Fourtenth Cup
Shansheng Flower Clinic
Aku akan segera membawa Zhehan pulang ke rumah..
Ini adalah kalimat yang diucapkan hati nurani Simon ketika melangkahkan kaki masuk ke dalam klinik psikiatri. Pagi yang cerah di penghujung musim panas, sehari setelah kunjungan Simon ke rumah Jiejie. Pintu kaca berderit samar di belakangnya, dia bergegas mendekati meja resepsionis dan bertanya pada gadis manis berseragam putih di balik meja.
"Bisakah aku bertemu dr. Zhu?"
Gadis itu tersenyum dan mengangguk, menunjukkan pada Simon satu pintu putih di bagian sayap kanan bangunan.
Simon berdiri kaku di depan pintu itu, menatap papan nama yang terpasang. Dia akan memasuki satu ruangan di mana Zhehan mungkin telah menghabiskan banyak waktu yang berharga untuk konseling dan pemulihan pasca trauma. Entah berapa kali pemuda cantik itu berbincang di dalam sana, mencoba merangkak keluar dari institusi mental yang sempat mengurungnya. Mungkin, pelajaran hidup terbesar bisa didapatkan dari sini.
Simon mengetuk pintu yang segera terbuka, menampilkan sosok di baliknya. Dokter Zhu masih terbilang muda. Mungkin sekitar tiga puluh lima tahun. Tampan dan anggun dalam jas putih dan kacamata bingkai logam yang menambah kharismanya. Simon tidak tahu apa yang membuatnya menjadi begitu tenang setelah sempat gugup, apa karena wajah dokter Zhu yang seperti malaikat dan senyumannya yang bersahabat.
Simon berterima kasih karena sang dokter telah meluangkan beberapa menit yang berharga untuk menerima kunjungannya.
"Kei Na Yu sudah memberitahuku sebelumnya bahwa kau akan datang," dr. Zhu duduk di kursi kerjanya, berhadapan dengan meja yang dipenuhi tumpukan map.
"Silahkan," ia meminta Simon untuk duduk.
Pemuda itu duduk dengan canggung.
"Kudengar kau sahabat istimewa Zhehan?"
Simon tersenyum padanya dan berkata, "Kuharap begitu."
Dr. Zhu mengangkat pandangannya dan tertawa singkat, "Aku orang skeptis nomor satu di sini. Kau tidak bisa mengatakan kebohongan di depanku bahkan yang paling sederhana."
Simon tidak bisa menjelaskan lebih dari itu, ia menatap dokter Zhu yang balas menatapnya lembut dan memaklumi seolah dirinya adalah salah satu pasien dengan gangguan psikis.
"Aku belum mengatakan apapun pada Zhehan. Penyakitnya kambuh gara-gara aku, jadi aku datang kemari atas petunjuk Jiejie, untuk menjenguk Zhehan." Simon mengisi waktu yang sempit ini dengan semua yang ingin ia katakan.
"Jadi kau merasa bersalah?"
Simon termenung.
"Sebenarnya kondisi Zhehan mungkin bukan salahmu," dr. Zhu kembali berkata.
"Dia rutin menjalani konseling setelah keluar dari mental center. Namun aku juga tidak bisa menjamin, jiwanya masih serapuh gelas kaca. Dia masih ketakutan mendengar suara-suara berisik, atau denting gelas pecah. Ada kenangan buruk yang mengendap dan sulit dihapuskan. Orang-orang di sekitarnya tidak bisa selalu bertanggungjawab, Zhehan harus berjuang untuk dirinya sendiri, untuk bangkit dari genangan kesedihan dan luka lama."
Ia berhenti dan memandang mata Simon.
"Beberapa terapi kadang lebih efektif jika dilakukan di luar sana. Dari penuturan Kei Na Yu, aku menyimpulkan bahwa bicara denganmu membuat Zhehan lebih bahagia dan mulai stabil, serta kembali belajar mempercayai diri sendiri."
Simon tersenyum kosong, mencoba menemukan suaranya untuk menjelaskan bahwa hal itu tidak benar.
"Anda berlebihan dok," ujarnya sedikit malu. "Aku tidak bisa membaca kondisi Zhehan, sibuk dengan perasaanku sendiri. Aku bahkan merasa tidak mengenalnya. Sebenarnya, aku juga tidak yakin apakah Zhehan mencintaiku atau tidak."
"Dia mencintaimu. Zhehan pernah mengatakan itu padaku dalam satu sesi pertemuan kami. Meski singkat, aku bisa membaca ekspresinya."
Simon menunduk sekilas, menutupi pancaran berbunga di matanya.
"Kau kemari untuk menemuinya bukan? Dia dirawat dalam salah satu ruang inap klinik. Kau bisa bicara dengannya. Aku yakin, setelah melihatmu, dia akan segera stabil."
Ketika dr. Zhu nyaris bangun dari kursinya, Simon menahan dengan satu pertanyaan.
"Dok, bagaimana caranya agar aku bisa membuat kesembuhannya sempurna?"
Dr. Zhu terdiam, meneliti ekspresi Simon kemudian berkata.
"Hanya buat dia selalu bahagia. Satu lagi, kau juga harus memberi dorongan padanya agar lebih kuat dan menjadikan peristiwa buruk itu sebagai bagian dari masa lalunya yang tak bisa diubah. Mungkin dia tidak akan melupakannya, setidaknya dia bisa hidup dan berdamai dengan kenangan itu."
"Aku takut membuatnya trauma lagi tanpa sengaja."
Dr. Zhu menggeleng samar, "Di satu sisi membuatnya bahagia, sisi lain jangan terlalu melindunginya, kau harus tahu waktu yang tepat. Bagaimana pun, dia harus belajar menghadapi rasa sakit itu sendiri. Bahkan, sebaliknya. Jika kau sempat, aku sarankan kau mengajak Zhehan berlibur ke pantai Haikou, di mana kekasihnya dulu tewas."
"Apa?" Simon bingung, tidakkah itu berbahaya?
"Butuh waktu bertahun-tahun bagi seseorang untuk kembali menginjakkan kaki di tempat yang menyimpan luka lama. Jika Zhehan tidak terpengaruh, maka aku bisa pastikan, dia sudah sembuh."
Simon kembali terperangkap kebisuan, berusaha mencerna ucapan dr. Zhu dengan pemahamannya yang sederhana. Detik-detik melambat dalam kebimbangan dan akhirnya Simon memutuskan untuk segera menemui Zhehan.
"Dok, perlihatkan padaku di ruangan mana Zhehan berada."
Suara Simon memecah keheningan.
"Mari," dr. Zhu sekarang benar-benar bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu, memberi isyarat pada Simon untuk mengikuti.
Zhehan berdiri diam di balik jendela berteralis, senantiasa memandang keluar, menanti seorang diri, bernaung dalam sepi. Cahaya matahari siang menerobos masuk lewat kisi-kisi jendela, menghiasi dinding putih yang gemilang.
Bagai sebuah potret indah keabadian, sosoknya yang berada dalam naungan cahaya tampak begitu menawan, teduh, namun menggugah lara.
"Zhehan," Simon menggerakkan kakinya yang gemetar memasuki ruangan. Ketika Zhehan menoleh, ada sorot mata bimbang dalam kilasan tatap indahnya, pemuda cantik itu datang mendekat dan Simon menangkap kesan kebingungan, kekosongan emosi yang nyaris menjadi sebab belenggu yang mengekang kebebasan.
"Perlihatkan padaku senyumanmu," Simon berbisik lirih.
Tangan Zhehan terulur, tetapi sesaat berikutnya ia melangkah mundur.
Seulas senyum merekah di wajah Simon memancarkan kepedihan tersamar. Kali ini dia yang mengulurkan kedua tangan, menjangkau, mencoba menyentuh wajah Zhehan.
"Aku harus menggapai dirimu atau kau akan semakin menjauh."
Suaranya bergetar penuh keputusasaan.
Zhehan terpaku menatap wajah di depannya untuk waktu yang lama. Seakan menyadari keberadaan tak terlihat, raut wajahnya berubah dari suram berangsur cerah.
Tangannya menggapai lagi, namun yang ia saksikan tak lebih dari cercahan keraguan yang gelap.
"Kau?" Zhehan berbisik, tetapi getar suaranya melampaui kesunyian yang membahana.
Jiwanya yang merana, terpenjara di antara dua dunia, menggeliat mencari jalan keluar, menuju cahaya.
Kala itu, akhirnya dia menerima segala yang ia sangkal.
Zhehan, apakah kau telah kehilangan akal, terperosok jauh hingga tak sanggup mengingat sedikit pun kenangan di antara kita.
Sosok yang berdiri di hadapanku sudah bukan lagi dirimu.
Keberadaanku menjadi tak berarti,
Kini kau hanyalah seseorang tidak dikenal yang membiarkan aku terus bermimpi..
Simon menunggu pemuda yang dicintainya memanggil namanya, sekilas bukti bahwa ia tidak lagi kacau, bahwa ia masih mengingatnya meski hanya sedikit.
Dia yang kucintai bermimpi dalam tidur panjang, tetapi aku menapaki dunia mimpi dengan kesadaran penuh. Haruskah aku dihantui ilusi akan kehadirannya, merindukan kehangatan kasih yang tak pernah nyata.
Pertanyaan tersebut begitu mengusik, senantiasa menghantui pikirannya.
Kekhawatiran bahwa sikapnya yang memaksa akan mengguncang mental Zhehan, akhirnya Simon mengalah. Dia mundur, kakinya lemas saat bergerak menuju pintu. Kesedihan membuat dadanya sesak seakan terhimpit batu besar.
Tepat saat ia sudah menapak setengah langkah keluar, Zhehan memanggil namanya.
"Simon.."
Suaranya lirih bagai bisikan angin, memecah dinding mengasihani diri yang mengurung Simon.
Simon berhenti, menoleh lambat-lambat, berdiri di sana, terhenyak seakan-akan ia telah kehilangan cinta sejatinya kemudian menemukannya kembali tanpa sengaja. Air mata diam-diam menetes membayangkan kesepian seperti apa yang harus dihadapi Zhehan. Tetapi ia tahu dengan pasti bahwa cinta mereka akan bertahan bahkan dalam proses terberat sekali pun.
Next chapter ------->
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro