin gelisah dari hari ke hari,” komentarnya.

Simon memaksakan tawa kecil.
“Aku hanya semakin gelisah karena suatu hal. Aku—”

Ice Frappuccino tiba di meja.

“Aku gugup dan takut.”

Zhehan mengaduk minuman kecoklatan dengan eskrim vanilla, dan beberapa bongkah es batu di dalam gelas. Suara dentingan es batu beradu dengan kaca terdengar jelas, berirama, seperti dengung hipnotis yang berulang-ulang.

“Takut apa?” usik Zhehan, meminum kopinya melalui sedotan.

“Aku – takut mengatakannya,” Simon tertawa lagi. kering dan aneh.

“Kau baik-baik saja?” Zhehan menatapnya masih dengan tersenyum.

Simon berdehem dan mencoba mengontrol perasaan.

Mata mereka kembali bertemu.
Zhehan meminum kopinya lalu mempertontonkan ekpresi imut.

“Rasanya mantap. Seperti biasanya..” dia berkomentar.

Dia kembali mengangkat pandangan, sesaat ada rasa terkejut berkelebat di matanya menyaksikan ekspresi Simon yang semakin misterius.

“Sebenarnya ada apa?” tanya Zhehan.

Mungkin ini saatnya

“Zhehan, apa kau punya pacar?” Simon menepiskan keraguan dan mengumpulkan keberanian yang telah ia pupuk selama dua bulan.

Mata indah itu melebar.
"Ti--dak.." ia pun mulai terdengar gugup. Dengan ganas, tangannya memainkan sedotan di gelas.

Perasaan sesak yang mencekik Simon selama ini perlahan mulai menipis mendengar jawaban itu. Dia merasakan satu bulir keringat jatuh di punggungnya saat berkata perlahan, "Aku mencintaimu Zhehan, maukah kau jadi kekasihku?"

Pada titik ini Zhehan tidak yakin harus menjawab apa. Apakah ia harus balas mencintai Simon, menyukainya, atau hanya ingin berteman dengannya.
Yang dia tahu hanyalah, keraguan yang tersisa yang dulu ia miliki untuknya.

Menghilang.

"Aku --" Zhehan tengah menyortir kata-kata untuk menyatakan bahwa ia pun memiliki rasa ketertarikan yang sama, dan walau pun mungkin butuh waktu, tetapi rasa itu telah ada dan nyata.

Waktu itu kafe sudah mulai ramai dan beberapa muda mudi menempati kursi di patio. Tampaknya ada satu perdebatan tidak jauh dari tempat duduk mereka. Satu suara gadis melengking memecah ketenangan.

Bingung, Simon mengangkat kepala dan bergerak untuk melihat ke kanan. Di sanalah mereka, sepasang muda-mudi duduk bersitegang seolah-olah sesuatu yang berbahaya sedang terjadi. Desisan dan perdebatan mereka mulai terdengar.

Sambil mengerutkan kening, Simon berniat untuk mendekati kedua tamu itu namun satu suara keras berdencing di telinganya.

Ternyata satu gelas berisi ice latte di meja muda mudi itu terguling dan jatuh pecah berderai di lantai melahirkan suara hingar bingar yang menyakitkan.

"Apa yang sedang terjadi?" Zhehan tersentak nyaris jatuh dari kursinya. Mendongak, matanya melebar saat melihat Simon berdiri di depannya.

Ekspresi Zhehan menggelap seolah tidak mengharapkan apa yang terjadi dan tidak ingin Simon mau pun dirinya melibatkan diri.

"Simon!?" Zhehan memanggil.

Semua orang menghentikan apa yang mereka lakukan dan berbalik untuk melihat ke arah insiden gelas pecah. Seorang pelayan meluncur ke meja tersebut, menangani kerusakan dan mulai membersihkannya. Simon berniat menegur dua tamu itu atas keonaran yang terjadi tapi mereka segera berpindah tempat dan sepertinya melanjutkan perdebatan di meja lain.

Kala itu, tak ada yang menyadari sepasang mata Zhehan tertuju ke satu titik. Matanya terkunci pada pecahan gelas di lantai, berserakan, berkelip memantulkan cahaya matahari. Runcing dan tajam.

Zhang Zhehan, si pemuda cantik yang duduk dengan ekspresi paling dipertanyakan di wajahnya. Kegelisahan yang dia rasakan terpancar hingga mempengaruhi lawan bicaranya karena Simon seketika mengalihkan perhatian pada Zhehan.

Ada apa dengan Zhehan? Kenapa dia terlihat sangat ketakutan?

Tidak pernah sekalipun matanya lepas dari mata indah Zhehan.

"Abaikan saja," Simon kembali duduk santai, meletakkan dagu di telapak tangan, dengan lembut melekatkan pandangan pada wajah mempesona di depannya.

Zhehan tidak bergeming, menangkap pergerakan pelayan yang membersihkan pecahan gelas dengan sudut matanya, selintas dia melihat jemari si pelayan tergores ujung pecahan yang tajam dan meneteskan darah, dan saat itu juga wajahnya memucat.

Bibirnya bergetar tak tertahankan dan ekpresi paniknya dengan cepat berubah menjadi ketakutan.

“Jangan!” dia berseru tertahan.

“Ada apa Zhehan?” Simon kebingungan.

"Dia berdarah, pelayanmu berdarah..." ia membelalak, dihantam gelombang ketakutan yang tak masuk akal.

Pelayan itu sudah menyelesaikan pekerjaannya, kini berdiri dan menoleh pada Zhehan.

"Tidak apa-apa, Tuan. Hanya luka kecil," si pelayan melangkah mundur dan pergi dari situ.

Tapi suasana terlanjur berubah total. Ketenangan mereka terenggut dengan wajah panik, Zhehan meraih sling bag yang ia taruh di kursi dan menutupi wajahnya seperti anak kecil ketakutan.

“Zhehan!” Simon menahan memegang lembut tangan Zhehan.

“Apa yang terjadi denganmu?” desisnya tak habis pikir dan juga sedikit kecewa.

Kacau sudah acara pernyataan cintanya.

Wajah Zhehan benar-benar pucat, kaku bagai pahatan marmer, berbagai emosi memancar dari sorot matanya, menyalakan api kekhawatiran di sekeliling dirinya dan juga Simon. Kedua telapak tangannya kini menutup telinga.
Memblokir suara-suara.
Memblokir ketakutan.
Simon kini berdiri dari kursinya, matanya terbelalak.

"Ada apa—" dia mengangkat tangannya, menghentikannya.

"Aku tidak bisa menjelaskannya. Aku mendengar semuanya," Zhehan berkata terputus, mengiriminya tatapan tajam sekaligus membuat Simon bergidik.

Tatapan itu sekilas berubah. Tatapan dingin yang bisa menghancurkan siapa pun. Tanpa bisa dicegah,  Zhehan berdiri lantas berjalan tergesa-gesa, nyaris berlari kecil dengan ekspresi kacau.

"Zhehan, tunggu! Kau mau kemana?"

Mata Simon kabur karena selaput tipis air mata saat ia memandangi punggung Zhehan yang semakin menjauh. Rasanya ia ingin berlari mengejar, tetapi beberapa pasang mata pengunjung dan juga pelayan mengawasinya penuh curiga.

Akhirnya Simon duduk kembali dan menundukkan kepala karena malu dan kecewa.

Setelah tiga kali helaan nafas panjang dan deru dalam dadanya mulai mereda, ia kembali membuka mata. Tatapannya langsung tertuju pada kursi bekas diduduki Zhehan dan baru menyadari bahwa sling bag miliknya masih berada di sana.

Apa yang salah dengan Zhehan?

To be continued
Please vote and comment if you like this sweet coffee story ☕💖

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro